Monday, April 22, 2013

konflik perkelahian antar remaja di kecamatan Ampelgading


PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

            Remaja adalah mereka yang telah meninggalkan masa kanak-kanak yang penuh dengan ketergantungan dan menuju masa pembentukan tanggung jawab, biasanya remaja adalah sekelompok orang yang berada diantara usia 14-21 tahun (Sungaidi Ardini, 1996: 4). Remaja biasanya memiliki karakter emosi yang kurang stabil, pendirian yang mudah berubah-ubah serta menganggap dirinya adalah orang yang paling benar. Faktor geografis antara desa dan kota juga dapat menyebabkan perbedaan karakter remaja. Remaja yang tinggal didaerah  pedesaan cenderung kurang idealis dibandingkan dengan pemuda di daerah perkotaan. Pemuda pedesaan menjadi kurang idealis, karena tingkat pendidikan yang rata-rata masih tergolong rendah. Oleh karena itu, tingkah laku pemuda di pedesaan cenderung bersifat konvensional. Dalam menghadapi sebuah permasalahan, remaja pedesaan lebih mengandalkan pada kekuatan otot dari pada menggunakan cara-cara yang lebih rasional seperti musyawarah.  
            Dewasa ini kita sering mendengar kabar tentang perkelahian antar remaja. Padahal hal itu kadang-kadang disebabkan oleh hal yang sederhana, namun karena tingkat emosi yang kurang stabil sehingga mengakibatkan remaja sangat mudah untuk melakukan hal-hal yang tidak rasional dan cenderung negatif. Kecenderungan perkelahian antar remaja akan lebih signifikan terjadi didaerah pedesaan, hal ini mengingat penduduk didaerah pedesaan yang masih sangat primordial.
            Desa karang talok adalah desa yang berada di wilayah kecamatan ampelgading, kabupaten Pemalang. Akhir-akhir ini pemuda desa Karang talok sering terlibat konflik dengan pemuda desa lain seperti Ampelgading, Karang tengah, dan Banglarangan. Bentuk konfliknya adalah perkelahian antar remaja desa Karang talok dengan remaja di ketiga desa tetangganya. Konflik ini muncul dari adanya benturan-benturan fisik dalam hiburan Organ tunggal yang diselenggarakan oleh salah satu desa tersebut. Dari hal ini kemudian muncul sebuah kontravensi yaitu timbulnya sikap benci dan dendam antar remaja yang berkonflik tersebut. Dimana pun remaja itu bertemu pasti akan terjadi konflik, dan seolah-olah konflik itu telah mendarah daging dan bersifat turun-temurun ke generasi berikutnya.
            Jika hal demikian terus diabaikan, tanpa ada langkah-langkah pengendalian maka akan berdampak pada terjadinya instabilitas intergrasi. Oleh Karena itu, perlu dibahas apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya konflik tersebut. Apakah konflik tersebut semata-mata hanya dipengaruhi oleh faktor sikap ataukah masih ada faktor lain. Dari hal itu lah, kemudian dapat kita ambil langkah-langkah preventif maupun represif sebagai bentuk pengendalian konflik.

B.     Rumusan Masalah

            Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, dapat ditarik sebuah rumusan masalah yaitu sebagai berikut :
            B.1.      Mengapa konflik perkelahian antar remaja di kecamatan Ampelgading dapat
                        terjadi ?
            B.2.      Bagaimana solusi untuk meredam konflik tersebut ?      
  

PEMBAHASAN

A. Perkelahian antar Remaja Desa di Kecamatan Ampelgading
            Dalam periode sembilan tahun terakhir ini, integrasi masyarakat di kecamatan Ampelgading sangat fluktuatif. Hal ini seiring dengan munculnya konflik perkelahian antar remaja yang tidak kunjung usai. Perkelahian antar remaja tersebut melibatkan remaja didesa Karang talok dengan gabungan antar remaja desa Ampelgading, Karang tengah, dan Banglarangan. Dendam antar remaja di beberapa desa tersebut seolah-olah telah mendarah daging dan bahkan konflik ini berlangsung turun-temurun ke generasi berikutnya.
            Konflik perkelahian antar remaja tersebut biasanya meletus ketika ada hiburan organ tunggal yang diselenggarakan dalam khajatan sebuah keluarga atau peringatan-peringatan hari besar nasional, seperti resepsi peringatan HUT kemerdekaan RI atau yang lainnya. Konflik ini dipicu oleh tingkah laku para remaja saat sedang asyik berjoget. Pada saat berjoget tak jarang para remaja terpengaruh oleh alkohol, sehingga hal ini akan mempermudah terjadinya konflik. Benturan sekecil apapun pada saat berjoget dapat berdampak pada munculnya konflik yang hebat. Selain itu, persepsi para remaja yang negatif bahwa mereka menganggap ajang hiburan organ tunggal adalah tempat mereka untuk membalas dendam atas kekalahan pada perkelahian saat hiburan organ tunggal sebelumnya. Tak jarang pula mereka saling membawa massa yang lebih besar, demi menginginkan kemenangan agar dapat dikatakan hebat.  
            Perkelahian antar remaja tersebut merupakan salah satu bentuk kenalakan remaja yang telah bergeser kepada tindakan kriminal yang sangat merisaukan dan mengancam taraf keselamatan dan ketentraman hidup masyarakat. Jika dahulu kenakalan misalnya perkelahian hanya dimaksudkan untuk mendapatkan pengakuan akan “ kejagoan” dan berkelahi dengan tangan kosong maka kini telah mulai menggunakan senjata tajam, potongan besi, parang, maupun clurit untuk membunuh dan melenyapkan saingannya.
            Dalam perkelahian antar remaja tersebut sering mengakibatkan rumah-rumah yang ada disekitar lingkungan acara organ tunggal tersebut menjadi rusak, karena lemparan batu para remaja yang berkonflik, tak jarang korban luka-luka pun terjadi, bahkan kematian. Hal ini sangat meresahkan dan merisaukan warga masyarakat.
A.1.     Faktor pendorong penyebab terjadinya konflik antar remaja
            Secara garis besar, terjadinya konflik tersebut ternyata disebabkan oleh beberapa faktor pendorong yang diantaranya :
            A.1.1.  Rendahnya tingkat pendidikan
            Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ternyata membawa  pengaruh pada sikap seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka tingkah lakunya akan cenderung lebih berhati-hati, tidak menggunakan cara-cara konvensional seperti mengutamakan kekuatan otot. Hal itu karena orang yang berpendidikan tinggi mengetahui norma-norma dan sanksi-sanksi yang ada, dan cenderung bijaksana dalam menanggapi sebuah permasalahan. Keadaan ini sangat berlainan dengan remaja yang berpendidikan rendah, mereka cenderung lebih mengutamakan emosi. Faktor tingginya tingkat pendidikan tidak selurunya mutlak mendorong remaja berkelakuan baik, karena ada faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi dan melengkapi perilaku remaja bertindak baik (sesuai norma) diantaranya psiksis seorang remaja. Namun, hal ini karena tingkat pendidikan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan perilaku (behavior) dari seseorang.
A.1.2.  Sosialisasi yang tidak sempurna
            Kenakalan remaja merupakan sebuah perilaku meyimpang sebagai akibat proses sosialisasi yang tidak sempurna. Keluarga, teman bermain, sekolah, dan media massa merupakan perantara dalam proses sosialisasi. Terkadang pesan-pesan yang disampaikan oleh masing-masing perantara tidak sama atau bahkan bertentangan satu dengan yang lain, karena pesan yang diterima tidak sama dan bahkan bertentangan itulah maka menyebabkan sebuah konflik terjadi. Keluarga dan sekolah biasanya menyampaikan hal-hal yang cenderung positif terhadap remaja,  namun hal itu akan sangat berlainan ketika seorang remaja keluar dari kedua lingkungan tersebut. Seorang remaja harus pandai dalam memilih teman bermain, dalam kehidupan ada kelompok teman yang sering mengajak kepada kegiatan-kegiatan yang baik, seperti belajar berorganisasi. Namun, tak jarang pula banyak kelompok-kelompok pergaulan yang mengarah pada kegiatan-kegiatan yang melawan norma. Misalnya munculnya geng. Kenakalan remaja seperti perkelahian antar remaja yang ada di kecamatan Ampegading itu salah satunya juga disebabkan oleh pengaruh pergaulan dan lingkungan. Lingkungan daerah kecamatan Ampelgading yang banyak berkembang budaya “ nongkrong” di pinggir jalan merupakan salah satu faktor pendorong penyebab terjadinya perkelahian antar remaja. Ketika nongkrong para remaja bercampur antar yang berpendidikan tinggi dan yang sama sekali tidak berpendidikan. Fenomena yang terjadi bukannya yang berpendidikan yang dapat mempengaruhi perilaku mereka yang tidak berpendidikan agar berbuat baik seperti yang berpendidikan. Namun yang terjadi adalah bahwa yang berpendidikan terpengaruh oleh mereka yang tidak berpendidikan yang terbiasa berperilaku menyimpang dari norma.
A.1.3.  Tingkat religiusitas
            Tinggi rendahnya tingkat religiusitas seorang remaja akan sangat berdampak pada perilakunya. Fenomena yang berkembang dalam masyarakat biasanya remaja yang religius memiliki kepribadian yang baik, sedangkan remaja yang tingkat religiusitasnya rendah cenderung berkepribadian yang kurang baik. Secara tidak langsung berarti tingkat religiusitas akan mempengaruhi intensitas kemunculan konflik antar remaja.
A.1.4.  Pengaruh Televisi
            Keberadaan media sangat mempengaruhi tingkah laku para remaja. Televisi adalah media yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat. Banyaknya tayangan-tayangan kekerasan dalam acara televisi turut menyumbang megapa para remaja lebih mengutamakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Mereka seolah-olah tersugesti untuk mengaplikasikan apa yang telah mereka lihat.
Kondisi remaja di kecamatan Ampelgading yang rata-rata berpendidikan rendah dan kondisi lingkungan yang kurang mendukung dengan perkembangan intelektual maupun kepribadian (moral) remaja, sangat membuka peluang munculnya konflik antar remaja.
Budaya “nongkrong” dalam masyarakat di kecamatan Ampelgading sangat membawa efek yang sangat buruk terhadap kepribadian dan mentalitas para remaja. Hal ini disebabkan, karena sejauh ini budaya “nongkrong” yang berkembang dimasyarakat hanya berkutat pada transformasi nilai-nilai negatif. Budaya nongkrong inilah yang menyebabkan semakin berkembangnya konflik antar remaja. Ketika nongkrong biasanya dilancarkan stigma-stigma negatif terhadap remaja lain, bahkan sampai pada penanaman rasa dendam agar memusuhi remaja didesa lain.

B. Solusi yang dapat digunakan untuk meredam konflik tersebut
            Konflik adalah interaksi yang bersifat destruktif yang disertai dengan tindakan kekerasan, permusuhan, dan benturan-benturan fisik untuk saling menghancurkan satu dengan yang lain. Pada dasarnya konflik tidak dapat di lenyapkan, namun konflik hanya dapat diredam. Oleh karena itu perlu adanya upaya-upaya pengendalian sosial. Pengendalian sosial adalah suatu istilah kolektif yang mengacu pada`proses terencana atau tidak yang mengajarkan, membujuk atau memaksa individu untuk menyesuaikan dengan  kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan kelompok (menurut J.S. Roucek).

B.1.      Cara-cara Pengendalian Sosial
            B.1.1.   Tindakan preventif
                        Yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik.
Ada berbagai cara yang dapat digunakan untuk mencegah tejadinya konflik, utamanya konflik yang berkaitan dengan remaja, cara-cara tersebut antara lain:
B.1.1.1.  Membina dan meningkatkan kualitas keluarga sehingga kedua orang tua berkesempatan membina dan mengembangkan kepribadian serta akhlak anak-anak mereka dengan baik dan membahagiakan. Waktu kedua orang tua dirumah perlu diintensifkan penggunaannya terutama dalam berkomunikasi dengan anak-anaknnya supaya rasa kasih sayang, perhatian dan pengarahan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
B.1.1.2.    Membina lingkungan sosial yang sehat dalam arti normatif dan responsive terhadap kejanggalan-kejanggalan perilaku warganya dan selalu berusaha memperbaikinya. Masyarakat yang serba boleh perlu ditinggalkan dan ditegakkan kondisinya agar wajar, sehat, dan luhur. Segala macam bentuk dan kegiatan sosial yang negatif terhadap perkembangan moral, sosial, dan tanggung jawab remaja, dan pemuda perlu dihilangkan.
B.1.1.3.    Menyehatkan kembali materi dan penyajian dalam media massa, baik yang tercetak, maupun yang tersiar melalui elektronika, maupun yang tertayang di layar kaca dan buku-buku serta majalah dan poster-poster film.
B.1.1.4.    Tingkatkan pendidikan keagamaan dalam masyarakat demikian pula kegiatan pendidikan dan pelatihan yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Misalnya melalui kursus-kursus komputer, mengembangkan industri keterampilan yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Pendidikan sangat efektif karena melalui pendidikan utamanya pendidikan moral, kepribadian remaja akan terbentuk. Hasilnya akan sangat efektif jika diringi dengan pendidikan agama, hal ini disebabkan agama sangat intens menyebarkan dan mengajarkan serta mengajak agar umatnya berbudi baik dalam perilaku dan moralitas. Jika pendidikan formal dan pendidikan agama berjalan seiring dalam kehidupan remaja, bukan tidak mungkin akan terbentuk remaja yang berakhlak mulia.

B.1.2.   Tindakan represif
                        Yaitu suatu tindakan yang dilakukan karena penyimpangan telah terjadi, agar keadaan normal kembali. Ada beberapa tindakan yang mencerminkan tindakan represif yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik perkelahian remaja, tindakan tersebut antara lain :

B.1.2.1.    Melalui tindakan coercion
                                         Tindakan coercion adalah tindakan-tindakan yang bersifat pemaksaan.          Hal ini digunakan untuk mengembalikan perilaku remaja ke tatanan norma yang berlaku. Hal ini bisa dilakukan dengan cara pemberian sanksi oleh pihak yang berwajib (aparat kepolisian. Sanksi yang tegas akan membuat para remaja gentar untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku.
B.1.2.2.    Teguran
                  Yaitu berupa perkataan yang sifatnya keras berisi penyalahan atas tindakan orang lain yang dianggap salah. Teguran bisa dilakukan oleh pihak-pihak internal seperti anggota keluarga ataupun dari pihak eksternal yaitu oleh masyarakat luas.
B.1.2.3.    Penyebaran Gosip
                 Yaitu menyebarkan perkataan yang substansinya menyudutkan pihak atau remaja yang melakukan perbuatan menyimpang dari norma seperti perkelahian antar remaja tersebut. Penyebaran gossip danggaps efektif, karena remaja yang bertikai akan malu ketika mendapat cemoohan dari warga masyarakat.
B.1.2.4.    Konsistensi penerapan norma-norma dalam masyarakat
                 Selain peran dari aturan hukum formal,  aturan yang berupa norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat sangat diperlukan dalam rangka mencegah dan menyelaesaikan suatu konflik. Norma yang sangat dijunjung oleh masyarakat akan menciptakan suatu tatanan yang harmonis, sehingga diharapkan terjadinya ketertiban sosial.


Sejak kemunculan fenomena konflik perkelahian antar remaja di kecamatan Ampelgading, utamanya antara remaja desa Karang talok dan gabungan antara  remaja desa Karang tengah,  Ampelgading serta Banglarangan bentuk-bentuk pengendalian sosial yang dilakukan belum optimal. Pengendalian yanga dilakukan hanya bersifat represif, artinya bahwa pengendalian dilakukan setelah konflik terjadi. Dan selama itu belum ada langkah-langkah yang bersifat preventif. Pengendalian yang dilakukan hanya  pengendalian  coercion (paksaan) dari pihak pemerintahan setempat dan aparat kepollisian. Bentuk pengendalian itu memang cukup dapat mengkoordinir konflik yang terjadi, namun hanya bertahan untuk beberapa waktu saja.
Konflik terus berulang-ulang dan seolah-olah telah menjadi dendam antar remaja. Ajang hiburan Organ tunggal yang sedianya berfungsi sebagai sumber hiburan, namun berubah menjadi sumber konflik dan malapetaka. Seyogyanya cara pengandalian konflik harus dilakukan dengan dua arah artinya harus ada langkah preventif dan represif.
Langkah preventif dilakukan dengan cara memperketat akar permasalahan, artinya dilakukan syarat-syarat yang ketat bagi warga yang akan menyelenggarakan hiburan organ tunggal. Hal ini sangat perlu dilakukan karena hiburan organ tunggal lah yang menjadi sarana atau ajang terjadinya konlik antar remaja di kecamatan Ampelgding tersebut. Melakukan secara bersama-sama terhadap adanya budaya nongkrong, jangan sampai budaya nongkrong tersebut digunakan untuk ajang menghimpun kekuatan dan penanaman nilai-nilai dendam kepada remaja. Harus ada inovasi terhadap budaya nongkrong tersebut, masyarakat secara bersama-sama harus mampu mengontrol bahwa remaja cenderung berkumpul karena ada kegiatan-kegiatan yang bersifat positif. Menanamkan nilai-nilai kewirausahaan kepada para remaja, hal ini perlu karena sejauh ini konflik yang terjadi yaitu berasal dari para remaja putus sekolah dan remaja yang tidak mempunyai pekerjaan. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab bersama seluruh masyarakat untuk mampu mengarahkan remaja menjadi seorang wirausaha, dengan begitu remaja akan mempunyai kesibukan. Dengan kesibukan remaja akan  cenderung berfikir positif dan menghindari perilaku-perilaku negatif.
Langkah represif yang perlu dilakukan selain dari pihak pemerintah dan aparat kepolisian, peran dari masyarakat sangat diperlukan. Masyarakat harus mengintensifkan peranan norma-norma yang ada dalam masyarakat sebagai salah satu sumber pengendalian sosial. Konflik terus berlangsung dan cenderung berulang, karena masyarakat sedikit mulai bersikap acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi di sekitar tempat tinggalnya. Nilai-nilai kepekaan dan kebersamaan dalam masyarakat sedikit demi sedikit mulai berkurang. Mereka tidak akan bergerak atau tidak akan tanggap, ketika permasalahan tidak mendera pada diri mereka (individualis dan acuh tak acuh). Sifat-sifat demikian harus dikikis, karena akan berdampak yang tidak baik terhadap keberlangsungan kehidupan mayarakat. Norma harus di junjung tinggi dan harus di sosialisasikan kepada generasi selanjutnya sebagai langkah enkulturasi. Jika norma tersebut di terapkan dan dijunjung tinggi maka hal itu dapat mencegah sekaligus menjadi sebuah solusi ketika terjadi sebuah konflik.
Dalam konflik perkelahian antar remaja desa ini, tidak ada satu pihak pun yang merasa di untungkan. Hal ini di karenakan sepanjang terjadi konflik hanya kerugian yang didapatkan. Rumah-rumah warga menjadi rusak akibat lemparan batu ketika terjadi konflik, korban pun berjatuhan baik itu korban luka-luka bahkan korban tewas.

 PENUTUP

A.        Kesimpulan
A.1.     Konflik perkelahian antar remaja di kecamatan Ampelgading terjadi akibat adanya benturan-benturan saat berjoget ketika hiburan organ tunggal, hal ini merupakan sumber terjadinya masalah.
A.2.     Konflik pada dasarnya tidak dapat di lenyapkan hanya mampu diredam, untuk meredam konflik perkelahian antar remaja tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu preventif (pencegahan) dan represif.

B.        Saran
            B.1.      Perlu adanya peran dari tiga sektor untuk dapat mencegah terjadinya konflik antar remaja yaitu masyarakat baik itu dari konteks keluarga maupun masyarakat luas, pemerintah, dan lembaga aparatur Negara baik itu TNI juga POLRI.
            B.2.      Seyogyanya masyarakat sadar akan faktor pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan agama, karena hal itu akan membawa pengaruh pada`pembentukan sikap kepribadian (moral) remaja, sehingga setidaknya hal ini merupakan langkah preventif untuk mencegah konflik seperti perkelahian antar remaja diatas.



DAFTAR PUSTAKA

Basri, Hasan. 1996. Remaja Berkualitas ( Problematika Remaja dan Solusinya). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Karim, Mulyawan. 2008. Refleksi Karakter. Jakarta: Forum Kajian Antropologi Indonesia
Soekanto, Soerjono. 1996. Remaja dan Masalah-Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius
Indriyawati, Emmy. 2006. Sosiologi SMA 2. Jakarta: Graha Pustaka

2 comments: