PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Remaja adalah mereka
yang telah meninggalkan masa kanak-kanak yang penuh dengan ketergantungan dan
menuju masa pembentukan tanggung jawab, biasanya remaja adalah sekelompok orang
yang berada diantara usia 14-21 tahun (Sungaidi Ardini, 1996: 4). Remaja
biasanya memiliki karakter emosi yang kurang stabil, pendirian yang mudah
berubah-ubah serta menganggap dirinya adalah orang yang paling benar. Faktor
geografis antara desa dan kota
juga dapat menyebabkan perbedaan karakter remaja. Remaja yang tinggal didaerah pedesaan cenderung kurang idealis dibandingkan
dengan pemuda di daerah perkotaan. Pemuda pedesaan menjadi kurang idealis,
karena tingkat pendidikan yang rata-rata masih tergolong rendah. Oleh karena
itu, tingkah laku pemuda di pedesaan cenderung bersifat konvensional. Dalam
menghadapi sebuah permasalahan, remaja pedesaan lebih mengandalkan pada
kekuatan otot dari pada menggunakan cara-cara yang lebih rasional seperti
musyawarah.
Dewasa ini kita sering mendengar kabar tentang
perkelahian antar remaja. Padahal hal itu kadang-kadang disebabkan oleh hal
yang sederhana, namun karena tingkat emosi yang kurang stabil sehingga
mengakibatkan remaja sangat mudah untuk melakukan hal-hal yang tidak rasional
dan cenderung negatif. Kecenderungan perkelahian antar remaja akan lebih
signifikan terjadi didaerah pedesaan, hal ini mengingat penduduk didaerah
pedesaan yang masih sangat primordial.
Desa karang talok adalah desa yang
berada di wilayah kecamatan ampelgading, kabupaten Pemalang. Akhir-akhir ini
pemuda desa Karang talok sering terlibat konflik dengan pemuda desa lain
seperti Ampelgading, Karang tengah, dan Banglarangan. Bentuk konfliknya adalah
perkelahian antar remaja desa Karang talok dengan remaja di ketiga desa tetangganya.
Konflik ini muncul dari adanya benturan-benturan fisik dalam hiburan Organ
tunggal yang diselenggarakan oleh salah satu desa tersebut. Dari hal ini
kemudian muncul sebuah kontravensi yaitu timbulnya sikap benci dan dendam antar
remaja yang berkonflik tersebut. Dimana pun remaja itu bertemu pasti akan
terjadi konflik, dan seolah-olah konflik itu telah mendarah daging dan bersifat
turun-temurun ke generasi berikutnya.
Jika hal demikian terus diabaikan,
tanpa ada langkah-langkah pengendalian maka akan berdampak pada terjadinya
instabilitas intergrasi. Oleh Karena itu, perlu dibahas apa yang menjadi faktor
penyebab terjadinya konflik tersebut. Apakah konflik tersebut semata-mata hanya
dipengaruhi oleh faktor sikap ataukah masih ada faktor lain. Dari hal itu lah,
kemudian dapat kita ambil langkah-langkah preventif maupun represif sebagai
bentuk pengendalian konflik.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang permasalahan diatas, dapat ditarik sebuah rumusan masalah yaitu
sebagai berikut :
B.1. Mengapa
konflik perkelahian antar remaja di kecamatan Ampelgading dapat
terjadi ?
B.2. Bagaimana
solusi untuk meredam konflik tersebut ?
PEMBAHASAN
A.
Perkelahian antar Remaja Desa di Kecamatan Ampelgading
Dalam periode sembilan tahun
terakhir ini, integrasi masyarakat di kecamatan Ampelgading sangat fluktuatif. Hal
ini seiring dengan munculnya konflik perkelahian antar remaja yang tidak
kunjung usai. Perkelahian antar remaja tersebut melibatkan remaja didesa Karang
talok dengan gabungan antar remaja desa Ampelgading, Karang tengah, dan
Banglarangan. Dendam antar remaja di beberapa desa tersebut seolah-olah telah
mendarah daging dan bahkan konflik ini berlangsung turun-temurun ke generasi
berikutnya.
Konflik perkelahian antar remaja
tersebut biasanya meletus ketika ada hiburan organ tunggal yang diselenggarakan
dalam khajatan sebuah keluarga atau peringatan-peringatan hari besar nasional,
seperti resepsi peringatan HUT kemerdekaan RI atau yang lainnya. Konflik ini
dipicu oleh tingkah laku para remaja saat sedang asyik berjoget. Pada saat
berjoget tak jarang para remaja terpengaruh oleh alkohol, sehingga hal ini akan
mempermudah terjadinya konflik. Benturan sekecil apapun pada saat berjoget
dapat berdampak pada munculnya konflik yang hebat. Selain itu, persepsi para
remaja yang negatif bahwa mereka menganggap ajang hiburan organ tunggal adalah
tempat mereka untuk membalas dendam atas kekalahan pada perkelahian saat
hiburan organ tunggal sebelumnya. Tak jarang pula mereka saling membawa massa
yang lebih besar, demi menginginkan kemenangan agar dapat dikatakan hebat.
Perkelahian antar remaja tersebut
merupakan salah satu bentuk kenalakan remaja yang telah bergeser kepada
tindakan kriminal yang sangat merisaukan dan mengancam taraf keselamatan dan
ketentraman hidup masyarakat. Jika dahulu kenakalan misalnya perkelahian hanya
dimaksudkan untuk mendapatkan pengakuan akan “ kejagoan” dan berkelahi dengan
tangan kosong maka kini telah mulai menggunakan senjata tajam, potongan besi, parang,
maupun clurit untuk membunuh dan melenyapkan saingannya.
Dalam perkelahian antar remaja
tersebut sering mengakibatkan rumah-rumah yang ada disekitar lingkungan acara
organ tunggal tersebut menjadi rusak, karena lemparan batu para remaja yang
berkonflik, tak jarang korban luka-luka pun terjadi, bahkan kematian. Hal ini
sangat meresahkan dan merisaukan warga masyarakat.
A.1. Faktor pendorong penyebab terjadinya
konflik antar remaja
Secara
garis besar, terjadinya konflik tersebut ternyata disebabkan oleh beberapa
faktor pendorong yang diantaranya :
A.1.1. Rendahnya tingkat pendidikan
Tinggi rendahnya tingkat pendidikan
ternyata membawa pengaruh pada sikap
seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka tingkah lakunya
akan cenderung lebih berhati-hati, tidak menggunakan cara-cara konvensional
seperti mengutamakan kekuatan otot. Hal itu karena orang yang berpendidikan
tinggi mengetahui norma-norma dan sanksi-sanksi yang ada, dan cenderung
bijaksana dalam menanggapi sebuah permasalahan. Keadaan ini sangat berlainan
dengan remaja yang berpendidikan rendah, mereka cenderung lebih mengutamakan
emosi. Faktor tingginya tingkat pendidikan tidak selurunya mutlak mendorong
remaja berkelakuan baik, karena ada faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi
dan melengkapi perilaku remaja bertindak baik (sesuai norma) diantaranya
psiksis seorang remaja. Namun, hal ini karena tingkat pendidikan mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan perilaku (behavior) dari seseorang.
A.1.2. Sosialisasi yang tidak sempurna
Kenakalan remaja merupakan sebuah
perilaku meyimpang sebagai akibat proses sosialisasi yang tidak sempurna.
Keluarga, teman bermain, sekolah, dan media massa merupakan perantara dalam proses
sosialisasi. Terkadang pesan-pesan yang disampaikan oleh masing-masing
perantara tidak sama atau bahkan bertentangan satu dengan yang lain, karena
pesan yang diterima tidak sama dan bahkan bertentangan itulah maka menyebabkan
sebuah konflik terjadi. Keluarga dan sekolah biasanya menyampaikan hal-hal yang
cenderung positif terhadap remaja, namun
hal itu akan sangat berlainan ketika seorang remaja keluar dari kedua
lingkungan tersebut. Seorang remaja harus pandai dalam memilih teman bermain,
dalam kehidupan ada kelompok teman yang sering mengajak kepada kegiatan-kegiatan
yang baik, seperti belajar berorganisasi. Namun, tak jarang pula banyak
kelompok-kelompok pergaulan yang mengarah pada kegiatan-kegiatan yang melawan
norma. Misalnya munculnya geng. Kenakalan remaja seperti perkelahian antar
remaja yang ada di kecamatan Ampegading itu salah satunya juga disebabkan oleh
pengaruh pergaulan dan lingkungan. Lingkungan daerah kecamatan Ampelgading yang
banyak berkembang budaya “ nongkrong”
di pinggir jalan merupakan salah satu faktor pendorong penyebab terjadinya
perkelahian antar remaja. Ketika nongkrong
para remaja bercampur antar yang berpendidikan tinggi dan yang sama sekali
tidak berpendidikan. Fenomena yang terjadi bukannya yang berpendidikan yang
dapat mempengaruhi perilaku mereka yang tidak berpendidikan agar berbuat baik
seperti yang berpendidikan. Namun yang terjadi adalah bahwa yang berpendidikan
terpengaruh oleh mereka yang tidak berpendidikan yang terbiasa berperilaku
menyimpang dari norma.
A.1.3. Tingkat religiusitas
Tinggi rendahnya tingkat religiusitas
seorang remaja akan sangat berdampak pada perilakunya. Fenomena yang berkembang
dalam masyarakat biasanya remaja yang religius memiliki kepribadian yang baik,
sedangkan remaja yang tingkat religiusitasnya rendah cenderung berkepribadian
yang kurang baik. Secara tidak langsung berarti tingkat religiusitas akan
mempengaruhi intensitas kemunculan konflik antar remaja.
A.1.4. Pengaruh Televisi
Keberadaan media sangat mempengaruhi
tingkah laku para remaja. Televisi adalah media yang paling banyak dimiliki
oleh masyarakat. Banyaknya tayangan-tayangan kekerasan dalam acara televisi
turut menyumbang megapa para remaja lebih mengutamakan kekerasan dalam
menyelesaikan masalah. Mereka seolah-olah tersugesti untuk mengaplikasikan apa
yang telah mereka lihat.
Kondisi remaja di kecamatan
Ampelgading yang rata-rata berpendidikan rendah dan kondisi lingkungan yang
kurang mendukung dengan perkembangan intelektual maupun kepribadian (moral)
remaja, sangat membuka peluang munculnya konflik antar remaja.
Budaya “nongkrong” dalam masyarakat di kecamatan Ampelgading sangat
membawa efek yang sangat buruk terhadap kepribadian dan mentalitas para remaja.
Hal ini disebabkan, karena sejauh ini budaya “nongkrong” yang berkembang dimasyarakat hanya berkutat pada
transformasi nilai-nilai negatif. Budaya nongkrong
inilah yang menyebabkan semakin berkembangnya konflik antar remaja. Ketika nongkrong biasanya dilancarkan
stigma-stigma negatif terhadap remaja lain, bahkan sampai pada penanaman rasa
dendam agar memusuhi remaja didesa lain.
B. Solusi yang dapat digunakan untuk meredam
konflik tersebut
Konflik adalah interaksi yang bersifat destruktif yang
disertai dengan tindakan kekerasan, permusuhan, dan benturan-benturan fisik
untuk saling menghancurkan satu dengan yang lain. Pada dasarnya konflik tidak
dapat di lenyapkan, namun konflik hanya dapat diredam. Oleh karena itu perlu
adanya upaya-upaya pengendalian sosial. Pengendalian sosial adalah suatu
istilah kolektif yang mengacu pada`proses terencana atau tidak yang
mengajarkan, membujuk atau memaksa individu untuk menyesuaikan dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan
kelompok (menurut J.S. Roucek).
B.1. Cara-cara Pengendalian Sosial
B.1.1. Tindakan preventif
Yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan untuk
mencegah terjadinya konflik.
Ada
berbagai cara yang dapat digunakan untuk mencegah tejadinya konflik, utamanya
konflik yang berkaitan dengan remaja, cara-cara tersebut antara lain:
B.1.1.1. Membina dan meningkatkan kualitas keluarga
sehingga kedua orang tua berkesempatan membina dan mengembangkan kepribadian
serta akhlak anak-anak mereka dengan baik dan membahagiakan. Waktu kedua orang
tua dirumah perlu diintensifkan penggunaannya terutama dalam berkomunikasi
dengan anak-anaknnya supaya rasa kasih sayang, perhatian dan pengarahan dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
B.1.1.2. Membina lingkungan sosial yang sehat dalam
arti normatif dan responsive terhadap kejanggalan-kejanggalan perilaku warganya
dan selalu berusaha memperbaikinya. Masyarakat yang serba boleh perlu ditinggalkan
dan ditegakkan kondisinya agar wajar, sehat, dan luhur. Segala macam bentuk dan
kegiatan sosial yang negatif terhadap perkembangan moral, sosial, dan tanggung
jawab remaja, dan pemuda perlu dihilangkan.
B.1.1.3. Menyehatkan kembali materi dan penyajian
dalam media massa,
baik yang tercetak, maupun yang tersiar melalui elektronika, maupun yang
tertayang di layar kaca dan buku-buku serta majalah dan poster-poster film.
B.1.1.4. Tingkatkan pendidikan keagamaan dalam
masyarakat demikian pula kegiatan pendidikan dan pelatihan yang bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat. Misalnya melalui kursus-kursus komputer, mengembangkan
industri keterampilan yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Pendidikan
sangat efektif karena melalui pendidikan utamanya pendidikan moral, kepribadian
remaja akan terbentuk. Hasilnya akan sangat efektif jika diringi dengan
pendidikan agama, hal ini disebabkan agama sangat intens menyebarkan dan
mengajarkan serta mengajak agar umatnya berbudi baik dalam perilaku dan
moralitas. Jika pendidikan formal dan pendidikan agama berjalan seiring dalam
kehidupan remaja, bukan tidak mungkin akan terbentuk remaja yang berakhlak
mulia.
B.1.2. Tindakan represif
Yaitu suatu tindakan
yang dilakukan karena penyimpangan telah terjadi, agar keadaan normal kembali. Ada beberapa tindakan
yang mencerminkan tindakan represif yang dapat dilakukan untuk mengatasi
konflik perkelahian remaja, tindakan tersebut antara lain :
B.1.2.1. Melalui tindakan coercion
Tindakan
coercion adalah tindakan-tindakan yang bersifat pemaksaan. Hal ini digunakan untuk mengembalikan
perilaku remaja ke tatanan norma yang berlaku. Hal ini bisa dilakukan dengan
cara pemberian sanksi oleh pihak yang berwajib (aparat kepolisian. Sanksi yang
tegas akan membuat para remaja gentar untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku.
B.1.2.2. Teguran
Yaitu berupa perkataan yang sifatnya keras
berisi penyalahan atas tindakan orang lain yang dianggap salah. Teguran bisa
dilakukan oleh pihak-pihak internal seperti anggota keluarga ataupun dari pihak
eksternal yaitu oleh masyarakat luas.
B.1.2.3. Penyebaran Gosip
Yaitu menyebarkan perkataan
yang substansinya menyudutkan pihak atau remaja yang melakukan perbuatan
menyimpang dari norma seperti perkelahian antar remaja tersebut. Penyebaran
gossip danggaps efektif, karena remaja yang bertikai akan malu ketika mendapat
cemoohan dari warga masyarakat.
B.1.2.4. Konsistensi penerapan norma-norma dalam
masyarakat
Selain peran dari aturan hukum
formal, aturan yang berupa norma-norma
dan nilai-nilai dalam masyarakat sangat diperlukan dalam rangka mencegah dan
menyelaesaikan suatu konflik. Norma yang sangat dijunjung oleh masyarakat akan
menciptakan suatu tatanan yang harmonis, sehingga diharapkan terjadinya
ketertiban sosial.
Sejak kemunculan fenomena
konflik perkelahian antar remaja di kecamatan Ampelgading, utamanya antara
remaja desa Karang talok dan gabungan antara
remaja desa Karang tengah, Ampelgading
serta Banglarangan bentuk-bentuk pengendalian sosial yang dilakukan belum
optimal. Pengendalian yanga dilakukan hanya bersifat represif, artinya bahwa
pengendalian dilakukan setelah konflik terjadi. Dan selama itu belum ada langkah-langkah yang bersifat
preventif. Pengendalian yang dilakukan hanya
pengendalian coercion (paksaan) dari pihak pemerintahan setempat dan aparat
kepollisian. Bentuk pengendalian itu memang cukup dapat mengkoordinir konflik
yang terjadi, namun hanya bertahan untuk beberapa waktu saja.
Konflik terus berulang-ulang dan seolah-olah telah menjadi
dendam antar remaja. Ajang hiburan Organ tunggal yang sedianya berfungsi
sebagai sumber hiburan, namun berubah menjadi sumber konflik dan malapetaka. Seyogyanya
cara pengandalian konflik harus dilakukan dengan dua arah artinya harus ada
langkah preventif dan represif.
Langkah preventif dilakukan
dengan cara memperketat akar permasalahan, artinya dilakukan syarat-syarat yang
ketat bagi warga yang akan menyelenggarakan hiburan organ tunggal. Hal ini
sangat perlu dilakukan karena hiburan organ tunggal lah yang menjadi sarana atau ajang terjadinya konlik antar remaja
di kecamatan Ampelgding tersebut. Melakukan secara bersama-sama terhadap adanya
budaya nongkrong, jangan sampai
budaya nongkrong tersebut digunakan
untuk ajang menghimpun kekuatan dan penanaman nilai-nilai dendam kepada remaja.
Harus ada inovasi terhadap budaya nongkrong
tersebut, masyarakat secara bersama-sama harus mampu mengontrol bahwa remaja
cenderung berkumpul karena ada kegiatan-kegiatan yang bersifat positif.
Menanamkan nilai-nilai kewirausahaan kepada para remaja, hal ini perlu karena
sejauh ini konflik yang terjadi yaitu berasal dari para remaja putus sekolah
dan remaja yang tidak mempunyai pekerjaan. Oleh karena itu, menjadi tanggung
jawab bersama seluruh masyarakat untuk mampu mengarahkan remaja menjadi seorang
wirausaha, dengan begitu remaja akan mempunyai kesibukan. Dengan kesibukan
remaja akan cenderung berfikir positif
dan menghindari perilaku-perilaku negatif.
Langkah represif yang perlu
dilakukan selain dari pihak pemerintah dan aparat kepolisian, peran dari
masyarakat sangat diperlukan. Masyarakat harus mengintensifkan peranan
norma-norma yang ada dalam masyarakat sebagai salah satu sumber pengendalian
sosial. Konflik terus berlangsung dan cenderung berulang, karena masyarakat
sedikit mulai bersikap acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi di sekitar
tempat tinggalnya. Nilai-nilai kepekaan dan kebersamaan dalam masyarakat
sedikit demi sedikit mulai berkurang. Mereka tidak akan bergerak atau tidak
akan tanggap, ketika permasalahan tidak mendera pada diri mereka (individualis
dan acuh tak acuh). Sifat-sifat demikian harus dikikis, karena akan berdampak
yang tidak baik terhadap keberlangsungan kehidupan mayarakat. Norma harus di
junjung tinggi dan harus di sosialisasikan kepada generasi selanjutnya sebagai
langkah enkulturasi. Jika norma
tersebut di terapkan dan dijunjung tinggi maka hal itu dapat mencegah sekaligus
menjadi sebuah solusi ketika terjadi sebuah konflik.
Dalam konflik perkelahian antar
remaja desa ini, tidak ada satu pihak pun yang merasa di untungkan. Hal ini di
karenakan sepanjang terjadi konflik hanya kerugian yang didapatkan. Rumah-rumah
warga menjadi rusak akibat lemparan batu ketika terjadi konflik, korban pun
berjatuhan baik itu korban luka-luka bahkan korban tewas.
PENUTUP
A. Kesimpulan
A.1. Konflik perkelahian antar remaja di
kecamatan Ampelgading terjadi akibat adanya benturan-benturan saat berjoget
ketika hiburan organ tunggal, hal ini merupakan sumber terjadinya masalah.
A.2. Konflik pada dasarnya tidak dapat di
lenyapkan hanya mampu diredam, untuk meredam konflik perkelahian antar remaja
tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu preventif (pencegahan) dan
represif.
B. Saran
B.1. Perlu adanya peran dari tiga sektor untuk
dapat mencegah terjadinya konflik antar remaja yaitu masyarakat baik itu dari
konteks keluarga maupun masyarakat luas, pemerintah, dan lembaga aparatur
Negara baik itu TNI juga POLRI.
B.2. Seyogyanya
masyarakat sadar akan faktor pendidikan baik pendidikan formal maupun
pendidikan agama, karena hal itu akan membawa pengaruh pada`pembentukan sikap
kepribadian (moral) remaja, sehingga setidaknya hal ini merupakan langkah
preventif untuk mencegah konflik seperti perkelahian antar remaja diatas.
DAFTAR
PUSTAKA
Basri,
Hasan. 1996. Remaja Berkualitas ( Problematika Remaja dan
Solusinya). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Karim,
Mulyawan. 2008. Refleksi Karakter. Jakarta: Forum Kajian Antropologi Indonesia
Soekanto, Soerjono. 1996. Remaja dan Masalah-Masalahnya. Yogyakarta:
Kanisius
Indriyawati,
Emmy. 2006. Sosiologi SMA 2. Jakarta: Graha Pustaka
GA SEGITUNYA KALI.......
ReplyDeleteMungkin juga tidak sebegitunya,
ReplyDeleteterima kasih.