·
Meliputi pendekatan dan atau perspektif yang kompleks dan beragam (diversified).
·
Pemetaan perspektif tentang kota:
Aliran Pemikiran (school)
|
Fokus Perhatian
(main concern)
|
· Paradigma Ekologi Urban:
ü
Ferdinand Tonnies
ü
Emile Durkheim
ü
Georg Simmel
·
Paradigma Ekonomi Politik:
ü
Karl Marx
ü
Friedriech Engels
ü
Max Weber
· The Chicago School
· The German
School
|
· Perubahan Sosial
· Organisasi Sosial
· Ekologi
· Problem-problem Sosial
· Kebijakan Sosial
· Perempuan dan Kota
|
Di
luar itu, seluruh perspektif di dalam sosiologi dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan fenomena kehidupan masyarakat kota.
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam memahami perspektif tentang kota:
1. Tidak ada pandangan yang
sama terhadap obyek analisis. Sebagai contoh, analisis terhadap krisis yang
terjadi dan dialami oleh masyarakat di dalam kehidupan kota, seringkali, merefleksikan kecenderungan
berfikir dan pengalaman peneliti.
2. Identifikasi terhadap
sebab-sebab utama persoalan-persoalan kota
sangat beragam dan terus mengalami perubahan. Contoh: kriminalitas di perkotaan
bisa jadi muncul dari beragam faktor, seperti, urbanisasi yang cepat, broken family life, ketidakmatangan
spiritual, kemiskinan, dan lain sebagainya.
Beberapa
aspek kehidupan kota:
1. Populasi
2. Perumahan/pemukiman
3. Kemiskinan
4. Sektor Informal
5. Gelandangan
6. Kriminalitas
7. Hubungan Antaretnik, Ras,
dan Kelas Sosial
8. Transportasi
9. Isu Lingkungan: Polusi dan
Sanitasi
10. Tehnologi dan Masyarakat
11. Gaya Hidup
12. Urbanisasi
5 (LIMA) PERSPEKTIF TENTANG KEHIDUPAN KOTA
(The Sociology of Urban Life. Harry Gold,
1982. Prentice-Hal Inc., Englewood, NJ., USA).
1. Perubahan
Sosial
Fokus
perhatian perspektif ini adalah kepada proses urbanisasi. Menurut Gold,
urbanisasi memiliki 4 (empat) karakter yaitu:
·
Irreversibility. Dalam karakter ini,
urbanisasi adalah sebuah proses yang tidak pernah mengembalikan kondisi yang
ada ke arah semula. Dengan perkataan lain, sekali sebuah wilayah mengalami
urbanisasi maka wilayah tersebut tidak akan kembali menjadi pre-urban. Dalam hal
ini, urbanisasi diartikan sebagai mengkotanya suatu wilayah. Di samping itu, menurut
Gold, urbanisasi yang demikian itu biasanya bersamaan dengan perkembangan
industrialisasi.
·
Catatan: Dalam era modern ini, urbanisasi adalah juga proses kapitalisasi
dan perubahan konsumsi. Artinya, bidang perdagangan menjadi aspek utama
mengkotanya suatu wilayah. Melalui dukungan masuknya media, khususnya televisi,
ke pelosok-pelosok maka perdagangan menjadi instrumen perubahan pola konsumsi
masyarakat. Oleh sebab, sebagaimana banyak diketahui, media televisi
menyebarkan produk-produk industri beserta pencitraannya. Dengan cara demikian,
mengkonsumsi produk industri adalah mengkonsumsi citra. Sebagai contoh: “Yang segarnya mantab” adalah Coca-Cola,
bukannya air kelapa muda.
·
Suddenness. Menurut Gold, urbanisasi
pertama kali terjadi pertama kali pada Abad XIX dan XX. Dalam keseluruhan
sejarah hidup umat manusia, saat itulah manusia mengenal proses urbanisasi,
yang memang tidak pernah ada sebelumnya. Sebelum terjadinya proses tersebut,
kota-kota selalu terpisah – atau dipisahkan - dari wilayah di luarnya. Kota dikelilingi oleh
benteng beserta paritnya. Kota
menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan. Contoh: sejarah kota-kota di Eropa;
di Indonesia, hal itu juga berlaku di Banda Aceh pada zaman Iskandar Muda di
Abad XVI, juga masa-masa awal Kasultanan Jogjakarta dan Kasunanan Surakarta
pada abad yang sama. Berdasarkan contoh-contoh tersebut, tepat kiranya jika
proses urbanisasi merupakan proses yang tiba-tiba muncul dan menjadi bagian
kehidupan yang baru bagi umat manusia.
·
Acceleration. Dalam arti ini, urbanisasi merupakan proses yang
akseleratif. Begitu suatu wilayah membuka diri pada perubahan maka ia akan mengalami
percepatan perkembangan. Sebagai contoh: sekitar sepuluh tahun yang lalu Tegal masih
menjadi ibu kota bagi Kabupaten Tegal. Namun
sekarang, di samping telah menjadi Pemerintah Kota Tegal yang terpisah dari
Kabupaten Tegal sendiri – yang beribukota di Slawi, Kota Tegal diramaikan pula
oleh pusat-pusat perdagangan yang khas kota modern: Mal! Percepatan tersebut
tidak hanya mengubah wajah Kota Tegal melainkan juga menyedot pusat perdagangan
yang sebelumnya yaitu Purwokerto.
·
Discontinuity. Urbanisasi membawa serta perubahan atas
nilai-nilai lama oleh yang baru. Dengan cara demikian, nilai-nilai lama diganti
oleh nilai-nilai baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Nilai-nilai lama
kemudian ditinggalkan dan masyarakat hidup dengan nilai-nilai dan pola
kehidupan yang baru sama sekali. Sebagai gambaran, pola konsumsi, cara hidup, world view masyarakat menjadi berubah
bersamaan dengan proses urbanisasi. Kesenian tradisional sudah diganti dengan
organ tunggal yang menyuguhkan lagu-lagu pop baru maupun dangdut, dalam
perhelatan-perhelatan resmi.
2. Organisasi Sosial
Perspektif
ini memfokuskan perhatiannya kepada bentuk-bentuk kehidupan yang mendasar pada
masyarakat kota
sebagai akibat langsung dari proses pengkotaan (baca: urbanisasi). Proses tersebut
membawa serta perubahan bentuk kehidupan yang kompleks pada jaringan hubungan antarindividu,
kelompok, struktur birokratik, dan lembaga-lembaga sosial. unit analisisnya
antara lain adalah sebagai berikut.
·
Individu. Individu kota
biasanya digambarkan memiliki tatanan personalitas dan gaya hidup individual yang berbeda dengan
individu perdesaan. Di samping itu, bentuk personalitas dan gaya
hidup individu kota
merupakan mekanisme untuk menyesuaikan diri dan bertahan hidup dalam lingkungan
sosial perkotaan yang kompleks. Atas dasar asumsi ini, analisis sosiologis
seringkali difokuskan kepada sikap, nilai-nilai, persepsi, dan pengenaan
simbol-simbol yang ada pada individu kota.
·
Kelompok Primer. Kelompok seperti ini
adalah kelompok dengan skala kecil yang anggota di dalamnya memiliki hubungan personal
dan face-to-face. Contoh untuk ini
adalah pasangan suami isteri, keluarga, kekerabatan, dan persahabatan. Menurut para
ahli, bersamaan dengan berkembangnya struktur yang kompleks dalam kehidupan
perkotaan, hubungan-hubungan dalam Kelompok Primer tersebut menjadi berubah
secara fungsional. Persahabatan, sebagai contoh, tidak lagi dibangun melalui
nilai-nilai tradisional seperti kesamaan tempat tinggal, norma, tradisi,
kultur, suku, etnik, agama dan sejenisnya. Persahabatan telah diatur oleh kebutuhan
dan kepentingan yang sama dalam upaya menyesuaikan diri dengan kehidupan
perkotaan yang kompleks. Persahabatan muncul di dalam kerangka nilai-nilai yang
ada di dalam lembaga-lembaga sosial khas perkotaan seperti sekolah,
universitas, dan perkantoran. Bersamaan dengan terlepasnya seseorang dari
institusi semacam itu maka terputus pula persahabatan yang dibangunnya di dalam
institusi tersebut.
·
Lingkungan Ketetanggaan. Ini adalah kelompok sosial
yang lebih luas dan kompleks dari kelompok primer namun lebih informal dan
kurang kompleks daripada organisasi birokratik. Para
sosiolog tidak begitu yakin bahwa lingkungan ketetanggaan mampu menciptakan
nilai-nilai sosial yang mengikat dan atau mengatur warganya, menjadi arena
partisipasi, dan menciptakan simbol-simbol lokal. Namun demikian, harus diakui,
lingkungan ketetanggaan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari struktur
kehidupan modern kota.
·
Contoh kasus: Walikota Jogjakarta menyatakan, kampung yang jalannya
banyak dibangun ‘Polisi Tidur’ maka artinya warga kampung itu sendiri yang
susah diatur, bukan orang yang hanya lewat di jalan dan atau kampung tersebut. Pernyataan
tersebut secara sosiologis dapat dibenarkan. Namun demikian, secara sosiologis
pula, ‘Polisi Tidur’ juga dapat dimaknai sebagai refleksi ketidakmampuan warga
setempat untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas di wilayahnya. ‘Polisi
Tidur’ juga menjadi simbol identitas sosial bagi warga setempat yang berfungsi
sebagai instrumen untuk menunjukkan kekuasaannya kepada siapa saja yang
melewati wilayahnya.
·
Organisasi Birokratik. Organisasi ini meliputi
jaringan peranan atau posisi yang terinci dan diatur dalam pembagian kerja yang
hirarkhis. Perilaku individu-individu di dalamnya diatur, diikat, dan dibatasi
oleh aturan yang tertulis. Birokrasi menjadi sangat signifikan bagi kehidupan
masyarakat kota
karena segala bentuk kebutuhan dan pelayanan esensial hanya akan terpenuhi
melalui proses yang birokratik tersebut. Dalam kehidupan perkotaan, birokrasi
menumbuhkan hubungan-hubungan yang impersonal dan tidak responsif terhadap
kebutuhan-kebutuhan individual.
3. Ekologis
Perspektif
ini memberikan perhatian terhadap proses dan bentuk upaya manusia menyesuaikan
diri dengan lingkungan perkotaan. Komunitas Urban adalah bentuk utama
penyesuaian tersebut. Dengan demikian, Komunitas Urban dapat dipandang sebagai Ekosistem. Mengutip pendapat Otis Dudley
Duncan, Gold menyatakan adanya beberapa variabel ekosistem secara menyeluruh. Variabel-variabel
tersebut adalah sebagai berikut.
·
Populasi. Salah satu karakteristik
signifikan dalam Komunitas Urban adalah ukuran populasinya. Ukuran populasi
komunitas ini merefleksikan lingkungannya, tehnologi, dan organisasi sosialnya.
Sebaliknya, lingkungan, tehnologi, dan organisasi sosial tersebut juga
membatasi ukuran populasi. Kepadatan, distribusi, dan rata-rata pertumbuhannya
akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen-komponen lain di dalam
Ekosistem. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam populasi mengindikasikan
adanya perubahan tehnologi, organisasi sosial, atau keduanya sekaligus.
·
Lingkungan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah lingkungan
alamiah seperti iklim, topografi, kondisi tanah, dan saluran air. Faktor-faktor
ini memiliki kontribusi dalam membatasi ukuran dan kepadatan populasi. Dalam rangka
mengakomodasi kondisi lingkungan tersebut, Komunitas Urban mengaplikasikan tehnologi,
kultur, dan organisasi sosial untuk memodifikasi lingkungan tersebut beserta
efek-efeknya. Upaya memodifikasi dan pengaturan penggunaan tanah, dengan
demikian, menjadi bagian perkembangan kota.
Di samping itu, muncul pula persoalan-persoalan semacam berkurangnya
sumber-sumber alam, terjadinya polusi udara, tanah, dan air. Kasus banjir di
Jakarta beberapa waktu yang lalu merefleksikan beragam hal mulai dari
penggunaan tanah yang tak terkendali pada daerah-daerah serapan air (Cisarua),
saluran air yang tidak terawat dan tidak siap menampung air dalam jumlah
tertentu, hingga kepada perilaku warga Jakarta sendiri – pemerintah maupun
warga umum - yang tidak peduli dengan sampah-sampah di sungai dan atau saluran
air hujan.
·
Tehnologi. Sejak awal, tehnologi
telah berperan penting dalam mengubah ukuran, struktur fisik, dan organisasi
sosial Komunitas Urban. Kemajuan tehnologi manufaktur, transportasi, dan komunikasi
mempengaruhi setiap aspek pertumbuhan kota.
Kepemilikan kendaraan bermotor dan perkembangan jenis transportasi, misalnya,
memungkinkan orang untuk tinggal di wilayah-wilayah pinggiran. Dalam perkembangannya
kemudian, wilayah-wilayah pinggiran ini pun akhirnya mengalami proses
urbanisasi (baca: proses pengkotaan) dan menjadi bagian dari kota
atau tumbuh menjadi kota
baru. Contoh kasus: perkembangan kota
Tangerang, Bekasi, dan, paling akhir, Depok.
4. Problem Sosial
Hampir
semua persoalan kontemporer di perkotaan berkaitan dengan proses urbanisasi. Beberapa
problem perkotaan seperti kriminalitas, permukiman kumuh, kemiskinan,
pengangguran, konflik kelas, mental
illness, serta peredaran dan penyalahgunaan obat-obat terlarang seringkali
dikategorikan sebagai Krisis Urban (urban
criusis). Namun demikian, perlu
diketahui kiranya bahwa rantai keterkaitan antara urbanisasi dengan krisis
urban tersebut tidaklah mudah untuk diamati. Beberapa hal yang perlu menjadi
perhatian dalam meneliti persoalan-persoalan sosial pada kehidupan perkotaan
adalah sebasgai berikut.
·
Tidak ada pandangan yang sama mengenai apa persoalan sosial perkotaan
tersebut, siapa pula yang mengalami dan menderita oleh karenanya atau pada
tingkat mana persoalan-persoalan semacam itu dianggap sebagai krisis.
·
Para ilmuwan sosial belum cukup
berhasil dalam mengidentifikasi sebab-sebab utama persoalan-persoalan sosial di
perkotaan dan beragam teori muncul berkompetisi dalam menjelaskan persoalan
sosial tersebut.
·
Beragam opini muncul sebagai upaya untuk memecahkan segala sesuatu yang
dianggap sebagai persoalan sosial perkotaan.
5. Kebijakan
Sosial
Perspektif
ini berkenaan dengan kebijakan-kebijakan yang berkait dengan upaya untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan sosial di perkotaan. Pertanyaan yang selalu
diajukan dalam perspektif ini dalam mencoba mencari tahu jawaban atas persoalan-persoalan
yang timbul adalah:
·
Apakah kita menyalahkan begitu saja lingkungan atau sistem dan
memaafkan kesalahan manusia atau sebaliknya kita salahkan manusianya?
·
Apakah penggunaan ukuran nasional merupakan keputusan yang tepat atau
upaya-upaya yang dilakukan oleh komunitas lokal lebih tepat?
Kesimpulan yang ditarik oleh Harry Gold kemudian adalah bahwa
persoalan sosial mesti diselesaikan melalui tindakan sosial kolektif.
PERSPEKTIF TEORITIS TENTANG KOTA
(Cities, Change & Conflict: A Political Economy of Urban Life.
Nancy Kleniewski, 2006, Thomson Wadsworth, Belmont, CA,
USA).
Dalam
melaksanakan penelitian terhadap kehidupan perkotaan, ilmuwan sosial memilih
pertanyaan penelitiannya berdasarkan asumsi fundamental bagaimana dunia sosial
ini berjalan. Di samping itu, dalam menentukan subyek kajiannya ilmuwan sosial dipandu
oleh beragam paradigma. Paradigma adalah sekumpulan konsep, pertanayaan
penelitian, dan teori-teori yang saling berkaitan dan dipandang sebagai alat
yang bermanfaat dalam memahami dan menjelaskan dunia sosial. Dalam studi-studi
tentang kota,
paradigma yang paling dominan pada paruh awal abad XX adalah Ekologi Urban. Sementara itu, pada
tahun-tahun terakhir ini, berkembang paradigma yang kedua yaitu Ekonomi Politik Urban. Berikut penjelasannya
secara ringkas.
Paradigma Ekologi Urban
Paradigma
ini berbagi asumsi dan teori yang berkenaan dengan organisasi sosial dan
fungsionalisme struktural. Keduanya lebih menekankan kepada asumsi bahwa
terdapat interaksi yang tertata antara bagian-bagian yang saling bergantung
dalam sistem sosial perkotaan. Di samping itu, dalam paradigma ini juga diasumsikan
bahwa kehidupan perkotaan berkaitan erat dengan perubahan yang terjadi dalam
industrialisasi, sekularisasi, dan modernisasi. Atas dasar kedua asumsi inilah
maka para ilmuwan sosial awal lebih banyak memfokuskan perhatiannya kepada
proses transformasi sosial dari kehidupan tradisional perdesaan kepada
kehidupan perkotaan modern.
Dalam paradigma awal ini, Ferdinand Tonnies (1855 – 1936) merupakan peletak dasar yang cukup
populer. Dalam pemikirannya, Tonnies membedakan kehidupan antara wilayah
perdesaan dengan perkotaan. Tonnies memotret gemeinschaft sebagai kehidupan tradisional dalam komunitas yang
kecil. Dalam kehidupan seperti ini, orang-orang yang ada di dalamnya berkait
dan berhubungan sangat dekat secara sosial. Kehidupan mereka ini diikat,
dihubungkan, dan diatur oleh pertalian kekerabatan (kinship). Di samping itu, perilaku sosial mereka ini ditentukan dan
diatur oleh kontrol sosial yang dilakukan oleh lingkungan ketetanggaan dan institusi
keagamaan. Untuk mendeskripsikan kehidupan yang kontras dari itu, Tonnies
mengungkapkan konsep gesselschaft
yang menurutnya merupakan peri kehidupan masyarakat perkotaan modern. Di dalam
kehidupan semacam itu, orang-orang yang tinggal di dalamnya bertindak secara
individual demi kepentingan masing-masing. Keterikatan satu dengan yang lain
hanya dimungkinkan sejauh hal itu diatur oleh hukum-hukum formal, kontrak, atau
opini publik yang membatasi tindakan-tindakan mereka. Melalui kedua konsep
tersebut, Tonnies juga berkeyakinan bahwa industrialisasi dan urbanisasi telah
mengubah wajah komunitas lokal. Di zamannya, Tonnies melihat bahwa kehadiran
dan berkembangnya kehidupan kota yang impersonal telah menyingkirkan komunitas
kecil dan penuh kekerabatan yang berorientasi kekeluargaan.
Ilmuwan Sosial berikutnya dalam paradigma ini
adalah Emile Durkheim (1858 – 1917).
Menurut Durkheim, transisi sosial sebagaimana yang diperlihatkan oleh Tonnies
di atas akan mempengaruhi kohesi sosial atau yang oleh Durkheim sendiri
disebutnya sebagai solidaritas sosial. Dalam pemikiran Durkheim, masyarakat
sederhana (kurang lebih gemeinschaft,
dalam pemikiran Tonnies) membangun
kohesifitas mereka atas dasar kesamaan-kesamaan diantara anggota-anggotanya. Setiap
orang di wilayah tersebut bersaudara atau setidaknya mengenal dengan baik satu
dengan yang lain. Hampir semua orang mempraktekkan nilai-nilai religius dan
pandangan (worldview) yang sama. Dalam masyarakat seperti itu
pula, latar belakang etnik, nilai-nilai sosial-kultural, dan distribusi
pekerjaan sangat tidak bervariasi. Durkheim menyebut masyarakat yang memiliki
kohesivitas sosial semacam itu sebagai masyarakat yang memiliki solidaritas sosial mekanis. Dalam masyarakat
yang lebih kompleks, modern, perkotaan, menurut Durkheim, orang-orang yang ada di
dalamnya berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka meyakini agama, berafiliasi
politik, etnik, dan latar belakang keluarga yang beragam. Solidaritas sosial di
perkotaan modern, menurut Durkheim, tidak didasarkan atas kesamaan-kesamaan
melainkan oleh ketergantungan pada posisi sosial dan okupasional masing-masing.
Kohesivitas sosial semacam ini, oleh Durkheim, disebut sebagai solidaritas sosial organis, seperti
halnya hubungan antar bagian dalam sebuah organisme.
Pemikiran Tonnies dan Durkheim melihat
perkembangan dan perubahan kelembagaan dan kultur sosial masyarakat dalam scope makrososial. Berbeda dengan
keduanya, Georg Simmel (1858 – 1918),
melihat dalam scope yang lebih
mikrososial. Simmel tidak berupaya memperbandingkan antara masyarakat perdesaan
dengan perkotaan. Ia lebih memfokuskan perhatiannya kepada perkembangan yang
terjadi dalam kehidupan manusia yang hidsup di perkotaan. Menurut pengamatan
Simmel, orang yang hidup di perkotaan seringkali harus berhubungan dengan
orang-orang lain yang tidak dikenalnya (stranger).
Dalam interaksi semacam itu, setiap orang yang hidup di kota harus menarik diri
secara mental sebagai strategi untuk mempertahankan jati dirinya (self-preservation). Oleh sebab itu, menurut Simmel, privasi orang-orang yang hidup di perkotaan
lebih terjaga. Dalam pandangan Simmel, interaksi sosial di perkotaan cenderung
lebih dingin, kalkulatif, serta didasarkan kepada rasionalitas dan
obyektivikasi terhadap orang lain (setiap
orang menjadikan orang lain sebagai obyek/instrumen untuk meraih kepentingan masing-masing).
Dalam paradigma Ekologi Urban ini juga dikenal
pemikiran beberapa ahli yang tergabung dalam the Chicago School. Tokoh
utama dalam aliran ini adalah Robert Park
(1864 – 1944). Meski sangat kental dipengaruhi oleh pemikiran Tonnies,
Durkheim, dan Simmel, sebagai seorang yang pernah bekerja di surat kabar, Park
lebih menitikberatkan perhatiannya kepada observasi empiris terhadap kehidupan
perkotaan yang luput dari pandangan para ahli. Studi-studi yang dilakukan Park,
antara lain, ditujukan kepada tempat-tempat berdansa dan pemukiman kumuh yang
bernuansa etnik (ghetto).* Park
menyatakan bahwa kehidupan perkotaan persis sebagaimana sebuah organisme hidup
dimana di dalmnya terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan dan berkaitan
satu dengan yang lain secara interdependen. Untuk itu, tugas sosiologi adalah,
menurut Park, memahami bagaimana tiap bagian tersebut berhubungan dengan
struktur perkotaan secara menyeluruh dan saling berkait dengan bagian-bagian
yang lain. Park menggambarkan kehidupan perkotaan semacam itu sebagai Jaringan Kehidupan (the web of life).
Salah
seorang mahasiswa
Park yang melakukan studi
empiris kehidupan perkotaan adalah Ernest
W. Burgess. Atas dasar studinya, Burgess menyatakan bahwa di pusat kota umumnya dihuni oleh
mereka yang mampu membeli tanah dengan harga yang mahal. Oleh sebab itu, pusat kota berisi pusat-pusat
perdagangan dan hiburan yang dengan itu pemiliknya mampu memperoleh keuntungan finansial.
Pemukiman penduduk yang ada di sekitar pusat tersebut, justru dihuni oleh kelas
menengah dan pekerja yang menjadi buruh dan atau bekerja pada level-level pekerjaan menengah-bawah di
pusat perdagangan dan hiburan tersebut. Namun demikian, dalam perkembangannya
kemudian, menurut Burgess, pemukiman ini akan tergusur dan menjadi pusat-pusat
perdagangan dan hiburan yang baru. Sementara itu, menurut pengamatan Burgess,
para pemilik pusat-pusat tersebut tinggal di pinggiran kota dalam lingkungan pemukiman yang berharga
mahal. Pemikiran Burgess ini kemudian dikenal dengan istilah Aliran Ekonomi Neoklasik (neoclassical school of economics).
* Ghetto
pada awalnya adalah tempat pemukiman imigran Yahudi yang lari dari kejaran Nazi
di Jerman sebelum Perang Dunia II. Pemukiman ini sangat khas: kumuh dan miskin.
Terima kasih kembali atas kunjungannya, semoga bermanfaat.
ReplyDeleteterimakasih informasi yang diberikan
ReplyDeleteTerima kasih kembali, dan semoga bermanfaat.
DeleteTerima kasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat.
ReplyDeleteTerima kasih . Materinya sangat membantu . Tapi ..... bolehlah saya minta dibantu menjelaskan soal " Bardo mengemukan Ada 3 ciri kehidupan kota (urbanisme) yang menjadi pusat perhatian sosiologi perkotaan . Mohon jelaskan 3 (tiga) ciri tersebut menurut Anda ! " Terima kasih banyak bantuannya .
ReplyDeletekeren tulisannya
ReplyDelete