Monday, April 22, 2013

SOSIOLOGI PERKOTAAN


·        Meliputi pendekatan dan atau perspektif yang kompleks dan beragam (diversified).
·        Pemetaan perspektif tentang kota:

Aliran Pemikiran (school)
Fokus Perhatian
(main concern)
· Paradigma Ekologi Urban:
ü      Ferdinand Tonnies
ü      Emile Durkheim
ü      Georg Simmel
·                       Paradigma Ekonomi Politik:
ü      Karl Marx
ü      Friedriech Engels
ü      Max Weber

· The Chicago School

· The German School
·    Perubahan Sosial
·    Organisasi Sosial
·    Ekologi
·    Problem-problem Sosial
·    Kebijakan Sosial
·    Perempuan dan Kota

Di luar itu, seluruh perspektif di dalam sosiologi dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan fenomena kehidupan masyarakat kota.


 
















Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memahami perspektif tentang kota:
1.      Tidak ada pandangan yang sama terhadap obyek analisis. Sebagai contoh, analisis terhadap krisis yang terjadi dan dialami oleh masyarakat di dalam kehidupan kota, seringkali, merefleksikan kecenderungan berfikir dan pengalaman peneliti.
2.      Identifikasi terhadap sebab-sebab utama persoalan-persoalan kota sangat beragam dan terus mengalami perubahan. Contoh: kriminalitas di perkotaan bisa jadi muncul dari beragam faktor, seperti, urbanisasi yang cepat, broken family life, ketidakmatangan spiritual, kemiskinan, dan lain sebagainya.
Beberapa aspek kehidupan kota:
1.      Populasi
2.      Perumahan/pemukiman
3.      Kemiskinan
4.      Sektor Informal
5.      Gelandangan
6.      Kriminalitas
7.      Hubungan Antaretnik, Ras, dan Kelas Sosial
8.      Transportasi
9.      Isu Lingkungan: Polusi dan Sanitasi
10.  Tehnologi dan Masyarakat
11.  Gaya Hidup
12.  Urbanisasi

5 (LIMA) PERSPEKTIF TENTANG KEHIDUPAN KOTA
(The Sociology of Urban Life. Harry Gold, 1982. Prentice-Hal Inc., Englewood, NJ., USA).

1. Perubahan Sosial
Fokus perhatian perspektif ini adalah kepada proses urbanisasi. Menurut Gold, urbanisasi memiliki 4 (empat) karakter yaitu:
·        Irreversibility. Dalam karakter ini, urbanisasi adalah sebuah proses yang tidak pernah mengembalikan kondisi yang ada ke arah semula. Dengan perkataan lain, sekali sebuah wilayah mengalami urbanisasi maka wilayah tersebut tidak akan kembali menjadi pre-urban. Dalam hal ini, urbanisasi diartikan sebagai mengkotanya suatu wilayah. Di samping itu, menurut Gold, urbanisasi yang demikian itu biasanya bersamaan dengan perkembangan industrialisasi.
·        Catatan: Dalam era modern ini, urbanisasi adalah juga proses kapitalisasi dan perubahan konsumsi. Artinya, bidang perdagangan menjadi aspek utama mengkotanya suatu wilayah. Melalui dukungan masuknya media, khususnya televisi, ke pelosok-pelosok maka perdagangan menjadi instrumen perubahan pola konsumsi masyarakat. Oleh sebab, sebagaimana banyak diketahui, media televisi menyebarkan produk-produk industri beserta pencitraannya. Dengan cara demikian, mengkonsumsi produk industri adalah mengkonsumsi citra. Sebagai contoh: “Yang segarnya mantab” adalah Coca-Cola, bukannya air kelapa muda.
·        Suddenness. Menurut Gold, urbanisasi pertama kali terjadi pertama kali pada Abad XIX dan XX. Dalam keseluruhan sejarah hidup umat manusia, saat itulah manusia mengenal proses urbanisasi, yang memang tidak pernah ada sebelumnya. Sebelum terjadinya proses tersebut, kota-kota selalu terpisah – atau dipisahkan - dari wilayah di luarnya. Kota dikelilingi oleh benteng beserta paritnya. Kota menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan. Contoh: sejarah kota-kota di Eropa; di Indonesia, hal itu juga berlaku di Banda Aceh pada zaman Iskandar Muda di Abad XVI, juga masa-masa awal Kasultanan Jogjakarta dan Kasunanan Surakarta pada abad yang sama. Berdasarkan contoh-contoh tersebut, tepat kiranya jika proses urbanisasi merupakan proses yang tiba-tiba muncul dan menjadi bagian kehidupan yang baru bagi umat manusia.
·        Acceleration. Dalam arti ini, urbanisasi merupakan proses yang akseleratif. Begitu suatu wilayah membuka diri pada perubahan maka ia akan mengalami percepatan perkembangan. Sebagai contoh: sekitar sepuluh tahun yang lalu Tegal masih menjadi  ibu kota bagi Kabupaten Tegal. Namun sekarang, di samping telah menjadi Pemerintah Kota Tegal yang terpisah dari Kabupaten Tegal sendiri – yang beribukota di Slawi, Kota Tegal diramaikan pula oleh pusat-pusat perdagangan yang khas kota modern: Mal! Percepatan tersebut tidak hanya mengubah wajah Kota Tegal melainkan juga menyedot pusat perdagangan yang sebelumnya yaitu Purwokerto.
·        Discontinuity. Urbanisasi membawa serta perubahan atas nilai-nilai lama oleh yang baru. Dengan cara demikian, nilai-nilai lama diganti oleh nilai-nilai baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Nilai-nilai lama kemudian ditinggalkan dan masyarakat hidup dengan nilai-nilai dan pola kehidupan yang baru sama sekali. Sebagai gambaran, pola konsumsi, cara hidup, world view masyarakat menjadi berubah bersamaan dengan proses urbanisasi. Kesenian tradisional sudah diganti dengan organ tunggal yang menyuguhkan lagu-lagu pop baru maupun dangdut, dalam perhelatan-perhelatan resmi.

2.      Organisasi Sosial
Perspektif ini memfokuskan perhatiannya kepada bentuk-bentuk kehidupan yang mendasar pada masyarakat kota sebagai akibat langsung dari proses pengkotaan (baca: urbanisasi). Proses tersebut membawa serta perubahan bentuk kehidupan yang kompleks pada jaringan hubungan antarindividu, kelompok, struktur birokratik, dan lembaga-lembaga sosial. unit analisisnya antara lain adalah sebagai berikut.
·        Individu. Individu kota biasanya digambarkan memiliki tatanan personalitas dan gaya hidup individual yang berbeda dengan individu perdesaan. Di samping itu, bentuk personalitas dan gaya hidup individu kota merupakan mekanisme untuk menyesuaikan diri dan bertahan hidup dalam lingkungan sosial perkotaan yang kompleks. Atas dasar asumsi ini, analisis sosiologis seringkali difokuskan kepada sikap, nilai-nilai, persepsi, dan pengenaan simbol-simbol yang ada pada individu kota.
·        Kelompok Primer. Kelompok seperti ini adalah kelompok dengan skala kecil yang anggota di dalamnya memiliki hubungan personal dan face-to-face. Contoh untuk ini adalah pasangan suami isteri, keluarga, kekerabatan, dan persahabatan. Menurut para ahli, bersamaan dengan berkembangnya struktur yang kompleks dalam kehidupan perkotaan, hubungan-hubungan dalam Kelompok Primer tersebut menjadi berubah secara fungsional. Persahabatan, sebagai contoh, tidak lagi dibangun melalui nilai-nilai tradisional seperti kesamaan tempat tinggal, norma, tradisi, kultur, suku, etnik, agama dan sejenisnya. Persahabatan telah diatur oleh kebutuhan dan kepentingan yang sama dalam upaya menyesuaikan diri dengan kehidupan perkotaan yang kompleks. Persahabatan muncul di dalam kerangka nilai-nilai yang ada di dalam lembaga-lembaga sosial khas perkotaan seperti sekolah, universitas, dan perkantoran. Bersamaan dengan terlepasnya seseorang dari institusi semacam itu maka terputus pula persahabatan yang dibangunnya di dalam institusi tersebut.
·        Lingkungan Ketetanggaan. Ini adalah kelompok sosial yang lebih luas dan kompleks dari kelompok primer namun lebih informal dan kurang kompleks daripada organisasi birokratik. Para sosiolog tidak begitu yakin bahwa lingkungan ketetanggaan mampu menciptakan nilai-nilai sosial yang mengikat dan atau mengatur warganya, menjadi arena partisipasi, dan menciptakan simbol-simbol lokal. Namun demikian, harus diakui, lingkungan ketetanggaan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari struktur kehidupan modern kota.
·        Contoh kasus: Walikota Jogjakarta menyatakan, kampung yang jalannya banyak dibangun ‘Polisi Tidur’ maka artinya warga kampung itu sendiri yang susah diatur, bukan orang yang hanya lewat di jalan dan atau kampung tersebut. Pernyataan tersebut secara sosiologis dapat dibenarkan. Namun demikian, secara sosiologis pula, ‘Polisi Tidur’ juga dapat dimaknai sebagai refleksi ketidakmampuan warga setempat untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas di wilayahnya. ‘Polisi Tidur’ juga menjadi simbol identitas sosial bagi warga setempat yang berfungsi sebagai instrumen untuk menunjukkan kekuasaannya kepada siapa saja yang melewati wilayahnya.
·        Organisasi Birokratik. Organisasi ini meliputi jaringan peranan atau posisi yang terinci dan diatur dalam pembagian kerja yang hirarkhis. Perilaku individu-individu di dalamnya diatur, diikat, dan dibatasi oleh aturan yang tertulis. Birokrasi menjadi sangat signifikan bagi kehidupan masyarakat kota karena segala bentuk kebutuhan dan pelayanan esensial hanya akan terpenuhi melalui proses yang birokratik tersebut. Dalam kehidupan perkotaan, birokrasi menumbuhkan hubungan-hubungan yang impersonal dan tidak responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan individual.

3.      Ekologis
Perspektif ini memberikan perhatian terhadap proses dan bentuk upaya manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan perkotaan. Komunitas Urban adalah bentuk utama penyesuaian tersebut. Dengan demikian, Komunitas Urban dapat dipandang sebagai Ekosistem. Mengutip pendapat Otis Dudley Duncan, Gold menyatakan adanya beberapa variabel ekosistem secara menyeluruh. Variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut.
·        Populasi. Salah satu karakteristik signifikan dalam Komunitas Urban adalah ukuran populasinya. Ukuran populasi komunitas ini merefleksikan lingkungannya, tehnologi, dan organisasi sosialnya. Sebaliknya, lingkungan, tehnologi, dan organisasi sosial tersebut juga membatasi ukuran populasi. Kepadatan, distribusi, dan rata-rata pertumbuhannya akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen-komponen lain di dalam Ekosistem. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam populasi mengindikasikan adanya perubahan tehnologi, organisasi sosial, atau keduanya sekaligus.
·        Lingkungan.  Dalam hal ini yang dimaksud adalah lingkungan alamiah seperti iklim, topografi, kondisi tanah, dan saluran air. Faktor-faktor ini memiliki kontribusi dalam membatasi ukuran dan kepadatan populasi. Dalam rangka mengakomodasi kondisi lingkungan tersebut, Komunitas Urban mengaplikasikan tehnologi, kultur, dan organisasi sosial untuk memodifikasi lingkungan tersebut beserta efek-efeknya. Upaya memodifikasi dan pengaturan penggunaan tanah, dengan demikian, menjadi bagian perkembangan kota. Di samping itu, muncul pula persoalan-persoalan semacam berkurangnya sumber-sumber alam, terjadinya polusi udara, tanah, dan air. Kasus banjir di Jakarta beberapa waktu yang lalu merefleksikan beragam hal mulai dari penggunaan tanah yang tak terkendali pada daerah-daerah serapan air (Cisarua), saluran air yang tidak terawat dan tidak siap menampung air dalam jumlah tertentu, hingga kepada perilaku warga Jakarta sendiri – pemerintah maupun warga umum - yang tidak peduli dengan sampah-sampah di sungai dan atau saluran air hujan.    
·        Tehnologi. Sejak awal, tehnologi telah berperan penting dalam mengubah ukuran, struktur fisik, dan organisasi sosial Komunitas Urban. Kemajuan tehnologi manufaktur, transportasi, dan komunikasi mempengaruhi setiap aspek pertumbuhan kota. Kepemilikan kendaraan bermotor dan perkembangan jenis transportasi, misalnya, memungkinkan orang untuk tinggal di wilayah-wilayah pinggiran. Dalam perkembangannya kemudian, wilayah-wilayah pinggiran ini pun akhirnya mengalami proses urbanisasi (baca: proses pengkotaan) dan menjadi bagian dari kota atau tumbuh menjadi kota baru. Contoh kasus: perkembangan kota Tangerang, Bekasi, dan, paling akhir, Depok.

4.      Problem Sosial
Hampir semua persoalan kontemporer di perkotaan berkaitan dengan proses urbanisasi. Beberapa problem perkotaan seperti kriminalitas, permukiman kumuh, kemiskinan, pengangguran, konflik kelas, mental illness, serta peredaran dan penyalahgunaan obat-obat terlarang seringkali dikategorikan sebagai Krisis Urban (urban criusis). Namun demikian, perlu diketahui kiranya bahwa rantai keterkaitan antara urbanisasi dengan krisis urban tersebut tidaklah mudah untuk diamati. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dalam meneliti persoalan-persoalan sosial pada kehidupan perkotaan adalah sebasgai berikut.
·        Tidak ada pandangan yang sama mengenai apa persoalan sosial perkotaan tersebut, siapa pula yang mengalami dan menderita oleh karenanya atau pada tingkat mana persoalan-persoalan semacam itu dianggap sebagai krisis.
·        Para ilmuwan sosial belum cukup berhasil dalam mengidentifikasi sebab-sebab utama persoalan-persoalan sosial di perkotaan dan beragam teori muncul berkompetisi dalam menjelaskan persoalan sosial tersebut.
·        Beragam opini muncul sebagai upaya untuk memecahkan segala sesuatu yang dianggap sebagai persoalan sosial perkotaan.

5. Kebijakan Sosial
Perspektif ini berkenaan dengan kebijakan-kebijakan yang berkait dengan upaya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sosial di perkotaan. Pertanyaan yang selalu diajukan dalam perspektif ini dalam mencoba mencari tahu jawaban atas persoalan-persoalan yang timbul adalah:
·        Apakah kita menyalahkan begitu saja lingkungan atau sistem dan memaafkan kesalahan manusia atau sebaliknya kita salahkan manusianya?
·        Apakah penggunaan ukuran nasional merupakan keputusan yang tepat atau upaya-upaya yang dilakukan oleh komunitas lokal lebih tepat?
Kesimpulan yang ditarik oleh Harry Gold kemudian adalah bahwa persoalan sosial mesti diselesaikan melalui tindakan sosial kolektif.  

PERSPEKTIF TEORITIS TENTANG KOTA
(Cities, Change & Conflict: A Political Economy of Urban Life. Nancy Kleniewski, 2006, Thomson Wadsworth, Belmont, CA, USA).

Dalam melaksanakan penelitian terhadap kehidupan perkotaan, ilmuwan sosial memilih pertanyaan penelitiannya berdasarkan asumsi fundamental bagaimana dunia sosial ini berjalan. Di samping itu, dalam menentukan subyek kajiannya ilmuwan sosial dipandu oleh beragam paradigma. Paradigma adalah sekumpulan konsep, pertanayaan penelitian, dan teori-teori yang saling berkaitan dan dipandang sebagai alat yang bermanfaat dalam memahami dan menjelaskan dunia sosial. Dalam studi-studi tentang kota, paradigma yang paling dominan pada paruh awal abad XX adalah Ekologi Urban. Sementara itu, pada tahun-tahun terakhir ini, berkembang paradigma yang kedua yaitu Ekonomi Politik Urban. Berikut penjelasannya secara ringkas.

Paradigma Ekologi Urban

Paradigma ini berbagi asumsi dan teori yang berkenaan dengan organisasi sosial dan fungsionalisme struktural. Keduanya lebih menekankan kepada asumsi bahwa terdapat interaksi yang tertata antara bagian-bagian yang saling bergantung dalam sistem sosial perkotaan. Di samping itu, dalam paradigma ini juga diasumsikan bahwa kehidupan perkotaan berkaitan erat dengan perubahan yang terjadi dalam industrialisasi, sekularisasi, dan modernisasi. Atas dasar kedua asumsi inilah maka para ilmuwan sosial awal lebih banyak memfokuskan perhatiannya kepada proses transformasi sosial dari kehidupan tradisional perdesaan kepada kehidupan perkotaan modern.
Dalam paradigma awal ini, Ferdinand Tonnies (1855 – 1936) merupakan peletak dasar yang cukup populer. Dalam pemikirannya, Tonnies membedakan kehidupan antara wilayah perdesaan dengan perkotaan. Tonnies memotret gemeinschaft sebagai kehidupan tradisional dalam komunitas yang kecil. Dalam kehidupan seperti ini, orang-orang yang ada di dalamnya berkait dan berhubungan sangat dekat secara sosial. Kehidupan mereka ini diikat, dihubungkan, dan diatur oleh pertalian kekerabatan (kinship). Di samping itu, perilaku sosial mereka ini ditentukan dan diatur oleh kontrol sosial yang dilakukan oleh lingkungan ketetanggaan dan institusi keagamaan. Untuk mendeskripsikan kehidupan yang kontras dari itu, Tonnies mengungkapkan konsep gesselschaft yang menurutnya merupakan peri kehidupan masyarakat perkotaan modern. Di dalam kehidupan semacam itu, orang-orang yang tinggal di dalamnya bertindak secara individual demi kepentingan masing-masing. Keterikatan satu dengan yang lain hanya dimungkinkan sejauh hal itu diatur oleh hukum-hukum formal, kontrak, atau opini publik yang membatasi tindakan-tindakan mereka. Melalui kedua konsep tersebut, Tonnies juga berkeyakinan bahwa industrialisasi dan urbanisasi telah mengubah wajah komunitas lokal. Di zamannya, Tonnies melihat bahwa kehadiran dan berkembangnya kehidupan kota yang impersonal telah menyingkirkan komunitas kecil dan penuh kekerabatan yang berorientasi kekeluargaan.
Ilmuwan Sosial berikutnya dalam paradigma ini adalah Emile Durkheim (1858 – 1917). Menurut Durkheim, transisi sosial sebagaimana yang diperlihatkan oleh Tonnies di atas akan mempengaruhi kohesi sosial atau yang oleh Durkheim sendiri disebutnya sebagai solidaritas sosial. Dalam pemikiran Durkheim, masyarakat sederhana (kurang lebih gemeinschaft, dalam pemikiran Tonnies) membangun kohesifitas mereka atas dasar kesamaan-kesamaan diantara anggota-anggotanya. Setiap orang di wilayah tersebut bersaudara atau setidaknya mengenal dengan baik satu dengan yang lain. Hampir semua orang mempraktekkan nilai-nilai religius dan pandangan (worldview) yang sama. Dalam masyarakat seperti itu pula, latar belakang etnik, nilai-nilai sosial-kultural, dan distribusi pekerjaan sangat tidak bervariasi. Durkheim menyebut masyarakat yang memiliki kohesivitas sosial semacam itu sebagai masyarakat yang memiliki solidaritas sosial mekanis. Dalam masyarakat yang lebih kompleks, modern, perkotaan, menurut Durkheim, orang-orang yang ada di dalamnya berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka meyakini agama, berafiliasi politik, etnik, dan latar belakang keluarga yang beragam. Solidaritas sosial di perkotaan modern, menurut Durkheim, tidak didasarkan atas kesamaan-kesamaan melainkan oleh ketergantungan pada posisi sosial dan okupasional masing-masing. Kohesivitas sosial semacam ini, oleh Durkheim, disebut sebagai solidaritas sosial organis, seperti halnya hubungan antar bagian dalam sebuah organisme.
Pemikiran Tonnies dan Durkheim melihat perkembangan dan perubahan kelembagaan dan kultur sosial masyarakat dalam scope makrososial. Berbeda dengan keduanya, Georg Simmel (1858 – 1918), melihat dalam scope yang lebih mikrososial. Simmel tidak berupaya memperbandingkan antara masyarakat perdesaan dengan perkotaan. Ia lebih memfokuskan perhatiannya kepada perkembangan yang terjadi dalam kehidupan manusia yang hidsup di perkotaan. Menurut pengamatan Simmel, orang yang hidup di perkotaan seringkali harus berhubungan dengan orang-orang lain yang tidak dikenalnya (stranger). Dalam interaksi semacam itu, setiap orang yang hidup di kota harus menarik diri secara mental sebagai strategi untuk mempertahankan jati dirinya (self-preservation). Oleh sebab itu, menurut Simmel, privasi orang-orang yang hidup di perkotaan lebih terjaga. Dalam pandangan Simmel, interaksi sosial di perkotaan cenderung lebih dingin, kalkulatif, serta didasarkan kepada rasionalitas dan obyektivikasi terhadap orang lain (setiap orang menjadikan orang lain sebagai obyek/instrumen untuk meraih kepentingan masing-masing).
Dalam paradigma Ekologi Urban ini juga dikenal pemikiran beberapa ahli yang tergabung dalam the Chicago School. Tokoh utama dalam aliran ini adalah Robert Park (1864 – 1944). Meski sangat kental dipengaruhi oleh pemikiran Tonnies, Durkheim, dan Simmel, sebagai seorang yang pernah bekerja di surat kabar, Park lebih menitikberatkan perhatiannya kepada observasi empiris terhadap kehidupan perkotaan yang luput dari pandangan para ahli. Studi-studi yang dilakukan Park, antara lain, ditujukan kepada tempat-tempat berdansa dan pemukiman kumuh yang bernuansa etnik (ghetto).*  Park menyatakan bahwa kehidupan perkotaan persis sebagaimana sebuah organisme hidup dimana di dalmnya terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan dan berkaitan satu dengan yang lain secara interdependen. Untuk itu, tugas sosiologi adalah, menurut Park, memahami bagaimana tiap bagian tersebut berhubungan dengan struktur perkotaan secara menyeluruh dan saling berkait dengan bagian-bagian yang lain. Park menggambarkan kehidupan perkotaan semacam itu sebagai Jaringan Kehidupan (the web of life).
Salah seorang mahasiswa Park yang melakukan studi empiris kehidupan perkotaan adalah Ernest W. Burgess. Atas dasar studinya, Burgess menyatakan bahwa di pusat kota umumnya dihuni oleh mereka yang mampu membeli tanah dengan harga yang mahal. Oleh sebab itu, pusat kota berisi pusat-pusat perdagangan dan hiburan yang dengan itu pemiliknya mampu memperoleh keuntungan finansial. Pemukiman penduduk yang ada di sekitar pusat tersebut, justru dihuni oleh kelas menengah dan pekerja yang menjadi buruh dan atau bekerja pada level-level pekerjaan menengah-bawah di pusat perdagangan dan hiburan tersebut. Namun demikian, dalam perkembangannya kemudian, menurut Burgess, pemukiman ini akan tergusur dan menjadi pusat-pusat perdagangan dan hiburan yang baru. Sementara itu, menurut pengamatan Burgess, para pemilik pusat-pusat tersebut tinggal di pinggiran kota dalam lingkungan pemukiman yang berharga mahal. Pemikiran Burgess ini kemudian dikenal dengan istilah Aliran Ekonomi Neoklasik (neoclassical school of economics).


*  Ghetto pada awalnya adalah tempat pemukiman imigran Yahudi yang lari dari kejaran Nazi di Jerman sebelum Perang Dunia II. Pemukiman ini sangat khas: kumuh dan miskin.

6 comments:

  1. Terima kasih kembali atas kunjungannya, semoga bermanfaat.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat.

    ReplyDelete
  3. Terima kasih . Materinya sangat membantu . Tapi ..... bolehlah saya minta dibantu menjelaskan soal " Bardo mengemukan Ada 3 ciri kehidupan kota (urbanisme) yang menjadi pusat perhatian sosiologi perkotaan . Mohon jelaskan 3 (tiga) ciri tersebut menurut Anda ! " Terima kasih banyak bantuannya .

    ReplyDelete