Tuesday, April 10, 2012

Asas-asas Hukum Pelayanan Kesehatan


Bilamana ditinjau dai kedudukan para pihak di dalam pelayanan kesehatan, dokter dapat dilihat dalam kedudukannya selaku profesional di bidang medik yang harus berperan aktif, dan pasien dapat dilihat dalam kedudukannya sebagai penerima layanan medik yang mempunyai penilaian terhadap penampilan dan mutu pelayanan medik yang diterimanya. Hal ini disebabkan, dokter bukan hanya melaksanakan pekerjaan melayani atau memberi pertolongan semata-mata, tetapi juga melaksanakan pekerjaan profesi yang terkait pada suatu kode etik kedokteran. Dengan demikian dalam kedudukan hukum para pihak di dalam pelayanan kesehatan menggambarkan suatu hubungan hukum dokter dan pasien, sehingga di dalam pelayanan kesehatan pun berlaku beberapa asas hukum yang menjadi landasan yuridisnya.
Menurut Veronica Komalawati[1], yang mengatakan bahwa, asas-asas hukum yang berlaku dan mendasari pelayanan kesehatan dapat disimpulkan secara garis besarnya sebagai berikut :
(a)    Asas Legalitas
Asas ini pada dasarnya tersirat di dalam Pasal 23 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa ;
(1)   Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan;
(2)   Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki;
(3)   Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.

Mendasarkan pada ketentuan di atas, maka pelayanan kesehatan hanya dapat diselenggarakan apabila tenaga kesehatan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, terutama Pasal 29 ayat (1) dan (3); Pasal 36; Pasal 38 ayat (1) yang antara lain berbunyi sebagai berikut :
Pasal 29 ayat (1) dan (3) antara lain menyatakan bahwa ;
(1)   setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi;
(3)   untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi harus memenuhi persyaratan :
a.       memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis;
b.      mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/ janji dokter atau dokter gigi;
c.       memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d.      memiliki sertifikat kompetensi; dan
e.       membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Di samping persyaratan-persyaratan tersebut di atas, dokter atau dokter gigi dalam melakukan pelayanan kesehatan harus pula memiliki izin praktik, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36 Undang-Undang Praktik Kedokteran sebagai berikut : “Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki sirat Izin Praktik”.
Selanjutnya, surat izin praktik ini akan diberikan jika telah dipenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan secara tegas di dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1) yang menyatakan bahwa ;
“Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 36, dokter dan dokter gigi harus ;
a.       Memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih berlaku;
b.      Mempunyai tempat praktik;
c.       Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.

Dari ketentuan di atas dapat ditafsirkan bahwa, keseluruhan persyaratan tersebut merupakan landasan legalitasnya dokter dan dokter gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan. Artinya, “asas legalitas” dalam pelayanan kesehatan secara laten tersirat dalam Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
(b)   Asas Keseimbangan
Menurut asas ini, penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, antara fisik dan mental, antara material dan spiritual. Di dalam pelayanan kesehatan dapat pula diartikan sebagai keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil, antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan dari pelayanan kesehatan yang dilakukan. Dengan demikian berlakunya asas keseimbangan di dalam pelayanan kesehatan sangat berkaitan erat dengan masalah keadilan. Dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan, keadilan yang dimaksud adalah bersifat kasustis, karena sangat berhubungan dengan alokasi sumber daya dalam pelayanan kesehatan.
(c)    Asas Tepat Waktu
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, asas tepat waktu ini merupakan asas yang cukup krusial, oleh karena sangat berkaitan dengan akibat hukum yang timbul dari pelayanan kesehatan. Akibat kelalaian dokter untuk memberikan pertolongan tepat pada saat yang dibutuhkan dapat menimbulkan kerugian pada pasien. Berlakunya asas ini harus diperhatikan dokter, karena hukumnya tidak dapat menerima alasan apapun dalam hal keselamatan nyawa pasien yang terancam yang disebabkan karena keterlambatan dokter dalam menangani pasiennya.
(d)   Asas Itikad Baik
Asas itikad baik ini pada dasarnya bersumber pada prinsip etis untuk berbuat baik pada umumnya yang perlu pula diaplikasikan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan. Dokter sebagai pengemban profesi, penerapan asa itikad baik akan tercermin pada sikap penghormatan terhadap hak-hak pasien dan pelaksanaan praktik kedokteran yang selalu patuh dan taat terhadap standar profesi. Kewajiban untuk berbuat baik ini tentunya bukan tanpa batas, karena berbuat baik harus tidak boleh sampai menimbulkan kerugian pada diri sendiri.
(e)    Asas Kejujuran
Kejujuran merupakan salah satu asas yang penting untuk dapat menumbuhkan kepercayaan pasien kepada dokter dalam pelayanan kesehatan. Berlandaskan asas kejujuran ini dokter berkewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien, yakni sesuai standar profesinya. Penggunaan berbagai sarana yang tersedia pada institusi pelayanan kesehatan, hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien yang bersangkutan.
Di samping itu, berlakunya asas ini juga merupakan dasar bagi terlaksananya penyampaian informasi yang benar, baik dari pasien maupun dokter dalam berkomunikasi. Kejujuran dalam menyampaikan informasi sudah barang tentu akan sangat membantu dalam kesembuhan pasien. Kebenaran informasi ini sangat berhubungan dengan hak setiap manusia untuk mengetahui kebenaran.
(f)     Asas Kehati-hatian
Kedudukan dokter sebagai tenaga profesional di bidang kesehatan, tindakan dokter harus didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya dalam pelayanan kesehatan. Karena kecerobohan dalam bertindak yang mengakibatkan terancamnya jiwa pasien, dapat berakibat dokter terkena tuntutan pidana. Asas kehati-hatian ini secara yuridis tersirat di dalam Pasal 58 ayat (1) yang menentukan bahwa; : “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”.
Dalam pelaksanaan kewajiban dokter, asas kehati-hatian ini diaplikasikan dengan mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien terutama hak atas informasi dan hak untuk memberikan persetujuan yang erat hubungannya dengan informed consent dalam transaksi terapeutik.
(g)    Asas Keterbukaan
Salah satu asas yang ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 adalah asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban, yang secara tersirat di dalamnya terkandung asas keterbukaan. Hal ini dapat diinterpretasikan dari Penjelasan Pasal 2 angka (9) yang berbunyi ; “Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum”.
Pelayanan kesehatan yang berdaya guna dan berhasil guna hanya dapat tercapai bilamana ada keterbukaan dan kesamaan kedudukan dalam hukum antara dokter dan pasien dengan didasarkan pada sikap saling percaya. Sikap tersebut dapat tumbuh apabila dapat terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan pasien, di mana pasien dapat memperoleh penjelasan dari dokter dalam komunikasi yang transparan.
Di samping Veronica Komalawati, Munir Fuady sebagaimana dikutip oleh Anny Isfandyarie[2] mengemukakan pendapatnya bahwa, di dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan terdapat beberapa asas etika modern dari praktik kedokteran yang disebutkan oleh Catherine Tay Swee Kian antara lain sebagai berikut :
(1) Asas Otonom
Asas ini menghendaki agar pasien yang mempunyai kapasitas sebagai subyek hukum yang cakap berbuat, diberikan kesempatan untuk menentukan pilihannya secara rasional sebagai wujud penghormatan terhadap hak asasinya untuk menentukan nasibnya sendiri.
Meskipun pilihan pasien tidak benar, dokter tetap harus menghormatinya dan berusaha untuk menjelaskan dengan sebenarnya menurut pengetahuan dan keahlian profesional dokter tersebut agar pasien benar-benar mengerti dan memahami tentang akibat yang akan timbul tatkala pilihannya tidak sesuai dengan anjuran dokter. Dalam hal terjadi demikian, menjadi kewajiban dokter untuk memberikan masukan kepada pasien tentang dampak negatif yang mungkin timbul sebagai akibat ditolaknya anjuran dokter tersebut.
(2) Asas Murah Hati
Asas ini mengajarkan kepada dokter untuk selalu bersifat murah hati dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasiennya. Berbuat kebajikan, kebaikan dan dermawan merupakan anjuran yang berlaku umum bagi setiap individu. Hal ini hendaknya dapat diaplikasikan dokter dalam pengabdian profesinya dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan baik terhadap individu pasien maupun terhadap kesehatan masyarakat.
(3) Asas Tidak Menyakiti
Dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien, dokter hendaknya mengusahakan untuk tidak menyakiti pasien tersebut, walaupun hal ini sangat sulit dilakukan, karena kadang-kadang dokter harus melakukan pengobatan yang justru menimbulkan rasa sakit kepada pasiennya. Dalam hal terjadi demikian, maka dokter harus memberikan informasi kepada pasien tentang rasa sakit yang mungkin timbul sebagai akibat tindakan yang dilakukan guna kesembuhan pasien tersebut dan agar pasien tidak menganggap apa yang telah dilakukan dokter bertentangan dengan asas tidak menyakiti.
(4) Asas Keadilan
Keadilan harus dilakukan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam artian bahwa dokter harus memberikan pengobatan secara adil kepada pasien dengan tidak memandang status sosial ekonomi mereka. Di samping itu, asas ini juga mengharuskan dokter untuk menghormati semua hak pasien antara lain hak atas kerahasiaan, hak atas informasi dan hak memberikan persetujuannya dalam pelayanan kesehatan.
(5) Asas Kesetiaan
Asas kesetiaan mengajarkan bahwa dokter harus dapat dipercaya dan setia terhadap amanah yang diberikan pasien kepadanya. Pasien berobat kepada dokter, karena percaya bahwa dokter akan menolongnya untuk mengatasi penyakit yang dideritanya. Hal ini merupakan amanah yang harus dilaksanakan dokter dengan penuh tanggung jawab untuk menggunakan segala pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya demi keselamatan pasiennya.
(6) Asas Kejujuran
Asas ini mengajarkan bahwa, dalam pelayanan kesehatan menghendaki adanya kejujuran dari kedua belah pihak, baik dokter maupun pasiennya. Dokter harus secara jujur mengemukakah hasil pengamatan dan pemeriksaan yang dilakukan kepada pasien, dan pasien pun harus secara jujur mengungkapkan riwayat perjalanan penyakitnya. Dalam praktik pelayanan kesehatan, pelaksanaan Informed Consent harus berorientasi pada kejujuran.
Selanjutnya jika ditinjau dari hukum positif yang berlaku, yakni Undang-Undang No. 29 Tahun 2004, maka pada dasarnya asas-asas hukum tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan sudah mempunyai kekuatan mengikat bagi penyelenggara pelayanan kesehatan.
Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 ditetapkan bahwa, “Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminasi dan norma-norma agama”. Lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa, “Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien”.


[1] Veronica Komalawati, 2002. Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terepeutik (Persetuajuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien); Suatu Tinjauan Yuridis, PT Citra Aditya bakti, Bandung, hal. 126-133.
[2] Anny Isfandyarie, Op. Cit., hal. 83-86.

4 comments:

  1. Replies
    1. Iya sila kan di copy untuk keperluannya, bukan mba tapi mas, terima kasih sudah berkinjung dan semoga bermanfaat.

      Delete
  2. izin copy yah menarik materinya buat didiskusikan di kampus...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah berkunjung, sila kan di salin dan gunakan sebaik-baiknya serta terapkan kaidah penulisan dengan benar dan sesuai aturan, semoga bermanfaat dan diskusinya lancar.

      Delete