PENYAKIT YANG
MELANDA PERBANKAN
Penyakit yang
mengusik masyarakat dewasa ini adalah apakah dunia perbankan kita cukup tangguh dalam menyongsong era pasar bebas dan globlalisasi?.
Masalah bagi sektor perbankan saat
ini masih di bayang bayangi oleh penyakit sebagai berikut :
Pertama; sampai dengan April 1996
lalu,jumlah total macet sudah mencapai
Rp9.028 triliyun. Angka kredit macet total kredit perbankan yang disalurkan
mencapai 3,19 persen. Hanya saja perlu diwaspadai bahwa ada kredit
diragukan sebesar12,811triliyun(sekitar 4.53 persen dari kridit perbankan
total), yang dapat menjadi macet apabila kredit itu tidak memiliki agunan yang dan penyelesainya berlarut
larut.Uniknya 70,7 persen kredit macet
berada di kelompok bank pemerintah dan 17,26 persen berada di bank
swasta nasional.(Sudrajat Kuncoro, 1998-394)
Timbul
pertanyaan benarkah rendahnya kinerja bank-bank, sebagaimana dilaporkan oleh
info Bank edisi juli 1996,semata-mata bersumber dari tingkat kredit macet yang
disandangnya?. Barang kali terlalu pagi bila kita menyimpulkan peryataan
tersebut di atas. Bila kita menyimak lebih mendalam, hampir seluruh perbankan
mengalami masalah kredit macet. Masalah ini ibarat semacam bisul dalam tubuh perbankan. Bila bisul itu masih kecil tidak
akan mengganggu kinerja kesehatan
perbankan, akan tetapi bisul itu mulai membengkak /membesar menimbulkan rasa sakit hingga seluruh tubuh
susah untuk bergerak,baru Dokter biasanya mendiagnosis bisul tersebut harus
dipotong atau harus dibuang.
Rendahnya kinerja bank-bank pemerintah besar
kemungkinan karena struktur perbankan Indonesia sudah banyak berubah.
Pangsa pasar bank pemerintah dalam hal menarik dana dan menyalurkan kredit banyak beralih ke
bank-bank swasta yang dengan kreatif
menawarkan berbagai hadiah dan fasilitas. Adapun rendahnya kinerja bank milik
konglomerat terutama dilanggarnya ketentuan BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kridit). Bahkan
tidak rahasia lagi banyak konglomerat mendirikan bank untuk membiyai aktivitas
anak dan cucu perusahaan sendiri (Kwik Kian Gie 1993).
Masalah kedua
yang harus dicermati bahwa dunia
perbankan adalah masih banyak bank yang belum memenuhi prinsip kehati-hatian
(prudential banking management). Hal ini
bisa dibuktikan ada lebih 70 an bank yang melanggar BMPK dan ini terjadi di
perbankan swasta. Oleh karena itu Bank Pembangunan Daerah Cabang Purwokerto
marilah kita mengunakan prudential
banking management agar supaya tidak melanggar kriteria CAR (Capital Adequacy
ratio) dan melanggar ketentuan LDR (Loan to Deposit ratio).
Masalah ketiga porsi KUK Perbankan nasional terhadap
jumlah kredit diluncurkan tidak pernah
mencapai angka 20 persen dan penyaluran KUK masih terpusat di Pulau Jawa bisa
dipahami apabila para pengusaha kecil menuduh bahwa bank-bank hanya melayani “si besar” dan menghindari pengusaha kecil.
(Studi Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil UGM 1996), memang yang dikeluhkan permasalahannya bagi pengusaha kecil yaitu masalah
agunan dan prosudur yang dinilainya
terlalu berbelit-belit. Hal inilah menimbulkan tidak adanya kemajuan dari
pengusaha kecil. Memang cukup berat tantangan yang dihadapi untuk memperkuat
struktur perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan dalam GBHN 1993.
Pembinaan pengusaha kecil harus lebih diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
pengusaha kecil menjadi pengusaha menengah. Namun disadari pula bahwa
pengembangan usaha kecil menghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemampuan,
ketrampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirauasahaan, pemasaran
dan keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dan sumber daya manusia ini
mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik.
Secara spesifik, masalah dasar yang dihadapi pengusaha kecil adalah :
Pertama,kelemahan
dalam memperoleh peluang pasar dan memperbasar pangsa pasar.
Kedua, kelemahan
dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap
sumber-sumber permodalan.
Ketiga, kelemahan
dibidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia.
Keempat,
keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil (sistem informasi
pemasaran).
Kelima, iklim
usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang mematikan.
Keenam, pembinaan
yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kuranganya kepercayaan masyarakat
serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.
Secara garis besar, tantangan yang
dihadapi pengusaha kecil dapat dibagi dalam dua kategori : pertama bagi PK
dengan omsetkurang dari RP 50 juta umumnya tantangan yang dihadapi adalah
bagaimana menjaga kelangsungan hidup usahanya. Bagi meraka, umumnya asal dapat
berjualan dengan aman sudah cukup. Mereka umumnya tidak membutuhkan modal yang
basar untuk ekspansi produksi; biasanya modal yang diperlukan sekadar membantu
kelancaran cashlow saja. Bisa
dipahami bila kredit dari BPR-BPK, BKK, TPSP ( Tempat Pelayanan Simpan Pinjam –
KUD ) amat membantu modal kerja meraka.
Kedua,
bagi PK dengan omset antara Rp 50 Juta hingga Rp 2 milyar, tantangan yang
dihadapi jauh lebih komplek. Umumnya mereka mulai memikirkan untuk melakukan
ekspansi uasaha lebih lanjut. Berdasarkan pengamatan Pusat Konsultasi Pengusaha
Kecil UGM, urutan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh PK jenis ini adalah
:
Pertama, masalah
belum dipunyai sistem administrasi keuangan dan manajemen yang baik karena
belum dipisahkannya kepemilikan dan pengelolaan perusahaan.
Kedua, masalah
bagaimana menyusun proposal dan membuat studi kelayakan untuk memperoleh
pinjaman baik dari bank maupun modal ventura
karena kebanyakan PK mengeluh berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, agunan
tidak memenuhi syarat, dan tingkat bunga dinilai terlalu tinggi.
Ketiga, masalah
menyusun perencanaan bisnis karena persaingan dalam membuat pasar semakin
ketat.
Keempat, masalah
akses terhadap teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh perusahaan / grup
bisnis tertentu dan selara konsumen cepat berubah.
Kelima , masalah
memperoleh bahan baku terutama karena adanya
persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku,
bahan baku berkualitas rendah, dan tingginya
harga bahan baku.
Keenam, masalah
perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi yang sudah menggarap
pasar eksport karena selera konsumen berubah cepat, pasar dikuasai perusahaan
tertentu, dan banyak barang pengganti.
Ketujuh, masalah
tenaga kerja karena sulit mendapatkan tenaga kerja yang terampil.
HUKUM PERBANKAN
Dewasa
ini peningkatan kejahatan di perbankan sangat menonjol, hal ini bisa dilihat
secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu perlu adanya penangakal
yang seriuas untuk ditangani oleh pemerintah. Tindak pidana di perbankan pada
dasarnya merupakan ancaman terhadap keamanan dari kesehatan sistem perbankan
yang adpat menggangu sistem moneter yang merupakan kefatalan / gangguan
pembangunan bagi negara berkembang.
Kejahatan di perbankan termasuk kejahatan
korporasi ( erime against corporation ), yang pada hakekatnya kejahatan
konvensional,.
Dalam menjalankan usaha perbankan
apabila terjadi pelenggaran akan dikenakan sangsi hukum perbankan yaitu :
1.
Hukum administrasi
2.
Hukum publik
3.
Hukum privat
Bagi pelanggar yang menjalankan usaha perbankan akan
dijerat dengan Dasar Hukum Perbankan yaitu :
1.
UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
2.
UU Nomor 10 tahun 1998 tentang penyempurnaan dari UU
Nomor 7 tahun 1992
3.
UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Bagi pengelola Bank berdasrkan UU nomor 7 tahun 1992
jo UU nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan yaitu :
1.
Menentukan Bank dan pihak terafiliasi wajib
merahasiakan keterangan mengenai nasabah menyimpan dan simpanannya ( Pasal 40 )
2.
Pemberian informasi mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya.
Kecuali :
a.
Untuk kepentingan perpajakan atas permintaan Menteri
Keuangan ( Pasal 41)
b.
Untuk menyesaikan piutang Bank atas permintaan Badan
Urusan Piutang dan lelang Negara / panitian urusan Piutang negara ( Ps 41 A ).
c.
Untuk kepentingan peradilan perkara pidana ( Ps 42 )
yaitu ;
- Dalam tingkat penyelidikan atas permintaan kepala kepolisian RI
- Dalam tingkat penyelidikan / penuntutan atas permintaan Mahkamah.
- Dalam tingkat penyidikan atas permintaan Jaksa Agung.
d.
Dalam perkara perdata antara Bank dan nasabah ( Ps 43
)
e.
Dalam tukar menukar informasi antara bank ( Ps 44 )
f.
Atas permintan / persetujuan dari nasabah penyimpan
secara tertulis.
Keterangan
: -
Untuk point a – c harus ijin dari BI
-
Pembrian informasi selain yang dituntut point a – f dianggap suatu pelanggaran tentang “
Rahasia Bank “
Tindak Pidana :
Berdasarkan UU
Nomor 7 / 92 jo UU no 10 / 98
1.
Setiap orang / Badan Hukum dilarang.
-
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
tanpa ijin dari pimpinan BI.
-
Ancaman pidana
: penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun atau denda minimal 10 M dan
maksimal 200 M ( Ps 47 )
2.
Setiap orang dilarang
-
Setiap orang / subyek tanpa adanya perintah terncana /
ijin dari pimpinan bank / pihak terafiliasi memberikan keterangan tentang
penyimpanan beserta simpananya.
-
Ancaman pidana
: penjara minimal 2 tahun dan maksimal 4 tahun dan denda minimal 10 M dan
Maksimal 200 M ( Ps 47 )
3.
Perbuatan yang dilarang bagi :
-
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank atau
pihak terafiliasi : dengan sengaja memberikan keterangan tentang nasabah
penyimpan dan simpanannya.
-
Ancaman pidana
: penjara minimal 2 tahun dan maksimal 4 tahun dan denda minimal 4 M dan
maksimal 8 M (Ps 40 ), serta ditambah pasal 47 A.
-
Perbuatan yang dilarang : dengan sengaja tidak
memberikan keterangan yang wajib dipengaruhi.
-
Ancaman pidana
: Minimal 2 tahun dan maksimal 7 tahun dan denda minimal 4 M dan maksimal 15 M.
4.
Perbuatan yang dilarang oleh : Anggota dewan Komisaris,
direksi atau pegawai bank dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib
dipenuhi didalam pasal 30 yaitu :
a.
Menyampaikan laporan kepada BI mengenai usahanya.
b.
Memberikan kesempatan pemeriksaan buku – buku dan
berkas – berkas tas permintaan BI.
Pasal 34 yaitu
:
a.
Menyampaikan perhitungan rugi / laba tahunan
b.
Neraca rugi / laba yang diaudit akuntan publik.
Perbuatan yang
dilarang yaitu : lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi seperti
didalam ayat 1 .
Ancaman
pidananya : kurungan minimal 1 tahun dan maksimal 2 tahun dan denda minimal 1 M
dan maksimal 2 M. ( Ps 48 )
5.
Perbuatan yang dilarang oleh : Anggota dewan Komisaris,
direksi atau pegawai bank :
a.
Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan / laporan, dokumen /
laporan kegiatan / laporan transaksi / rekening suatu bank.
b.
Menghilangkan / tidak memasukkan / menyebabkan tidak
dilakukannya pencatatan dalam pembukuan / laporan / dokumen / laporan kegiatan
usaha / laporan transaksi laporan suatu abnk.
c.
Mengubah, mengkaburkan, menyembunyikan/ menghilangkan
data dalam pembukuan / dokumen / laporan transaksi / rekening suatu bank atau
dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyebunyikan/ merusak
catatan pembukuan.
Ancaman pidana
: Penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun / denda minimal 10 M dan
maksimal 200 M ( Ps 49 )
6.
Perbuatan yang dilarang oleh : Anggota Dewan komisaris,
direksi atau pegawai bank :
a.
Meminta, menerima, mengijinkan / menyetujui untuk
menerima imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang/ barang berharga guna
u8ntuk kepentingan pribadi atau keluarganya didalam melaksanakan tugas
pemberian kredit atau dalam rangka pembelian / pendiskontoan oleh bank atas
surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang dan bagi orang untuk
melaksanakan penarikan dana yang melebihi pata kredit pada bank.
b.
Apabila tidak melaksanan langkah – langkah yang
diperlukan untuk ketaatan bank didalam UU ini / ketentuan per Undang – undanga
yang berlaku bagi Bank.
Ancaman Pidana
: penjara minimal 3 tahun maksimal 8 tahun an denda minimal 5 M dan maksimal
100 M ( Ps 49 ).
7.
Perbuatan yang dilarang pihak terafiliasi, dengan
sengaja tidak melaksnakan langkah – langkah yang diperlukan untuk emastikan
ketaatan didalam ketentuan UU ini dan peraturan perudang – undangan lannya yang
berlaku bagi bank.
Ancaman pidana
: penjara minimal 3 tahun dan maksimal 8 tahun serta denda minimal 5 M dan
maksimal 100 M ( Ps 50 ).
8.
Perbuatan yang dilarang bagi pemegang saham, dengan
sengaja menyuruh dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank untuk melakukan /
tidak melakukan perbuatan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah –
langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank dalam UU ini dan
ketentuan perundang – undangan lainnya yang berlaku bagi bank.
Ancaman pidana
: penjara minimal 7 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda minimal 10 M dan
masimal 200 M ( Ps 50 A ).
9.
Bank Indonesia
dapat menjatuhkan sangsi administrastif kepada Bank yang tidak memenuhi
kebutuhannya. Pimpinan Bank Indonesia
dapat mencabut ijin usaha dari bank yang bersangkutan.
Sangsi
administratif yang diberikan BI berupa :
a.
Denda
b.
Teguran tertulis
c.
Penurunan tingkat kesehatan Bank
d.
Larangan untuk turut serta dalam kegiatan clering.
e.
Pembekuan usaha
tertentu, baik untuk kamtor cabang maupaun untuk bank keseluruhan.
f.
Pemberhentian pengurus bank dan dapat menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham dengan
persetujuan BI .
g.
Pencantuman anggota pengurus, pegawai bamk, pemegang
saham, dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.
BAB. I.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Sistem administrasi pemerintahan daerah
di Indonesia
ditandai oleh dua perkataan yaitu dekosentrasi dan desentralisasi. Dekosentrasi
ialah administrasi daerah dan fungsi pemerintahan di daerah yang dilaksanakan
oleh perangkat pemerintah pusat. Sedangkan Desentralisasi ialah fungsi
pemerintahan tertentu dan kekuasaannya untuk mengambil keputusan tertentu
dilimpahkan kepada pemerintah daerah yang mencakup lembaga perwakilan yang
dipilih. Dari kedua sistem ini berjalan seiring dalam melaksanakan fungsi
masing-masing tiap-tiap daerah. Koordinasi antara kedua sistem ini dilakukan
melalui kepala daerah, yang memiliki dua fungsi yakni serentak selaku kepala
daerah pemerintah daerah dan wakil pemerintah pusat di wilayah bersangkutan.
Sistem pemerintah daerah di Indonesia
dewasa ini diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Oleh karena
itu pemerintahan daerah di Indonesia
bersifat berjenjang hal ini perlu disadari seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Berbeda dengan negara federal ( Amerika Serikat) tempat tiap-tiap negara bagian
bebas dan berdiri sendiri dalam pemerintahannya. Sedangkan di Indonesia
walaupun berbeda dari sudut budaya, agama iklim, keadaan tanah dan hasil
tambang, sumber alam dan keuangan daerah tapi mempunyai hubungan yang erat
dalam persatuan nasional untuk pelaksanaanya.
Hubungan ini menyangkut pembagian
tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu pemerintah dan
pembagian sumber penerimaan untuk mencukupi kebutuhan yang ada di daerah.
Tujuan utama hubungan ini ialah mencapai perimbangan antara berbagai pembagian,
bagaimana agar potensi dan sumberdaya masing-masing daerah sesuai. Lebih luas
lagi, hubungan pusat daerah menyangkut pembagian kekuasaan dalam pemerintah.
Hak mengambil keputusan mengenai anggaran. Hubungan keuangan pusat dan
daerah mencerminkan tujuan politik yang
mendasar karena peranannya dalam menentukan bobot kekuasaan dalam menentukan
sistem pemerintahan.
Pertumbuhan
sumber daya keuangan yang besar ini membuka kemungkinan mempercepat kepada
pemerintahan daerah dalam melakukan pembangunan. Sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2001 di Kabupaten
Banyumas masih menggantungkan lebih besar bantuan dari pusat dibandingkan
dengan propinsi dari anggaran rutin maupun anggaran pembangunan. Ketergantungan
Kabupaten Banyumas dari pemerintah pusat dapat diperkirakan akan terus
berlangsung, meskipun anggaran yang dihadapi oleh pemerintah pusat akan semakin
sulit, oleh karena itu diperkirakan nantinya akan adanya penurun yang tajam
apabila keadaan yang perekonomian tidak stabil. Dengan ketidak stabilan itu
perlu adanya suatu kebijakan ekonomi nasional yang bersangkut paut tentang
keuangan di Kabupaten/Kota.
Salah satu kebijakan tentang pembenahan masalah perpajakan. Untuk pembenahan
dengan menaikkan pajak bukanlah suatu pekerjaan yang sangat mudah bagi
pemerintah Kabupaten/Kota.
Pemerintah Kabupaten/Kota, seperti
lembaga-lembaga lain kadang-kadang perlu meminjam uang. Ada masanya dibutuhkan pimjaman jangka pendek
untuk menutup kekurangan dana. Kekurangan dana biasanya terjadi bila penerimaan
pajak dan bantuan tidak persis sama dengan pola pengeluaran rutin maupun
pengeluaran pembangunan. Lebih penting lagi, pemerintah Kabupaten perlu
memimjam uang agar dapat menanamkan modalnya dan membangun prasarana. Penanam
modal seperti ini mungkin dalam kegiatan-kegiatan seperti mendirikan pasar,
perumahan, terminal yang langsung menghasilkan penerimaan yang cukup bagi
pemerintah Kabupaten/Kota akan lebih cepat. Untuk proyek-proyek seperti ini
yang mampu menembus biaya sendiri keputusan-keputuan seperti ini tidak berbeda
dari keputusan serupa di bidang usaha swasta. Karena itu untuk membiayai
proyek-proyek bahwa peranan Perbankan sangat mendukung demi lancar kegiatan
pembagunan yang di tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini merupakan pilihan yang
paling tepat untuk meminjam Bank Pembangunan Daerah yang khususnya menyediakan
dana pinjaman untuk daerah Kabupaten/Kota. Peluang – peluang seperti inilah
Bank Pembanguan Daerah akan berkiprah dalam rangka untuk mendukung pembangunan
di tingkat Kabupaten /Kota.
Dengan pelaksanaan otonomi daerah bahwa
Bank Pembangunan Daerah sebagai Bank milik daerah sangat potensial sekali untuk
menangkap peluang – peluang tersebut dan menyikapinya. Disini diharapkan bahwa
Bank Pembangunan Daerah mampu memberikan pelayanan yang prima sesuai harapan
masyarakat dan memberikan kredit untuk usaha-usaha yang produktif . Dari latar
belakang tersebut penulis mengambil judul “ Strategi Penghipunan Dana PT.Bank
BPD Jateng Cabang Purwokerto Pada Era Otonomi Daerah.
2. Pembatasan Masalah
Hubungan keuangan pusat dan daerah
menyangkut pembagian sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah. Hubungan ini menyangkut pembagian tanggung jawab untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pembagian sumber
penerimaan guna untuk menutup pengeluaran-pengeluaran dalam melaksanakan
kegiatan. Tujuan utama hubungan ini ialah untuk mencapai perimbangan antara
berbagai pembagian, agar antara potensi dan sumberdaya masing-masing daerah
sesuai dengan kondisinya. Maka dalam Undang-Undang Otonomi Daerah pasal 78
masalah keuangan daerah adalah sebagai berikut :
1. Penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah dan DPRD
dibiyai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah.
2.Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Daerah dibiyai
dari dan beban Pendapatan dan Belanja Daerah.(UU Otonomi Daerah,1999,40).
Untuk mendukung dalam penyelenggaraan
Otonomi Daerah bagi pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas serta bertanggung jawab dalam
pelaksanaan-pelaksanaan di daerah. Kewenangan-kewenangan yang diberikan pada
daerah yaitu masalah pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya
nasional serta perimbangan keuangan daerah. Masalah perimbangan keuangan dapat
dilihat dalam tabel sebagai berikut :
Tabel
1. Perimbangan Pendapatan Pusat dan Daerah.
Jenis Penerimaan |
Pusat |
Diolah |
Keterangan |
PBB
|
10%
|
90%
|
Bagian Pusat dibagikan ke Kabupaten dan Kota
|
Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan
|
20%
|
80%
|
|
Pertambangan minyak bumi dari wilayah daerah
|
85 %
|
15%
|
Setelah dikurangi pajak
|
Pertambangan Gas alam dari wilayah daerah setempat
|
70%
|
30%
|
|
Kehutanan
|
20%
|
80%
|
---------------Sumber
diolah dari UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999
Menganalis dari tabel tersebut bahwa
pemerintah daerah perlu menggali sumber-sumber dana yang ada di daerah untuk meningkatkan pendapatan yaitu
pendapatan asli daerah terdiri dari ;
1.hasil pajak daerah
2.hasil restribusi daerah.
3. hasil perusahaan milik daerah,hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan
4.
lain-lain pendapatn asli daerah yang sah.
b.dana
perimbangan
c.pinjaman
daerah
d.lain-lain
pendapatan daerah yang sah.(UU Otonomi Daerah pasal 79,1999,40).
Dengan adanya perimbangan keuangan daerah
,maka PT Bank BDP Cabang purwokerto di
daerah sangat mempnyai peluang yang sangat besar untuk menghimpun dana-
dananya. Dana perimbangan seperti :
1.Bagian
daerah dari penerimaan PBB
2.Bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan
3.Penerimaan
dari sumber daya alam.
4.Dana
Alokasi Umum
5.Dana
Alokasi Khusus(UU 25 Perimbamgan keuangan anatar puasat dan Daerah, pasal
6,1999,107).
Sedangkan sumber penerimaan dari yang
diperoleh dari pendapatan asli daerah itu sendiri seperti :
1.
Hasil Pajak
2.
Hasil retribusi Daerah
3.
Hasil Perusahaan Milik Daerah,
4.
Hasil Pengolalaan kekayaan yang dupisahkan
5.
Lain-lain yang
sah.(UU 25 Perimbangan keuangan antara pussat dan daerah pasal 4,1999,106).Oleh
karena itu bahwa PT Bank BPD Cabang Purwokerto harus berani mengambil
Kebijakan.
Sebaiknya
kebijakan yang diambil oleh PT Bank BPD Caabang Purwkerto dengan adanya Otonomi
Daerah yang rasional.Apabila tidak berani kemungkinan PT Bank BPD Cabang
Purwkerto akan mengalami pailit,karena dimasa-masa mendatang pada era
globalisasi.
Dengan adanya era globalisasi merupakan
suatu tantangan bagi PT Bank BPD Cabang Purwokerto.Tantangan-tantangan yang
dihadapi yaitu 1.masalah sumber daya manusia.
Sumber
daya manusia kurang profisionalisme merupakan hambatan bagi perbankan.Oleha
karena untuk meningkatkan sumber daya manusia yang profisionalisme sangat
diperlukan adanya diklat-diklat guna untuk menunjang kelancaran tugasnya
sehari-hari.
2.Pelayanan
yang tidak efektif.
Di
dalam melayani nasabah- nasabah harus mempunyai sikap yang dan jangan apatis.
3.masalah
perkembangan tehnologi yang begitu cepat.
Dengan cepatnya perkebangan tehnologi maka
seluruh pengawai maupun karyawan diharapkan menguasai perkembanganya.
No comments:
Post a Comment