Ditinjau dari aspek
sosiologis, hubungan hukum dokter dan pasien dewasa ini mengalami perubahan,
semula kedudukan pasien dianggap tidak sederajat dengan dokter, karena dokter
dianggap paling tahu terhadap pasiennya, dalam hal ini kedudukan pasien sangat
pasif, sangat tergantung kepada dokter. Namun dalam perkembangannya hubungan
antara dokter dan pasien telah mengalami perubahan pola, di mana pasien
dianggap sederajat kedudukannya dengan dokter. Segala tindakan medis yang akan
dilakukan dokter terhadap pasiennya harus mendapat persetujuan dari pasien,
setelah sang pasien mendapatkan penjelasan yang cukup memadai tentang segala
seluk beluk penyakit dan upaya tindakan mediknya.[1]
Perubahan pola hubungan hukum
antara dokter dengan pasien tersebut, terjadi karena disebabkan beberapa faktor
antara lain :[2]
1. Kepercayaan tidak lagi tertuju pada dokter
pribadi, akan tetapi pada keampuhan ilmu dan teknologi kesehatan;
2. masyarakat menganggap bahwa tugas dokter
tidak hanya menyembuhkan, akan tetapi lebih ditekankan pada perawatan;
3. ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa
kesehatan bukan lagi merupakan keadaan tanpa penyakit, akan tetapi lebih
berarti kesejahteraan fisik, mental dan sosial;
4. semakin banyaknya peraturan yang
memberikan perlindungan hukum kepada pasien, sehingga pasien semakin mengetahui
dan memahami hak-haknya dalam hubungan dengan dokter;
5. Tingkat kecerdasan masyarakat mengenai
kesehatan semakin meningkat dan mampu mengadakan penilaian.
Beberapa ahli yang telah
melakukan penelitian tentang hubungan antara dokter dan pasien, baik di bidang
medis, sosiologis maupun antropologi sebagaimana dikutip oleh Veronica
Komalawati[3]
menyatakan sebagai berikut :
(a) Russel, menyatakan bahwa hubungan antara
dokter dan pasien lebih merupakan hubungan kekuasaan, yaitu hubungan antara
pihak yang memiliki wewenang (dokter) sebagai pihak yang aktif, dengan pasien
yang menjalankan peran kebergantungan sebagai pihak yang pasif dan lemah;
(b) Freidson, Freeborn dan Darsky, menyebutkan
bahwa hubungan antara dokter dan pasien merupakan pelaksanaan kekuasaan medis
oleh dokter terhadap pasien;
(c) Schwarz dan Kart, mengungkapkan adanya
pengaruh jenis praktik dokter terhadap perimbangan kekuasaan antara pasien
dengan dokter dalam hubungan pelayanan kesehatan. Dalam praktik dokter umum,
kendali ada pada pasien karena kedatangannya sangat diharapkan oleh dokter
tersebut, sedangkan pada praktik dokter spesialis, kendali ada pada dokter umum
sebagai pihak yang merujuk pasiennya untuk berkonsultasi pada dokter spesialis
yang dipilihnya. Hal ini berarti bahwa hubungan pasien dengan dokter umum lebih
seimbang daripada hubungan pasien dengan dokter spesialis.
(d) Kisch dan Reeder, meneliti seberapa jauh
pasien dapat memegang kendali hubungan dan menilai penampilan kerja suatu mutu
pelayanan medis yang diberikan dokter kepada pasiennya. Dalam penelitian ini
ditemukan adanya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi peran pasien dalam
hubungan pelayanan medis, antara lain jenis praktik dokter (praktik individual
atau praktik bersama), atau sebagai dokter dalam suatu lembaga kedokteran.
Masing-masing kedudukan tersebut merupakan variabel yang diperlukan yang dapat
memberikan dampak terhadap mutu pelayanan medis yang diterimanya;
(e) Szasz dan Hollender, mengemukakan tiga
jenis prototip hubungan antara dokter dan pasiennya, yaitu hubungan antara
orang tua dan anak, antara orang tua dan remaja, dan prototip hubungan antara
orang dewasa.
Masih dalam hubungannya dengan
hubungan hukum dokter dan pasien, Thiroux seperti yang dikutip oleh Anny
Isfandyarie[4] membagi hubungan yang
seharusnya antara dokter dan pasien dalam 3 (tiga) sudut pandang, yakni :
(1) Pandangan Paternalisme, menghendaki dokter
untuk berperan sebagai orang tua terhadap pasien atau keluarganya. Menurut
pandangan ini, segala keputusan tentang pengobatan dan perawatan berada dalam
tangan dokter sebagai pihak yang mempunyai pengetahuan tentang pengobatan,
sementara pasien dianggap tidak mempunyai pengetahuan di bidang pengobatan.
Informasi yang dapat diberikan kepada pasien seluruhnya merupakan kewenangan
dokter dan asisten profesionalnya, dan pasien tidak boleh ikut campur di dalam
pengobatan yang dianjurkan;
(2) Pandangan Individualisme, beranggapan
bahwa pasien mempunyai hak mutlak atas tubuh dan nyawanya sendiri. Oleh karena
itu, semua keputusan tentang pengobatan dan perawatan sepenuhnya berada di
tangan pasien yang mempunyai hak atas dirinya sendiri;
(3) Pandangan Resiprocal dan Collegial, yang
mengelompokkan pasien dan keluarganya sebagai inti, dalam kelompok, sedangkan
dokter, perawat dan para profesional kesehatan lainnya harus bekerja sama untuk
melakukan yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. Hak pasien atas tubuh dan
nyawanya tidak dipandang sebagai hal yang mutlak menjadi kewenangan pasien, tatapi
dokter dan staf medis lainnya harus memandang tubuh dan nyawa pasien sebagai
prioritas utama yang menjadi tujuan pelayanan kesehatan yang dilakukan.
Keputusan yang diambil dalam perawatan dan pengobatan harus bersifat resiprokal
yang artinya bersifat memberi dan menerima, dan collegial yang berarti
pendekatan yang dilakukan merupakan pendekatan kelompok yang setiap anggotanya
mempunyai masukan dan tujuan yang sama.
Menurut Hermein Hadiati
Koeswadji[5]
hubungan antara dokter dan pasien terdapat 2 (dua) pola hubungan, yakni : pola
hubungan vertikal yang paternalistik dan pola hubungan horizontal yang
kontraktual. Dalam hubungan vertikal, kedudukan antara dokter sebagai pemberi
jasa pelayanan kesehatan tidak sederajat dengan pasien sebagai pengguna/ penerima
jasa pelayanan kesehatan, sedangkan dalam pola hubungan horizontal yang
kontraktual, kedudukan antara penerima jasa layanan kesehatan dan pemberi jasa
pelayanan kesehatan mempunyai kedudukan yang sederajat.
Dalam hubungannya dengan hal
di atas Soejono Soekanto mengemukakan pendapatnya yang mengatakan bahwa :[6]
“Hubungan antara dokter dan
pasien pada dasarnya merupakan hubungan hukum keperdataan, di mana pasien
datang kepada dokter untuk disembuhkan penyakitnya dan dokter berjanji akan
berusaha mengobati atau menyembuhkan penyakit pasien tersebut. Hubungan
keperdataan merupakan hubungan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
berada dalam kedudukan yang sederajat”.
Hubungan hukum antara dokter
dan pasien dalam pelayanan kesehatan disebut dengan “Transaksi Terapeutik”,[7]
yang didasarkan pada perjanjian, yakni perjanjian di mana dokter berusaha
semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien dari penderitaan sakitnya. Dalam
hal ini yang dituntut bukan perjanjian hasil atau kepastian adanya kesembuhan
atau keberhasilan, namun perjanjian tersebut berupa upaya atau usaha semaksimal
mungkin dari dokter dalam upayanya melakukan penyembuhan terhadap pasiennya
secara hati-hati dan cermat didasarkan pada ilmu pengetahuan yang layak.[8]
Dengan demikian, hubungan hukum antara dokter dan pasien dapat terjadi karena
perjanjian. Perjanjian antara dokter dengan pasien merupakan perjanjian yang
bersifat timbal balik, yang mengandung arti bahwa perjanjianlah yang melahirkan
hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Secara yuridis dengan terjadinya
perjanjian antara dokter dan pasien akan melahirkan akibat hukum yang berupa
hak dan kewajiban dokter dan pasien yang harus dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Oleh karena itu, hubungan hukum dokter dan pasien dalam pelayanan
kesehatan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum perjanjian yang diatur
dalam Buku III KUH Perdata (BW).
Dalam hukum perjanjian secara
teoritis dikenal dengan adanya 2 (dua) macam perjanjian, yakni :[9]
- Ispanningverbintenis, yakni suatu perjanjian di mana masing-masing pihak berupaya atau berusaha semaksimal mungkin mewujudkan atau menghasilkan perjanjian yang dimaksud. Dalam hal ini yang diutamakan adalah upaya atau ikhtiar.
- Resultaatverbintenis, yakni suatu perjanjian yang didasarkan pada hasil atau resultaat yang diperjanjikan. Masing-masing pihak berusaha semaksimal mungkin menghasilkan atau mewujudkan apa yang diperjanjikan. Dalam hal ini yang diutamakan adalah hasilnya.
Apabila kedua macam perjanjian
di atas dihubungkan dengan perjanjian terapeutik, maka perjanjian terapeutik
tersebut dapat dikategorisasikan pada perjanjian Ispanningverbintenis, karena dokter akan sulit atau tidak mungkin
dituntut untuk pasti dapat menyembuhkan pasiennya. Jadi yang dituntut dari
seorang dokter adalah usaha maksimal dan sungguh-sungguh dalam melakukan
penyembuhan dengan didasarkan pada standar ilmu pengetahuan kedokteran yang
baik. Demikian pula bagi pasien, dituntut untuk berupaya melaksanakan anjuran
dan perintah-perintah dokter agar sakitnya dapat disembuhkan. Kedua belah pihak
yaitu dokter dan pasien dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin menyembuhkan
suatu penyakit.
Dalam hubungannya dengan hal
di atas, Veronica Komalawati memberikan gambaran tentang kekhususan transaksi
terapeutik dibandingkan dengan perjanjian pada umumnya sebagai berikut :[10]
a. Subyek pada transaksi terapeutik terdiri
dari dokter dan pasien. Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik
profesional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan.
Pihak dokter mempunyai kualifikasi dan kewenangan tertentu sebagai tenaga
profesional di bidang medik yang berkompeten memberikan pertolongan yang
dibutuhkan pasien, sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai kualifikasi
dan kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter, berkewajiban membayar honorarium
kepada dokter atas pertolongan yang diberikan dokter tersebut;
b. Obyek perjanjian berupa upaya medik
profesional yang bercirikan pemberi pertolongan;
c. Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan
peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan
penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).
Di dalam Undang-Undang No. 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, hubungan hukum antara dokter dan pasien
ini terkandung dalam ketentuan Pasal 39, yang menyatakan bahwa :
“Praktik kedokteran
diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter dengan pasien dalam
upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan”.
Dari ketentuan di atas, dapat
ditafsirkan bahwa hukum antara dokter dan pasien merupakan hubungan hukum
keperdataan yang didasarkan pada kesepakatan para pihak. Artinya, apa yang
dikehendaki pasien, dikehendaki pula oleh dokter. Dokter dan pasien haruslah
seiya sekata. Pasien harus percaya kepada dokter yang melakukan upaya
pengobatan dan penyembuhan terhadap penyakitnya, demikian pula dokter harus
mempercayai pasien tentang semua keluhannya agar dokter dapat memberikan terapi
yang tepat.
Sebagai sebuah profesi, maka
dokter atau tenaga kesehatan lainnya diikat oleh sebuah kode etik yang harus
dipatuhi dan dilaksanakan serta dijadikan pedoman dalam menjalankan profesi
kedokterannya. Kode etik kedokteran secara yuridis tercantum dalam SK Menteri
Kesehatan No. 434/Men.Kes/X/1983 tentang berlakunya Kode Etik Kedokteran
Indonesia, yang menyebutkan secara khusus hubungan hukum dokter dan pasien
dalam pelayanan kesehatan, sebagai berikut :
(1) Transaksi Terapeutik ini hanya khusus
mengatur hubungan hukum antara dokter dan pasien;
(2) Dilakukan dalam nuansa saling percaya atau
konfidensial, yang mengandung makna bahwa pasien atau keluarga pasien harus
percaya kepada dokter yang melakukan upaya pengobatan penyembuhan terhadap
sakit pasien, demikian pula dokter harus mempercayai pasien. Pasien harus jujur
menceritakan tentang segala keluhannya dan segala ketidaktahuannya terhadap
obat-obat tertentu, agar dokter dapat memberikan terapi yang tepat;
(3) Hubungan hukum antara dokter dan pasien yang
bersifat khusus ini meliputi pula hubungan emosional, harapan dan kekhawatiran
makhluk insani atas kesembuhan pasien.
Perjanjian terapeutik dalam
undang-undang masuk dalam kategori perjanjian untuk melakukan jasa tertentu.
Oleh karena itu, apabila telah dilakukan perjanjian terapeutik dengan baik,
maka masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memiliki hak dan kewajiban
yang dilindungi oleh undang-undang.
[1] Veronica
Komalawati, Op. Cit., hal. 77.
[2] Soerjono
Soekanto, 1989. Op. Cit., hal. 149.
[3] Veronica
Komalawati, Op. Cit., hal. 43-45.
Lihat juga Anny Isfandyarie, Op. Cit.,
hal. 91-92.
[4] Anny Isfandyarie, Op. Cit., hal. 91-92.
[5] Hermein Hadiati Koeswadji, 1998. Hukum Kedokteran : Studi Tentang Hubungan
Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 46.
[6] Soejono
Soekanto, 1990. Op. Cit., hal. 4.
[7] Menurut
Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang dimaksud dengan Transaksi Terapeutik
adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling
percaya, serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran
makhluk insani.
[8] Syahrul
Machmud, Op. Cit., hal. 46.
[9] Syahrul
Machmud, Op. Cit., hal. 47.
[10]
Veronica Komalawati, Op. Cit., hal.
145.
No comments:
Post a Comment