Oleh TRI
WIDODO W. UTOMO
BELAKANGAN ini, berbagai media menurunkan rangkaian berita
dan analisis tentang globalisasi. Menghangatnya kembali diskursus globalisasi
tidaklah mengejutkan, mengingat makin nyatanya dampak buruk globalisasi
terhadap ekonomi dan budaya lokal. Secara teoretis, memang globalisasi
menjanjikan terjadinya integrasi pasar domestik dengan pasar internasional,
sehingga komoditas (ekonomi maupun budaya) lokal diharapkan dapat terserap oleh
pasar internasional. Di samping itu, perusahaan multinasional (MNC) yang masuk
ke negara berkembang sebenarnya juga dibebani tanggung jawab sosial (corporate
social responsibility), sehingga diharapkan dapat membawa efek
kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya.Alih-alih memberi manfaat bagi masyarakat di negara berkembang, globalisasi justru mempercepat proses penurunan daya saing produk lokal dan pelemahan daya tahan masyarakat untuk mempertahankan produk unggulannya. Itulah sebabnya, Walter B. Stohr dalam bukunya Global Challenge and Local Response (1990) mengatakan, restrukturisasi ekonomi mondial yang merupakan akibat logis dari globalisasi adalah ibarat virus AIDS, yang disebutnya local community AIDS. Disebut demikian, karena globalisasi itu menghilangkan (atau setidaknya mengurangi) kekebalan dan kemampuan suatu komunitas menghadapi tantangan global, yang pada akhirnya akan menghilangkan inovasi dan fleksibilitas anggota komunitas tersebut.
Senada dengan Stohr, Mahathir berpendapat bahwa pengintegrasian perekonomian dunia hanya akan membawa malapetaka bagi negara-negara berkembang. Itu bukan hanya merusak ekonomi lokal, tetapi lebih jauh bisa menciptakan perlambatan ekonomi, anarki ekonomi, bahkan kekacauan sosial (Kompas, 5/2/04). Lebih hebat lagi, Mahathir mengatakan, "Dulu saat membentuk ASEAN terikat pada satu kesamaan musuh (common enemy) yakni komunis, sekarang permasalahan tersebut sudah tidak ada lagi. Namun bila dilihat sekarang ini ASEAN dihadapkan pada masalah (musuh bersama) yang lain, yakni globalisasi" ("PR", 7/2/04).
Sinyalemen Stohr tampaknya tengah terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Di berbagai media bisa kita dapatkan merebaknya gejala deindustrialisasi dan denasionalisasi ekonomi. Di sisi lain, fungsi CSR atau corporate social responsibility dari MNC juga tidak berjalan. Laporan "Christian Aid" (2004) mengungkap sisi buruk dari globalisasi (ekonomi) di negara berkembang. Kasus Shell di Nigeria, British American Tobacco di Kenya, dan Coca-cola di India menunjukkan bahwa komitmen untuk berperilaku secara bertanggung jawab tidak pernah menjadi kenyataan. Perusahaan-perusahaan tadi juga terbukti gagal memberdayakan ekonomi/masyarakat lokal, sehingga perlu dirumuskan suatu aturan internasional baru yang mampu memaksa mereka menaati prinsip-prinsip CSR.
Di Indonesia sendiri, banyak sekali industri yang berbasis "padat karya" seperti TPT (tekstil dan produk tekstil) yang gulung tikar. Di sektor ini, pasar domestik telah diserbu produk impor yang diindikasikan oleh merosotnya indeks jumlah produksi industri besar dan sedang dari 109,2 pada tahun 2000 menjadi 100,3 di tahun 2002 (Khudori, 2004). Intinya adalah bahwa industri domestik rontok karena hilangnya daya tahan dan inovasi produk lokal atau bahkan masyarakat lokal. Dengan kata lain, tesis Stohr benar adanya bahwa masyarakat kita sedang terjangkiti oleh virus "community AIDS", sebagai akibat dari tidak siapnya kita menghadapi globalisasi.
**
SEBAGAI respons dari gelombang globalisasi yang merugikan
tadi, dewasa ini muncul gerakan atau kesadaran untuk "menolak"
globalisasi dengan mengukuhkan tradisi atau potensi lokal. Di Bantul,
Yogyakarta, misalnya, telah diluncurkan kebijakan baru yang diberi nama
"Amanat Perjuangan Rakyat Bantul". Salah satu komitmennya adalah
penggunaan bahasa Jawa dalam proses pelayanan publik setiap tanggal 20 setiap
bulannya. Masih di kawasan Yogya, ada upaya unik mempromosikan lokalism, yakni masuknya tiwul dalam food-industry modern yang dikelola oleh Indofood. Sementara itu di tataran internasional, "penolakan" terhadap globalisasi juga gencar dilakukan, termasuk tidak mau menggunakan produk-produk IT dari Microsoft, atau juga minuman kemasan yang banyak tersebar di pasaran. Nyatanya, orang-orang yang menolak produk global juga bisa eksis sebagaimana orang lain yang globalized (Kompas, 20/1/04).
Dalam kaitan ini, salah satu pendukung utama paham lokalisme adalah Colin Hines yang menulis buku berjudul Localization: The Global Manifesto (2000). Hines yakin bahwa globalisasi bukanlah pemberian Tuhan, sehingga ia mengajak untuk mengubah pandangan kita ke arah "teologi baru globalisasi" dengan lebih memberi tempat kepada paham lokalism yang melindungi dan membangun kembali ekonomi lokal. Itulah sebabnya, pendekatan utama dalam buku ini adalah "Protect the Local, Globally". Konkretnya, segala sesuatu yang bisa diproduksi di suatu negara atau daerah, harus dilakukan (jangan mendatangkan produk asing). Hal ini penting agar meningkatkan kontrol lokal atas ekonomi dan segala potensi untuk dapat disebarkan secara lebih adil di antara penduduk lokal.
Selanjutnya, Hines juga menyatakan bahwa lokalisme harus dilindungi dari globalisasi, karena globalisasi secara nyata menimbulkan dampak buruk terhadap masyarakat, keadilan, dan lingkungan. Beberapa kebijakan yang disarankan untuk melindungi lokalisme antara lain, (1) jangan melakukan impor barang dan jasa yang bisa diproduksi sendiri; (2) menerapkan prinsip produksi untuk konsumsi sendiri (site-here-to-sell-here rules); (3) mengupayakan agar arus uang tidak banyak keluar dari komunitas lokal (localizing money flows); (4) mendorong kompetisi lokal untuk menghasilkan barang dan jasa yang bermutu tinggi; dan (5) reorientasi kebijakan perdagangan dengan menitikberatkan pada penguatan ekonomi lokal daripada membangun daya saing internasional.
Dalam konteks Indonesia, kondisi riil masyarakat lokal kita saat ini harus diakui sangatlah lemah, terutama secara ekonomis. Itulah sebabnya, promosi lokalisme memang tampaknya lebih mendesak dari pada sekadar hasrat untuk berintegrasi dengan sistem ekonomi global.
**
DI tengah tarik ulur antara globalisasi dan lokalisasi
tadi, kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah nampaknya merupakan jawaban
yang cukup ideal untuk membangun potensi daerah dan memperkuat identitas lokal
tanpa harus menolak mentah-mentah arus globalisasi. Tentu saja, urgensi otonomi
daerah bukanlah untuk menghilangkan secara langsung dampak negatif globalisasi.
Esensi otonomi lebih pada upaya menciptakan landasan politis-yuridis-sosiologis
yang kuat bagi daerah untuk membangun dirinya berdasarkan kebutuhan,
karakteristik, dan potensi yang dimilikinya.Dari sini diharapkan akan lahir dua prasyarat penting untuk menghadapi globalisasi. Pertama, kapasitas lokal baik dalam hal SDM maupun kemampuan ekonomis dan, kedua, sebuah blue print pembangunan daerah jangka panjang yang inklusif, akomodatif, visioner, dan berkesinambungan. Dengan kata lain, otonomi daerah sesungguhnya hanya menyediakan antibodi terhadap virus community AIDS melalui pengembangan dua hal tadi.
Pada gilirannya, blue print pembangunan yang matang dan terarah, ditunjang oleh kapasitas lokal yang mantap diharapkan akan bermuara pada proteksi dan promosi tiga faktor strategis di daerah, yakni local culture and values, local commodities, dan local resources. Apa yang sudah dilakukan Pemkab Bantul dalam melindungi budaya Jawa (khususnya bahasa), atau apa yang dilakukan Pemprov DIY dan Indofood dalam mempromosikan produk lokalnya, sangatlah sejalan dengan semangat otonomi. Namun akan lebih baik jika hal tersebut dilakukan dalam kerangka pembangunan jangka panjang daerah, bukan kebijakan yang parsial atau piecemeal.
Di sisi lain, daerah juga harus mampu mengenali dan menggali potensi sendiri, agar sedikit demi sedikit makin memperkecil ketergantungan kepada pusat atau juga dunia luar. Dalam hal ini, perlu dipertimbangkan adanya reorientasi pembangunan industri yang berfokus pada daerah (district level industrialization). Artinya, suatu industri hendaknya tidak melulu dibangun di wilayah metropolitan dan sekitarnya, tapi perlu digeser ke daerah pinggiran dengan mengoptimalkan bahan baku lokal, tenaga kerja lokal, serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Strategi seperti ini telah terbukti berhasil di negara-negara Eropa beberapa dekade lalu.
Satu hal yang tidak bisa ditinggalkan adalah, untuk membangun dan memperkokoh local identity dan local competitiveness di era otonomi, harus dimulai dari reformasi birokrasi publik, terutama di level daerah. Dalam hal ini, regulasi harus benar-benar dirumuskan secara efektif demi merangsang majunya local enterpreneurs, sementara korupsi, pungli, serta retribusi ganda atau berlebih, harus segera dihentikan.***
No comments:
Post a Comment