Sebagaimana dikemukakan di
muka, bahwa dengan adanya hubungan hukum antara dokter dan pasien baik karena
perjanjian maupun karena undang-undang, maka timbul hak dan kewajiban dalam
hukum. Artinya, berbicara masalah hukum, tidak bisa lepas dari munculnya hak
dan kewajiban yang melekat di dalam setiap ketentuan hukum. Semua hak
melahirkan kewajiban, demikian juga sebaliknya. Hak memberi kenikmatan dan
keleluasaan kepada individu di dalam pelaksanaannya, sedangkan kewajiban
pembatasan dan beban bagi individu tersebut.[1]
Menurut Nila Ismani,[2]
yang menyatakan bahwa, “Hak di dalam pengertian secara umum adalah tuntutan
seseorang terhadap sesuatu yang merupakan kebutuhan pribadinya sesuai dengan
keadilan, moralitas dan legalitas”. Oleh karena itu, hak merupakan suatu
kepentingan yang dilindungi undang-undang, sedangkan kepentingan merupakan
tuntutan perseorangan atau kelompok yang diharapkan dipenuhi.
Berkaitan dengan masalah hak
ini, Soedikno Mertokusumo[3]
mengatakan bahwa, terdapat 4 (empat) unsur yang terkandung dalam suatu hak,
yakni :
(1) Subyek hukum ; segala sesuatu yang dapat
memperoleh hak dan dibebani kewajiban. Kewenangan untuk menyandang hak dan
kewajiban ini disebut “Kewenangan Hukum”.
(2) Obyek hukum ; segala sesuatu yang menjadi
fokus atau tujuan diadakannya hubungan hukum
(3) Hubungan hukum ; hubungan yang timbul dan
terjalin karena suatu peristiwa hukum;
(4) Perlindungan hukum ; segala sesuatu yang
mengatur dan menentukan hak serta kewajiban masing-masing pihak yang melakukan
hubungan hukum, sehingga kepentingannya terlindungi.
Di bagian lain Soedikno
Mertokusumo[4] juga menyatakan bahwa, ada
2 (dua) macam hak yang melekat pada setiap individu, yaitu :
(a) Hak absolut ; yakni hak yang memberikan
wewenang pada pemegangnya untuk berbuat atau tidak berbuat yang pada dasarnya
dapat dilaksanakan siapa saja dan melibatkan setiap orang. Isi hak absolut ini
ditentukan oleh kewenangan pemegang hak itu sendiri.
(b) Hak relatif ; yakni hak yang berisi
wewenang untuk menuntut hak yang dimiliki seseorang terhadap orang-orang
tertentu.
Di bidang kesehatan hak dan
kewajiban pun menjadi hal yang sangat penting dan mutlak untuk dilaksanakan.
Mengingat kelalaian untuk memenuhi hak dan kewajiban akan menimbulkan akibat
yang tidak kecil, yakni berupa tuntutan ganti kerugian ataupun dapat diduga
melakukan tidak pidana yang diancam dengan sanksi pidana seperti hukuman mati,
penjara maupun denda bahkan sanksi pencabutan hak-hak yang melekat pada setiap
individu tersebut.
Dalam pelayanan kesehatan yang
di dalamnya terkandung hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam perjanjian
terapeutik secara otomatis timbul hak dan kewajiban dokter dan pasien sebagai
akibat hukum dari adanya hubungan hukum pelayanan kesehatan tersebut.
Ditinjau dari sudut pandang
sosiologi hukum, maka dokter yang melakukan hubungan medis atau transaksi
terapeutik terhadap pasien, masing-masing mempunyai kedudukan dan peranan.
Kedudukan merupakan wadah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, sedangkan peranan
tidak lain merupakan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing
pihak tersebut.[5] Dengan demikian secara
sederhana dapat dikatakan bahwa, hak merupakan kewenangan dokter dan pasien
untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban tidak lain merupakan
beban atau tugas yang harus dilaksanakan, sehingga hak dan kewajiban merupakan
pasangan, oleh karena di mana ada hak, disitulah ada kewajiban dan begitu
sebaliknya.
Untuk mengetahui lebih
mendalam apa sajakah yang menjadi hak dan kewajiban dokter dan pasien dalam
pelayanan kesehatan, maka berikut ini akan dikemukakan beberapa hak dan
kewajiban dokter dan pasien secara parsial, baik yang bersumber dari hubungan
hukum maupun undang-undang.
Berkaitan dengan hal di atas, Alexandra Indriyanti
Dewi[6]
mengemukakan beberapa hak dan kewajiban dokter dalam pelayanan kesehatan.
Adapun hak-hak dokter yang dimaksud berupa :
(a) Hak untuk melakukan praktik kedokteran
setelah memperoleh surat izin dokter dan surat izin praktik;
(b) Hak untuk memperoleh informasi yang benar
dan lengkap dari pasiennya tentang penyakitnya;
(c) Hak untuk bekerja sesuai dengan standar
profesinya;
(d) Hak untuk menolak melakukan tindakan medik
yang bertentangan dengan etika, hukum, agama dan hati nuraninya;
(e) Hak untuk mengakhiri hubungan dengan
pasiennya, jika menurut penilaiannya kerja sama dengan pasiennya tidak ada
gunanya lagi kecuali dalam keadaan darurat;
(f) Hak atas privasi dokter dalam kehidupan
pribadinya;
(g) Hak untuk memperoleh ketenteraman bekerja
dengan jaminan yang layak di dalam memberikan kenyamanan dan suasana kerja yang
baik;
(h) Hak untuk mengeluarkan surat-surat
keterangan dokter;
(i) Hak untuk menerima imbalan jasa;
(j) Hak untuk menjadi anggota perhimpunan
profesi
(k) Hak untuk membela diri.
Bilamana dikaitkan dengan
perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien, Veronica Komalawati[7]
mengemukakan pendapatnya tentang hak-hak dokter dalam pelayanan kesehatan secara
ringkas sebagai berikut :
(1) hak atas informasi pasien mengenai
keluhan-keluhan yang diderita;
(2) hak atas imbalan jasa atau honorarium;
(3) hak mengakhiri hubungan dengan pasien,
jika pasien tidak mematuhi nasehat yang diberikan;
(4) hak atas etikad baik dari pasien dalam
pelaksanaan transaksi terapeutik;
(5) hak atas privasi.
Hak-hak dokter yang dapat
dinikmati dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana diuraikan di
atas, diatur lebih tegas dalam ketentuan Pasal 50 Undang-Undang No. 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran yang menyatakan antara lain sebagai berikut :
“Dokter atau dokter gigi
dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar
profesi dan standar prosedur operasional;
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan
jujur dari pasien atau keluarganya; dan
d. Menerima imbalan jasa”.
Dari hak-hak dokter
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50 di atas, nampak bahwa dokter berhak untuk
mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan medis yang telah dilakukan,
sepanjang apa yang telah dilakukan dokter atau dokter gigi sesuai standar
profesi dan standar prosedur operasional. Dengan kata lain, bilamana dokter
atau dokter gigi telah melakukan tindakan medis sesuai standar profesi dan
standar prosedur operasional tidak dapat dituntut secara hukum di persidangan
lembaga peradilan.
Di samping hak-hak tersebut di
atas, dokter sebagai pengemban profesi dalam pelayanan kesehatan, dibebani pula
dengan kewajiban-kewajiban sebagaimana dikemukakan oleh Alexandra Indriyanti
Dewi[8]
antara lain sebagai berikut :
(a) Setiap dokter harus menjunjung tinggi,
menghayati dan mengamalkan sumpah kedokteran;
(b) Setiap dokter harus senantiasa melakukan
profesinya menurut ukuran tertinggi;
(c) Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya,
dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi;
(d) Setiap dokter wajib melindungi makhluk
insani;
(e) Dalam melakukan pekerjaannya, seorang
dokter harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek
pelayanan kesehatan yang menyeluruh, serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenarnya;
(f) Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas
dan menggunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita;
(g) Setiap dokter wajib merahasiakan segala
sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan setelah penderita
meninggal dunia;
(h) Setiap dokter wajib melakukan pertolongan
darurat sebagai tugas kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
bersedia dan mampu memberikannya;
(i) Setiap dokter tidak diperbolehkan
mengambil alih penderita dari teman sejawatnya tanpa persetujuannya.
Menurut Leenen sebagaimana
dikutip oleh Danny Wiradharma[9]
mengatakan bahwa, kewajiban dokter dalam melaksanakan pelayanan kesehatan pada
prinsipnya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yakni :
- Kewajiban yang timbul dari sifat keperawatan medik di mana dokter harus bertindak sesuai dengan standar profesi medik atau menjalankan praktik kedokterannya secara “lege artis”[10]
- kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien yang bersumber dari hak-hak asasi manusia dalam bidang kesehatan;
- kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan.
Ditinjau dari segi
profesionalisme, secara normatif dokter mempunyai kewajiban-kewajiban
profesionalisme yang harus diamalkan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan
yang meliputi :[11]
- Kewajiban mempertahankan dan meningkatkan kompetensi profesionalnya (Commitment to professional competence);
- Kewajiban untuk berkata dan berlaku jujur kepada pasien (Commitment to honesty with patient);
- Kewajiban melindungi kerahasiaan pasien (Commitment to patient confidentially);
- Kewajiban untuk memelihara hubungan dan komunikasi yang sepantasnya dengan pasien (Commitment to maintaining appropriate relations with patient);
- Kewajiban untuk meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien (Commitment to improving quality of care);
- Kewajiban meningkatkan jangkauan pelayanan pasien (Commitment to improving acces to care);
- Kewajiban menyesuaikan distribusi pelayanan dalam hal keterbatasan fasilitas (Commitment to adjust distribution of finite resources);
- Kewajiban terhadap ilmu pengetahuan (Commitment to Scientifiec knowledge);
- Kewajiban memelihara kepercayaan dengan pengelolaan konflik kepentingan secara baik (Commitment to maintaining Trust by managing conflicts of interest).
Kewajiban-kewajiban dokter
terhadap pasien dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana
diuraikan di atas, secara normatif
diatur lebih konkret dalam ketentuan Pasal 51 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, yang menyatakan bahwa ;
“Dokter atau dokter gigi
dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi
lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan dan pengobatan;
c. Merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya;
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan
ilmu kedokteran atau kedokteran gigi”.
Masih dalam hubungannya dengan
kewajiban dokter, Hermein Hadiati Koeswadji[12]
menyatakan bahwa ;
“Dari Kode Etik Kedokteran
dapat dirumuskan kewajiban-kewajiban pokok Dokter sebagai berikut ;
1. Dokter wajib merawat pasiennya dengan cara
keilmuan yang dimiliki secara adekuat;
2. Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri
sesuai dengan yang telah diperjanjikan, kecuali apabila pasien menyetujui perlu
adanya seseorang yang mewakilinya;
3. Dokter wajib memberikan informasi kepada
pasiennya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit
penderitanya.
Di samping itu, terdapat pula
tindakan-tindakan dokter yang dilarang dilakukan oleh dokter, karena hal
tersebut dianggap bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran, antara lain :[13]
(a) Melakukan suatu perbuatan yang bersifat
memuji diri sendiri;
(b) Ikut serta dalam memberikan pertolongan
kedokteran dalam segala bentuk tanpa kebebasan profesi;
(c) Menerima uang lain selain dari imbalan
yang layak sesuai dengan jasanya meskipun dengan pengetahuan pasien.
Selain hak dan kewajiban
dokter sebagaimana dipaparkan di atas, dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan juga timbul hak dan kewajiban pasien, baik karena perjanjian
terapeutik maupun secara tegas dalam undang-undang.
Menurut Alexandra Indriyanti
Dewi,[14]
kedudukan pasien sebagai pihak penerima jasa medis dalam pelayanan kesehatan
secara umum mempunyai hak-hak sebagai berikut :
(1) Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri
dan hak untuk mati secara wajar;
(2) Memperoleh pelayanan kedokteran dan
keperawatan secara manusiawi sesuai dengan standar profesi baik kedokteran
maupun keperawatan;
(3) Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang
direncanakan;
(4) Memperoleh penjelasan tentang riset
kedokteran dan keperawatan yang akan diikutinya;
(5) Menolak atau menerima keikutsertaannya
dalam riset kesehatan dan kedokteran;
(6) Dirujuk kepada dokter spesialis bilamana
diperlukan;
(7) Kerahasiaan dan rekam mediknya atas hal
pribadi;
(8) Memperoleh penjelasan tentang peraturan
rumah sakit;
(9) Hak untuk berhubungan dengan keluarga, penasehat
rohani dan memperoleh perincian pembiayaan.
Berkaitan dengan hak pasien
dalam pelayanan kesehatan ini, Soerjono Seokanto mengatakan bahwa :
“Secara umum hak-hak pasien
dalam pelayanan kesehatan meliputi antara lain :
a. Hak pasien atas perawatan dan pengurusan;
b. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan
rumah sakit yang akan merawatnya;
c. Hak untuk menolak cara perawatan tertentu;
d. Hak atas informasi;
e. Hak atas rasa aman dan tidak diganggu;
f.
Hak
untuk mengakhiri perjanjian perawatan.
Selanjutnya secara normatif
pasien dalam pelayanan kesehatan juga diberikan hak yang secara tegas
ditentukan dalam Pasal 52 Undang-Undang No.29 tahun 2004 tentang Praktik
kedokteran, yang menyatakan sebagai berikut :
“Pasien dalam menerima
pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak, antara lain :
a. Mendapat penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medis;
b. Meminta pendapat dokter lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis”.
Selain yang ditentukan dalam
Undang-Undang Praktik kedokteran tersebut di atas, Kode Etik Kedokteran
Indonesia juga menyebutkan beberapa hak pasien yang perlu diperhatikan, antara
lain sebagai berikut :[15]
(a) Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri
dan hak untuk mati secara wajar;
(b) Hak memperoleh pelayanan kedokteran yang
manusiawi sesuai dengan standar profesi kedokteran;
(c) Hak memperoleh penjelasan tentang
diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobatinya;
(d) Hak untuk menolak prosedur diagnosis dan
terapi yang direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapeutik;
(e) Hak untuk memperoleh penjelasan tenaga
riset kedokteran yang akan diikutinya serta menolak atau menerima
keikutsertaannya dalam riset kedokteran tersebut;
(f) Hak untuk dirujuk kepada dokter spesialis
bila perlu, dan dikembalikan kepada dokter yang merujuknya setelah selesai
konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan atau tindak lanjut;
(g) Hak atar kerahasiaan atau rekam medik yang
bersifat pribadi;
(h) Hak untuk memperoleh penjelasan peraturan
rumah sakit;
(i) Hak untuk berhubungan dengan keluarga,
penasehat atau rohaniawan dan lain-lainnya yang diperlukan selama perawatan di
rumah sakit;
(j) Hak untuk memperoleh penjelasan tentang perincian
biaya rawat inap, obat, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan rontgen,
ultrasonografi, CT-scan, biaya kamar bedah, kamar bersalin, imbalan jasa dokter
dan lain-lain.
Di samping hak-hak pasien
sebagaimana dikemukakan di atas, dalam pelayanan kesehatan pasien juga
mempunyai beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan. Menurut Alexandra
Indriyanti Dewi,[16] dikatakan bahwa pasien
dalam pelayanan kesehatan mempunyai kewajiban sebagai berikut :
(1) Kewajiban untuk memeriksakan diri sedini
mungkin kepada dokter;
(2) Kewajiban memberikan informasi yang benar
dan lengkap tentang penyakitnya;
(3) Kewajiban mematuhi nasehat dan petunjuk
dokter;
(4) Kewajiban menandatangani surat-surat
persetujuan tindakan medis atau Informed
Consent, surat jaminan dirawat di rumah sakit;
(5) Wajib yakin pada dokternya dan yakin akan
sembuh;
(6) Kewajiban melunasi biaya perawatan di
rumah sakit, biaya pengobatan serta honorarium dokter.
Berkaitan dengan kewajiban
pasien ini, Bahder Johan Nasution memberikan pendapatnya yang agak berbeda pada
beberapa kewajiban pasien dengan Alexandra Indriyanti Dewi, namun mengandung
makna yang sama. Menurut Bahder Johan Nasution,[17]
kewajiban pasien yang harus dilaksanakan dalam pelayanan kesehatan mencakup :
(a) Kewajiban memberikan informasi;
(b) Kewajiban melaksanakan nasehat dokter atau
tenaga kesehatan lainnya;
(c) Kewajiban untuk berterus terang apabila
timbul masalah dalam hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatan;
(d) Kewajiban memberikan imbalan jasa;
(e) Kewajiban memberikan ganti rugi apabila
tindakannya merugikan dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
Ditinjau dari hukum positif
yang berlaku, kewajiban pasien dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan telah
ditentukan secara tegas dalam ketentuan Pasal 53 Undang-Undang No. 29 tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran, yang menyatakan bahwa ;
“Pasien dalam menerima
pelayanan kesehatan pada praktik kedokteran mempunyai kewajiban sebagai berikut
:
1. Memberikan informasi yang lengkap dan
jujur tentang masalah kesehatannya;
2. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau
dokter gigi;
3. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana
pelayanan kesehatan; dan
4. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan
yang diterima.
[1] Seodikno
Mertokusumo, 1986. Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, hal.
39.
[2] Nila
Ismani, 2001. Dasar-dasar Etika
Keperawatan, Widya Medika, Jakarta,
hal. 20.
[3] Seodikno
Mertokusumo, Op. Cit., hal. 38-39.
[4] Seodikno
Mertokusumo, Ibid., hal. 40
[5] Deddy Rasyid, 2000. Perbuatan Malpraktik Dokter dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia,
Sebuah Tesis, Universitas Indonesia,
Jakarta, hal.
28.
[6] Alexandra Indriyanti Dewi, 2008. Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book
Publisher, Yogyakarta, hal. 144-148.
[7]
Veronica Komalawati, 1989. Hukum dan Etika
Dalam Parktik Kedokteran, PT Pustaka Sina Harapan, Jakarta, hal. 99.
[8]
Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit.,
hal. 138-143.
[9] Danny
Wiradharma, 1996. Penuntun Kuliah Hukum
Kedokteran, Bina Rupa Aksara, Jakarta,
hal. 74.
[10] Menurut
Leenen, bahwa apa yang dikenal dalam dunia kedokteran sebagai “Lege Artis” pada hakekatnya adalah
suatu tindakan yang dilakukan sesuai dengan standar profesi medik yang pada
dasarnya terdiri dari beberapa unsur yaitu : (1) bekerja dengan teliti,
hati-hati dan seksama; (2) sesuai dengan ukuran medis; (3) sesuai dengan
kemampuan rata-rata/sebanding dengan dokter dalam kategori keahlian medik yang
sama; (4) dalam keadaan yang sebanding; dan (5) dengan sarana dan upaya yang
sebanding wajar dengan tujuan konkrit medik tersebut.
[11] Hendrojono
Soewono, Op. Cit., hal. 25-26.
[12] Hermein Hadiati Koeswadji, Op. Cit,. Hal. 148-149.
[13] Fred
Amin, 1991. Kapita Selekta Hukum
Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta,
hal. 57. Lihat pula Sutrisno, 1992. Medical
Malpractice, Bunga Rampai Tentang Medical Malpractice, Mahkamah Agung RI, Jakarta, hal. 7.
[14]
Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit.,
hal. 158-159.
[15] Anny
Isfandyarie, Op. Cit., hal. 98-102.
[16]
Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit.,
hal. 158.
[17] Bahder
Johan Nasution, Op. Cit., hal. 34.
terimakasih
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung, sila kan di salin dan gunakan sebaik-baiknya serta terapkan kaidah penulisan dengan benar, semoga bermanfaat.
Deleteterima kasih
ReplyDeleteinformasi yang Anda tulis sangat bermanfaat
Terima kasih sudah berkunjung, sila kan di salin dan gunakan sebaik-baiknya serta terapkan kaidah penulisan dengan benar, semoga bermanfaat.
Deleteterima kasih
ReplyDeleteinformasi yang Anda tulis sangat bermanfaat