Tuesday, April 10, 2012

Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan


Sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa dengan adanya hubungan hukum antara dokter dan pasien baik karena perjanjian maupun karena undang-undang, maka timbul hak dan kewajiban dalam hukum. Artinya, berbicara masalah hukum, tidak bisa lepas dari munculnya hak dan kewajiban yang melekat di dalam setiap ketentuan hukum. Semua hak melahirkan kewajiban, demikian juga sebaliknya. Hak memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu di dalam pelaksanaannya, sedangkan kewajiban pembatasan dan beban bagi individu tersebut.[1]
Menurut Nila Ismani,[2] yang menyatakan bahwa, “Hak di dalam pengertian secara umum adalah tuntutan seseorang terhadap sesuatu yang merupakan kebutuhan pribadinya sesuai dengan keadilan, moralitas dan legalitas”. Oleh karena itu, hak merupakan suatu kepentingan yang dilindungi undang-undang, sedangkan kepentingan merupakan tuntutan perseorangan atau kelompok yang diharapkan dipenuhi.
Berkaitan dengan masalah hak ini, Soedikno Mertokusumo[3] mengatakan bahwa, terdapat 4 (empat) unsur yang terkandung dalam suatu hak, yakni :
(1)    Subyek hukum ; segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan dibebani kewajiban. Kewenangan untuk menyandang hak dan kewajiban ini disebut “Kewenangan Hukum”.
(2)    Obyek hukum ; segala sesuatu yang menjadi fokus atau tujuan diadakannya hubungan hukum
(3)    Hubungan hukum ; hubungan yang timbul dan terjalin karena suatu peristiwa hukum;
(4)    Perlindungan hukum ; segala sesuatu yang mengatur dan menentukan hak serta kewajiban masing-masing pihak yang melakukan hubungan hukum, sehingga kepentingannya terlindungi.

Di bagian lain Soedikno Mertokusumo[4] juga menyatakan bahwa, ada 2 (dua) macam hak yang melekat pada setiap individu, yaitu :
(a)    Hak absolut ; yakni hak yang memberikan wewenang pada pemegangnya untuk berbuat atau tidak berbuat yang pada dasarnya dapat dilaksanakan siapa saja dan melibatkan setiap orang. Isi hak absolut ini ditentukan oleh kewenangan pemegang hak itu sendiri.
(b)    Hak relatif ; yakni hak yang berisi wewenang untuk menuntut hak yang dimiliki seseorang terhadap orang-orang tertentu.

Di bidang kesehatan hak dan kewajiban pun menjadi hal yang sangat penting dan mutlak untuk dilaksanakan. Mengingat kelalaian untuk memenuhi hak dan kewajiban akan menimbulkan akibat yang tidak kecil, yakni berupa tuntutan ganti kerugian ataupun dapat diduga melakukan tidak pidana yang diancam dengan sanksi pidana seperti hukuman mati, penjara maupun denda bahkan sanksi pencabutan hak-hak yang melekat pada setiap individu tersebut.
Dalam pelayanan kesehatan yang di dalamnya terkandung hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam perjanjian terapeutik secara otomatis timbul hak dan kewajiban dokter dan pasien sebagai akibat hukum dari adanya hubungan hukum pelayanan kesehatan tersebut.
Ditinjau dari sudut pandang sosiologi hukum, maka dokter yang melakukan hubungan medis atau transaksi terapeutik terhadap pasien, masing-masing mempunyai kedudukan dan peranan. Kedudukan merupakan wadah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, sedangkan peranan tidak lain merupakan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak tersebut.[5] Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa, hak merupakan kewenangan dokter dan pasien untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban tidak lain merupakan beban atau tugas yang harus dilaksanakan, sehingga hak dan kewajiban merupakan pasangan, oleh karena di mana ada hak, disitulah ada kewajiban dan begitu sebaliknya.
Untuk mengetahui lebih mendalam apa sajakah yang menjadi hak dan kewajiban dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan, maka berikut ini akan dikemukakan beberapa hak dan kewajiban dokter dan pasien secara parsial, baik yang bersumber dari hubungan hukum maupun undang-undang.
Berkaitan dengan hal di atas, Alexandra Indriyanti Dewi[6] mengemukakan beberapa hak dan kewajiban dokter dalam pelayanan kesehatan. Adapun hak-hak dokter yang dimaksud berupa :
(a)    Hak untuk melakukan praktik kedokteran setelah memperoleh surat izin dokter dan surat izin praktik;
(b)   Hak untuk memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasiennya tentang penyakitnya;
(c)    Hak untuk bekerja sesuai dengan standar profesinya;
(d)   Hak untuk menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika, hukum, agama dan hati nuraninya;
(e)    Hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasiennya, jika menurut penilaiannya kerja sama dengan pasiennya tidak ada gunanya lagi kecuali dalam keadaan darurat;
(f)     Hak atas privasi dokter dalam kehidupan pribadinya;
(g)    Hak untuk memperoleh ketenteraman bekerja dengan jaminan yang layak di dalam memberikan kenyamanan dan suasana kerja yang baik;
(h)    Hak untuk mengeluarkan surat-surat keterangan dokter;
(i)      Hak untuk menerima imbalan jasa;
(j)     Hak untuk menjadi anggota perhimpunan profesi
(k)   Hak untuk membela diri.

Bilamana dikaitkan dengan perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien, Veronica Komalawati[7] mengemukakan pendapatnya tentang hak-hak dokter dalam pelayanan kesehatan secara ringkas sebagai berikut :
(1)   hak atas informasi pasien mengenai keluhan-keluhan yang diderita;
(2)   hak atas imbalan jasa atau honorarium;
(3)   hak mengakhiri hubungan dengan pasien, jika pasien tidak mematuhi nasehat yang diberikan;
(4)   hak atas etikad baik dari pasien dalam pelaksanaan transaksi terapeutik;
(5)   hak atas privasi.
Hak-hak dokter yang dapat dinikmati dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana diuraikan di atas, diatur lebih tegas dalam ketentuan Pasal 50 Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menyatakan antara lain sebagai berikut :
“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a.       Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b.      Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
c.       Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
d.      Menerima imbalan jasa”.

Dari hak-hak dokter sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50 di atas, nampak bahwa dokter berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan medis yang telah dilakukan, sepanjang apa yang telah dilakukan dokter atau dokter gigi sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional. Dengan kata lain, bilamana dokter atau dokter gigi telah melakukan tindakan medis sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional tidak dapat dituntut secara hukum di persidangan lembaga peradilan.
Di samping hak-hak tersebut di atas, dokter sebagai pengemban profesi dalam pelayanan kesehatan, dibebani pula dengan kewajiban-kewajiban sebagaimana dikemukakan oleh Alexandra Indriyanti Dewi[8] antara lain sebagai berikut :
(a)    Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah kedokteran;
(b)   Setiap dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi;
(c)    Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi;
(d)   Setiap dokter wajib melindungi makhluk insani;
(e)    Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya;
(f)     Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan menggunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita;
(g)    Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan setelah penderita meninggal dunia;
(h)    Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai tugas kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya;
(i)      Setiap dokter tidak diperbolehkan mengambil alih penderita dari teman sejawatnya tanpa persetujuannya.
Menurut Leenen sebagaimana dikutip oleh Danny Wiradharma[9] mengatakan bahwa, kewajiban dokter dalam melaksanakan pelayanan kesehatan pada prinsipnya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yakni :
  1. Kewajiban yang timbul dari sifat keperawatan medik di mana dokter harus bertindak sesuai dengan standar profesi medik atau menjalankan praktik kedokterannya secara “lege artis”[10]
  2. kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien yang bersumber dari hak-hak asasi manusia dalam bidang kesehatan;
  3. kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan.

Ditinjau dari segi profesionalisme, secara normatif dokter mempunyai kewajiban-kewajiban profesionalisme yang harus diamalkan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang meliputi :[11]
  1. Kewajiban mempertahankan dan meningkatkan kompetensi profesionalnya (Commitment to professional competence);
  2. Kewajiban untuk berkata dan berlaku jujur kepada pasien (Commitment to honesty with patient);
  3. Kewajiban melindungi kerahasiaan pasien (Commitment to patient confidentially);
  4. Kewajiban untuk memelihara hubungan dan komunikasi yang sepantasnya dengan pasien (Commitment to maintaining appropriate relations with patient);
  5. Kewajiban untuk meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien (Commitment to improving quality of care);
  6. Kewajiban meningkatkan jangkauan pelayanan pasien (Commitment to improving acces to care);
  7. Kewajiban menyesuaikan distribusi pelayanan dalam hal keterbatasan fasilitas (Commitment to adjust distribution of finite resources);
  8. Kewajiban terhadap ilmu pengetahuan (Commitment to Scientifiec knowledge);
  9. Kewajiban memelihara kepercayaan dengan pengelolaan konflik kepentingan secara baik (Commitment to maintaining Trust by managing conflicts of interest).
Kewajiban-kewajiban dokter terhadap pasien dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana diuraikan  di atas, secara normatif diatur lebih konkret dalam ketentuan Pasal 51 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang menyatakan bahwa ;
“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a.       Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b.      Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan dan pengobatan;
c.       Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d.      Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya;
e.       Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi”.

Masih dalam hubungannya dengan kewajiban dokter, Hermein Hadiati Koeswadji[12] menyatakan bahwa ;
“Dari Kode Etik Kedokteran dapat dirumuskan kewajiban-kewajiban pokok Dokter sebagai berikut ;
1.      Dokter wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang dimiliki secara adekuat;
2.      Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri sesuai dengan yang telah diperjanjikan, kecuali apabila pasien menyetujui perlu adanya seseorang yang mewakilinya;
3.      Dokter wajib memberikan informasi kepada pasiennya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit penderitanya.

Di samping itu, terdapat pula tindakan-tindakan dokter yang dilarang dilakukan oleh dokter, karena hal tersebut dianggap bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran, antara lain :[13]
(a)    Melakukan suatu perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri;
(b)   Ikut serta dalam memberikan pertolongan kedokteran dalam segala bentuk tanpa kebebasan profesi;
(c)    Menerima uang lain selain dari imbalan yang layak sesuai dengan jasanya meskipun dengan pengetahuan pasien.
Selain hak dan kewajiban dokter sebagaimana dipaparkan di atas, dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan juga timbul hak dan kewajiban pasien, baik karena perjanjian terapeutik maupun secara tegas dalam undang-undang.
Menurut Alexandra Indriyanti Dewi,[14] kedudukan pasien sebagai pihak penerima jasa medis dalam pelayanan kesehatan secara umum mempunyai hak-hak sebagai berikut :
(1)   Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati secara wajar;
(2)   Memperoleh pelayanan kedokteran dan keperawatan secara manusiawi sesuai dengan standar profesi baik kedokteran maupun keperawatan;
(3)   Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan;
(4)   Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran dan keperawatan yang akan diikutinya;
(5)   Menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kesehatan dan kedokteran;
(6)   Dirujuk kepada dokter spesialis bilamana diperlukan;
(7)   Kerahasiaan dan rekam mediknya atas hal pribadi;
(8)   Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit;
(9)   Hak untuk berhubungan dengan keluarga, penasehat rohani dan memperoleh perincian pembiayaan.

Berkaitan dengan hak pasien dalam pelayanan kesehatan ini, Soerjono Seokanto mengatakan bahwa :
“Secara umum hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan meliputi antara lain :
a.       Hak pasien atas perawatan dan pengurusan;
b.      Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawatnya;
c.       Hak untuk menolak cara perawatan tertentu;
d.      Hak atas informasi;
e.       Hak atas rasa aman dan tidak diganggu;
f.        Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan.

Selanjutnya secara normatif pasien dalam pelayanan kesehatan juga diberikan hak yang secara tegas ditentukan dalam Pasal 52 Undang-Undang No.29 tahun 2004 tentang Praktik kedokteran, yang menyatakan sebagai berikut :
“Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak, antara lain :
a.       Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;
b.      Meminta pendapat dokter lain;
c.       Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d.      Menolak tindakan medis; dan
e.       Mendapatkan isi rekam medis”.
Selain yang ditentukan dalam Undang-Undang Praktik kedokteran tersebut di atas, Kode Etik Kedokteran Indonesia juga menyebutkan beberapa hak pasien yang perlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut :[15]
(a)    Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati secara wajar;
(b)   Hak memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standar profesi kedokteran;
(c)    Hak memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobatinya;
(d)   Hak untuk menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapeutik;
(e)    Hak untuk memperoleh penjelasan tenaga riset kedokteran yang akan diikutinya serta menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kedokteran tersebut;
(f)     Hak untuk dirujuk kepada dokter spesialis bila perlu, dan dikembalikan kepada dokter yang merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan atau tindak lanjut;
(g)    Hak atar kerahasiaan atau rekam medik yang bersifat pribadi;
(h)    Hak untuk memperoleh penjelasan peraturan rumah sakit;
(i)      Hak untuk berhubungan dengan keluarga, penasehat atau rohaniawan dan lain-lainnya yang diperlukan selama perawatan di rumah sakit;
(j)     Hak untuk memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat inap, obat, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan rontgen, ultrasonografi, CT-scan, biaya kamar bedah, kamar bersalin, imbalan jasa dokter dan lain-lain.
Di samping hak-hak pasien sebagaimana dikemukakan di atas, dalam pelayanan kesehatan pasien juga mempunyai beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan. Menurut Alexandra Indriyanti Dewi,[16] dikatakan bahwa pasien dalam pelayanan kesehatan mempunyai kewajiban sebagai berikut :
(1)   Kewajiban untuk memeriksakan diri sedini mungkin kepada dokter;
(2)   Kewajiban memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang penyakitnya;
(3)   Kewajiban mematuhi nasehat dan petunjuk dokter;
(4)   Kewajiban menandatangani surat-surat persetujuan tindakan medis atau Informed Consent, surat jaminan dirawat di rumah sakit;
(5)   Wajib yakin pada dokternya dan yakin akan sembuh;
(6)   Kewajiban melunasi biaya perawatan di rumah sakit, biaya pengobatan serta honorarium dokter.

Berkaitan dengan kewajiban pasien ini, Bahder Johan Nasution memberikan pendapatnya yang agak berbeda pada beberapa kewajiban pasien dengan Alexandra Indriyanti Dewi, namun mengandung makna yang sama. Menurut Bahder Johan Nasution,[17] kewajiban pasien yang harus dilaksanakan dalam pelayanan kesehatan mencakup :
(a)    Kewajiban memberikan informasi;
(b)   Kewajiban melaksanakan nasehat dokter atau tenaga kesehatan lainnya;
(c)    Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatan;
(d)   Kewajiban memberikan imbalan jasa;
(e)    Kewajiban memberikan ganti rugi apabila tindakannya merugikan dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
Ditinjau dari hukum positif yang berlaku, kewajiban pasien dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan telah ditentukan secara tegas dalam ketentuan Pasal 53 Undang-Undang No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, yang menyatakan bahwa ;
“Pasien dalam menerima pelayanan kesehatan pada praktik kedokteran mempunyai kewajiban sebagai berikut :
1.      Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
2.      Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
3.      Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
4.      Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Berdasarkan pada kewajiban-kewajiban pasien tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa, meskipun kewajiban pasien tersebut telah ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran, tetapi pasien berkewajiban pula secara moral di bidang kesehatan, yakni menjaga kesehatannya dan menjalankan aturan-aturan perawatan sesuai dengan nasehat dan petunjuk dokter yang merawatnya.


[1] Seodikno Mertokusumo, 1986. Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, hal. 39.
[2] Nila Ismani, 2001. Dasar-dasar Etika Keperawatan, Widya Medika, Jakarta, hal. 20.
[3] Seodikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 38-39.
[4] Seodikno Mertokusumo, Ibid., hal. 40
[5]       Deddy Rasyid, 2000. Perbuatan Malpraktik Dokter dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia, Sebuah Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 28.
[6]       Alexandra Indriyanti Dewi, 2008. Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, hal. 144-148.
[7] Veronica Komalawati, 1989. Hukum dan Etika Dalam Parktik Kedokteran, PT Pustaka Sina Harapan, Jakarta, hal. 99.
[8] Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit., hal. 138-143.
[9] Danny Wiradharma, 1996. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Rupa Aksara, Jakarta, hal. 74.
[10] Menurut Leenen, bahwa apa yang dikenal dalam dunia kedokteran sebagai “Lege Artis” pada hakekatnya adalah suatu tindakan yang dilakukan sesuai dengan standar profesi medik yang pada dasarnya terdiri dari beberapa unsur yaitu : (1) bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama; (2) sesuai dengan ukuran medis; (3) sesuai dengan kemampuan rata-rata/sebanding dengan dokter dalam kategori keahlian medik yang sama; (4) dalam keadaan yang sebanding; dan (5) dengan sarana dan upaya yang sebanding wajar dengan tujuan konkrit medik tersebut.
[11] Hendrojono Soewono, Op. Cit., hal. 25-26.
[12] Hermein Hadiati Koeswadji, Op. Cit,.  Hal. 148-149.
[13] Fred Amin, 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta, hal. 57. Lihat pula Sutrisno, 1992. Medical Malpractice, Bunga Rampai Tentang Medical Malpractice, Mahkamah Agung RI, Jakarta, hal. 7.
[14] Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit., hal. 158-159.
[15] Anny Isfandyarie, Op. Cit., hal. 98-102.
[16] Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit., hal. 158.
[17] Bahder Johan Nasution, Op. Cit., hal. 34.

5 comments:

  1. Replies
    1. Terima kasih sudah berkunjung, sila kan di salin dan gunakan sebaik-baiknya serta terapkan kaidah penulisan dengan benar, semoga bermanfaat.

      Delete
  2. terima kasih
    informasi yang Anda tulis sangat bermanfaat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah berkunjung, sila kan di salin dan gunakan sebaik-baiknya serta terapkan kaidah penulisan dengan benar, semoga bermanfaat.

      Delete
  3. terima kasih
    informasi yang Anda tulis sangat bermanfaat

    ReplyDelete