“... reformasi sistem administrasi tidak
pernah mencapai inti permasalahan tetapi hanya formalitas semata.
Reformasi tersebut tidak cukup luas dan mendalam. Bahkan cukup banyak
negara yang tidak memberikan perhatian yang cukup memadai pada reformasi
administrasi...” Barulah setelah terlambat dan kondisi negara sudah amat
buruk pemerintah menyadari perlunya reformasi administrasi. “By the time it
was realized that defective administrative system were a serious
obstacle to progress, that what was wrong with them was fundamental, and
hihger priority should be to putting them right, the prevailing gales
were fast blowing into huricanes.”
Mungkin Indonesia adalah salah
satu negara yang tidak memberikan perhatian besar pada reformasi administrasi.
Walau pun jabatan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara selalu ada dalam
Pemerintahan Orde Baru, Pemerintahan Reformasi, Pemerintahan Gotong Royong dan
terakhir dalam Pemerintahan Indonesia Bersatu, tetapi kedalaman dan keluasan
reformasi aparatur negara belum menyentuh bagian-bagian yang paling mendasar
dalam sistem administrasi khususnya sistem kepegawaian.
Dirangsang oleh
pemikiran-pemikiran Osborne dan Gaebler melalui buku mereka “Reinventing
Government” (1992) dan Osborne dan Plastrik melalui buku berjudul
provokatif “Banishing Bureaucracy: the Five Stages of Reinventing Government”
(1998), berkembanglah pemikiran yang cukup berpengaruh di lingkungan
lembaga-lembaga keuangan internasional bahwa pemerintah yang baik adalah
pemerintah yang ramping. Lembaga-lembaga multilateral mau pun bilateral dengan
cepat menerima pandangan tersebut dan menerapkannya dalam program bantuan
mereka dan menjadikannya bagian dari paket program pengembangan good governance,
yang secara sempit diartikan sama dengan small government atau clean
government. Program-program reformasi ekonomi yang dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga internasional di Indonesia – khususnya privatisasi dan
debirokratisasi – juga tidak terlepas dari pemikiran dasar ini, padahal dalam
kenyataannya peranan Pemerintah Indonesia, anggaran pemerintah cukup kecil,
tidak mencapai 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), berarti berada jauh
di bawah negara-negara OECD yang sekarang masih cukup tinggi yaitu rata-rata
47.7 persen. Demikian juga bila diukur dari rasio penduduk per pegawai,
Indonesia ternyata berada di bawah rasio di negara-negara maju. Dalam keadaan
organisasi pemerintah terlalu kecil untuk mampu melaksanakan tugas-tugas pokoknya,
Pemerintah Indonesia mendapat desakan kuat dari luar untuk melakukan
debirokratisasi dan deregulasi.
Berbeda dari persepsi publik
bahwa negara ini kelebihan PNS, dengan 3.622.000 PNS sebenarnya Indonesia belum
mencapai rasio minimal yang dipersyaratkan agar mampu menyelenggarakan
pelayanan umum yang memadai bagi 217 juta penduduk yang tersebar di 440
kabupaten dan kota. Dari jumlah tersebut lebih dari 1,6 juta orang adalah
tenaga kependidikan dan 126.000 tenaga kesehatan. Dari gambaran umum ini jelaslah
bahwa bagi Indonesia isu pokok bukan besarnya jumlah PNS, karena untuk
memberikan pelayanan umum yg minimal diperlukan lebih kurang 4,3 juta PNS.
Kualitas SDM aparatur negara juga relatif cukup baik karena dari total PNS,
hanya 6 persen yang berpendidikan SD dan SLTP, 37 pesen berpendidikan SLTA, 55
persen berpendidikan S-0 dan S-1, dan sekitar 2,5 lebih memiliki pendidikan
pascasarjana.
Karena itu nampaknya reformasi
birokrasi khususnya reformasi kepegawaian harus dipusatkan pada 3 aspek yaitu
penataan sistem penggajian dan jaminan sosial PNS, pendistribusian mutu PNS
yang lebih merata antar daerah perkotaan dan pedesaan, serta mengatasi ketimpangan
dalam kompetensi perumusan kebijakan.
Penataan gaji dan jaminan sosial
harus merupakan fokus utama dalam reformasi birokrasi karena sistem penggajian
PNS yang diterapkan terlalu menyimpang dari acuan teori penggajian yang
berlaku. Literatur manajemen SDM yang banyak dianut oleh banyak negara, skala
penggajian yang baik dan yang mampu memacu prestasi kerja adalah yang memiliki
rasio 1 : 20 antara gaji terendah dan gaji tertinggi. Pada masa-masa awal
Pemerintahan Indonesia, sistem penggajian PNS menggunakan skala seperti
tersebut. Skala yang digunakan saat ini, yang dikenal dengan Peraturan Gaji
Pegawai Sipil (PGPS) telah menyimpang dari teori penggajian. Skala penggajian
yang kita terapkan mungkin merupakan sistem penggajian yang paling kompleks di
dunia karena menggunakan skala gabungan dan rasio antara gaji pokok tertinggi
dan terendah terlalu tipis. Dalam PGPS dikenal gaji pokok yang berkisar antara
Rp. 700.000, gaji terendah, dan Rp 1,700,000, gaji tertinggi. Selain itu ada
tunjangan fungsional yang besarnya dan tunjangan struktural untuk para pejabat
eselon IV sampai eselon I. Karena itulah sistem penggajian ini disebut sebagai
sistem yang menggunakan skala gabungan.
Sistem penggajian dengan skala
gabungan tersebut ternyata belum menjamin tingkat kesejahteraan yang mampu
mendukung kinerja PNS. Total penerimaan PNS jauh dibawah gaji dan tunjangan
yang diterimakan pada para pegawai BUMN dan anggota legislatif. Bahkan berada
dibawah gaji para anggota dan pegawai berbagai komisi yang tumbuh seperti jamur
selama masa pemerintahan SBY-MJK. Karena itu reformasi birokrasi harus
memberikan prioritas pertama pada sistem penggajian PNS.
Reformasi birokrasi juga harus
diarahkan untuk menciptakan system kepegawaian meritokratik. Landasan hukum
untuk sistem kepegawaian meritokratik yang bertujuan untuk menjamin agar
birokrasi pemerintah bersih dari intervensi politik sebenarnya sudah ada yaitu
UU No. 43 tahun 1999. Untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari
praktek “spoilled” dan pengelolaan aparatur negara betul-betul
terlaksana secara meritokratik, UU tersebut memperkenalkan konsep kelembagaan
independen sebagai pembantu Presiden untuk merumuskan kebijakan-kebijakan
kepegawaian negeri yang harus dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintah
pusat dan daerah.
Pasal 13 Ayat (3) UU No 43 Tahun
1999 tentang Perubahan terhadap UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok
Kepegawaian Negara menetapkan adanya komisi independen tersebut yaitu Komisi
kepegawaian Negara yang terdiri atas 5 anggota yang mewakili stakeholder penting
yang belum dibentuk oleh Pemerintah. Bentuk lembaga independen seperti ini
makin banyak digunakan di berbagai negara karena dipandang sebagai bentuk
kelembagaan yang lebih cocok untuk mewadahi proses perumusan kebijakan yang
lebih demokratis. Di banyak negara maju, independent civil service commission,
yang terdiri 3 sampai 21 anggota telah digunakan karena dipandang lebih mampu
menjamin proses perumusan kebijakan kepegawaian meritokratik.
Sekarang sudah saatnya bentuk
kelembagaan yang lebih akomodatif dan regulatif ini dikenalkan pada tatanan
birokrasi pemerintah, untuk mengelola fungsi-fungsi regulasi dalam
pemerintahan. Di negara lain komisi kepegawaian mulai mulai lebih disukai
daripada badan kepegawaian. Hampir semua negara Asia sekarang ini menggunakan
bentuk komisi atau Civil Service Commission untuk menjalankan fungsi
kepegawaian. Indonesia termasuk negara yang lamban mengadakan structural
adjustment dalam bidang kepegawaian.
Komisi Kepegawaian atau Civil
Service Commission yang terdiri dari 5-7 anggota harus diberikan
kemandirian yang memadai dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Karena itu
komisi tidak perlu dipimpin langsung oleh Presiden, apalagi kalau Presiden
masih merangkap jabatan ketua partai. Selama otoritas pengangkatan pejabat
teras pemerintahan tetap dipegang oleh presiden, tak perlu khawatir dengan
bentuk komisi independen.
Dengan adanya Komisi
Kepegawaian, peranan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara harus di difinisi
ulang dan lebih diarahkan pada koordinasi perumusan dan evaluasi pelaksanaan
kebijakan good governance. Saat ini kebijakan good governance yang
dijalankan oleh Pemerintah mencakup beberapa bidang pokok antara penataan
sistem pemerintahan, desentralisasi pemerintahan atau otonomi daerah, penataan
sistem keuangan negara, serta penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Reformasi aparatur negara adalah
prasyarat mutlak yang diperlukan untuk menjamin berlangsungnya pengelolaan
pemerintahan yang demokratis serta system ekonomi yang dapat menciptakan
keadilan sosial bagi semua. Sayangnya model yang berhasil diterapkan suatu
negara tidak dapat diterapkan begitu saja di Indonesia, karena belum tentu
model yang cocok untuk suatu bangsa juga akan cocok untuk Indonesia.
Karena itu Indonesia harus
berani mencari sistem pemerintahan dan system ekonomi yang sosio-demokratis
yang dianggap paling sesuai dengan budaya bangsanya. Para pendiri negara
menganggap corak bangsa Indonesia -- gotong royong atau kekeluargaan –
seharusnhya merupakan landasan dasar dalam pemikiran tentang kedua sistem
tersebut.
Sebagai bagian integral dari
reformasi aparatur negara, perlu dilakukan pembenahan pada birokrasi
pemerintah, yang mencakup penerapan model manajemen baru, sistem kepegawaian
baru termasuk penerapan sistem penggajian dan jaminan sosial yang lebih
rasional, serta penerapan aplikasi tekonologi informasi moderen dalam manajemen
pemerintahan. Tanpa reformasi yang komprehensif tersebut, sukar mengharapkan
akan terjadi peningkatan kinerja birokrasi secara mendasar.
Sumber/ Referensi-Bahan Bacaan:
Indiahono, Dwiyanto. 2006. Reformasi
“Birokrasi Amplop”: Mungkinkah?. Yogyakarta: Gava Media
Hariandja, Denny B.C. 2005. Birokrasi
Nan Pongah. Cetakan kelima. Yogyakarta: Kanisius
Siagian, Sondang P. 2007. Administrasi
Pembangunan; Konsep, Dimensi dan Strateginya. Cetakan kelima. Jakarta: PT
Bumi Aksara
Sutiono, Agus, dkk. 2004. Memahami
Good Governance: Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia. Editor: Ambar Teguh
Sulistiyani. Yogyakarta: Gava Media
Undang-Undang No 43 Tahun 1999
tentang Perubahan terhadap UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian
Negara
No comments:
Post a Comment