oleh M Fajrul Falaakh (anggota Komisi Hukum Nasional)
Berbagai pihak (atau sektor) yang terlibat dalam keseluruhan dinamika
governance menerima sorotan dan harus diperbaiki, pihak-pihak itu bukan hanya
negara (legislatif, yudikatif, dan eksekutif) melainkan juga pihak swasta dan
masyarakat sipil (civil society).
Penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik (good
governance) menjadi agenda utama di Indonesia dewasa ini. Menarik bahwa
penentuan agenda ini didahului oleh krisis finansial (1997) yang meluas menjadi
krisis ekonomi.
Krisis tersebut telah mendorong arus balik yang luas yang
menuntut perbaikan ekonomi negara, penciptaan good corporate governance di
sektor swasta, dan perbaikan pemerintahan negara.
Seperti dialami bersama, bangsa Indonesia memulai semua itu
dengan mendesak suksesi kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto ke Presiden
Habibie (1998). Tentu saja, suksesi tidak cukup sebagai jawaban atas tuntutan
masyarakat. Reformasi politik akhirnya melebar: berkembangnya sistem multi
partai, penyelenggaraan pemilihan umum oleh lembaga yang independen (1999),
pembentukan lembaga perwakilan yang lebih representatif dan lebih berdaya dalam
mengawasi pemerintah (eksekutif), pengurangan dan bahkan penghilangan
intervensi militer dalam kehidupan politik dan pemerintahan di luar bidang
mereka, peningkatan profesionalisme dan independensi lembaga peradilan, dan
lain-lain.
Pendek kata, berbagai pihak (atau sektor) yang terlibat
dalam keseluruhan dinamika governance menerima sorotan dan harus diperbaiki,
pihak-pihak itu bukan hanya negara (legislatif, yudikatif, dan eksekutif)
melainkan juga pihak swasta dan masyarakat sipil (civil society). Yang terakhir
dituntut meningkatkan perannya dalam rangka mengembangkan demokratisasi dan
akuntabilitas pemerintahan negara.
Namun governance reform yang kini terpusat pada pihak
eksekutif dan administrasi negara, tidak dapat dihindari. Berbagai faktor telah
menyebabkannya. Konstitusi Indonesia termasuk a heavy-executive constitution,
yang memberikan kekuasaan besar kepada presiden. Peran pemerintah selama 30-an
tahun terakhir juga begitu dominan dalam berbagai aspek kehidupan. Dominasi ini
telah didukung secara sistematis melalui peran birokrasi yang tidak
netral-politik karena menganut monoloyalitas kepada Golkar, sistem kepartaian
dominan (dominant party system), dan militer. Dengan pemerintahan negara yang elitis,
sedangkan masyarakat sipil masih lemah atau bahkan dibungkam, pemerintah
memainkan peran yang strategis di bidang politik, sosial dan ekonomi.
Eksekutifpun semakin independen, karena anggaran negara banyak didukung oleh
hutang luar negeri. Maka dapat dimengerti bahwa independensi pemerintah
tersebut juga merambah ke dunia usaha dan menghasilkan pengusaha pemburu rente
(rent-seekers). Tuntutan reformasi yang dirumuskan dalam slogan anti korupsi,
kolusi dan nepotisme menggambarkan kebobrokan sistem pemerintahan negara yang
didominasi oleh pemerintah, dengan aktor-aktor utama tersebut di muka, dan
dalam sektor swasta yang seharusnya mandiri dan bebas dari intervensi
pemerintah. Maka, reformasi pemerintahan negara (governance reform) yang
terfokus pada pihak eksekutif dan administrasi negara merupakan salah satu
jalur strategis bagi tercapainya good governance. Untuk itu terdapat berbagai
strategi pencapaiannya. Pertama, usaha telah dijalankan untuk menghasilkan
pemerintahan yang demokratik dan legitimate. Perkembangan sistem multi partai
menjadi saluran bagi masyarakat untuk mendirikan asosiasi politik dan
menjatuhkan pilihannya secara bebas. Penyelenggaraan pemilu oleh lembaga yang
independen (KPU) dan pemantauan oleh masyarakat sipil (domestik dan international),
telah meningkatkan kredibilitas sistem pembentukan legislatif dan eksekutif.
Kedua, seharusnya diperjelas otoritas pemerintahan baru di hadapan birokrasi
lama. Tetapi hal ini belum memungkinkan, baik karena ketidakjelasan pengaturan,
tidak adanya dukungan legislatif, maupun resistensi birokrasi lama.
Masalah-masalah yang muncul dalam penunjukan pejabat-pejabat politik (political
appointess), misalnya, mencerminkan bahwa watak Indonesia sebagai beambtenstaat
(negara birokrasi) masih menonjol. Dalam sistem politik yang demokratik dan
menghasilkan pemerintahan yang legitimate, seharusnya wajar belaka jika
pemerintah berhak menentukan jabatan-jabatan tertentu dalam birokrasi negara.
Jika tidak, maka pemerintahan yang demokratik akan dibajak oleh sistem
birokrasi lama. Upaya memperjelas masalah ini dapat dimulai dengan menghasilkan
perundang-undangan tentang lembaga kepresidenan. Dalam pengaturan itu
ditentukan tentang otoritas politik, hak-hak dan kewajibannya, dan
akuntabilitas. Ketiga, reformasi administrasi negara. Seperti diketahui
bersama, birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi yang menggurita. Mereka
bukan hanya berada di lingkaran eksekutif seperti Sekretariat Negara,
Departemen, Lembaga Non-departemen, dan BUMN, melainkan juga di lembaga perwakilan
rakyat dan peradilan. Upaya awal sudah dilakukan, seperti transfer administrasi
peradilan umum dari Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung, atau penentuan
anggaran sendiri oleh lembaga perwakilan rakyat. Namun banyak hal masih harus
dilakukan dalam reformasi administrasi negara ini. Secara umum reformasi itu
mencakup peran atau tugas sistem addministrasi negara antara lain guna melayani
masyarakat secara aspiratif daripada melayani kepentingan sendiri melalui
kolusi dengan dunia usaha dan nepotisme. Peran lain adalah memberi ruang pada
masyarakat dan sektor swasta untuk berkembang dari bawah (bottom-up) dan di
daerah (decentralization). Bappenas, Dirjen Sospol Depdagri, Dephankam,
misalnya telah mengalaminya. Aspek lainnya adalah penataan kelembagaan,
termasuk melakukan rasionalisasi lembaga dan personil. Hal ini memerlukan
peninjauan ulang terhadap keberadaan dan fungsi berbagai macam lembaga sesuai
dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik dewasa ini. Termasuk yang harus
mengalami reformasi adalah proses dan tata-cara administrasi negara yang tidak
berbelit-belit, transparan, memuaskan dan tidak korup. Keempat, kultur dan
etika birokrasi. Kultur keterbukaan, pelayanan yang cepat, dan etika pejabat
harus ditingkatkan. Pelayanan yang lamban sudah menjadi ciri birokrasi kita
(perhatikan layanan KTP, pemasangan saluran telepon baru atau air minum). Etika
jabatan menyangkut hal-hal seperti larangan perangkapan jabatan, berkolusi,
penerimaan uang pelicin dan lain-lain. Kelima, masalah sumber daya manusia yang
memerlukan rekruitmen berdasarkan kualitas dan profesionalisme, peningkatan
pelatihan, promosi reguler berdasarkan merit system, dan meningkatnya
kesejahteraan (bandingkan antara gaji guru dengan pejabat esselon, juga pegawai
negeri sipil-militer dengan pegawai BUMN). Keenam, pengawasan administrasi
negara. Hal ini dapat dilakukan secara preventif maupun represif. Pengawasan
preventif melekat pada sistem administrasi negara yang bersangkutan, seperti
kejelasan job description, pengawasan oleh atasan, dan secara umum berupa
penyelenggaraan pemerintah berdasarkan prinsip-prinsip yang baik, yang harus
diikuti atau diwujudkan dalam menghasilkan legislasi. Indonesia belum memiliki
ketentuan hukum dalam hal ini. Sedangkan secara represif, pengawasan ini dapat
berwatak politis, yaitu melalui DPR dan DPRD, maupun berwatak yudisial melalui
peradilan adminastrasi yang terbatas pada keputusan konkret (beschikking).
Memang banyak hal yang harus diperbaiki. Peran legislatif dalam mengutamakan
kepentingan publik harus ditingkatkan, bukan sekedar kepentingan partai atau
golongan. Pemahaman anggota (yang baru) mengenai administrasi pemerintahan
masih harus ditingkatkan pula. Bias birokrasi, kekuasaan, politik dan bisnis
yang mewarnai kultur peradilan selama ini, belum sepenuhnya hilang. Sebaliknya,
ketidakpatuhan birokrasi dalam menjalankan putusan hakim juga menuntut
pemberdayaan putusan peradilan administrasi.Berbagai strategi lain mungkin saja
dipikirkan, diusulkan dan dikembangkan. Tujuannya bukan sekedar melahirkan
wacana, konsep-konsep dan program yang reformatif untuk menuju clean and the
good governance, melainkan juga untuk mendorong perwujudannya.
No comments:
Post a Comment