PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Negara
yang terdiri dari beragam suku bangsa dan budaya yang berbeda dan mempunyai
ciri khas masing-masing yang unik pula, berdasarkan pada kegiatan yang telah
terjadi secara turun temurun dan mendarah daging di masyarakat Indonesia. Salah
satunya adalah budaya Nadran (Sedekah Laut) pada masyarakat pesisir pantai di
Jawa Barat, merupakan bentuk dari budaya asli masyarakat Indonesia yang telah
ada sejak dulu hingga sekarang. Sebagai salah satu warisan budaya nenek moyang.
Namun
di era pesatnya globalisasi saat ini, budaya-budaya lokal seperti Nadran
(Sedekah Laut) sangat rentan tersingkir dan hilang dari kebudayaan nasional,
diakibatkan banyaknya pengaruh dari budaya-budaya asing yang masuk dan kian
hari kian memperburuk kondisi kebudayaan-kebudayaan lokal yang ada.
Oleh
karena itu saya ingin menyoroti sebuah tempat di pesisir pantai kota Cirebon
yang masih mempertahankan nilai-nilai budaya lokalnya, khususnya budaya Nadran
(Sedekah Laut) yagn saat ini hampir dilupakan dan pudar dikarenakan semakin
sedikitnya masyarakat yang mengerti dan memahami makna yang terkandung dalam
prosesi Nadran yang selama ini hanya dianggap sebagai pesta rakyat tanpa
filosofi yang ada didalamnya. Sehingga diperlukan media dan sarana yang memadai
untuk mempelajari Nadran (Sedekah Laut).
Daerah
pesisir pantai kota Cirebon merupakan salah satu tempat yang masih
mempertahankan dan melestarikan budaya Nadran (Sedekah Laut), agar kita tidak
hanya bisa merayakannya saja tetapi juga tahu akan makna dan filosofinya.
Sehubungan
dengan hal itu observasi Nadran (Sedekah Laut) ini diharapkan dapat menjadi
sumber bacaan yang berguna untuk masyarakat dan generasi muda kita agar lebih
mencintai dan melestarikan nilai-nilai budaya yang ada.
B.
Perumusan Masalah
Berangkat
dari latar belakang di atas maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
Mengapa Nadran (Sedekah
Laut) sekarang ini semakin pudar?
C.
Tujuan
Memberikan
informasi dan pengetahuan yagn penting mengenai kebudayaan-kebudayaan lokal
yang ada di Indonesia agar bisa terpelihara dan terlestarikan di tengah
pesatnya era globalisasi.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Tradisi Nadran Masyarakat Cirebon
Nadran
adalah perayaan masyarakat (pesta rakyat) di daerah pesisir kota Cirebon yang
berlangsung setiap tahunnya sebagai ucapan rasa syukur dan terima kasih kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas segala rezeki yang telah diberikan. Nadran sebenarnya
merupakan suatu tradisi hasil akulturasi budaya Islam dan Hindu yang diwariskan
sejak ratusan tahun secara turun menurun. Kata Nadran sendiri menurut sebagian
nelayan Cirebon, berasal dari kata Nazar yang mempunyai arti dalam agama Islam
; pemenuhan janji. Adapun inti upacara Nadran adalah mempersembahkan sesajen
(yang merupakan ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhur) kepada
penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut, dan merupakan ritual tolak bala
(keselamatan).
Dalam
upacara Nadran juga dilakukan permohonan agar diberi keselamatan dalam melaut,
serta tangkapan hasil laut mereka melimpah di tahun mendatang. Upacara Nadran
dilakukan masyarakat nelayan Cirebon satu tahun sekali yang waktunya jatuh
antara bulan Juli sampai agustus. Tradisi ini memiliki landasan filosofis yang
berakar dari keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya lokal. Nilai-nilai
filosofis yang menarik untuk dipelajari antara lain solidaritas, etis, estetis,
kultural dan reliius, tradisi Nadran dapat meningkatkan persaudaran antar warga
desa yang selama ini dikenal memiliki watak dan karakter yang keras.
Berdasarkan buku
penelitian Dr. Heriyani Agustina, Kepel Press-2009 diceritakan tentang buku
“Negara Kertabumi” karya Pangeran Wangsakerta dengan sumber cerita dari Kartani
(Penasehat Budaya Cirebon) disebutkan bahwa asal-usul pelaksanaan budaya Nadran
adalah berawal pada tahun 410 M, dimana Raja Purnawarman, raja ketiga Kerajaan
Tarumanegara yang terletak di dekat sungai Citarum yang mengalir dari Bandung
ke Indramayu, memerintahkan Raja Indraprahasta Prabu Santanu ( yang sekarang
Kec. Talun, Kab. Cirebon) untuk memperdalam atau memperbaiki tanggul, yang
bertujuan untuk menduplikat Sungai Gangga di India. Agar tanggul sungai lebih
kuat, dibuatlah prasastinya tangan sang Prabu Purnawarman yang sekarang belum
ditemukan, serta sang Prabu memberikan hadiah-hadiah untuk Brahmana 500 ekor
sapi, pakaian-pakaian dan satu ekor gajah untuk Raja Indraprahasta (Prabu
Santanu). Duplikat Sungai Gangga tersebut untuk keperluan mandi suci. Sungai
yang dimaksud adalah sungai Gangganadi dan muaranya di sebut Subanadi (muara
adalah perbatasan antara sungai dan laut). Sungai tersebut sekarang adalah sungai Kriyan, terletak di belakang Keraton
Kasepuhan Kota Cirebon. Mandi suci di sungai Gangganadi dilakukan setahun
sekali, sebagai acara ritual untuk menghilangkan kesialan dan sebagai sarana
mempersatukan rakyat dan pemujaan kepada sang pencipta.( Sumber Kartani dan
Kaenudin)
Sebetulnya tradisi Nadran bukanlah tradisi
asli daerah Cirebon apalagi masyarakat Desa Mertasinga, karena tradisi ini banyak
juga ditemukan dibeberapa daerah lain dengan nama yang berbeda, seperti di Jawa
Tengah dikenal dengan tradisi Labuhan, karena ada beberapa kepercayaan bahwa
apabila mereka tidak melakukan sedekah ini, mereka berkeyakinan bahwa Dewa
Baruna akan murka dan segera mengirim bencana melalui dewa petir, Dewa
Halilintar dan Dewa Angin yang mengakibatkan nelayan tidak dapat melaut.
Akhirnya tidak dapat mencari ikan sebagai sumber kehidupan utama. Penggunaan
daging kerbau sebagai persembahan dan bukanya daging sapi, dikarenakan daging
kerbau lebih banyak, juga ada kemungkinan sapi merupakan hewan yang dianggap
suci dalam agama Hindu, sehingga harus dipelihara dan tidak boleh dibunuh.
Selain itu juga sapi dianggap jelmaan dari dewa.
Selain melarung ritual lainnya adalah
pembacaan mantra-mantra sambil membakar dupa atau kemenyan yang bertujuan
memohon keselamatan kepada para Dewa Laut. Mantra juga berfungsi untuk
memanggil arwah para leluhur yang telah ikut menjaga keselamatan mereka dalam
mencari rejeki di laut. Kesan magis pada asap dupa dan kemenyan bertujuan untuk
ketenangan sekaligus permohonan kehadirat Yang Maha Kuasa, agar permohonan
mereka lebih cepat sampai ke hadapan Tuhan serta cepat dikabulkan segala
permohonan atau permintaannya.
Dalam rangkaian tradisi Nadran juga di
tampilkan hiburan Wayang yang merupakan kesenian dari Hinduisme dan animisme,
yang dapat diperankan seperti tokoh Mahabarata dan Ramayana. Pertunjukan lain
dari wayang yang sangat kental dengan Hinduisme dan animismenya adalah wayang
dengan lakon Wudug Basuh, yang menceritkan tentang pencarian Tirta Amerta (air
kehidupan) oleh para Dewa, dengan cara mengaduk air laut menggunakan ekor naga
Basuki. Tirta Amerta diperlukan untuk mengurapi para Dewa agar mereka terhindar
dari kematian, tapi mereka tidak dapat terhindar dari sakit. Oleh karena itu,
masing-masing-masing dewa diberi tempat dikayangan Suralaya. Namun demikian ada
kelanjutannya, air laut yang diaduk oleh para dewa tersebut mengakibatkan
mahluk laut terganggu, lalu bermuculan ke daratan sambil membawah wabah
penyakit wudug, budug (bisul), penyakit-penyakit lainnya. untuk mengatasi wabah
ini para Dewa meminta bantuan pada Sanghiyang Baruna untuk menentramkan mahluk
laut supaya tidak mengganggu penghuni daratan. Sangyang Baruna melantunkan jampa
mantra di baskom air kembang, lalu air kembang yang telah diberi mantra
disiramkan pada layar perahu nelayan.
Meskipun Nadran bernuansa magis dan
animisme, masyarakat primitif pada waktu itu telaah memiliki kesadaran mistik
terhadap keberadaan penguasa alam semesta, disertai rasa terima kasih dan
bermohon kepada Yang Maha Kuasa suapaya diberi kebaikan dan keselamatan.
B. Potensi Nadran dalam Meningkatkan Ekonomi
Setiap
daerah tentunya sadar bahwa
menggairahkan potensi wisata pesisir seperti Nadran akan berdampak pada
peningkatan kondisi ekonomi masyarakat pesisir. Saat ini tingkat ekonomi
masyarakat pesisir pada umumnya masih rendah, namun masyarakat pada umumnya
enggan beralih ke profesi lain karena mereka menganggap profesi nelayan sebagai
amanat yang dititipkan secara turun-temurun dari pendahulu mereka.
Menjadi
tugas pemerintah untuk mengomptimalkan ekonomi masyarakatnya dengan
mengembangkan objek wisata di daerah pesisir pantai. Banyak ragam wisata yang
dapat ditawarkan oleh kawasan pesisir pantai, mulai dari wisata alam bahari,
budaya, sampai wisata kuliner khas pesisir.
Nadran
adalah salah satu faktor yang menyebabkan menjamurnya objek wisata yang ada di
daerah pesisir pantai. Oleh karena
itu selain sebagai upacara tradisi, Nadran juga bisa menjadi aset wisata yang
berperan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir.
C.
Nadran Seolah-olah Kehilangan Ruhnya
Nadran sekarang tidak lagi terlihat
sebagai upacara pelestarian tradisi. Namun lebih ke arah sarana hiburan semata
bagi masyarakat. Oleh karena itu Nadran seolah telah kehilangan ruhnya. Ini
terlihat dari banyaknya masyarakat yagn telah mulai meninggalkan pesan-pesan
moral, bahkan hiburan yang menyertai Nadran lebih banyak dalam bentuk campur
sari dan dangdutan, yang terkadang malah ada yang mengarah kepada kemaksiatan.
Dengan demikian Nadran terkadang hanya sebagai pawai budaya, sehingga perlu
kita benahi kembali.
D.
Proses dalam Nadran
Dalam
profesi pelaksanaannya biasanya diawali dengan pemotongan kepala kerbau dan
pemotongan kepala kerbau dan pemotongan nasi tumpeng yang disiapkan dalam
sebuah dongdong atau miniatur kapal nelayan. Kepala kerbau tersebut dibalut
dengan kain putih dan kemudian bersama dengan perangkat. Sesajen lainnya
dilarang ke tengah laut lepas untuk ditenggelamkan.
Sementara
nasi tumpeng dan lauk pauk lainnya dibagikan kepada anggota masyarakat
sekitarnya, yang biasa disebut dengan bancaan atau berkah. Umumnya upacara ini
disertai dengan penyajian tari-tarian, pergelaran wayang kulit, mantra, doa-doa
dan sesajen.
Sesajen
yang diberikan oleh masyarakat disebut ancak, yang berupa anjungan berbentuk replika perahu yang berisi kepala
kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas dan lain sebagainya.
Sebelum dilepaskan kelaut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi
tempat-tempat yang telah ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan
seni tradisional, seperti tarling, genjring, bouroq, barongsai, telik sandi,
jangkungan ataupun seni kontemporer (drumband).
Pembacaan
mantra dilakukan oleh seorang tokoh
spiritual nelayan yang dilanjutkan dengan mengusung dongdong menuju lautan.
Puncak prosesi berlangsung saat dongdong yang berisi sesaji diceburkan ke laut.
Puluhan kapal langsung berebut mendekati sesaji tersebut. Mereka percaya
berbagai sesaji yang menempel pada kapal mereka akan mendatangkan berkah bagi
tangkapan selanjutnya. Selesai prosesi petarungan dan berebut sesaji, para
nelayan ini kembali dengan harapan baru, mereka yakin hasil tangkapan ikan
semakin meningkat setelah ruwatan selesai dilakukan.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kita dapat menarik kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Budaya Nadran adalah pesta perayaan masyarakat di
daerah pesisir kota Cirebon yang berlangsung secara turun-temurun setiap
tahunnya sebagai ucapan syukur dan terima kasih terhadap Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan rezeki berupa kekayaan laut yang melimpah kepada para
nelayan dan dilakukan dengan cara saling bergotong royong dan bahu membahu
antar nelayan.
2.
Budaya Nadran sangat berpengaruh terhadap potensi
wisata yang berdampak pada peningkatan kondisi ekonomi masyarakat pesisir yang
umumnya rendah dan anggapan bahwa
profesi nelayan sudah menjadi amanat dari nenek moyang.
3.
Nadran pada saat ini seolah telah kehilangan ruhnya,
karena tidak lagi terlihat sebagai upaya pelestarian tradisi, namun lebih ke
arah hiburan semata bagi masyarakat, ini terlihat dari banyaknya masyarakat
yang telah mulai meninggalkan pesan-pesan moral yang ada.
4.
Dalam prosesi pelaksanaannya Nadran biasanya diawali
dengan pemotongan kepala kerbau dan pemotongan nasi tumpeng dalam sebuah miniatur kapal yang akan dilarung di tengah
laut dan ditenggelamkan.
B.
Saran
Di tengah gencarnya kemajuan teknologi informasi dan
pesatnya pengaruh budaya barat, sudah seharusnya kita sebagai generasi muda
mempertahankan tradisi leluhur sebagai salah satu budaya lokal nusantara yang
mempunyai nilai-nilai solidaritas, etis, estetis, kultural, dan religius yang
terdapat dalam Nadran.
DAFTAR
PUSTAKA
Agustina, Heriyani, 2009, Nilai-nilai Filosofi Tradisi Nadran
Masyarakat Nelayan Cirebon, Realisasinya Bagi Pengembangan Budaya Kelautan,
Kepel Press, Yogyakarta.
Atifin, Zaenal, 2007. Tradisi Nadran
Nelayan, http.www. indosiar.com. diakses
pada 18 Desember 2011.
Tim Wacana
Nusantara, 2010, Nadran
Interaksi Budaya Pesisir antara Manusia, Alam dan Sang Pencipta,
http://id_wikipedia.org/wiki/Tim (19 Desember 2011).
Yusuf, Indra, 2007. Tradisi Nadran
Potensi Wisata Pesisir, http.www.wikipedia.com. diakses pada 18 Desember
2011.
No comments:
Post a Comment