PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah
Adanya perubahan ke arah
reformasi setelah lengsernya orde baru mengakibatkan tingginya tuntutan
masyarakat untuk dilaksanakannya good governance. Penerapan prinsip good
governance menuntut adanya perubahan dalam keuangan daerah, perubahan
keuangan daerah berdampak secara langsung pada perubahan struktur Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah termasuk di desa. Oleh karena itu APBD sebagai
tolak ukur keuangan daerah dalam mewujudkan. Pentingnya perubahan anggaran
daerah, dikarenakan selama ini anggaran yang ada belum mampu mewujudkan
tuntutan demokrasi.
Adanya pengutamaan kepentingan
elite politik dibandingkan kepentingan masyarakat, itulah realita yang tercemin
dari penyusunan APBD. Penyusunan APBD tidak tepat sasaran juga dikarenakan oleh
sistem anggaran yang digunakan, yaitu sistem anggaran tradisional. Hal ini
dikarenakan, sistem anggaran tradisional masih mendasarkan proses penyusunan
anggarannya pada tahun sebelumya (incrementalism), sehingga kebutuhan
masyarakat tidak mampu terpenuhi. Akibat yang mungkin ditimbulkan pada praktek
penganggaran ini adalah kemungkinan adanya pemborosan pada kegiatan-kegiatan
yang tidak direncanakan dan tidak dibutuhkan.
Dengan diubahnya UU No. 22
Tahun 1999 menjadi UU No.32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25
Tahun 1999 menjadi UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara
Pusat dan Daerah, maka perubahan anggaran daerah dapat terpenuhi. Adanya perubahan anggaran, sistem
penganggaran yang dipakai bukan lagi sistem anggaran tradisional melainkan
sistem anggaran berbasis kinerja. Dalam perencanaan anggaran yang baik,
kegiatan anggaran dapat dirumuskan secara efektif dan efisien dengan hasil yang
optimal.
Sistem perencanaan anggaran
yang dijalankan saat ini berdasarkan rencana kerja atau working plan. Proses ini dilakukan secara
terpadu dengan tujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat didaerah yang
bersangkutan. Rangkaian proses ini dilakukan dengan memanfaatkan dan
memperhitungkan sumberdaya informasi, ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta
memperhatikan perkembangan kearah pembangunan nasional. Sehingga dapat mencegah
terciptanya jurang kemakmuran antar daerah dan dapat menghindarkan timbulnya
ketidakpuasan masyarakat. Dengan adanya kepuasan masyarakat, kestabilan dalam
masyarakat dapat tercipta.
Diberlakukannya otonomi daerah
tentang pemerintahan daerah, kabupaten atau kota memiliki kewenangan yang luas
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai aspirasi masyarakat,
maka desa dituntut mampu dalam penyusunan anggaran secara bottom up yang
sesuai kebutuhan masyarakat sehingga tidak terjadi pemborosan dalam
pembangunannya, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mendorong
pemanfaatan potensi yang ada. Untuk melaksanakan perencanan anggaran secara bottom
up seringkali menemui hambatan. Salah satu hambatan yang ada dalam
pengelolaan keuangan dimana terbatasnya sumber dana untuk membiayai pembangunan
sehingga sulit untuk memantapkan kemandirian dan pemberdayaan masyarakat desa
secara mandiri yang sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah untuk mewujudkan
desa mandiri.
Pengelolaan
Keuangan Desa didalamnya mengatur akan perencanaan anggaran. Anggaran belanja
didesa Kuwayuhan terjadi peningkatan cukup berarti dari tahun 2006 sebesar
146.260.369 rupiah, tahun 2007 sebesar 180.346.382 rupiah dan tahun 2008
sebesar 229.504.115 rupiah, hal tersebut terjadi karena adanya peningkatan
peran partisipasi masyarakat terhadap program-program kebutuhan masyarakat.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas secara umum permasalahan yang hendak dikaji adalah “Bagaimana
proses perencanaan anggaran belanja desa
dengan menggunakan bottom up planning di Desa Kuwayuhan Kecamatan
Pejagoan?
Selengkapnya dapat di download pada:
http://www.4shared.com/office/NhqVLxpL/Paper_MPD.html
No comments:
Post a Comment