PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menjamin berlanjutnya pembangunan lingkungan di Indonesia
terkait dengan bagaimana cara pengelolaan sumber daya alam yang ada di negara
kita. Kerusakan lingkungan yang terjadi tidak lepas dari paradigma pola-pola
pembangunan pengelolaan sumber daya alam (PSDA) di Indonesia yang kemudian
direplikasikan dalam bentuk kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber daya alam
yang ada. Ketiadaan pengaturan yang adil (secara sosial dan lingkungan) yang
dikeluarkan oleh pemerintah menyebabkan adanya perpindahan penguasaan atas
sumber daya alam (SDA) dari tangan rakyat, perempuan dan laki-laki kepada pihak
lain, pelaku bisnis dan pemerintah. Kondisi seperti ini kemudian menyingkirkan
sebagian besar rakyat dari sumber-sumber penghidupannya.
Sementara di desa, perempuan menghadapi tekanan ganda dalam reaksi persoalan di atas. Pertama,
menghadapi tekanan dari pihak luar yang sebagian besar telah mengambil alih SDA
yang merupakan sistem penghidupan mereka. Kedua, dalam budaya kehidupan
komunitas yang patriarki, perempuan juga dihadapkan dengan ketidakadilan
internal yang sudah tercipta sebelum para pihak luar (privat dan pemerintah)
datang menguasai SDA mereka.
Situasi yang tidak adil ini direspon oleh kaum perempuan
dengan bekerja dan bekerja. Ada tidak adanya uang,
perempuan harus memastikan keberlangsungan pangan keluarga. Situasi ini membuat
sebagian besar perempuan yang hidup di dalam dan sekitar SDA tidak memikirkan
kondisi kesehatan mereka sendiri. Sementara itu generasi muda perempuan
melakukan hal yang sama seperti para laki-laki. Mereka bekerja sebagai buruh
pabrik, pembantu rumah tangga di kota-kota atau menjadi buruh migran ke luar
negeri.
Namun, upaya yang dilakukan kaum
perempuan belum dinilai sebagai bagian dari konstribusi yang strategis untuk
dihargai dalam banyak aspek, seperti aspek kebijakan dalam PSDA di Indonesia. Perempuan
masih dianggap kurang atau bahkan tidak berkonstribusi dalam proses
pembangunan. Pekerjaan domestik perempuan tidak pernah dianggap sebagai jasa
yang bernilai. Keadaan ini berjalan tanpa protes karena dianggap sebagai
kewajiban bahkan sebagai kodrat. Secara sadar tidak sadar, perempuan yang
bekerja mengurus keluarga dilihat sebagai orang yang tidak bekerja dan
dilegalisasikan dalam kelompok bukan angkatan kerja.
Sebagai contoh, masalah perusakan hutan seringkali dikaitkan dengan perempuan dari kampung-kampung
sekitar yang memotong pohon untuk dijadikan kayu bakar tanpa melalui telaahan
yang komprehensif. Namun demikian, apabila dilakukan konsultasi langsung dengan
perempuan, ditemukan bahwa perempuan pada umumnya hanya mengumpulkan ranting
pohon dan laki-lakilah yang lebih banyak melakukan penebangan.
Budaya masyarakat merupakan salah
satu hal yang membatasii partisipasi perempuan dalam menyampaikan keperluan dan aspirasi mereka di pertemuan desa, khususnya masalah
lingkungan yang biasanya dianggap sebagai urusan dan dominasi laki-laki.
Apabila perempuan berpartisipasi pada pertemuan, laki-laki tidak mendengarkan keluhan,
rekomendasi dan apa yang dibicarakan perempuan. Perempuan dianggap hanya berurusan
dengan kegiatan domestik tertentu yang tidak mendapatkan gaji atau tidak
dianggap sebagai pekerjaan penting. Tempat mereka dalam organisasi desa tidak
dianggap penting dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan.
B.
Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka
perumusan makalah ini sebagai berikut:
- Bagaimana kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia?
- Mengapa perspektif keadilan gender penting dimasukkan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia?
C.
Tujuan dan Manfaat Makalah
Tujuan dan manfaat dari penulisan
makalah ini adalah:
- Untuk mengetahui karakteristik kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia
- Untuk mengetahui esensi perspektif keadilan gender dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
- Untuk memenuhi tugas mata kuliah Administrasi Pembangunan.
PEMBAHASAN
Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Indonesia
Pengelolaan sumber daya alam (PSDA) di Indonesia dilandasi
pasal 33 UUD 1945. Dengan konsep Hak Menguasai Negara (HMN), politik PSDA di
Indonesia yang diwakili oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945 berpusat pada kekuasaan
yang besar dari negara terhadap penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan sumber
daya alam.
Paradigma HMN merupakan salah satu penyebab dasar
kerusakan berbagai ekosistem, penyusutan kekayaan alam dan dehumanisasi di
Indonesia. Jika dikaitkan dengan isu gender tidak terlihat hubungan dengan
penyebab dasar tersebut. Tetapi jika ditelusuri tentang bagaimana cara
penilaian, pengalokasian, dan penghargaan kekayaan ekosistem hutan, bagaimana
dan oleh siapa kekayaan ekosistem hutan dimanfaatkan, di mana terjadi kerusakan
dan penyusutan kekayaan ekosistem hutan serta adakah pihak yang mengalami
kerugian atas pemanfaatan kekayaan ekosistem hutan. Maka kita akan menemukan
aspek gender dalam penguasaan dan pengelolaan kekayaan ekosistem tersebut. Dalam
paradigma HMN, isu sosial (terutama dari aspek manusianya) dipandang sebagai
seperangkat batasan sosial dan kultural yang bisa diatasi secara seragam
(generalisasi) melalui penyebaran teknologi ke wilayah pedesaan dan suntikan
modal tambahan ke dalam bentuk produksi non kapitalis dan non komersial. Aspek
manusia ditempatkan sebagai penerima pasif hasil pengelolaan kekayaan alam yang
dirancang dan didominasi oleh sekelompok subjek dari luar. Dikarenakan
paradigma HMN tidak memaknai manusia sebenarnya adalah perempuan dan laki-laki
yang memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda. Di sebagian besar wilayah
di Indonesia, upaya pembangunan tersebut telah menyebabkan perubahan tatanan
sosial masyarakat. Konsep pembagian peran dan posisi tawar antara perempuan dan
laki-laki dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam juga berubah
seiring dengan berubahnya tatanan sosial mereka.
Kelangkaan hukum atau kebijakan pengelolaan sumber daya
alam yang mempertimbangkan isu sosial (terutama dari aspek manusianya)
menyebabkan peran dan posisi perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam
semakin tidak terakomodir, bahkan tidak terlindungi dalam kebijakan-kebijakan
pengelolaan sumber daya alam yang ada saat ini. Secara normatif, penguasaan
sumber daya alam lebih banyak berada di tangan laki-laki. Hukum normatif tidak
berpihak kepada perempuan dan hampir tidak memberikan peluang kepada perempuan
untuk dapat menguasai dan memegang kontrol atas pengelolaan sumber daya alam
tersebut secara bebas. Posisi perempuan sangatlah tidak diuntungkan dalam
hukum, padahal dalam prakteknya untuk mengatasi kemiskinan keluarga,
perempuanlah yang sering menempatkan diri sebagai survivor. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih
didasari oleh paradigma Hak Menguasai oleh Negara yang semakin memarjinalkan
perempuan.
Pentingnya Kebijakan
Yang Memperhatikan Hak-Hak Perempuan
Pertambahan penduduk yang tinggi disertai konflik sosial
dan krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan permasalahan pengelolaan
sumber daya alam (PSDA) yang dihadapi Indonesia kini semakin kompleks. Hal ini
disebabkan karena pembangunan nasional masih bergantung pada sumber daya alam
yang sudah semakin menipis bersamaan dengan terjadinya kerusakan lingkungan
yang merugikan generasi berikutnya. PSDA menjadi sangat penting mengingat hal
ini menyangkut perekonomian suatu bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Masalah utama PSDA adalah adanya perbedaan kepentingan
antar sektor atau instansi dalam pembangunan yang menitikberatkan pada
pertumbuhan ekonomi, sehingga kepentingan lingkungan hidup seringkali
terabaikan. Terpeliharanya keberlanjutan fungsi sumber daya alam merupakan
kepentingan rakyat sehingga menuntut tanggung jawab, keterbukaan, dan peran
anggota masyarakat yang dapat disalurkan melalui perseorangan, organisasi
lingkungan hidup, lembaga swadaya masyarakat, kelompok masyarakat.
Krisis ekonomi yang melanda sebagian negara-negara di
Asia yang berawal tahun 1997, mengakibatkan merosotnya kehidupan sosial yang
sangat mendalam di Indonesia. Sampai dengan saat ini kondisi ekonomi Indonesia
belum pulih benar sedangkan upaya-upaya ke arah pemulihan seringkali
mengakibatkan kerusakan lingkungan. Ironisnya ketidakpedulian terhadap
kelestarian lingkungan seringkali diperparah oleh ketimpangan pola hubungan
antara perempuan dan laki-laki. Keterlibatan secara sejajar antara laki-laki dan
perempuan harus didorong oleh pembagian tugas dan kesempatan akses dalam
pengambilan keputusan pengelolaan sumber daya alam. Namun demikian, saat ini
banyak perempuan yang masih dikesampingkan dalam pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.
Jumlah kaum perempuan Indonesia yang lebih dari jumlah
kaum laki-laki membuat para perempuan berpotensi besar untuk turut menyukseskan
pengelolaan sumber daya alam maupun pelestarian sumber daya alam. Namun
demikian, adanya marjinalisasi perempuan seperti adanya sistem patriarkis yang
dianut oleh masyarakat mengakibatkan perempuan kurang mendapat kesempatan
berperan serta dalam pengelolaan sumber daya alam (PSDA). Bila potensi
perempuan ini dimanfaatkan maka akan membantu pelaksanaan program dan kegiatan
PSDA di Indonesia. Oleh karena itu, kesadaran dan kepekaan terhadap kesenjangan
yang dihadapi perempuan dan dampak llingkungan yang ditimbulkannya perlu
diperhatikan.
KESIMPULAN
Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) di
Indonesia masih didasari oleh paradigma Hak Menguasai oleh Negara (HMN) yang
semakin memarjinalkan perempuan. Kelangkaan hukum atau kebijakan PSDA yang
mempertimbangkan isu sosial, terutama aspek manusia menyebabkan peran dan
posisi perempuan dalam PSDA semakin tidak terakomodir bahkan tidak terlindungi
dalam kebijakan PSDA yang ada saat ini. Penguasaan sumber daya alam lebih
banyak berada di tangan laki-laki. Hukum normatif tidak berpihak kepada
perempuan dan hampir tidak memberikan peluang kepada perempuan untuk dapat
menguasai dan memegang kontrol atas pengelolaan sumber daya alam tersebut
secara bebas.
Peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam penting
dimasukkan karena perempuan berpotensi besar dalam menyukseskan pengelolaan
maupun pelestarian sumber daya alam. Bila potensi perempuan ini dimanfaatkan
maka akan membantu pelaksanaan program dan kegiatan PSDA di Indonesia. Selain
itu prespektif keadilan gender penting untuk dimasukkkan dalam PSDA karena
selama ini perempuan menjadi pihak yang dimarjinalisasi. Hal ini sebagai akibat
sistem patriarkis yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga
perempuan kurang mendapat kesempatan berperan serta dalam pengelolaan sumber
daya alam (PSDA). Oleh karena itu, kesadaran dan kepekaan terhadap kesenjangan
yang dihadapi perempuan dan dampak lingkungan yang ditimbulkannya perlu
diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto.2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi
Daerah. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan. UGM
Arifin Arief. 1994. Hutan: Hakikat dan Pengaruhnya terhadap
Lingkungan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Muhadjir Darwin. 2005. Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan
Publik. Yogyakarta: Media Wacana.
Sondang P. Siagian. 2003. Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi, dan Strateginya. Jakarta: PT. Bumi Aksara
No comments:
Post a Comment