1.
Pengertian Umum
Sosialisasi Politik, merupakan salah satu dari
fungsi-fungsi input sistem politik yang berlaku di negara-negara manapun juga
baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator dan
sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan proses pembentukan sikap dan
orientasi politik pada anggota masyarakat.
Keterlaksanaan sosialisasi politik, sangat ditentukan
oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang/individu berada. Selain itu, juga ditentukan oleh
interaksi pengalamanÂ-pengalaman
serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi politik, merupakan proses yang berÂlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha
saling mempengaruhi di antara kepribadian
individu dengan pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya.
Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikapÂ-sikap yang diperoleh seseorang itu
membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu
menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.
Jadi,
sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai,
dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa
masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi. Sebab
hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Akan tetapi, apakah
akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan
pengingkaran tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang
aktif terhadap sistem politiknya, maka
perubahan mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem
politiknya, bukan tak mungkin yang dihasilkan stagnasi
1.
Pengertian Menurut Para ahli
Berbagai pengertian atau batasan mengenai sosialisasi
politik telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan terkemuka. Sama halnya dengan
pengertian-pengertian tentang budaya politik, sistem politik dan seterusnya,
meskipun diantara para ahli politik terdapat perbedaan, namun pada umumnya
tetap pada prinsip-prinsip dan koridor yang sama. Berikut ini akan dikemukana
beberapa pengertian sosialisasi politik menurut para ahli.
- David F. Aberle, dalam “Culture and Socializationâ€
Sosialisasi politik adalah pola-pola mengenai aksi
sosial, atau aspek-aspek tingkah laku, yang menanamkan pada individu-individu
keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu pengetahuan), motif-motif dan
sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan peranan-peranan yang sekarang atau
yang tengah diantisipasikan (dan yang terus berkelanjutan) sepanjang kehidupan
manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus dipelajari.
- Gabriel A. Almond
Sosialisasi politik menunjukkan pada proses dimana
sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk,
dan juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan
patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi
berikutnya.
- Irvin L. Child
Sosialisasi politik adalah segenap proses dengan mana
individu, yang dilahirkan dengan banyak sekali jajaran potensi tingkah laku,
dituntut untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu
jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan
standar-standar dari kelompoknya.
- Richard E. Dawson dkk.
Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai suatu
pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik dari orang
tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga negara
baru dan mereka yang menginjak dewasa.
- S.N. Eisentadt, dalam From Generation to Ganeration
Sosialisasi politik adalah komunikasi dengan dan
dipelajari oleh manusia lain, dengan siapa individu-individu yang secara bertahap
memasuki beberapa jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed disebut
dengan transmisi kebudayaan.
- Denis Kavanagh
Sosialisasi politik merupakan suatu proses dimana
seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang politik.
- Alfian
Mengartikan pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk
mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan
menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang
ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap
dan perilaku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal tersebut,
dan bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru. Dari pandangan
Alfian, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni:
pertama
: sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang
berjalan terus-menerus selama peserta itu hidup.
Kedua : sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang
berupa pengajaran secara langsung dengan melibatkan komunikasi informasi,
nilai-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik secara tegas. Proses mana
berlangsung dalam keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media
massa, atau kontak politik langsung.
Dari sekian banyak definisi ini nampak mempunyai banyak
kesamaan dalam mengetengah-kan beberapa segi penting sosialisasi politik,
sebagai berikut.
- Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar, belajar dari pengalaman/ pola-pola aksi.
- memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dan kelompok dalam batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi, berkenaan pengetahuan atau informasi, motif-motif (nilai-nilai) dan sikap-sikap.
- sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak dan remaja saja (walaupun periode ini paling penting), tetapi sosialisasi berlangsung sepanjang hidup.
- bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial, dan baik secara implisit maupun eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah laku sosial.
Dari sekian banyak pendapat di atas, menurut Michael
Rush & Phillip Althoff, ada dua masalah yang berasosiasi dengan
definisi-definisi tersebut di atas.
Pertama : seluas manakah sosialisasi itu merupakan proses
pelestarian yang sistematis? Hal ini penting sekali untuk menguji hubungan
antara sosialisasi dan perubahan sosial; atau istilah kaum fungsionalis,
sebagai pemeliharaan sistem. Dalam kenyataan tidak ada alasan sama sekali untuk
menyatakan mengapa suatu teori mengenai sosialisasi politik itu tidak mampu
memperhitungkan: ada atau tidaknya perubahan sistematik dan perubahan sosial;
menyediakan satu teori yang memungkin pencantuman dua variabel penting, dan tidak
membatasi diri dengan segala sesuatu yang telah dipelajari, dengan siapa yang
diajar, siapa yang mengajar dan hasil-hasil apa yang diperoleh. Dua variabel
penting adalah pengalaman dan kepribadian dan kemudian akan
dibuktikan bahwa kedua-duanya, pengalaman dan kepribadian individu, lebih-lebih
lagi pengalaman dan kepribadian kelompok-kelompok individu- adalah fundamental
bagi proses sosialisasi dan bagi proses perubahan.
Kedua
: adalah berkaitan dengan keluasan, yang mencakup tingkah laku, baik yang
terbuka maupun yang tertutup, yang diakses yang dipelajari dan juga bahwa
berupa instruksi. Instruksi merupakan bagian penting dari sosialisasi, tidak
perlu disangsikan, orang tua bisa mengajarkan kepada anak-anaknya beberapa cara
tingkah laku sosial tertentu; sistem-sistem pendidikan kemasyarakatan, dapat
memasukkan sejumlah ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan; negara bisa
secara berhati-hati menyebarkan ideologi-ideologi resminya. Akan tetapi tidak
bisa terlalu ditekankan, bahwa satu bagian besar bahkan sebagian terbesar
sosialisasi, merupakan hasil eksperimen; karena semua itu berlangsung secara
tidak sadar, tertutup, tidak bisa diakui dan tidak bisa dkenali.
Istilah-istilah seperti “menanamkan†dan
sampai batas kecil tertentu “menuntun pada perkembanganâ€
kedua-duanya cenderung mengaburkan segi penting dari sosialisasi. Maka Michael
Oakeshott menyatakan; “Pendidikan politik dimulai dari keminkamtaan
meminati tradisi dalam bentuk pengamatan dan peniruan terhadap tingkah laku
orang tua kita, dan sedikit sekali atau bahkan tidak ada satupun di dunia ini
yang tampak di depan mat akita tanpa memberikan kontribusi terhadapnya. Kita
menyadari akan masa lampau dan masa yang akan datang, secepat kesadaran kita
terhadap masa sekarang.â€
Jadi, walaupun kenyataan bahwa sosialisasi itu sebagian
bersifat terbuka, sistematik dan disengaja, namun secar atotal adalah tidak
realistis untuk berasumsi bahwa makna setiap pengalaman harus diakui oleh
pelakunya, atau oleh yang melakukan tindakan yang menyangkut pengalaman
tersebut.
Kiranya kita dapat memahami bahwa sosialisasi politik
adalah proses, dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan,
nilai-nilai dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa
ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun
hal ini mungkin terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran
terhadap legitimasi; akan tetapi apakah hal ini menuju pada stagnasi atau pada
perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut.
Apabila tidak adanya legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif
terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin saja terjadi, akan tetapi
apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya,
bukan tidakmungkin terjadi stagnasi.
2. Proses Sosialisasi Politik
Perkembangan sosiologi politik
diawali pada masa kanak-kanak atau remaja. Hasil riset David Easton dan Robert Hess mengemukakan bahwa di Amerika
Serikat, belajar politik
dimulai pada usia tiga tahun dan menjadi mantap pada usia tujuh tahun. Tahap lebih awal dari belajar politik
mencakup perkembangan dari ikatan-ikatan lingkungan,, seperti "keterikatan kepada
sekolah-sekolah mereka", bahwa mereka berdiam di suatu daerah tertentu. Anak muda itu
mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinva, kebaikan serta kebersihan
rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh simbol-simbol otoritas umum, seperti agen polisi, presiden, dan bendera
nasional. Pada usia sembilan dan sepuluh
tahun timbul kesadaran akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara,
demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan warga negara dalam sistem politik.
Peranan keluarga dalam sosialisasi politik sangat penting.
Menurut Easton dan Hess,
anak-anak mempunyai gambaran
yang sama mengenai ayahnya dan presiden selama bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai tokoh kekuasaan. Easton dan Dennis mengutarakan
ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi politik dari anak, yaitu sebagai berikut.
- Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi.
- Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan yang ekternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.
- Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara (pemilu).
- Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini.
Suatu
penelitian secara khusus telah dilakukan guna menyelidiki nilai-nilai pengasuhan anak yang dilakukan oleh berbagai generasi
orang tua di Rusia. Nilai-nilai itu adalah
sebagai berikut :
- Tradisi; terutama agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi pada umumnya
- Prestasi; ketekunan, pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran material mobilitas sosial.
- Pribadi; kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.
- Penyesuaian diri; bergaul dengan balk, menjauhkan diri dari kericuhan, menjaga keamanan dan ketentraman.
- Intelektual; belajar dan pengetahuan sebagai tujuan.
- Politik; sikap-sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan dengan pemerinÂtahan.
Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses
dengan jalan mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi
pada politik. Adapun sarana alat
yang dapat dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik, antara
lain :
1) Keluarga (family)
Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang
paling efisien dan efektif adalah di dalam keluarga. Di mulai dari keluarga
inilah antara orang tua dengan anak, sering terjadi “obrolanâ€
politik ringan tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer
pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.
2) Sekolah
Di sekolah melalui pelajaran civics education
(pendidikan kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan
berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai
politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh
pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai
politik yang benar dari sudut pandang akademis.
3) Partai Politik
Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat
memainkan peran sebagai sosialisasi politik. Ini berarti partai politik
tersebut setelah merekrut anggota kader maupun simpati-sannya secara periodik
maupun pada saat kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Partai politik harus mampu men-ciptakan
“image†memperjuangkan kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas dari
masyarakat dan senantiasa dapat memenangkan pemilu.
Khusus pada masyarakat primitif, proses sosialisasi
terdapat banyak perbedaan. Menurut Robert
Le Vine yang telah menyelidiki
sosialisasi di kalangan dua suku bangsa di Kenya Barat Daya: kedua suku bangsa tersebut merupakan
kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi
dan sifatnya patriarkis. Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama
dan ditandai ciri karakteristik oleh
permusuhan berdarah. Akan tetapi, suku Neuer pada dasarnya bersifat egaliter (percaya semua orang
sama derajatnya) dan pasif, sedangkan suku Gusii bersifat otoriter dan agresif.
Anak dari masing-masing suku didorong dalam menghayati tradisi mereka
masing-masing.
4. Sosialisasi Politik dalam Masyarakat
Berkembang
Masalah sentral sosiologi politik dalam masyarakat
berkembang ialah menyangÂkut perubahan. Hal
ini dilukiskan dengan jelas oleh contoh negara Turki, di mana satu usaha yang sistematis telah dilakukan untuk
mempengaruhi maupun untuk mempermudah
mencocokkan perubahan yang berlangsung sesudah Perang Dunia Pertama. Mustapha Kemal (Kemal Ataturk) berusaha untuk memodernisasi Turki,
tidak hanya secara material, tetapi
juga melalui proses-proses sosialisasi. Contoh yang sama dapat juga dilihat pada negara Ghana.
Menurut Robert Le Vine,
terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting dalam sosialisasi politik pada masyarakat
berkembang, yaitu sebagai berikut :
- Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas mereka untuk "memodernisasi" keluarga tradisonal lewat indusÂtrialisasi dan pendidikan.
- Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada nilai tradisonal. Namun, si Ibu dapat memainkan satu peranan penting pada saat sosialisasi dini dari anak.
- Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai satu kekuatan perkasa untuk menumbangkan nilai-nilai tradisional. Paling sedikitnya secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari nilai-nilai ke dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya dengan pembentukan komunitasÂkomunitas kesukuan dan etnis di daerah-daerah ini.
5. Sosialisasi Politik dan Perubahan
Sifat sosialisasi politik yang
bervariasi menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan
dengan lingkungan yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat dari pemerintahan dan derajat serta sifat
dari perubahan. Semakin stabil pemerintahan,
semakin terperinci agensi-agensi utama dari sosialisasi politik Sebaliknya, semakin besar derajat perubahan dalam
satu pemerintahan non totaliter, akan
semakin tersebarlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Semakin
totaliter sifat perubahan politik,
semakin kecil jumlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik itu.
Dalam The Civic Culture, Almond dan Verba mengemukakan hasil survei silang
nasional (cross-national)
mengenai
kebudayaan politik. Penelitian mereka menyimpulÂkan bahwa masing-masing kelima
negara yang ditelitinya, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko,
mempunyai kebudayaan politik tersendiri. Amerika dan Inggris dicirikan oleh
penerimaan secara umum terhadap sistem politik, oleh suatu tingkatan partisipasi politik yang
cukup tinggi dan oleh satu perasaan yang meluas di kalangan para responden bahwa mereka dapat mempengaruhi
peristiwa-peristiwa sampai pada satu taraf
tertentu.
Tekanan lebih besar diletakkan
orang-orang Amerika pada masalah partisipasi, sedangkan orang Inggris memperlihatkan rasa
hormat yang lebih
besar terhadap pemerintahan mereka. Kebudayaan politik dari Jerman ditandai oleh satu derajat sikap
yang tidak terpengaruh oleh sistem dan sikap yang lebih pasif terhadap partisipasinya.
Meskipun demikian, para respondennya
merasa mampu untuk mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut. Sedangkan di Meksiko merupakan bentuk campuran
antara penerimaan terhadap teori politik dan keterasingan dari substansinya.
Suatu
faktor kunci di dalam konsep kebudayaan politik adalah legitimasi,
sejauh mana
suatu sistem politik dapat diterima oleh masyarakat. Legitimasi itu dapat
meluas sampai
pada banyak aspek dari sistem politik atau dapat dibatasi dalam beberapa aspek. Seperti di Amerika Serikat,
kebanyakan orang Amerika menerima lembaga presiden, kongres, dan MA, tetapi
penggunaan hak-hak dari lembaga tersebut selalu mendapat kritik dari masyarakat.
6. Sosialisasi Politik dan Komunikasi
Politik
Sosialisasi politik, menurut Hyman merupakan suatu
proses belajar yang kontinyu yang melibatkan baik belajar secara emosional (emotional
learning) maupun indoktrinasi politik yang manifes (nyata) dan dimediai
(sarana komunikasi) oleh segala partisipasi dan pengalaman si individu yang
menjalaninya. Rumusan ini menunjukkan betapa besar peranan komunikasi politik
dalam proses sosialisasi politik di tengah warga suatu masyarakat. Tidak salah
jika dikemukakan bahwa segala aktivitas komunikasi politik berfungsi pula
sebagai suatu proses sosialisasi bagi anggota masyarakat yang terlibat baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas komunikasi politik
tersebut.
Dalam suatu sistem politik negara, fungsi sosialisasi
menunjukkan bahwa semua sistem politik cenderung berusaha mengekalkan kultur
dan struktur mereka sepanjang waktu. Hal ini dilakukan terutama melalui cara
pengaruh struktur-struktur primer dan sekunder yang dilalaui oleh anggota muda
masyarakat dalam proses pendewasaan mereka. Menurut G. A. Almond, kata
“terutama†sengaja digunakan karena dalam sosialisasi politik – seperti
halnya belajar dalam pengertian yang umum – tidak berhenti pada titik
pendewasaan itu sendiri, terlepas dari bagaimanapun batasannya pada masyarakat
yang berbeda-beda.
Di dalam realitas kehidupan masyarakat, pola-pola
sosialisasi politik juga mengalami perubahan seperti juga berubahnya struktur
dan kultur politik. Perubahan-perubahan tersebut menyangkut pula soal perbedaan
tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem masyarakat yang
beraneka ragam.
Pada sisi lain, sosialisasi politik merupakan proses
induksi ke dalam suatu kultur politik yang dimiliki oleh sistem politik yang
dimaksud. Hasil akhir proses ini adalah seperangkat sikap mental, kognisi
(pengetahuan), standar nilai-nilai dan perasaan-perasaan terhadap sistem
politik dan aneka perannya serta peran yang berlaku. Hasil proses tersebut juga
mencakup pengetahuan tentang nilai-nilai yang mempengaruhi, serta perasaan
mengenai masukan tentang tuntutan dan claim terhadap sistem, dan output
otorotatif-nya.
Berikut adalah bagan terbentuknya sikap politik (political
attitude) melalui proses sosialisasi politik.
Early Childhood
(Masa kanak-kanak)
|
Afective
Allegiance
(Sikap kesetiaan)
|
Adolescence
(Masa remaja)
|
Adulthood
(Masa dewasa)
|
Cognitive and
critical orientations
(Pemahaman dan tujuan
untuk mengkritisi)
|
Cognitive
partisanship
(Pemahaman yang berpihak)
Afective
partisanship
(Sikap yang berpihak)
|
Cognitive
partisanship
(Pemahaman yang berpihak)
|
Awareness of
policy outputs
(Kesadaran terhadap
kebijakan output)
|
Awareness of
ability to influence policy
(Kesadaran untuk
mempengaruhi kebijakan)
|
Dalam proses sosialisasi politik kaitannya
dengan fungsi komunikasi politik, berhubungan dengan struktur-struktur yang
terlibat dalam sosialisasi serta gaya sosialisasi itu sendiri. Pada sistem
politik masyarakat modern, institusi seperti kelompok sebaya, komuniti,
sekolah, kelompok kerja, perkumpulan-perkumpulan sukarela, media komunikasi,
partai-partai politik dan institusi pemerintah semuanya dapat berperan dalam
sosialisasi politik. Kemudian perkumpulan-perkumpulan, relasi-relasi dan
partisipasi dalam kehidupan kaum dewasa melanjutkan proses tersebut untuk
seterusnya.
Almond, mengatakan bahwa sosialisasi politik bisa
bersifat nyata (manifes) dan bisa pula tidak nyata (laten).
Sosialisasi Politik Manifes
|
Sosialisasi Politik Laten
|
Berlangsung dalam bentuk transmisi informasi,
nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output sistem politik.
|
Dalam bentuk transmisi informasi, nilai-nilai
atau perasaan terhadap peran, input dan output mengenai sistem sosial yang
lain seperti keluarga yang mempengaruhi sikap terhadap peran, input dan
output sistem politik yang analog (adanya persamaan).
|
Dalam suatu bangsa yang majemuk dan besar
seperti Indonesia, India, Cina dan sebagainya, informasi yang diterima oleh
aneka unsur masyarakat akan berlainan karena faktor geografis baik yang di kota
maupun di desa. Pada sebagian besar negara berkembang, pengaruh media masa
(radio, surat kabar dan televisi) di pedesaan sangat terbatas. Oleh karena itu,
pengaruh struktur-struktur sosial tradisional dalam menterjemahkan informasi
yang menjangkau wilayah tersebut amatlah besar. Heterogenitas informasi ini
memperkuat perbedaan orientasi dan sikap (attitude) diantara
kelompok-kelompok yang mengalami sosialisasi primer yang amat berbeda dari
kelompok ataupun teman sebaya.
Berbeda dengan negara yang sudah maju seperti
Amerika, Inggris, Jerman dan sebagainya arus informasi relatif homogen. Para
elite politik pemerintahan mungkin mempunyai sumber-sumber informasi khusus
melalui badan-badan birokrasi tertentu, surat kabar tertentu yang ditujukan
pada kelompok kelas atau politik tertentu. Dengan demikian, semua kelompok masyarakat
mempunyai akses ke suatu arus informasi dan media massa yang relatif homogen
dan otonom sehingga hambatan-hambatan bahasa atau orientasi kultural sangat
minim. Masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap para elite politik dan
sebaliknya kaum elite-pun dapat segera mengetahui tuntutan masyarakat dan
konsekuensi dari segala macam tindakan pemerintah.
bagusssssss
ReplyDeleteJos
ReplyDelete