Secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata
dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu
proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/ kekuatan/ kemampuan,
dan/atau proses pemberian daya/kekuatan/ kemampuan dari pihak yang memiliki
daya kepada pihak yang kurang atau tidak berdaya (Sulistiyani, 2004:77). Konsep
pemberdayaan berkaitan erat dengan hakikat dan sifat power (daya) sebagai
suatu kemampuan untuk dapat meningkatkan derajat hidup dan untuk melepaskan
diri dari ketidakberdayaan (disempowerment).
Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang
tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat
(Sunartiningsih, 2004: 21).
Mubyarto (1998) menekankan bahwa terkait erat dengan pemberdayaan ekonomi rakyat. Dalam proses
pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan sumber daya
manusia (di pedesaan), penciptaan peluang
berusaha yang sesuai dengan
keinginan masyarakat. Masyarakat menentukan jenis
usaha, kondisi wilayah yang
pada gilirannya dapat
menciptakan lembaga dan
sistem pelayanan dari, oleh, dan
untuk masyarakat setempat.
Upaya pemberdayaan masyarakat ini
kemudian pada pemberdayaan ekonomi rakyat.
Pemberdayaan pada
dasarnya merupakan suatu proses yang dijalankan dengan kesadaran dan
partisipasi penuh dari para pihak untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas
masyarakat sebagai sumber daya pembangunan agar mampu mengenali permasalahan
yang dihadapi dalam mengembangkan dan menolong diri menuju keadaan yang lebih
baik, mampu menggali dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk
kepentingan diri dan kelompoknya, serta mampu mengeksistensikan diri secara
jelas dengan mendapat manfaat darinya.
Ketidakberdayaan (disempowerment)
inilah yang membuat masyarakat desa termajinalkan dan perlu campur tangan
pemerintah daerah untuk menjadi lebih berdaya.
Tidak berdaya adalah yang tidak memiliki daya atau kehilangan
daya/kekuatan (Team Work Lapera, 2001:52). Terlebih lagi ketidakberdayaan yang
terjadi pada masyarakat desa dikarenakan sebagian besar dari mereka hidup dalam
keterbatasan. Keterbatasan itu meliputi
tingkat kesejahteraan yang tergolong rendah, tidak memiliki akses terhadap
sumber daya, kesadaran dan partisipasi yang rendah, serta rendahnya kapasitas
kontrol (Team Work Lapera, 2001: 53-54). Kondisi ini yang menyebabkan
masyarakat desa tidak berdaya dan cenderung tertinggal.
“Empowerment is the
process of enhancing the capacity of individuals or groups to make choise and
to transform those choise into desired actions and outcomes”. (Pemberdayaan adalah sebuah proses untuk
meningkaykan kapasitas individu atau kelompok untuk membuat aneka pilihan dan
untuk mengubahnya ke dalam hasil dan tindakan yang diinginkan).
Inti dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membangkitkan dan mengembangkan daya yang
dimiliki masyarakat untuk dapat melepaskan diri dari apa yang disebut dengan powerless. Pemberdayaan tidak hanya
memberikan kekuatan kepada masyarakat, melainkan mengelola potensi yang sudah
dimiliki tetapi belum diberdayakan menjadi suatu kekuatan yang dapat dijadikan
modal dalam melepaskan diri dari ketidakberdayaan.
Proses pemberdayaan
yang berawal dari dalam diri seseorang bertolak dari asumsi bahwa setiap
manusia ataupun masyarakat telah memiliki potensi yang ada di dalam dirinya dan
perlu ditampakkan dan dikembangkan, karena tidak ada manusia/masyarakat yang
sama sekali tidak memiliki daya. Itulah sebabnya menurut Friedmann (1992) bahwa
kelompok miskin yang tidak berdaya memang perlu memberdayakan dirinya, karena
manusia bukan pasif melainkan sebagai aktor pembangunan yang terus menerus
mencari pemecahan terhadap setiap permasalahan yang dihadapinya. Senada dengan
itu Kartasasmita (1996), mengatakan bahwa pemberdayaan adalah upaya untuk
membangun daya, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Pemberdayaan menurut Sulistiyani (2004:79) adalah upaya
untuk membangun daya, dengan cara mendorong, memotivasi dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkan dan
tidak terjebak dalam ketergantungan (charity)
tetapi harus mengantarkan pada proses kemandirian. Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh Sumodiningrat
(dalam Sujono dan Tjitroresmi,
1998:5) yang mengatakan bahwa secara mendasar pemberdayaan masyarakat merupakan
upaya untuk memandirikan masyarakat melalui perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki.
Pemberdayaan menurut Robbin (1998:91) adalah sebagai
berikut:
“process by which individuals and groups
gain power, access to resources and control over their own lives. In doing so,
they gain the ability to achieve their highest personal and collective
aspirations and goals”.
(Proses di mana
individu dan kelompok memperoleh kekuatan, akses ke sumber daya dan kontrol
atas kehidupan mereka sendiri. Dalam melakukannya, mereka mendapatkan kemampuan
untuk mencapai aspirasi tertinggi mereka pribadi dan kolektif dan tujuan).
Pemberdayaan masyarakat
bertujuan untuk meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan
kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan
swadaya. Tujuan yang akan dicapai melalui usaha pemberdayaan masyarakat,
menurut Sulistiyani (2004:80), adalah pemberdayaan yang bertujuan untuk
membentuk individu dan masyarakat yang mandiri, sedangkan menurut Hasibuan
(1994:68), masyarakat yang mandiri dan berswadaya, adalah masyarakat yang mampu
mengadopsi inovasi, dan memiliki pola pikir secara kosmopolitan.
Pemberdayaan masyarakat
tidak bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk
mandiri dan dilepas untuk mandiri, dengan demikian pemberdayaan melalui satu
proses belajar, hingga mencapai status mandiri lagi (Sumodiningrat dalam
Sulistiyani 2004:82). Oleh karena pemberdayaan masyarakat akan berlangsung
secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui menurut Sulistiyani (2004:83),
meliputi:
1) Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli
sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.
2) Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan,
kecakapan-ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan ketrampilan dasar
sehingga dapat mengambil peran dalam pembangunan.
3) Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan sehingga
terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantar pada kemandirian.
Tahap pertama atau tahap
penyadaran dan pembentukan perilaku merupakan tahap persiapan dalam proses
pemberdayaan masyarakat. pada tahap ini pihak pemberdaya berusaha menciptakan
prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang
efektif. Sentuhan penyadaran akan lebih membuka keinginan dan kesadaran
masyarakat tentang kondisinya saat itu, sehingga akan dapat merangsang kesadaran mereka
tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih
baik. Dengan demikian masyarakat semakin terbuka dan merasa membutuhkan
pengetahuan dan keterampilan untuk memperbaiki kondisi.
Pada tahap kedua yaitu
proses transformasi pengetahuan dan kecakapan-ketrampilan dapat berlangsung
baik, penuh semangat dan berjalan efektif, jika tahap pertama telah terkondisi.
Masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan
kecakapan-ketrampilan yang memiliki relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan
kebutuhan tersebut. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan
wawasan dan menguasai kecakapan-ketrampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada
tahap ini masyarakat hanya dapat memberikan peran partisipasi pada tingkat yang
rendah, yaitu sekedar menjadi pengikut atau obyek pembangunan saja, belum mampu
menjadi subyek dalam pembangunan.
Tahap ketiga merupakan
tahap pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapan-ketrampilan yang
diperlukan, supaya mereka dapat membentuk kemampuan kemandirian. Kemandirian
tersebut akan ditandai oleh kemampuan masyarakat di dalam membentuk inisiatif,
melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya.
Apabila masyarakat telah mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara
mandiri melakukan pembangunan. Pemerintah tinggal menjadi fasilitator saja.
Oakley dan Marsden (dalam Prijono dan Pranarka, 1996:56-57) menyebutkan ada
dua kecenderungan dalam proses pemberdayaan. Pertama, kecenderungan primer,
yaitu proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agar
individu dapat menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya
membangun aset material untuk mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui
organisasi. Kedua, kecenderungan sekunder, yaitu penekanan pada proses menstimulasi,
mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan
untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
pemberdayaan merupakan upaya untuk membangun
daya, dengan cara mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkan dan tidak terjebak
dalam ketergantungan (charity) yang
mengantarkan pada proses kemandirian. Proses
pemberdayaan masyarakat berlangsung secara bertahap melalui tiga tahapan yaitu tahap penyadaran, tahap
transformasi kemampuan dan tahap peningkatan kemampuan intelektualitas.
gan boleh tau daftar pustaka nya?
ReplyDeleteterima kasih, sangat membantu materinya buat bahan presentasi
ReplyDelete