Friday, April 13, 2012

Pola Komunikasi Politik yang Ideal di Indonesia dan Maraknya Komunikasi Politik


Pola Komunikasi Politik yang Ideal di Indonesia
dan Maraknya Komunikasi Politik

            Komunikasi merupakan aktivitas yang tidak terpisahkan dari keseharian manusia di berbagai bidang, termasuk dalam aktivitas politik, komunikasi memainkan peran yang dominan. Komunikasi adalah hubungan antar manusia dalam rangka mencapai saling pengertian (mutual understanding). Sehingga dapat diartikan, komunikasi sebagai proses politik, merupakan gejala-gejala yang menyangkut pembentukan kesepakatan, misalnya kesepakatan menyangkut begaimana pembagian sumber daya kekuasaan atau bagaimana kesepakatan tersebut dibuat (menyatakan suatu proses).
            Gabriel Almond (1960 : 45) berpendapat bahwa komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik : All of the functions performed in the political system-political sosialization and recrutment, interest articulation, interest aggregations, rule making, rule application, and rule adjudication–are performed by means of communication. Bahwa komunikasi bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya dijalankan. Keenam fungsi trsebut adalah sosialisasi dan rekrutmen politik, perumusan kepentingan, penggabungan kepentingan, pembuatan aturan, penerapan aturan dan keputusan aturan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inheren di dalam setiap fungsi sistem politik.
            Maswadi Ra’uf (1993 : 32) menyatakan, komunikasi politik sebagai kegiatan politik merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain. Kegiatan ini adalah salah satu dari kegiatan sosial yang dijalankan sehari-hari oleh warga masyarakat termasuk elit politik.
            Inti komunikasi politik adalah kominikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi tersebut dapat mengikat semua kelompok atau warganya. Komunikasi politik dengan demikian adalah upaya sekelompok manusia yang mempunyai orientasi, pemikiran politik atau ideologi tertentu dalam rangka menguasai atau memperoleh kekuasaan.
            Melalui komunikasi politik, rakyat memberi dukungan, menyampaikan aspirasi dan melakukan pengawasan terhadap sistem politik. Melalui kominikasi politik rakyat dapat mengetahui apakah dukungan, aspirasi dam pengawasan itu tersalur atau tidak dalam berbagai kebijakan publik. Sedangkan bagi pemerintah komunikasi politik berguna bagi proses pembuatan atau penerapan dan pemutusan aturan-aturan. Sehingga dapat di pandang bahwa arus komunikasi merupakan arus dua arah : ke bawah yakni dari penguasa politik/ pemerintah kepada rakyat (top down) dan ke atas yakni dari rakyat ke penguasa politik/ pemerintah (bottom up).
            Praktik komunikasi politik selalu mengikuti sistem politik yang berlaku. Di negara yang menganut sistem politik tertutup, komunikasii politik pada umumnya mengalir dari atas (penguasa) ke bawah (rakyat). Komunikasi politik semacam itu menerapkan paradigma komunikasi top down.
            Penerapan pendekatan ini memang bukan satu-satunya, namun yang dominan dilaksanakan adalah pendekatan top down. Untuk mewujudkan paradigma tersebut, pendekatan komunikasi politik terhadap media massa bersifat transmisional. Komunikasi politik semacam inii banyak dipraktikkan para penguasa ketika Indonesia menganut sistem politik tertutup.
            Ketika rezim Orde Lama berkuasa, pesan politik yang mengemuka di media massa pada umumnya berisi konflik, kontradiksi yang antagonistik, dan hiperbola. Pesan-pesan politik semacam itu kemudian jarang ditemui di media massa semasa Orde Baru berkuasa. Pada era ini, pesan-pesan politik lebih banyak bermuatan konsensus dan kemasan eufemisme. Meski pada dua era itu berbeda dalam penekanan pesan politiknya, namun hakikatnya tetap menerapkan komunikasi satu arah (linear). Pesan-pesan politik sebagaimana mengemuka pada Orde Lama dan Orde Baru itu dinilai oleh pengamat politik masih banyak ditemukan pada Era Reformasi. Era Reformasi dengan sistem politik terbuka padahal meminta pendekatan komunikasi politik yang berbeda. Benarkan demikian?
            Sejak Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, sistem politik tertutup diganti dengan sistem politik terbuka. Perubahan sistem politik ini idealnya mengubah pendekatan komunikasi politik dari satu arah menjadi banyak arah. Pada suatu saat menggunakan pendekatan top down, pada saat lain menerapkan pendekatan bottom up, dan pada kesempatan lain memperagakan paradigma horizontal. Pendekatan mana yang digunakan tergantung siapa yang menyampaikan pesan politik dan kepada siapa pesan itu ditujukan. Muatan pesan juga menentukan paradigma komunikasi mana yang digunakan. Penerapan pendekatan itu tidak lagi menganggap penerima pesan politik sebagai sosok pasif yang “menelan” begitu saja pesan politik yang diterimanya. Pada Era Reformasi dengan sistem politik terbuka, penerima pesan politik dianggap aktif dan selektif.
            Pihak penerima mencerna dan menafsirkan pesan politik yang diterimanya sebagai proses sosial yang berkesinambungan. Untuk mewujudkan hal itu, pendekatan komunikasi politik terhadap media massa bersifat interaksional dan transaksional.
            Dalam kaitan itu, Muhammad Budiyatna (Guru Besar Komunikasi dari Universitas Indonesia) dalam seminar di LIPI pada 22 November 2000 menyarankan, penerapan pola interaksional bersifat transisi, dan selanjutnya diarahkan ke pola transaksional, yang banyak dianut negara maju. Namun menurut Budiyatna, penerapan pola transaksional sangat tergantung pada sikap pemerintah. Pemerintah harus action, bertindak, slowly but sure, dalam melaksanakan tindakan akan tuntutan keadilan rakyat di bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial. Penerapan pola interaksional yang dimaksudkan hanya bersifat transisi, nyatanya hingga sekarang belum maksimal dilaksanakan. Karena itu, penerapan pola komunikasi transaksional kiranya masih jauh dari harapan. Bangsa ini padahal sudah menerapkan sistem politik terbuka sejak Soeharto lengser.
            Celakanya, pola komunikasi interaksional yang berlangsung masih terbatas diantara sesama elite. Hiruk-pikuk komunikasi politik di media massa masih didominasi para elite eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Jadi, transaksi pesan politik yang berlangsung pada dasarnya dari elite untuk elite. Sementara itu, rakyat hanya menjadi penonton yang pasif sebagaimana layaknya menyaksikan lakon dan dialog para aktor teater.
Kadangkala penonton tertawa terbahak-bahak manakala menyaksikan banyolan lakon dan dialog para aktor teater. Namun kerap pula penonton merasa muak atau bersedih di kala para aktor melakonkan perilaku asusila atau orang yang teraniaya.
            Dalam komunikasi politik yang diperagakan para elite tersebut juga menjadikan rakyat hanya sebagai objek. Para elite politik yang menjadi subjek melakonkan beragam topeng. Ketika menggunakan topeng malaikat, pesan-pesan politik yang disampaikan para elite itu penuh dengan muatan moral dan religius.

            Sebatas Ganti Jubah
            Meskipun para elite banyak memperagakan pendekatan komunikasi politik horizontal yang bersifat interaksional, namun pesan politik yang mereka sampaikan bukan untuk menyalurkan kepentingan rakyat. Sesama elite melakukan interaksi melalui pesan-pesan politik lebih dominan untuk mewujudkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
            Kalaupun para elite mengemas pesan politiknya mengacu pada kepentingan rakyat, hal itu semata karena isu tersebut menguntungkan sang elite. Di sini sang elite hanya mendompleng isu tersebut untuk mendapatkan keuntungan ekonomis atau politis atau kedua-keduanya. Ungkapan “injak kaki muncrat” kiranya berlaku di sini.
            Di Era Reformasi, inisiatif komunikasi politik antara elite legislatif, elite eksekutif, dan elite yudikatif relatif seimbang. Namun muatan pesan politik yang disampaikan pada umumnya untuk mewujudkan kepentingan elite itu sendiri, bukan untuk kepentingan rakyat. Jadi, meskipun sistem politik di negeri ini berubah dari sistem tertutup ke sistem terbuka, namun pendekatan komunikasi politik yang diperagakan cenderung tidak berubah.

            Pola Transaksional
            Untuk mengisi reformasi, para elite sebaiknya memperbanyak pendekatan komunikasi politik bottom up yang bersifat transaksional. Melalui pendekatan ini para elite mentransaksikan pesan-pesan politik berdasarkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan sang elite. Dengan begitu, pesan-pesan politik yang disenandungkan elite eksekutif, legislatif, dan yudikatif melalui media massa benar-benar aspiratif suara rakyat.
Kalau hal ini dapat diwujudkan, pendapat umum yang mengemuka di media massa betul-betul riil-nyata, bukan semua. Pendapat umum yang riil-nyata inilah yang layak dijadikan acuan dalam mengambil kebijakan di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
            Semua itu dapat diwujudkan bila para elite dalam setiap bersikap dan bertindak tetap dalam koridor-batasan ruang lingkup demokrasi. Pesan-pesan politik yang disampaikan para elite semata dari rakyat untuk rakyat. Dengan begitu, setiap elite akan merasa “berdosa” bila dalam memperagakan komunikasi politik tidak memperjuangkan aspirasi rakyat. Kiranya hal itu tidak sekadar untuk direnungkan, tetapi seharusnya segera diwujudkan. Disini akan terlihat, mana elite yang reformis dan mana elite yang hanya berganti jubah. Semoga di negeri ini lebih banyak elite yang reformis daripada yang sekedar berganti jubah.

           

            Maraknya Komunikasi Politik
            Sekitar satu setengah tahun ke depan, komunikasi politik di Tanah Air akan makin marak. Di jajaran atas bisa diduga terjadi komunikasi politik yang mendelegitimasi kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
            Komunikasi politik itu tentu menyangkut semua aspek pembangunan yang dilakukan kedua pemimpin tersebut. Apa pun yang mereka kerjakan akan menghasilkan anggapan tepat atau tidak tepat, dan itu berpengaruh terhadap Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009.
            Komunikasi politik menyangkut, pertama, kebijakan yang membawa keuntungan bagi rakyat. Kedua, bisa saja berupa upaya merenggangkan kerukunan (kekompakan) SBY-JK. Jika hubungan SBY-JK renggang, maka bisa mengganggu kinerja pemerintah dalam sisa waktu satu setengah tahun ke depan.
            Melalui komunikasi politik itu SBY-JK diduga akan diganggu secara politis, hukum, dan ketidakmampuannya mengatasi berbagai isu penting, seperti HAM, terorisme, dan demokrasi. Seberapa jauh pemerintahan SBY-JK berhasil mengatasi korupsi dan masalah kemiskinan, juga akan dilihat.
            Pemerintahan SBY-JK tentu tak akan tinggal diam. Mereka akan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, dan akan berupaya untuk tetap populer, dan tetap berada di atas angin.
            Sikap Presiden SBY yang "marah" kepada peserta Lemhannas yang tertidur, misalnya, dianggap sebagai pernyataan bahwa Presiden berani menegur stafnya. Tetapi ada juga yang bisik-bisik menyesalkan kenapa Presiden SBY terpancing kemarahan.
            Kemudian, ada juga yang mengembangkan komunikasi politik bahwa Presiden SBY yang mudah emosional itu tidak pantas dipilih kembali dalam Pemilu 2009. Kemudian ada bisikan sinis bahwa Presiden SBY mesti belajar berpidato lagi agar pidatonya menarik perhatian, dan tidak menyebabkan pendengarnya tertidur karena cara penyampaian yang tidak menarik.
            Kalau komunikasi politik yang dikembangkan tidak dikemas secara matang dan manis, dengan derasnya arus delegitimasi itu, maka nasib Presiden SBY dan Wapres JK bisa sangat tragis. Sementara itu, Gus Dur, Megawati, dan Sutiyoso, misalnya--dengan kelebihannya masing-masing--telah menyatakan siap untuk maju sebagai calon presiden dalam Pemilu 2009. Megawati, misalnya, telah melakukan safari "tatap muka" ke berbagai daerah dalam upaya membangun komunikasi politik yang positif. Nama-nama lain--dengan aktivitas sosial dan politiknya--juga telah muncul, meski mereka tidak terang-terangan ingin menuju ke kursi puncak kekuasaan.
            Ke depan, tentu akan sangat baik jika komunikasi politik para elite politik diarahkan sebagai rintisan program pemberdayaan keluarga. Dengan begitu, apabila nanti terpilih, gagasan itu bisa dituangkan dalam program yang kuat dan betul-betul menghilangkan kelaparan dan kemiskinan secara terhormat.
            Komunikasi politik di jajaran atas akan terus berlangsung. Kita akan terus mengamatinya, dan siap-siap memilih calon yang terbaik. Betapa pentingnya kominikasi politik karena kenyataannya komunikasi politik inheren dalam seluruh sistem politik. Mulai dari proses sosialisasi dan rekrutmen politik, perumusan kepentingan, penggabungan kepentingan, pembuatan aturan, penerapan aturan dan keputusan aturan.

3 comments:

  1. Pagi Pak Indra, saya Erfina ijin me-copy karya tulis Bapak untuk dibahas untuk keperluan mata kuliah saya.Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terimakasih ya Pak.:)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat, sila kan bisa langsung di copy namun bila tidak bisa mohon maaf untuk copy sudah banyak mulai di larang sepertinya, jadi bila berkenan bisa saya kirim via email saja.

      Delete