Pola Komunikasi Politik yang Ideal di
Indonesia
dan Maraknya Komunikasi Politik
Komunikasi
merupakan aktivitas yang tidak terpisahkan dari keseharian manusia di berbagai
bidang, termasuk dalam aktivitas politik, komunikasi memainkan peran yang
dominan. Komunikasi adalah hubungan antar manusia dalam rangka mencapai saling
pengertian (mutual understanding). Sehingga dapat diartikan, komunikasi
sebagai proses politik, merupakan gejala-gejala yang menyangkut pembentukan
kesepakatan, misalnya kesepakatan menyangkut begaimana pembagian sumber daya
kekuasaan atau bagaimana kesepakatan tersebut dibuat (menyatakan suatu proses).
Gabriel
Almond (1960 : 45) berpendapat bahwa komunikasi politik merupakan salah satu
fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik : All of the functions
performed in the political system-political sosialization and recrutment,
interest articulation, interest aggregations, rule making, rule application,
and rule adjudication–are performed by means of communication. Bahwa komunikasi
bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian
pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya dijalankan. Keenam
fungsi trsebut adalah sosialisasi dan rekrutmen politik, perumusan kepentingan,
penggabungan kepentingan, pembuatan aturan, penerapan aturan dan keputusan
aturan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inheren
di dalam setiap fungsi sistem politik.
Maswadi
Ra’uf (1993 : 32) menyatakan, komunikasi politik sebagai kegiatan politik
merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor
politik kepada pihak lain. Kegiatan ini adalah salah satu dari kegiatan sosial
yang dijalankan sehari-hari oleh warga masyarakat termasuk elit politik.
Inti
komunikasi politik adalah kominikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu
pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan
komunikasi tersebut dapat mengikat semua kelompok atau warganya. Komunikasi
politik dengan demikian adalah upaya sekelompok manusia yang mempunyai orientasi,
pemikiran politik atau ideologi tertentu dalam rangka menguasai atau memperoleh
kekuasaan.
Melalui
komunikasi politik, rakyat memberi dukungan, menyampaikan aspirasi dan
melakukan pengawasan terhadap sistem politik. Melalui kominikasi politik rakyat
dapat mengetahui apakah dukungan, aspirasi dam pengawasan itu tersalur atau
tidak dalam berbagai kebijakan publik. Sedangkan bagi pemerintah komunikasi
politik berguna bagi proses pembuatan atau penerapan dan pemutusan aturan-aturan.
Sehingga dapat di pandang bahwa arus komunikasi merupakan arus dua arah : ke
bawah yakni dari penguasa politik/ pemerintah kepada rakyat (top down)
dan ke atas yakni dari rakyat ke penguasa politik/ pemerintah (bottom up).
Praktik
komunikasi politik selalu mengikuti sistem politik yang berlaku. Di negara yang
menganut sistem politik tertutup, komunikasii politik pada umumnya mengalir
dari atas (penguasa) ke bawah (rakyat). Komunikasi politik semacam itu
menerapkan paradigma komunikasi top down.
Penerapan pendekatan ini memang bukan satu-satunya, namun yang dominan dilaksanakan adalah pendekatan top down. Untuk mewujudkan paradigma tersebut, pendekatan komunikasi politik terhadap media massa bersifat transmisional. Komunikasi politik semacam inii banyak dipraktikkan para penguasa ketika Indonesia menganut sistem politik tertutup.
Penerapan pendekatan ini memang bukan satu-satunya, namun yang dominan dilaksanakan adalah pendekatan top down. Untuk mewujudkan paradigma tersebut, pendekatan komunikasi politik terhadap media massa bersifat transmisional. Komunikasi politik semacam inii banyak dipraktikkan para penguasa ketika Indonesia menganut sistem politik tertutup.
Ketika
rezim Orde Lama berkuasa, pesan politik yang mengemuka di media massa pada
umumnya berisi konflik, kontradiksi yang antagonistik, dan hiperbola. Pesan-pesan
politik semacam itu kemudian jarang ditemui di media massa semasa Orde Baru
berkuasa. Pada era ini, pesan-pesan politik lebih banyak bermuatan konsensus
dan kemasan eufemisme. Meski pada dua era itu berbeda dalam penekanan pesan
politiknya, namun hakikatnya tetap menerapkan komunikasi satu arah (linear). Pesan-pesan
politik sebagaimana mengemuka pada Orde Lama dan Orde Baru itu dinilai oleh
pengamat politik masih banyak ditemukan pada Era Reformasi. Era Reformasi
dengan sistem politik terbuka padahal meminta pendekatan komunikasi politik yang
berbeda. Benarkan demikian?
Sejak
Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, sistem politik tertutup diganti dengan
sistem politik terbuka. Perubahan sistem politik ini idealnya mengubah
pendekatan komunikasi politik dari satu arah menjadi banyak arah. Pada suatu
saat menggunakan pendekatan top down, pada saat lain menerapkan pendekatan
bottom up, dan pada kesempatan lain memperagakan paradigma horizontal. Pendekatan
mana yang digunakan tergantung siapa yang menyampaikan pesan politik dan kepada
siapa pesan itu ditujukan. Muatan pesan juga menentukan paradigma komunikasi
mana yang digunakan. Penerapan pendekatan itu tidak lagi menganggap penerima
pesan politik sebagai sosok pasif yang “menelan” begitu saja pesan politik yang
diterimanya. Pada Era Reformasi dengan sistem politik terbuka, penerima pesan
politik dianggap aktif dan selektif.
Pihak penerima mencerna dan menafsirkan pesan politik yang diterimanya sebagai proses sosial yang berkesinambungan. Untuk mewujudkan hal itu, pendekatan komunikasi politik terhadap media massa bersifat interaksional dan transaksional.
Pihak penerima mencerna dan menafsirkan pesan politik yang diterimanya sebagai proses sosial yang berkesinambungan. Untuk mewujudkan hal itu, pendekatan komunikasi politik terhadap media massa bersifat interaksional dan transaksional.
Dalam
kaitan itu, Muhammad Budiyatna (Guru Besar Komunikasi dari Universitas
Indonesia) dalam seminar di LIPI pada 22 November 2000 menyarankan, penerapan
pola interaksional bersifat transisi, dan selanjutnya diarahkan ke pola
transaksional, yang banyak dianut negara maju. Namun menurut Budiyatna,
penerapan pola transaksional sangat tergantung pada sikap pemerintah. Pemerintah
harus action, bertindak, slowly but sure, dalam melaksanakan tindakan akan
tuntutan keadilan rakyat di bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial. Penerapan
pola interaksional yang dimaksudkan hanya bersifat transisi, nyatanya hingga
sekarang belum maksimal dilaksanakan. Karena itu, penerapan pola komunikasi
transaksional kiranya masih jauh dari harapan. Bangsa ini padahal sudah
menerapkan sistem politik terbuka sejak Soeharto lengser.
Celakanya,
pola komunikasi interaksional yang berlangsung masih terbatas diantara sesama
elite. Hiruk-pikuk komunikasi politik di media massa masih didominasi para
elite eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Jadi, transaksi pesan politik yang berlangsung pada dasarnya dari elite untuk elite. Sementara itu, rakyat hanya menjadi penonton yang pasif sebagaimana layaknya menyaksikan lakon dan dialog para aktor teater.
Kadangkala penonton tertawa terbahak-bahak manakala menyaksikan banyolan lakon dan dialog para aktor teater. Namun kerap pula penonton merasa muak atau bersedih di kala para aktor melakonkan perilaku asusila atau orang yang teraniaya.
Jadi, transaksi pesan politik yang berlangsung pada dasarnya dari elite untuk elite. Sementara itu, rakyat hanya menjadi penonton yang pasif sebagaimana layaknya menyaksikan lakon dan dialog para aktor teater.
Kadangkala penonton tertawa terbahak-bahak manakala menyaksikan banyolan lakon dan dialog para aktor teater. Namun kerap pula penonton merasa muak atau bersedih di kala para aktor melakonkan perilaku asusila atau orang yang teraniaya.
Dalam
komunikasi politik yang diperagakan para elite tersebut juga menjadikan rakyat
hanya sebagai objek. Para elite politik yang menjadi subjek melakonkan beragam
topeng. Ketika menggunakan topeng malaikat, pesan-pesan politik yang
disampaikan para elite itu penuh dengan muatan moral dan religius.
Sebatas
Ganti Jubah
Meskipun
para elite banyak memperagakan pendekatan komunikasi politik horizontal yang
bersifat interaksional, namun pesan politik yang mereka sampaikan bukan untuk
menyalurkan kepentingan rakyat. Sesama elite melakukan interaksi melalui
pesan-pesan politik lebih dominan untuk mewujudkan kepentingan pribadi atau
kelompoknya.
Kalaupun
para elite mengemas pesan politiknya mengacu pada kepentingan rakyat, hal itu
semata karena isu tersebut menguntungkan sang elite. Di sini sang elite hanya
mendompleng isu tersebut untuk mendapatkan keuntungan ekonomis atau politis
atau kedua-keduanya. Ungkapan “injak kaki muncrat” kiranya berlaku di sini.
Di
Era Reformasi, inisiatif komunikasi politik antara elite legislatif, elite
eksekutif, dan elite yudikatif relatif seimbang. Namun muatan pesan politik
yang disampaikan pada umumnya untuk mewujudkan kepentingan elite itu sendiri, bukan
untuk kepentingan rakyat. Jadi, meskipun sistem politik di negeri ini berubah
dari sistem tertutup ke sistem terbuka, namun pendekatan komunikasi politik
yang diperagakan cenderung tidak berubah.
Pola Transaksional
Pola Transaksional
Untuk
mengisi reformasi, para elite sebaiknya memperbanyak pendekatan komunikasi
politik bottom up yang bersifat transaksional. Melalui pendekatan ini para
elite mentransaksikan pesan-pesan politik berdasarkan kepentingan rakyat, bukan
kepentingan sang elite. Dengan begitu, pesan-pesan politik yang disenandungkan
elite eksekutif, legislatif, dan yudikatif melalui media massa benar-benar
aspiratif suara rakyat.
Kalau hal ini dapat diwujudkan, pendapat umum yang mengemuka di media massa betul-betul riil-nyata, bukan semua. Pendapat umum yang riil-nyata inilah yang layak dijadikan acuan dalam mengambil kebijakan di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kalau hal ini dapat diwujudkan, pendapat umum yang mengemuka di media massa betul-betul riil-nyata, bukan semua. Pendapat umum yang riil-nyata inilah yang layak dijadikan acuan dalam mengambil kebijakan di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Semua
itu dapat diwujudkan bila para elite dalam setiap bersikap dan bertindak tetap
dalam koridor-batasan ruang lingkup demokrasi. Pesan-pesan politik yang
disampaikan para elite semata dari rakyat untuk rakyat. Dengan begitu, setiap
elite akan merasa “berdosa” bila dalam memperagakan komunikasi politik tidak memperjuangkan
aspirasi rakyat. Kiranya hal itu tidak sekadar untuk direnungkan, tetapi seharusnya
segera diwujudkan. Disini akan terlihat, mana elite yang reformis dan mana
elite yang hanya berganti jubah. Semoga di negeri ini lebih banyak elite yang
reformis daripada yang sekedar berganti jubah.
Maraknya
Komunikasi Politik
Sekitar
satu setengah tahun ke depan, komunikasi politik di Tanah Air akan makin marak.
Di jajaran atas bisa diduga terjadi komunikasi politik yang mendelegitimasi
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf
Kalla (JK).
Komunikasi
politik itu tentu menyangkut semua aspek pembangunan yang dilakukan kedua
pemimpin tersebut. Apa pun yang mereka kerjakan akan menghasilkan anggapan
tepat atau tidak tepat, dan itu berpengaruh terhadap Pemilihan Presiden
(Pilpres) 2009.
Komunikasi
politik menyangkut, pertama, kebijakan yang membawa keuntungan bagi rakyat.
Kedua, bisa saja berupa upaya merenggangkan kerukunan (kekompakan) SBY-JK. Jika
hubungan SBY-JK renggang, maka bisa mengganggu kinerja pemerintah dalam sisa
waktu satu setengah tahun ke depan.
Melalui
komunikasi politik itu SBY-JK diduga akan diganggu secara politis, hukum, dan
ketidakmampuannya mengatasi berbagai isu penting, seperti HAM, terorisme, dan
demokrasi. Seberapa jauh pemerintahan SBY-JK berhasil mengatasi korupsi dan
masalah kemiskinan, juga akan dilihat.
Pemerintahan
SBY-JK tentu tak akan tinggal diam. Mereka akan mengambil langkah-langkah
konkret untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, dan akan berupaya untuk
tetap populer, dan tetap berada di atas angin.
Sikap
Presiden SBY yang "marah" kepada peserta Lemhannas yang tertidur,
misalnya, dianggap sebagai pernyataan bahwa Presiden berani menegur stafnya.
Tetapi ada juga yang bisik-bisik menyesalkan kenapa Presiden SBY terpancing
kemarahan.
Kemudian,
ada juga yang mengembangkan komunikasi politik bahwa Presiden SBY yang mudah
emosional itu tidak pantas dipilih kembali dalam Pemilu 2009. Kemudian ada
bisikan sinis bahwa Presiden SBY mesti belajar berpidato lagi agar pidatonya
menarik perhatian, dan tidak menyebabkan pendengarnya tertidur karena cara
penyampaian yang tidak menarik.
Kalau
komunikasi politik yang dikembangkan tidak dikemas secara matang dan manis,
dengan derasnya arus delegitimasi itu, maka nasib Presiden SBY dan Wapres JK
bisa sangat tragis. Sementara itu, Gus Dur, Megawati, dan Sutiyoso,
misalnya--dengan kelebihannya masing-masing--telah menyatakan siap untuk maju
sebagai calon presiden dalam Pemilu 2009. Megawati, misalnya, telah melakukan
safari "tatap muka" ke berbagai daerah dalam upaya membangun komunikasi
politik yang positif. Nama-nama lain--dengan aktivitas sosial dan
politiknya--juga telah muncul, meski mereka tidak terang-terangan ingin menuju
ke kursi puncak kekuasaan.
Ke
depan, tentu akan sangat baik jika komunikasi politik para elite politik
diarahkan sebagai rintisan program pemberdayaan keluarga. Dengan begitu,
apabila nanti terpilih, gagasan itu bisa dituangkan dalam program yang kuat dan
betul-betul menghilangkan kelaparan dan kemiskinan secara terhormat.
Komunikasi politik di
jajaran atas akan terus berlangsung. Kita akan terus mengamatinya, dan
siap-siap memilih calon yang terbaik. Betapa pentingnya kominikasi politik
karena kenyataannya komunikasi politik inheren dalam seluruh sistem politik.
Mulai dari proses sosialisasi dan rekrutmen politik, perumusan
kepentingan, penggabungan kepentingan, pembuatan aturan, penerapan aturan dan
keputusan aturan.
Pagi Pak Indra, saya Erfina ijin me-copy karya tulis Bapak untuk dibahas untuk keperluan mata kuliah saya.Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terimakasih ya Pak.:)
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat, sila kan bisa langsung di copy namun bila tidak bisa mohon maaf untuk copy sudah banyak mulai di larang sepertinya, jadi bila berkenan bisa saya kirim via email saja.
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete