A. PENGANTAR
Rasionalitas
dan modernitas sebagi salah satu produk pencerahan telah berhasil membebaskan manusia dari
belenggu mitos dan zaman kegelapan (dark age) di eropa. Lewat rasio masyarakat dunia diajak untuk berani berfikir
menggunakan rasionya untuk mengenal alam dan menaklukkannya. Hasilnya, ilmu
pengetahuan berkembang pesat, industri modern tumbuh dimana-mana yang kemudian
berkembang menjadi industri perkotaan, teknokratisasi dan birokratisasi
berkembang sedemikian rupa hingga dominasi kapitalisme yang sampai saat ini
masih belum tergantikan.
Dalam
perkembangannya rasionalitas dan modernitas mendapat banyak kritik karena
melahirkan berbagai macam masalah semisal dominasi sistem terhadap individu,
manusia yang menjadi hanya mampu berfikir rasional instrumental, eksploitasi
dan alienasi individu dalam sistem kapitalisme, dan secara garis besar
rasionalisme menjadi irrasional karena ketidakmampuannya menjelaskan isu-isu kerkinian.
Pada
perkembangan selanjutnya muncul rasionalitas kritis yang mengkritik
rasionalitas dan modernitas. Lewat pencarian akar permasalahan dunia modern,
teori kritis menemukan bahwa relasi antar individu tampak sebagai relasi
komoditas adalah yang menjadi penyebab mundurnya manusia modern. Hubungan yang
terjalin antar individu sifatnya semata-mata pertukaran ekonomis dan politik. Hal
tersebut sebenarnya berakar dari analilis marxis yang ekomi deterministik dalam
memahami sebuah masayarakat dimana hubungan antar individu merupakan hubungan
kerja dalam produksi.
Mazhab frankfurt mengusulkan
suatu teori yang menyerukan adanya kaitan antara teori dan praksis sebagai
solusi keterasingan relasi manusia tersebut. Langkah-langkah adalah
merekonstruksi rasionalitas diatas menjadi apa yang dinamakan rasionalitas
kritis. Rasionalitas kritis mengkritik cara produksi kapitalisme yang efektif
dan efisien namun disisi lain mengalienasi individu dan mengeksploitasi,
rasionalitas modern melahirkan bentuk penindasan baru individu terhadap individu,
logika manusia direduksi untuk kepentingan teknis semata mengesampingkan
nilai-nilai kemanusiaan, dan hubungan antar individu menjadi saling menindas
satu sama lain.
Dalam perkembangannya,
rasionalitas kritis mengalami kebuntuan samahalnya dengan rasionalitas yang
dikritiknya: emansipasi kritis menjadi instrumen dominasi baru, sikap kritis
menjadi rrasional karena hanya bisa mengkitik dan lain sebagainya.
Kemudian muncullah
rasionalitas instrumental. Rasional instrumental memfokuskan
pada sistem kontrol untuk mencapai sasaran. Segala hal
yang mengyangkut komunikasi dan interaksi dengan alam akan memunculkan dominasi
pekerjaan, sedangkan komunikasi dan interaksi yang terjalin antar individu atau
kelompok manusia akan memunculkan tindakan strategis. Tindakan strategis
tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dari yang dikonsepkan George C.
Homans dalam proposi-proposisi penyususn teori pertukaran dimana kita semua
mempertukarkan segala macam hal untuk mendapatkan yang kita inginkan. Tindakan
strategis dalam rasionalitas instrumental mengahrapkan suatu hasil akhir dari
komunikasi adalah penguasaan dan pengendalian atas orang lain (lawan bicara)
lewat bujukan, rekayasa, manipulasi bahkan paksaan komunikasi yang tercipta
pada dasarnya bersifat monologis karena subjek dalam hal ini seseorang
menganggap orang lain (lawan bicaranya) adalah objek yang bisa diibaratkan
sebagai benda.
Rasionalitas
instrumental inilah yang menjadi sasaran kritk habermas dengan paradigma
komunikasinya: rasionalitas komunikatif. Komunikasi adalah titik tolak
fundamental Habermas yang erat hubungannya dengan usaha mengatasi kemacetan
teori kritis atas pendahulunya,( Hadirman, F. Budi, 1993:xix).
B. RUMUSAN BAHASAN
1.
Konsep Rasionalitas Komunikatif Habermas
2.
Konsep Ruang Publik Masyarakat Komunikatif Habermas
3.
Pentingnya Ruang Publik di Lingkungan Kos-Kosan
C. PEMBAHASAN
1.
Konsep Rasionalitas Komunikatif Habermas
Rasionalitas
komunikatif Habermas merupakan kritik atas rasionalitas instrumental yang
dinilai menciptakan dominasi baru. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa
komunikasi yang terdapat dalam rasionalitas instrumental jika menyangkut antar
individu akan memunculkan tindakan strategis. Komunikasi adalah sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak mustahil didalamnya terdapat
bujukan, rekayasa, bahkan paksaan agar lawan bicara melakukan apa yang dia
harapkan (mengendalikan lawan bicara). Menurut Habermas yang seperti itu
bukanlah komunikasi yang sesungguhnya karena tujuan dan capaian hasilnya telah
ditentukan sebelumnya bukan kesepakatan bersama hasil dari proses argumentasi.
Relasi yang terjalin dari komunikasi semacam itu sifatnya subjek-objek. Maka manusia
akan merasa terasing antara satu sama lain karena mereka memperlakukan manusia
lainnya atas dasar kepentingan dan pencapaian tujuan mereka masing-masing.
Dalam
rasionalitas komunikatif yang dibangun Habermas relasi yang terjalin dari
komunikasi sifatnya subjek-subjek (intersubjektif). Dua subjek yang sedang
berkomunikasi kedudukannya sama, dialogis, saling pengertian, dan dasarnya
adalah argumen yang rasional. Konsensus atau kesepakatan yang muncul dari
komunikasi semacam ini adalah hasil pemahaman intersubjektif peserta diskusi.
Ketika beradu argumen peserta diskusi yang kalah (salah) dalam menyusun atau
memberikan pendapatnya harus mengakuinya secara jujur dan bijaksana. Dari
proses ini koreksi kesalahan (falsifikasi) dapat terjadi. Harapan dari koreksi
tersebut dapat melakukan proses refleksi diri.
Hasil
dari konsensus tersebut adalah berupa klaim-klaim rasional yang disebut
klaim-klaim kesahihan. Dalam bukunya The Theory of Communicative Action Habermas menyebut empat macam klaim. Kalau
ada kesepakatan tentang dunia alamiah dan objektif, berarti mencapai “klaim kebenaran” (truth). Kalau ada kesepakatan tentang
pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial, berarti mencapai “klaim ketepatan” (rightness).
Kalau ada kesepakatan tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi
seseorang, berarti mencapai “klaim autentisitas atau
kejujuran‟ (sincerety). Akhirnya, jika keempat klaim
tersebut dapat tercapai, klaim komprehensibilitas (comprehensibility) terpenuhi.
Mereka yang mampu melakukannya berarti memiliki “kompetensi komunikatif”.
(Habermas, 1981).
Selain
itu, soal argumen yang menjadi landasan dalam berkomunikasi diatas Habermas
membedakannya kedalam dua macam argumen. Pertama, perbincangan atau diskursus.
Tujuan utama dari diskursus adalah untuk mencapai tujuan konsensus lewat subjek
partisipan yang masing-masing telah mempunyai seperangkat latar belakang
pengetahuan berintraksi menghasilkan “latar depan”, sampai ahirnya konsensus
dasar tercipta. Yang kedua adalah kritik. Kritik dapat dipergunakan jika
konsensus tidak dapat dicapai karena berbagai hal (http://beranitahu.blogspot.com/2011/02/diskursus.html).
Dua bentuk kritik yang diutarakan Habermas adalah kritik estetis yang
mempersoalkan norma-norma sosial yang dianggap objektif. Jika diskursus
mengandaikan objektivitas norma-norma, kritik estetis mempersoalkan
kesesuaiannya dengan penghayatan dunia bathiniah. (Ansori, 2009) Dan kritik
yang kedua adalah kritik terapeutis yang dilakukan guna mengungkap penipuan
diri masing-masing pihak yang berkomunikasi.
2.
Konsep Ruang Publik Masyarakat Komunikatif Habermas
Untuk
mengakomodasi rasionalitas yang komunikatif seperti diatas diperlukan suatu
tempat agar tiap orang bisa mengungkapkan argumennya secara terbuka. Ruang atau
wahana tersebut bernama Ruang Publik (Public
Sphere). Ruang publik tidak hanya berbicara soal tempat tetapi
mencakup suatu situasi dan kondisi yang
ideal bagi terciptanya argumentasi yang memenuhi keempat klaim diatas. Ruang
publik merupakan wahana dimana setiap kepentingan terungkap secara gamblang,
setiap masyarakat memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi, dan dari sana
muncul kepentingan bersama untuk mencapai konsensus mengenai arah masyarakat
dan pemecahan-pemecahan setiap masalahnya
Ruang
publik hanya dapat mencapai fungsinya ketika telah tercipta situasi berbicara
yang ideal. Situasi yang ideal ini adalah keadaan dimana klaim-klaim yang
diperdebatkan dapat dibicarakan dan diargumentasikan secara rasional.(Ansori,2009).
Dalam situasi ideal ini kebenaran muncul lewat argumentasi. Ruang publik ini
juga merupakan sarana yang menjembatani antar rakyat dan penguasa (pemerintah).
Idealnya kekuasaan itu buka dilegitimasi namun disepakati lewat konsensus yang
dibangun lewat komunikasi tersebut.melalui ruang publik masyarakat dapat
menyuarakan kepentingan terhadap pemerintah, dan pemerintah sebisa mungkin
menyerap aspirasi masyarakat tersebut untuk dipenuhi. Jika tidak memungkinkan
atau membutuhkan proses yang rumit yang akan memakan banyak waktu pemerintah
dapat memberi pengertian kepada
rakyatnya dengan cara yang dapat dimengerti. Sementara itu, masyarakat dapat
menyuarakan kepentingannya agar dapat diakomodir oleh penguasa. Jika hal
tersebut dapat terjadi bukan tidak mungkin akan tercipta suatu tatanan yang
harmonis antara rakyat dan penguasa yang akan membawa kebaikan bagi bersama.
3.
Pentingnya Ruang Publik di Lingkungan Kos-kosan
Dari
dua konsep diatas, rasionalitas komunikatif dan ruang publik penulis mencoba
mengambil contoh sederhana yang dekat dengan kehidupan pribadi penulis,
lingkungan kos-kosan. Lingkungan kos-kosan bisa dianggap sebagai miniatur dari
sebuah masyarakat seperti gambaran yang diutarakan diatas. Ada banyak individu
yang hidup dan berinteraksi dididalamnya. Selain itu para mahasiswa penghuni
satu kos-kosan tidak hanya hidup didunianya, dunia kampus dan pertemanan sesama
mahasiswa namun lebih luas adalah masyarakat disekitar lingkungan kos-kosan
termasuk pemilik kos didalamnya.
Dari
pengalaman pribadi penulis sendiri kerap dijumpai berbagai macam konflik baik
yang menyangkut sesama penghuni kos, penghuni dan pemilik kos, bahkan penghuni
kos dan masyarakat sekitar. Kita sering mendengar bahkan mengakui interaksi
yang terjalin antara mahasiswa dan masyarakat di lingkungan sekitar kos-kosan
kualitasnya rendah. Mahasiswa jarang ikut bergaul dengan masyarakat sekitar.
Mahasiswa seolah memiliki dunianya sendiri terlepas dari masyarakat
disekitarnya. Kalaupun ada interaksi adalah semata-mata atas dasar kepentingan.
Misalnya mahasiswa baru akan berinteraksi dalam bentuk meminta pertolongan
kepada pemilik kos jika ada kerusakan yang kaitannya dengan kamar kos yang
mereka tinggali, atau fasilitas penunjang lain semisal listrik dan air
mengalami gangguan. Di kos-kosan penulis sendiri jarang ada acara-acara semisal
kumpulan untuk mengakrabkan antara mahasiswa baru dan lama juga dengan pemilik
kos. Para penghuni kospun jarang semuanya berkumpul untuk sekedar
ngobrol-ngobrol santai, kalaupun ada orangnya cenderung yang itu-itu saja.
Ketika ada konflikpun mereka yang terlibat lebih memilih saling mendiamkan,
entah menunggu apa dan sampai kapan.
Dari
konsep ruang publik diatas penulis menyadari sebenarnya setiap kos-kosan
memiliki hal tersebut namun kebanyakan
belum dimanfaatkan dengan baik. Ambil contoh di kos-kosan penulis tersedia
ruang tamu dengan fasilitas TV, meja, kursi, dan lain sebagainya yang
diperuntukkan bagi para penghuni kos untuk berkumpul. Namun kebanyakan
fasilitas tersebut belum dimanfaatkan dengan baik untuk menciptakan interaksi
yang komunikatif baik antar penghuni kos maupun antara penghuni kos dengan
pemilik kos. Sebenarnya ruang publik tersebut jika dimanfaatkan dengan baik
dapat membuat kondisi kos-kosan menjadi lebih hidup, terjalin kebersamaan, dan
dapat meminimalisir konflik. Segala macam hal mengenai kebutuhan penghuni kos
dapat diutarakan dengan tepat sasaran kepada pemilik kos yang kebetulan tinggal
bersebelahan dengan kos-kosannya. begitu pula sebaliknya jika pemilik kos
mempunyai keinginan tertentu atau usulan saran yang ada kaitannya dengan
penghuni kos dapat disampaikan diruang tersebut. Kemudian antar penghuni
kos-kosan dapat mengutarakan pemikiran, pendapat, ataupun komplennya terhadap
penghuni kos-kosan lainnya dengan cara yang menyenangkan, diselingi orbrolan
ringan dan candaan.
Dengan
begitu interaksi yang terjalin di lingkungan kos-kosan akan lebih berkualitas
dan kos-kosan tidak hanya menjadi tempat bagi mahasiswa untuk melepas penat
setelah seharian berkutat dengan aktivitas kampus. Lewat ruang publik “berskala
kecil” tersebut masing-masing pihak kedudukannya sama, sama-sama sebagai
subjek, tercipta rasionalitas komunikatif lewat penyampaian argumen yang
sebenarnya bisa dijadikan ajang meningkatkan kemampuan berbicara mahasiswa terutama
yang berkaitan dengan kemasyarakatan selain lewat organisasi-organisasi
dilingkungan kampus. Kita tidak perlu memikirkan hal yang muluk-muluk dulu
seperti mengkomunikatifkan antara masyarakat dengan pemerintah, lewat hal
sederhana seperti memanfaatkan ruang publik di kos-kosan tersebut kita bisa
menciptakan suatu dunia-kehidupan berskala kecil yang disana kita hidup dan
menghidupinya.
D. PENUTUP
Pemikiran
Habermas mengenai rasionalitas komunikatif pada dasarnya merupakan kekhawatirannya
terhadap rasionalitas intrumental, didalamnya termasuk modernisasi yang telah
membawa manusia semakin jauh dari kodratnya sebagai makhluk yang komunikatif.
Lewat rasionalitas barunya, rasionalitas komunikatif Habermas mengajak manusia
untuk menjadi makhluk yang komunikatif, menciptkan dunia kehidupan yang
didalamnya manusia hidup dan menghidupinya lewat jalan komunikasi yang
intersubjektif, argumentasi yang rasional, serta keterbukaan dari semua pihakn
untuk bersama-sama mencapai tujuan dan kepentingan bersama. Salah satu caranya
adalah dengan menciptakan dan memanfaatkan apa yang dinamakan public sphere. Sebuah tempat dimana
rasionalitas komunikatif itu dapat terwujud, konsensus dapat tercapai,
orang-orang berkumpul dalam kesederajatan, dan tidak ada lagi penguasaan antar
satu orang terhadap orang lainnya.
Berangkat
dari dua konsep diatas penulis mengangkat ruang publik dilingkungan
terdekatnya, kos-kosan. Ruang publik seperti yang dijelaskan diatas setidaknya
dapat menjadi langkah kecil sekaligus awal untuk menuju masyarakat yang
komunikatif seperti apa yang dicita-citakan Habermas dan kita semua.
E. DAFTAR PUSTAKA
Ansori, 2009. Rasionalitas Komunikatif Habermas. Jurnal Dakwah Dan Komunikasi
Vol.3 No.1
Januari-Juni
2009 Pp.90-100 STAIN Purwokerto.
Bungin, Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat. Perdana Media Group, Jakarta
Habermas, Jurgen. 1981. Teori Tindakan Komunikatif Rasio dan Rasionalitas Masyarakat.
Kreasi Wacana, Yogyakarta
Hardiman, Fransisco Budi,
2008. Menuju Masyarakat Komunikatif.
Kanisius, Jogjakarta.
Ritzer, George
& Douglas J. Goodman. 2012. Teori
Sosiologi, Dari Teori Sosiologi
Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana,
Jogjakarta.
Wasian,
neno. 2011. “Diskursus”. http://beranitahu.blogspot.com/2011/02/diskursus.html diakses
pada Selasa, 14 Januari 2014
No comments:
Post a Comment