Partisipasi
politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan
kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang
dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Makin
tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan
memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat
partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat
kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya
tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih
(golput) dalam pemilu.
Kata
kunci : partisipasi politik, pemilu demokrasi, golongan putih
Dalam
analisis politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang
penting, dan akhir-akhir ini banyak di pelajari terutama dalam hubungannya
dengan negara-negara berkembang. Pada awalnya studi mengenai partisipasi
politik memfokuskan diri pada partai politik sebagai pelaku utama, tetapi
dengan berkembangnya demokrasi banyak muncul kelompok masyarakat yang juga
ingin memengaruhi proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan
umum.Kelompok-kelompok ini lahir di masa pasca-industrial (post industrial) dan
di namakan gerakan social baru (new social movement). Kelompok-kelompok ini
kecewa dengan kinerja partai politik dan cenderung untuk memusatkan perhatian
pada suatu masalah tertentu (single issue) saja dengan harapan akan lebih
efektif memengaruhi proses pengambilan keputusa melalui direct action.
Indonesia adalah negara demokrasi, dimana
rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pada suatu negara tersebut. Demokrasi
adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut . Dalam prakteknya secara teknis
yang menjalankan kedaulatan rakyat adalah pemerintahan eksekutif yang dipilih
secara langsung oleh rakyat dan wakil-wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat
atau parlemen. Perwakilan rakyat tersebut yang bertindak untuk dan atas nama
rakyat, yang secara politik menentukan corak dan cara bekerjanya pemerintahan,
serta tujuan yang hendak dicapai baik dalam jangka panjang maupun jangka
pendek. Agar para wakil rakyat tersebut dapat bertindak atas nama rakyat, maka
wakil-wakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh rakyat. Pemilihan umum adalah
sebuah alat untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara agar mereka
memahami hak dan kewajibannya. Dengan adanya pemilihan umum maka masyarakat
dapat mewujudkan aspirasinya yang disalurkan melalui partai politik. Secara
umum tujuan pemilihan umum adalah: untuk
memungkinkan peralihan pemerintahan secara tertib dan aman, untuk melaksanakan
kedaulatan rakyat, dan dalam rangka melaksanakan hak azasi warga negara.
Dalam
pemilihan umum diperlukan partisipasi politik. Dimana pengertian partisipasi
politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif
dalam kehidupan politik dengan jalan memilih pemimpin negara dan kebijakan
pemerintah.
Herbert
McClosky seorang tokoh masalah partisipasi berpendapat:
partisipasi
politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga negara untuk mereka
mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak
langsung dalam proses pembuatan kebijakan umum. Akan tetapi dalam konteks
pemilihan umum, terdapat sejumlah warga yang memiliki pandangan tersendiri
untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau yang disebut dengan golput. Hal ini
menunjukkan tingkat patisipasi masyarakat terhadap pemilihan umum semakin
menurun.
Fenomena
adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak biasa akan tetapi nyata ada dan
terjadi. Fenomenologi berusaha untuk menyingkapkan fungsi-fungsi laten yang
tersembunyi dalam setiap tindakan sosial
atau fakta sosial ( Bachtiar, 2006:152 ). Di negara manapun yang menjalankan
sistem demokrasi, bahkan di negara yang sudah maju demokrasinya, golongan putih
selalu mewarnai pemilihan umum. Di Amerika Serikat, misalnya, tingkat
partisipasi pemilih di dalam pemilihan umum hanya pada kisaran 50%. Pada
pemilihan presiden 1968, turn out -nya hanya 60,8%. Jumlah ini menurun menjadi
49% pada pemilihan presiden 1996, meningkat sedikit menjadi 50,4% pada 2000,
dan kembali naik menjadi 56,2% pada pemilihan presiden di 2004. Golongan
putih atau disebut juga ‘No Voting
Decision’ selalu ada pada setiap pesta demokrasi dimana pun terutama yang menggunakan
sistem pemilihan langsung (direct voting). Mereka dikatakan golongan putih atau
‘No Voting Decision’ apabila berkeputusan untuk tidak memilih salah satu dari
kontestan yang tersedia pada kertas suara ketika dilakukan pemungutan suara. Apabila
cara untuk memilih dilakukan dengan mencoblos logo/foto, maka pemilih tidak
mencoblos pada tempat yang sediakan sehingga kartu suara dinyatakan tidak sah. Jika
untuk memilih digunakan dengan memberikan coretan atau tanda centang, maka
pemilih tidak memberikan tanda centang atau memberikan tanda centang bukan pada
tempat yang disediakan sehingga kartu suara menjadi tidak sah. Dari pengertian
ini, mereka yang dikatakan mengambil sikap golput atau ‘No Voting Decision’
tetap hadir dan melakukan proses pemilihan sesuai dengan tata cara yang
berlaku. Dalam perkembangannya, keputusan untuk tidak memilih ternyata semakin
rumit. Seorang pemilih bersikap tidak memilih dengan cara tidak menghadiri
bilik suara atau tempat pemungutan suara pada waktu yang telah ditentukan (jadwal
pencoblosan). Pemilih (voter) tadi sudah terdaftar sebagai pemilih, akan tetapi
dengan sengaja tidak hadir ke lokasi pemungutan suara ketika hari pelaksanaan
pemilihan. Sehingga kertas suara yang tidak digunakan tadi dianggap tidak sah.
Bila jumlahnya yang tidak memilih atau golput terlalu besar, maka akan
berpengaruh terhadap legalitas partai ataupun kandidat yang memenangi pemilihan
(vote result). Dalam perspektif teori politik, jika tingkat golongan putih
melebihi 50% maka derajat legitimasi suatu pemerintahan sangat rendah, dan
tidak cukup absah menjalankan roda pemerintahan.
Istilah
golongan putih atau golput pertama kali muncul menjelang Pemilu 1971. Istilah
ini sengaja dimunculkan oleh Arief Budiman dan kawan-kawannya sebagai bentuk
perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI (sekarang TNI) yang sepenuhnya
memberikan dukungan politis kepada Golkar. Arogansi ini ditunjukkan dengan
memaksakan (dalam bentuk ancaman) seluruh jajaran aparatur pemerintahan
termasuk keluarga untuk sepenuhnya memberikan pilihan kepada Golkar. Arogansi
seperti ini dianggap menyimpang dari nilai dan kaidah demokrasi di mana
kekuasaan sepenuhnya ada di tangan rakyat yang memilih. Ketika itu, Arief Budiman
mengajak masyarakat untuk menjadi golput dengan cara tetap mendatangi Tempat
Pemungutan Suara (TPS). Ketika melakukan coblosan, bagian yang dicoblos bukan
pada tanda gambar partai politik, akan tetapi pada bagian yang berwarna putih. Maksudnya
tidak mencoblos tepat pada tanda gambar yang dipilih. Artinya, jika coblosan
tidak tepat pada tanda gambar, maka kertas suara tersebut dianggap tidak sah. Ada
perbedaan fenomena golput pada masa politik di orde baru dan masa politik di
era reformasi. Di masa orde baru, ajakan golput dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan
politik terhadap arogansi pemerintah/ABRI yang dianggap tidak menjunjung asas
demokrasi. Pada era reformasi yang lebih demokratis, pengertian golongan putih
merupakan bentuk dari fenomena dalam demokrasi.
Hingga
saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para pengamat atau
penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya Golput. Pertama, administratif.
Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur
administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam
daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut
memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari
pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan
sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik
(political engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik
dengan politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang
penting. Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak
pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pemilu
legislatif dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti. Atau
tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya.
Pemilu dan
Proses Demokratisasi di Indonesia
Pemilu dalam negara demokrasi
Indonesia merupakan suatu proses pergantian kekuasaan secara damai yang
dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan
konstitusi. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi
antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat
(demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap
proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dari
prinsip-prinsip pemilu tersebut dapat kita pahami bahwa pemilu merupakan
kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan
dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.
Sebagai
syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum
adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah
pemerintahan perwakilan (representative
government). Karena dengan pemilihan umum, masyarakat secara
individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih
pemimpin dan
wakilnya di lembaga legislatif. Menurut Robert Dahl, bahwa pemilihan umum merupakan
gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilihan umum dewasa ini menjadi suatu parameter dalam
mengukur demokratis tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi sendiri
secara sedehana tidak lain adalah suatu system politik dimana para pembuat
keputusan kolektif tertinggi didalam system itu dipilih melalui pemilihan umum
yang adil, jujur dan berkala. Pemilu memfasilitasi
sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dengan yang lainnya, maupun
pergantian dari kelas elit yang lebih rendah yang kemudian naik ke kelas elit
yang lebih tinggi. Sikulasi ini akan berjalan dengan
sukses dan tanpa kekerasan jika pemilu diadakan dengan adil dan demokratis. Di
dalam studi politik, pemilihan umum dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas
politik dimana pemilihan umum merupakan lembaga sekaligus juga praktis politik
yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan.
Terkait
dengan pentingnya pemilu dalam proses demokratisasi di suatu Negara, maka
penting untuk mewujudkan pemilu yang memang benar-benar mengarah pada
nilai-nilai demokrasi dan mendukung demokrsi itu sendiri. Pemilihan akan system
pemilu adalah salah satu yang sangat penting dalam setiap Negara demokrasi,
kebanyakan dari system pemilu yang ada sebenarnya bukan tercipta karena
dipilih, melainkan karena kondisi yang ada didalam masyarkat serta sejarah yang
mempengaruhinya.
Hak
membangkang
Pada era orde baru dahulu ada
fenomena politik yang di sebut golongan putih (Golput). Fenomena ini merupakan
protes politik dan lebih jauh menghambarkan ketidak patuhan ( Civil
disobidience) simbolik. Selain itu sebagai aksi politik Golput merupakan
perlawanan langsung terhadap apa yang dipersefsikan kalangan kritis dalam
masyarakat sebagai ketidak adialn secara hukum dan pemerintahan
(Suhardono;1997:11). Berarti praktek
civil disobedience tidak menolak bangunan sistem ataun pemerintahan
secara total, Jadi menjadi Golput bukan berarti menolak sistem ataupun
pemerintahan secara total tetapi yang ditolak adalah prilaku yang tidak adil.
Unsur-unsur
yang mendukung resitensi semacam ini sebenarnya hendak menyatakan bahwa
legitimasi dari pelaksanaan suatu produk perundangan pantas di blokir, dan
dengan melakukan perlawanan, para pendudkung Golput memandang diri mereka
sebagai pengemban prinsif atau ide yang lebih luhur yang dengan sendirinya
dapat mematahkan produk perundangan yang ada. Mereka senantiasa melakukan
resistensi, selama praktek - praktek
ketidak adilan masih ada. Resistensi mereka akan semakin solid, apabila
penguasa melakukan represi dan tidak membuka ruang partisipasi.
Maka
Golput sebagai Civil disobedience pada
dasarnya adalah suatu bentuk “tindakan kriminal politis yang di restui” karena
pungsinya sebagai protes, dengan kesediaan menanggung semua resiku terkena
sangsi hukum,para “pembangkang hukum” ini berharap dapat menawarkan pada sebuah
model moral yang pada giliranya akan menghasilkan perubahanperubahan
mendasar,melalui perubahan hukum dan kebijakan publik (public policy). Yang
mendasar disini adalah kualifikasi utama dari gerakan ini di ukur melalui
ketidak patuhan yang diwujudkan dalam aksi anti kekersan.
Perubahan
politik yang menggunakan civil disobedience, justru
mampu melemparkan Rezim yang
sedang memerintah dari kursi kekuasaan, kendati dari perbandingan antar
peristiwa sejarah tradisi civil
disobedience kian melemah dari waktu ke waktu. Namun manakala masa mulai
merasakan bahwa mereka sedang di perintah oleh raja diktator, bahkan
tiran,kemungkinan yang paling implikatip dan logis ini bakal menjadi kenyataan
(Suhardono;1997:12) dan tidak ada satu kekuatanpun yang mampu
membendungnya. Civil disobedience akan
tetap menjadi model perlawanan rakyat.Kepastian semacam itu dengan sangatcerdas
di tangkap oleh pemikir dari Jerman yang bernama “Immanuel Kant” dan dengan
logos Kant mengatakan “adalah merupakan kewajiban bagi setiap orang untuk
melawan penyalah gunaan kekuasaan” kendati perlawanan ini di anggap sebagai
tindakan kesia-siaan.
Golput dan Delegitimasi Pemilu
Dalam
konteks pemilu 2004 setidaknya terdapat dua arus utama (mainstream) gerakan kritis dalam memaknai
pemilu. Pertama, gerakan yang berharap pada celah-celah yang coba dimanfaatkan
meski minimal dalam Gerakan Nasional Tolak Politisi Busuk (GNTPB) dengan
orientasi pilih calon anggota legislatif bermutu. Kedua, gerakan golput yang dalam
konteks politik nasional dipelopori oleh antara lain Arief Budiman sejak Pemilu
1971. Orientasi gerakan ini adalah delegitimasi pemilu.
Kekecewaan
yang mendalam atas tarik ulur kepentingan pemerintah-partai politik(-dan dulu
Golkar plus militer) membuat gerakan ‘memilih untuk tidak memilih’ dan
‘sukseskan pemilu tanpa saya’ ini menemukan momentumnya. Dekonstruksi terhadap
perilaku politik maintreamdilembagakan dalam gerakan dan
kampanye golput sebagai manifestasi pembangkangan sipil. Implikasi politik
golput merupakan konsekuensi yang tidak boleh dianggap sebelah mata. Semakin
besar prosentase golput ketimbang persentase pemilih dalam pemilu merupakan
isyarat bahwa pemiludelegitimate;
tidak reperesentatif; dan bahkan cacat moral. Kontrol sipil dalam golput
dimaksudkan sebagai tekanan dan mosi tidak percaya publik yang harus dipahami
sebagai partisipasi politik-ekstra parlementer.
Dalam
perjalanannya, golput sebagai gerakan memiliki beragam varian implementasi
gerak perjuangan. Definisi golput sendiri sebenarnya sudah jelas: mereka yang
terdaftar sebagai pemilih dan tidak menggunakan hak pilihnya. Goltus (gerakan
tusuk semua) misalnya, tidak dapat dikategorikan sebagai golput karena selain
ia masuk kategori suara tidak sah, persentase jumlah goltus tidak dapat
dimasukan dalam persentase jumlah Golput. Meski permakluman seringkali
diberikan terutama pada periode orde baru di mana memilih telah menjadi
kewajiban, bukan lagi hak. Goltus setidaknya harus dihargai sebagai modifikasi
gerak-perjuangan untuk melawan kelaliman penguasa.
Demikian
juga warga negara yang tidak mempunyai hak pilih baik alasan politik maupun
administrative sehingga tidak memilih pada pemilu juga jelas tidak dapat
dikategorikan sebagai golput karena mereka pada dasarnya tidak termasuk dalam
persentase jumlah pemilih. Sehingga kehilangan hak pilih bagi sebagian warga Negara
terutama soal administrative harus dipahami sebagai kejahatan negara terhadap
warganya yang membuat mereka tidak punya kontribusi apapun dalam pemilu, baik
untuk melegitimasi maupun mendelegitimasi. Kalaupun mereka dikelompokan sebagai
bagian dari gerakan delegitimasi pemilu, peran yang kemudian diemban menjadi
tidak aktif lagi, melainkan pasif sebagai bentuk ketiadaan pilihan.
Motivasi
seorang untuk Golput idealnya karena kesadaran-politik sebagai suara moral
untuk mendelegitimasi pemilu dengan berharap pada implikasi politik Golput. Namun
dalam perjalanannya, motif sebagian mereka Golput tidak terhindarkan dari
pergeseran nilai. Ide besar Golput harus rela ditelikung di tengah jalan oleh
penumpang gelap yang (sebenarnya) tidak mengerti peta. Golput menjadi penanda
heroisme politik baru, paralel dengan demam leftist beberapa
waktu belakangan ini. Citra yang terbentuk dari perilaku politik golput sebenarnya
perilaku orang-orangnya yang kemudian diidentikkan melahirkan citra
intelektual, kritis, berani (menentang pemerintah) dan moralis. Citra yang
terbentuk ini melahirkan nafsu untuk mereproduksi image secara instan untuk kemudian dapat
dikategorikan sebagaimana citra golput yang ada: intelektual, kritis, berani
(menentang pemerintah) dan moralis.
Pencitraan
yang dapat direproduksi dari image golput
membuatnya menjelma menjadi trend, perilaku politik mutakhir yang
heroik dan menantang. Timbul keinginan untuk mengindentifikasi diri sebagai
golput agar citra yang ada pada golput identik pada dirinya. Dari sini akan
lahir ‘generasi punkpolitik’ yang hanya dapat
mereproduksi citra yang telah ada.
Memang
tidak dapat dipukul rata, bahwa saat ini yang terjadi hanya fenomena trend golput semata. Ada gejala golput lain
yang tampak mengemuka yakni apatisme dan frustasi politik. Gejala ini banyak
muncul pada masyarakat bawah yang merasa jenuh dipecundangi para elite politik
dalam bahasa-bahasa kampanye yang bombastis, provokatif, dan tidak perlu
berpikir panjang soal-soal teori. Meski awal kemunculan golput model ini senada
dengan argumentasi kemunculan golput pada periode awal, sekali lagi, apatisme
dan frustasi politik tidak dapat disetarakan dengan golput sebagai
pembangkangan sipil.
Golput
sebagai pembangkangan sipil merupakan aksi yang sistematis, strategis, terukur,
dan terencana. Sebuah gerakan yang lahir dari bingkai kesadaran ideologis untuk
memboikot penggunaan hak pilih. Implikasi politik yang (mungkin) terjadi tidak
main-main: delegitimasi hasil pemilu. Sedang apatisme dan frustasi politik
merujuk pada ketidakberdayaan rakyat dalam menghadapi kesewenang-wenangan
elite. Ia merujuk pada perilaku politik reaktif, pasrah, sebagai sebuah sikap
yang tidak direncanakan sebelumnya. Boleh saja terdapat paralelitas dari
dikotomi ini dalam aksi namun terdapat perbedaan hakiki yang tegas dalam ruh
yang melatari aksi yang dilakukan. Sehingga golput yang memetakan dirinya dalam
gerakan moral (moral force)
tidak sekedar menjadi komodifikasi citra. Betapapun minimal daya-tekan dan
daya-lawan golput, siapapun penguasa yang akan memerintah republik ini harus
sadar bahwa sebagian warga negaranya dengan kesadaran aktif menolak untuk
bungkam dengan bungkam!
Penyebab Munculnya Aksi Golput Pada Pemilu:
- Pertama.
Golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu
berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara atau mereka yang keliru
mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.
- Kedua.
Golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih
karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara
pemilu).
- Ketiga.
Golput politis, yakni mereka yang merasa tidak punya pilihan dari kandidat
yang tersedia atau tidak percaya bahwa pemilu akan membawa perubahan dan
perbaikan.
- Keempat. Golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tidak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.
Tentu saja ditinjau dari
segi yuridis, yang dilarang adalah menghalangi seseorang untuk menggunakan hak
politiknya. Upaya melakukan peng-golputan secara sengaja adalah tindak pidana
pemilu. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, memuat ketentuan pidana bagi seseorang yang dengan sengaja
menghalangi untuk tidak memilih, atau menyebabkan orang kehilangan haknya untuk
memilih, atau seorang majikan atau pimpinan tidak memberikan kesempatan secara
sengaja kepada buruhnya untuk melaksanakan hak politiknya, maka ia dapat
dikategorikan sebagai melakukan tindak pidana pemilu dengan ancaman hukuman
kurungan atau denda.
Dan jika hal tersebut terbukti, maka panitia pengawas pemilu sesuai dengan
tingkatannya akan menindaklanjuti dan memproses permasalahan tersebut sesuai
ketentuan dalam tindak pidana pemilu . Dengan ketentuan ini golput merupakan
pilihan pribadi, bukan hasil intervensi pihak lain memilih untuk tidak memilih,
sehingga massa yang timbul adalah massa yang bervariasi dan sunyi.
Kita boleh berbeda bahkan
perbedaan merupakan sesuatu yang esensial di dalam suatu masyarakat yang modern
yang majemuk. Tetapi kita harus berhenti berbeda bila dasar-dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara sudah dipertaruhkan. Dalam keadaan seperti itu kita
harus bersatu termasuk bijaksana dalam memaknai fenomena yang ada agar tidak
menimbulkan masalah. Dan tak kalah pentingnya adalah untuk memaknai setiap
pilihan terbaik kita sejalan dengan kepentingan bangsa dan negara yang lebih
kokoh sehingga pilihan apa pun tidak akan membawa implikasi yang merugikan
kepentingan bangsa dan negara.
Kesimpulan :
Pemilu demokrasi merupakan bagian dari partisipasi politik di negara
demokratis dan merupakan suatu keharusan. Peran elit
politik bangsa ini tentu sangat dibutuhkan dalam konteks yang positif untuk
menjaga lancarnya proses demokratisasi di Indonesia melalui pemilu, bukan malah
kemudian menjadikan pemilu serta pelembagaan pemilu itu sendiri tempat
bertarung para elit politik yang dapat mengakibatkan kemunduran bagi proses
demokratisasi di Indonesia. Saat kita menuntut
untuk hidup dalam suasana yang demokratis dengan sistem pemerintahan demokrasi
(seperti yang termanifestasikan dalam reformasi '98), maka otomatis sudah
menjadi kewajiban kita untuk turut membangun sistem ini. Demokrasi tidak bisa
hidup sendiri tanpa adanya partisipasi rakyat. Demokrasi adalah superstructure
yang harus ditopang oleh substructure, yaitu rakyat. Jika substructure itu
rapuh (banyak rakyat yang apatis), maka demokrasi itu sendiri juga akan rapuh
atau bahkan ambruk. Oleh karena itu, partisipasi politik masyarakat menjadi alternatif solusi
untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam memberdayakan kaum miskin ini. Sehingga
peran serta dan pemikiran masyarakat sangat dibutuhkan juga menjadi
tanggungjawab bersama untuk meningkatkan harkat dan martabat serta
kesejahteraan dan keadilan sosial di tengah-tengah bangsa dan negara.
Referensi:
“Golput dalam pemilu.” UNLA. Di
akses tanggal 8 Januari 2013
http://ekibaihaki.com/article/87371/golput-dalam-pemilu.html
http://politik.kompasiana.com/2012/06/29/pemilu-dan-proses-demokratisasi-di-indonesia/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter%20I.pdf
BUDIARDJO,
M. (2009). Dasar Dasar Ilmu Politik. jakarta: gramedia pustaka utama.
zzzzzz
ReplyDelete