Friday, November 14, 2014

Partisipasi Politik di Negara Demokrasi

Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Makin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu.
Kata kunci : partisipasi politik, pemilu demokrasi, golongan putih

            Dalam analisis politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting, dan akhir-akhir ini banyak di pelajari terutama dalam hubungannya dengan negara-negara berkembang. Pada awalnya studi mengenai partisipasi politik memfokuskan diri pada partai politik sebagai pelaku utama, tetapi dengan berkembangnya demokrasi banyak muncul kelompok masyarakat yang juga ingin memengaruhi proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan umum.Kelompok-kelompok ini lahir di masa pasca-industrial (post industrial) dan di namakan gerakan social baru (new social movement). Kelompok-kelompok ini kecewa dengan kinerja partai politik dan cenderung untuk memusatkan perhatian pada suatu masalah tertentu (single issue) saja dengan harapan akan lebih efektif memengaruhi proses pengambilan keputusa melalui direct action.
             Indonesia adalah negara demokrasi, dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pada suatu negara tersebut. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut . Dalam prakteknya secara teknis yang menjalankan kedaulatan rakyat adalah pemerintahan eksekutif yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan wakil-wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Perwakilan rakyat tersebut yang bertindak untuk dan atas nama rakyat, yang secara politik menentukan corak dan cara bekerjanya pemerintahan, serta tujuan yang hendak dicapai baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Agar para wakil rakyat tersebut dapat bertindak atas nama rakyat, maka wakil-wakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh rakyat. Pemilihan umum adalah sebuah alat untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara agar mereka memahami hak dan kewajibannya. Dengan adanya pemilihan umum maka masyarakat dapat mewujudkan aspirasinya yang disalurkan melalui partai politik. Secara umum  tujuan pemilihan umum adalah: untuk memungkinkan peralihan pemerintahan secara tertib dan aman, untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, dan dalam rangka melaksanakan hak azasi warga negara.
            Dalam pemilihan umum diperlukan partisipasi politik. Dimana pengertian partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik dengan jalan memilih pemimpin negara dan kebijakan pemerintah.
            Herbert McClosky seorang tokoh masalah partisipasi berpendapat:
partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga negara untuk mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembuatan kebijakan umum. Akan tetapi dalam konteks pemilihan umum, terdapat sejumlah warga yang memiliki pandangan tersendiri untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau yang disebut dengan golput. Hal ini menunjukkan tingkat patisipasi masyarakat terhadap pemilihan umum semakin menurun.
           
            Fenomena adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak biasa akan tetapi nyata ada dan terjadi. Fenomenologi berusaha untuk menyingkapkan fungsi-fungsi laten yang tersembunyi dalam setiap tindakan  sosial atau fakta sosial ( Bachtiar, 2006:152 ). Di negara manapun yang menjalankan sistem demokrasi, bahkan di negara yang sudah maju demokrasinya, golongan putih selalu mewarnai pemilihan umum. Di Amerika Serikat, misalnya, tingkat partisipasi pemilih di dalam pemilihan umum hanya pada kisaran 50%. Pada pemilihan presiden 1968, turn out -nya hanya 60,8%. Jumlah ini menurun menjadi 49% pada pemilihan presiden 1996, meningkat sedikit menjadi 50,4% pada 2000, dan kembali naik menjadi 56,2% pada pemilihan presiden di 2004. Golongan putih  atau disebut juga ‘No Voting Decision’ selalu ada pada setiap pesta demokrasi dimana pun terutama yang menggunakan sistem pemilihan langsung (direct voting). Mereka dikatakan golongan putih atau ‘No Voting Decision’ apabila berkeputusan untuk tidak memilih salah satu dari kontestan yang tersedia pada kertas suara ketika dilakukan pemungutan suara. Apabila cara untuk memilih dilakukan dengan mencoblos logo/foto, maka pemilih tidak mencoblos pada tempat yang sediakan sehingga kartu suara dinyatakan tidak sah. Jika untuk memilih digunakan dengan memberikan coretan atau tanda centang, maka pemilih tidak memberikan tanda centang atau memberikan tanda centang bukan pada tempat yang disediakan sehingga kartu suara menjadi tidak sah. Dari pengertian ini, mereka yang dikatakan mengambil sikap golput atau ‘No Voting Decision’ tetap hadir dan melakukan proses pemilihan sesuai dengan tata cara yang berlaku. Dalam perkembangannya, keputusan untuk tidak memilih ternyata semakin rumit. Seorang pemilih bersikap tidak memilih dengan cara tidak menghadiri bilik suara atau tempat pemungutan suara pada waktu yang telah ditentukan (jadwal pencoblosan). Pemilih (voter) tadi sudah terdaftar sebagai pemilih, akan tetapi dengan sengaja tidak hadir ke lokasi pemungutan suara ketika hari pelaksanaan pemilihan. Sehingga kertas suara yang tidak digunakan tadi dianggap tidak sah. Bila jumlahnya yang tidak memilih atau golput terlalu besar, maka akan berpengaruh terhadap legalitas partai ataupun kandidat yang memenangi pemilihan (vote result). Dalam perspektif teori politik, jika tingkat golongan putih melebihi 50% maka derajat legitimasi suatu pemerintahan sangat rendah, dan tidak cukup absah menjalankan roda pemerintahan.
            Istilah golongan putih atau golput pertama kali muncul menjelang Pemilu 1971. Istilah ini sengaja dimunculkan oleh Arief Budiman dan kawan-kawannya sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI (sekarang TNI) yang sepenuhnya memberikan dukungan politis kepada Golkar. Arogansi ini ditunjukkan dengan memaksakan (dalam bentuk ancaman) seluruh jajaran aparatur pemerintahan termasuk keluarga untuk sepenuhnya memberikan pilihan kepada Golkar. Arogansi seperti ini dianggap menyimpang dari nilai dan kaidah demokrasi di mana kekuasaan sepenuhnya ada di tangan rakyat yang memilih. Ketika itu, Arief Budiman mengajak masyarakat untuk menjadi golput dengan cara tetap mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ketika melakukan coblosan, bagian yang dicoblos bukan pada tanda gambar partai politik, akan tetapi pada bagian yang berwarna putih. Maksudnya tidak mencoblos tepat pada tanda gambar yang dipilih. Artinya, jika coblosan tidak tepat pada tanda gambar, maka kertas suara tersebut dianggap tidak sah. Ada perbedaan fenomena golput pada masa politik di orde baru dan masa politik di era reformasi. Di masa orde baru, ajakan golput dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan politik terhadap arogansi pemerintah/ABRI yang dianggap tidak menjunjung asas demokrasi. Pada era reformasi yang lebih demokratis, pengertian golongan putih merupakan bentuk dari fenomena dalam demokrasi. 
            Hingga saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para pengamat atau penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya Golput. Pertama, administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting. Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pemilu legislatif dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti. Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya.

Pemilu dan Proses Demokratisasi di Indonesia
Pemilu dalam negara demokrasi Indonesia merupakan suatu proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dari prinsip-prinsip pemilu tersebut dapat kita pahami bahwa pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.
            Sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government). Karena dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif. Menurut Robert Dahl, bahwa pemilihan umum merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilihan umum dewasa ini menjadi suatu parameter dalam mengukur demokratis tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sedehana tidak lain adalah suatu system politik dimana para pembuat keputusan kolektif tertinggi didalam system itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala. Pemilu memfasilitasi sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dengan yang lainnya, maupun pergantian dari kelas elit yang lebih rendah yang kemudian naik ke kelas elit yang lebih tinggi. Sikulasi ini akan berjalan dengan sukses dan tanpa kekerasan jika pemilu diadakan dengan adil dan demokratis. Di dalam studi politik, pemilihan umum dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik dimana pemilihan umum merupakan lembaga sekaligus juga praktis politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan.
            Terkait dengan pentingnya pemilu dalam proses demokratisasi di suatu Negara, maka penting untuk mewujudkan pemilu yang memang benar-benar mengarah pada nilai-nilai demokrasi dan mendukung demokrsi itu sendiri. Pemilihan akan system pemilu adalah salah satu yang sangat penting dalam setiap Negara demokrasi, kebanyakan dari system pemilu yang ada sebenarnya bukan tercipta karena dipilih, melainkan karena kondisi yang ada didalam masyarkat serta sejarah yang mempengaruhinya.

Hak membangkang
            Pada era orde baru dahulu ada fenomena politik yang di sebut golongan putih (Golput). Fenomena ini merupakan protes politik dan lebih jauh menghambarkan ketidak patuhan ( Civil disobidience) simbolik. Selain itu sebagai aksi politik Golput merupakan perlawanan langsung terhadap apa yang dipersefsikan kalangan kritis dalam masyarakat sebagai ketidak adialn secara hukum dan pemerintahan (Suhardono;1997:11). Berarti praktek  civil disobedience tidak menolak bangunan sistem ataun pemerintahan secara total, Jadi menjadi Golput bukan berarti menolak sistem ataupun pemerintahan secara total tetapi yang ditolak adalah prilaku yang tidak adil.
            Unsur-unsur yang mendukung resitensi semacam ini sebenarnya hendak menyatakan bahwa legitimasi dari pelaksanaan suatu produk perundangan pantas di blokir, dan dengan melakukan perlawanan, para pendudkung Golput memandang diri mereka sebagai pengemban prinsif atau ide yang lebih luhur yang dengan sendirinya dapat mematahkan produk perundangan yang ada. Mereka senantiasa melakukan resistensi, selama praktek  - praktek ketidak adilan masih ada. Resistensi mereka akan semakin solid, apabila penguasa melakukan represi dan tidak membuka ruang partisipasi.
            Maka Golput sebagai Civil disobedience  pada dasarnya adalah suatu bentuk “tindakan kriminal politis yang di restui” karena pungsinya sebagai protes, dengan kesediaan menanggung semua resiku terkena sangsi hukum,para “pembangkang hukum” ini berharap dapat menawarkan pada sebuah model moral yang pada giliranya akan menghasilkan perubahanperubahan mendasar,melalui perubahan hukum dan kebijakan publik (public policy). Yang mendasar disini adalah kualifikasi utama dari gerakan ini di ukur melalui ketidak patuhan yang diwujudkan dalam aksi anti kekersan.
            Perubahan politik yang menggunakan  civil disobedience,  justru  mampu  melemparkan Rezim yang sedang memerintah dari kursi kekuasaan, kendati dari perbandingan antar peristiwa sejarah tradisi civil disobedience kian melemah dari waktu ke waktu. Namun manakala masa mulai merasakan bahwa mereka sedang di perintah oleh raja diktator, bahkan tiran,kemungkinan yang paling implikatip dan logis ini bakal menjadi kenyataan (Suhardono;1997:12) dan tidak ada satu kekuatanpun yang mampu membendungnya.  Civil disobedience akan tetap menjadi model perlawanan rakyat.Kepastian semacam itu dengan sangatcerdas di tangkap oleh pemikir dari Jerman yang bernama “Immanuel Kant” dan dengan logos Kant mengatakan “adalah merupakan kewajiban bagi setiap orang untuk melawan penyalah gunaan kekuasaan” kendati perlawanan ini di anggap sebagai tindakan kesia-siaan.

Golput dan Delegitimasi Pemilu
            Dalam konteks pemilu 2004 setidaknya terdapat dua arus utama (mainstream) gerakan kritis dalam memaknai pemilu. Pertama, gerakan yang berharap pada celah-celah yang coba dimanfaatkan meski minimal dalam Gerakan Nasional Tolak Politisi Busuk (GNTPB) dengan orientasi pilih calon anggota legislatif bermutu. Kedua, gerakan golput yang dalam konteks politik nasional dipelopori oleh antara lain Arief Budiman sejak Pemilu 1971. Orientasi gerakan ini adalah delegitimasi pemilu.
            Kekecewaan yang mendalam atas tarik ulur kepentingan pemerintah-partai politik(-dan dulu Golkar plus militer) membuat gerakan ‘memilih untuk tidak memilih’ dan ‘sukseskan pemilu tanpa saya’ ini menemukan momentumnya. Dekonstruksi terhadap perilaku politik maintreamdilembagakan dalam gerakan dan kampanye golput sebagai manifestasi pembangkangan sipil. Implikasi politik golput merupakan konsekuensi yang tidak boleh dianggap sebelah mata. Semakin besar prosentase golput ketimbang persentase pemilih dalam pemilu merupakan isyarat bahwa pemiludelegitimate; tidak reperesentatif; dan bahkan cacat moral. Kontrol sipil dalam golput dimaksudkan sebagai tekanan dan mosi tidak percaya publik yang harus dipahami sebagai partisipasi politik-ekstra parlementer.
            Dalam perjalanannya, golput sebagai gerakan memiliki beragam varian implementasi gerak perjuangan. Definisi golput sendiri sebenarnya sudah jelas: mereka yang terdaftar sebagai pemilih dan tidak menggunakan hak pilihnya. Goltus (gerakan tusuk semua) misalnya, tidak dapat dikategorikan sebagai golput karena selain ia masuk kategori suara tidak sah, persentase jumlah goltus tidak dapat dimasukan dalam persentase jumlah Golput. Meski permakluman seringkali diberikan terutama pada periode orde baru di mana memilih telah menjadi kewajiban, bukan lagi hak. Goltus setidaknya harus dihargai sebagai modifikasi gerak-perjuangan untuk melawan kelaliman penguasa.
            Demikian juga warga negara yang tidak mempunyai hak pilih baik alasan politik maupun administrative sehingga tidak memilih pada pemilu juga jelas tidak dapat dikategorikan sebagai golput karena mereka pada dasarnya tidak termasuk dalam persentase jumlah pemilih. Sehingga kehilangan hak pilih bagi sebagian warga Negara terutama soal administrative harus dipahami sebagai kejahatan negara terhadap warganya yang membuat mereka tidak punya kontribusi apapun dalam pemilu, baik untuk melegitimasi maupun mendelegitimasi. Kalaupun mereka dikelompokan sebagai bagian dari gerakan delegitimasi pemilu, peran yang kemudian diemban menjadi tidak aktif lagi, melainkan pasif sebagai bentuk ketiadaan pilihan.
            Motivasi seorang untuk Golput idealnya karena kesadaran-politik sebagai suara moral untuk mendelegitimasi pemilu dengan berharap pada implikasi politik Golput. Namun dalam perjalanannya, motif sebagian mereka Golput tidak terhindarkan dari pergeseran nilai. Ide besar Golput harus rela ditelikung di tengah jalan oleh penumpang gelap yang (sebenarnya) tidak mengerti peta. Golput menjadi penanda heroisme politik baru, paralel dengan demam leftist beberapa waktu belakangan ini. Citra yang terbentuk dari perilaku politik golput sebenarnya perilaku orang-orangnya yang kemudian diidentikkan melahirkan citra intelektual, kritis, berani (menentang pemerintah) dan moralis. Citra yang terbentuk ini melahirkan nafsu untuk mereproduksi image secara instan untuk kemudian dapat dikategorikan sebagaimana citra golput yang ada: intelektual, kritis, berani (menentang pemerintah) dan moralis.
     Pencitraan yang dapat direproduksi dari image golput membuatnya menjelma menjadi trend, perilaku politik mutakhir yang heroik dan menantang. Timbul keinginan untuk mengindentifikasi diri sebagai golput agar citra yang ada pada golput identik pada dirinya. Dari sini akan lahir ‘generasi punkpolitik’ yang hanya dapat mereproduksi citra yang telah ada.
       Memang tidak dapat dipukul rata, bahwa saat ini yang terjadi hanya fenomena trend golput semata. Ada gejala golput lain yang tampak mengemuka yakni apatisme dan frustasi politik. Gejala ini banyak muncul pada masyarakat bawah yang merasa jenuh dipecundangi para elite politik dalam bahasa-bahasa kampanye yang bombastis, provokatif, dan tidak perlu berpikir panjang soal-soal teori. Meski awal kemunculan golput model ini senada dengan argumentasi kemunculan golput pada periode awal, sekali lagi, apatisme dan frustasi politik tidak dapat disetarakan dengan golput sebagai pembangkangan sipil.
            Golput sebagai pembangkangan sipil merupakan aksi yang sistematis, strategis, terukur, dan terencana. Sebuah gerakan yang lahir dari bingkai kesadaran ideologis untuk memboikot penggunaan hak pilih. Implikasi politik yang (mungkin) terjadi tidak main-main: delegitimasi hasil pemilu. Sedang apatisme dan frustasi politik merujuk pada ketidakberdayaan rakyat dalam menghadapi kesewenang-wenangan elite. Ia merujuk pada perilaku politik reaktif, pasrah, sebagai sebuah sikap yang tidak direncanakan sebelumnya. Boleh saja terdapat paralelitas dari dikotomi ini dalam aksi namun terdapat perbedaan hakiki yang tegas dalam ruh yang melatari aksi yang dilakukan. Sehingga golput yang memetakan dirinya dalam gerakan moral (moral force) tidak sekedar menjadi komodifikasi citra. Betapapun minimal daya-tekan dan daya-lawan golput, siapapun penguasa yang akan memerintah republik ini harus sadar bahwa sebagian warga negaranya dengan kesadaran aktif menolak untuk bungkam dengan bungkam!

Penyebab Munculnya Aksi Golput Pada Pemilu:

  • Pertama. Golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.
  • Kedua. Golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu).
  • Ketiga. Golput politis, yakni mereka yang merasa tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan.
  • Keempat. Golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tidak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.       
            Tentu saja ditinjau dari segi yuridis, yang dilarang adalah menghalangi seseorang untuk menggunakan hak politiknya. Upaya melakukan peng-golputan secara sengaja adalah tindak pidana pemilu. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, memuat ketentuan pidana bagi seseorang yang dengan sengaja menghalangi untuk tidak memilih, atau menyebabkan orang kehilangan haknya untuk memilih, atau seorang majikan atau pimpinan tidak memberikan kesempatan secara sengaja kepada buruhnya untuk melaksanakan hak politiknya, maka ia dapat dikategorikan sebagai melakukan tindak pidana pemilu dengan ancaman hukuman kurungan atau denda.
Dan jika hal tersebut terbukti, maka panitia pengawas pemilu sesuai dengan tingkatannya akan menindaklanjuti dan memproses permasalahan tersebut sesuai ketentuan dalam tindak pidana pemilu . Dengan ketentuan ini golput merupakan pilihan pribadi, bukan hasil intervensi pihak lain memilih untuk tidak memilih, sehingga massa yang timbul adalah massa yang bervariasi dan sunyi.
            Kita boleh berbeda bahkan perbedaan merupakan sesuatu yang esensial di dalam suatu masyarakat yang modern yang majemuk. Tetapi kita harus berhenti berbeda bila dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara sudah dipertaruhkan. Dalam keadaan seperti itu kita harus bersatu termasuk bijaksana dalam memaknai fenomena yang ada agar tidak menimbulkan masalah. Dan tak kalah pentingnya adalah untuk memaknai setiap pilihan terbaik kita sejalan dengan kepentingan bangsa dan negara yang lebih kokoh sehingga pilihan apa pun tidak akan membawa implikasi yang merugikan kepentingan bangsa dan negara.
Kesimpulan :
Pemilu demokrasi merupakan bagian dari partisipasi politik di negara demokratis dan merupakan suatu keharusan. Peran elit politik bangsa ini tentu sangat dibutuhkan dalam konteks yang positif untuk menjaga lancarnya proses demokratisasi di Indonesia melalui pemilu, bukan malah kemudian menjadikan pemilu serta pelembagaan pemilu itu sendiri tempat bertarung para elit politik yang dapat mengakibatkan kemunduran bagi proses demokratisasi di Indonesia. Saat kita menuntut untuk hidup dalam suasana yang demokratis dengan sistem pemerintahan demokrasi (seperti yang termanifestasikan dalam reformasi '98), maka otomatis sudah menjadi kewajiban kita untuk turut membangun sistem ini. Demokrasi tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya partisipasi rakyat. Demokrasi adalah superstructure yang harus ditopang oleh substructure, yaitu rakyat. Jika substructure itu rapuh (banyak rakyat yang apatis), maka demokrasi itu sendiri juga akan rapuh atau bahkan ambruk. Oleh karena itu, partisipasi politik masyarakat menjadi alternatif solusi untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam memberdayakan kaum miskin ini. Sehingga peran serta dan pemikiran masyarakat sangat dibutuhkan juga menjadi tanggungjawab bersama untuk meningkatkan harkat dan martabat serta kesejahteraan dan keadilan sosial di tengah-tengah bangsa dan negara.


Referensi:
Golput dalam pemilu.” UNLA. Di akses tanggal 8 Januari 2013
http://ekibaihaki.com/article/87371/golput-dalam-pemilu.html
http://politik.kompasiana.com/2012/06/29/pemilu-dan-proses-demokratisasi-di-indonesia/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17268/4/Chapter%20I.pdf

BUDIARDJO, M. (2009). Dasar Dasar Ilmu Politik. jakarta: gramedia pustaka utama.

1 comment: