Pengantar
Sama
halnya dengan aliran-aliran filsafat yang tumbuh berkembang dan mati lalu
digantikan dengan aliran-aliran filasafat lainnya, teori-teori sosialpun
demikian. Suatu teori sosial muncul atas kritik terhadap teori sosial
sebelumnya, berkembang dengan menyerap teori sosial lain, dan mati atau
digantikan oleh teori lainnya. Perkembangan yang demikian ini adalah wajar
adanya mengingat masyarakat itu sendiri yang merupakan kajian ilmu-ilmu sosial
berkembang secara dinamis. Untuk menjelaskan suatu fenomena sosial kekinian
maka dibutuhkan juga teori-teori yang sifatnya kekinian dan sesuai konteks yang
ada.
Kemunculan
teori kritis yang diwali oleh terbentuknya Frankfurt School berusaha untuk
memperbaiki dan melengkapi teori-teori sosial sebelumnya lewat jalan kritik.
Walaupun basis dari mazhab frankfurt –nama mazhab yang kemudian dikenal dari
Frankfurt tersebut- itu sendiri bukan
sosiologi secara khusus karena didalamnya bergabung beberapa ilmuan dari
barbagai disiplin ilmu sperti filsafat, ekonomi, sosiologi, psikologi dan lain
sebagainya, karena isu-isu sosial merupakan kajiannya dan sosiologi sebagai
ilmu yang paling dekat dengan masyarakat karena mengkaji masyarakat secara
langsung menjadi sasaran dari kritik mazhab ini.
Salah satu kritik teori
kritis terhadap sosiologi adalah adalah kritiknya mengenai sosiologi
tradisional yang positivistik.
Perumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut
muncul beberapa rumusan tulisan yang akan dibahas dalam makalah ini:
1.
Positivisme, sosiologi dan perkembangannya
2.
Kritik teori kritis terhadap positivisme, sosiologi dan teori
tradisional secara umum
PEMBAHASAN
Postivisme, Sosiologi dan Perkembangannya
Sosiologi sebagai sebuah ilmu berangkat dari pemikiran Auguste Comte
mengenai fisika sosial, sebuah konsep yang berusaha untuk menemukan hukum-hukum
pasti mengenai perkembangan suatu masyarakat yang diibaratkan dengan
hukum-hukum dalam ilmu alam. Contoh paling terkenal dari konsep Comte tersebut
adalah Hukum Tiga Tahap yang yang membagi perkembangan pemikiran manusia
kedalam tiga tahap: Tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positivistik.
Dari hukum Tiga Tahap tersebut kita bisa membandingkan dengan misalnya teori evolusinya
Darwin baik itu evolusi manusia atau survival
of the fittest yang kemudian diadopsi Herbert Spencer atau yang dilakukan oleh Emile Durkheim yang mengidentikkan masyarakat sebagai suatu
organisme sebagai sebuah pijakan awal apa yang kemudian dinamakan positivisme.
Perkembangan selanjutnya adalah apa yang dilakukan oleh Emile Durkheim
dengan membuat Sosiologi menjadi sebuah disiplin ilmu yang diakui. Emile
Durkheim lewat konsep fakta sosialnya yang kemudian menjadi salah satu
paradigma dalam sosiologi yang diakui hingga sekarang. Fakta sosial adalah cara berfikir, cara
bertindak, cara merasakan, yang berasal dari masyarakat dan mengendalikan
individu. Dalam salah satu karyanya, Suicide Emile Durkheim membuat sosiologi
menjadi benar-benar positivistik lewat pencarian data survey dan statistika
layaknya ilmu-ilmu alam.
Dari dua contoh tersebut kita bisa melihat sosiologi awal/klasik sangat
positivistik karena masih berusaha membangun basis sosiologi sebagai suatu ilmu
yang mandiri terlepas dari filsafat sekaligus bersaing dengan psikologi dengan
jalan mengadopsi pendekatan ilmu-ilmu alam. Secara garis besar positivisme
merupakan penerapan pendekatan ilmu-ilmu empiris-aanalitis atau pendekatan ilmu
alam untuk menjelaskan kenyataan sosial masyarakat. Selain itu, positivisme merupakan
suatu pandangan yang menganggap adanya metode ilmiah tunggal yang dapat
diberlakukan pada seluruh bidang kajian keilmuan (Ritzer, 2012:301).
Seiring perkembangan zaman teori-teori sosiologi dan teori-teori sosial
secara umum berkembang salah satunya lewat proses saling mengkritik. Salah satu
contohnya adalah teori kritis yang berkembang dari teori Marxis secara khusus
dan dari teori sosial lainnya. Salah satu yang dikritik teori kritis adalah
positivisme diatas dan sosiologi klasik sebagai salah satu contoh teori
tradisional.
Kritik teori kritis terhadap positivisme, sosiologi dan teori
tradisional secara umum
Teori Kritis sebagian besar terdiri dari kritik atas berbagi aspek
kehidupan sosial dan intelektual, namun tujuan utamanya adalah mengungkap
hakikat dan sifat masyarakat secara lebih akurat. Dari tujuan utamanya tersebut
teori kritis memandang apa yang telah dilakukan oleh teori tradisonal, secara
khusus positivisme keliru, kurang tepat dan perlu dibenahi. Berikut adalah beberapa
kritiknya.
Pertama, pandangan positivisme dituding membuat ilmu-ilmu sosial menjadi
bebas nilai dan pengetahuannya bersifat netral. Hal ini berkebalikan dengan pendapat
teori kritis yang mengharuskan sosiologi sebagai suatu ilmu mampu berperan
mengubah masyarat yang mengalami ketidakadilan lewat analisisnya dan peran
langsung didalam masyarakat. Teori-teori awal sosiologi yang meyakini bahwa
sosiologi itu harus bebas nilai membuat antara teori dan praksis tidak mesti
ada kaitan. Sedangkan teori kritis yang menjelaskan praktik-praktik sosial
harus mampu mengubah dan mengkoreksi realitas yang seharusnya tidak demikian.
Kemudian positivisme cenderung mengkerdilan peran dari aktor yang dalam
hal ini adalah individu sebagai anggota masyarakat. Pandangan positivistik
seperti fakta sosialnya Durkeim memandang masyarakatlah yang menentukan
individu. Individu tidak bebas, terikat oleh fakta-faktas sosial semisal agama.
Dalam hal ini teori kritis mempunyai pandangan yang hampir sama dengan
sosiologi Weberian khususnya paradigma tindakan sosial yang menyatakan bahwa
individu itu sepenuhnya bebas dalam bertindak.
Kemudian yang paling esensial adalah soal metode. Teori kritis menolak
pandangan sosiologi yang menggunakan pendekatan positivistik dan mengeneralisir
teorinya dan membuat teorinya berlaku secara universal. Menurut teori kritis,
tiap tiap masyarakat dan individu itu unik dan tidak dapat dipersamakan antar
satu dengan yang lainnya. Dan pendekatan yang kemudian mesti dilakukan adalah
pendekatan yang bersifat individual semisal fenomenologi. Dalam hal ini teori
tradisonal dinilai ahitoris karena mangabaikan keterkaitan sejarah dan
mengeneralisir sebuah teori. Berkebalikan dengan itu harusnya sebuah teori itu
historis, tidak mengabaikan faktor-faktor sejarah dan harus sesuai dengan
kenyataan.
Positivisme akan melahirkan sifat konservatif, membuat aktor dan ilmuan
sosial menjadi pasif, tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya, memelihara status
quo, dan tidak akan mampu melawan sistem yang ada yang menyebabkan
ketidakadilan. Yang menarik disini adalah adanya kenyataan bahwa Marx sendiri
sebagai salah satu dari pijakan awal teori kritis adalah seorang positivistik.
Itulah salah satu bukti bahwa teori-teori sosial dan teori-teori secara umum
lahir dari satu teori dengan jalan mengritiknya.
PENUTUP
Kesimpulan
Secara
garis besar kritik teori kritis terhadap positivisme yang merupakan ciri khas
sosiologi klasik (Durkhemian) dan teori sosial tradisonal secara umum meliputi
masalah teori-praksis, historis-ahistoris, netral-memihak, dan metode. Walaupun pada akhirnya teori kritis mengalami nasib yang
sama dengan teori-teori sosial lainnya, mengalami kemandegan, dan dituduh malah
mengabaikan ekonomi dari kritiknya terhadap marxis yang determinis ekonomis
atau cenderung hanya bisa mengkritik, dalam perkembangan selanjutnya muncul
Jurgen Habermas yang memperbaharui paradigma kritis dengan paradigma
komunikasinya. Hal ini membuktikan bahwa suatu teori sosial tidak akan kekal
karena mengikuti perkembangan masyarakat yang menjadi kajiannya yang senantiasa
bergerak dinamis.
Daftar Pustaka
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi, Dari Teori Sosiologi
Klasik
Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana.
Jogjakarta.
Setiadi, M. Elly. Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala
Perasalahan Sosial:Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana.
2011.
Sindunata. 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional, PT.Gramedia,
Jakarta.
No comments:
Post a Comment