Friday, November 7, 2014

KEBIJAKAN PEMUTUSAN KONTRAK KERJA DENGAN LEMBAGA INTERNATIONAL MONETARY FUND (IMF) TAHUN 2004

Kebijakan pemutusan kontrak kerja dengan lembaga International Monetary Fund (IMF) adalah tindakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia. Kebijakan pemutusan kontrak kerja yang diambil oleh pemerintah Indonesia, bertujuan untuk membebaskan diri dari bayang-bayang intervensi yang dilakukan oleh lembaga IMF terhadap berbagai macam kebijakan yang diterapkan di negara Indonesia. Intervensi kebijakan ekonomi yang dilakukan lembaga IMF terdiri dari kebijakan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan kebijakan liberalisasi ekonomi. Pada kenyataanya berbagai macam kebijakan yang diterapkan di Indonesia atas usulan lembaga IMF, tidak serta-merta memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia. Sebaliknya, tindakan intervensi yang dilakukan lembaga IMF terhadap kebijakan ekonomi makro dan sektor keuangan di Indonesia, dapat memperburuk keadaan ekonomi negara Indonesia. Misalnya kebijakan privatisasi BUMN yang diusulkan oleh lembaga IMF, malah menimbulkan kerugian bagi pemerintah Indonesia, karena para investor asing dapat menguasai sebagian besar aset-aset dan kekayaan yang dimiliki oleh negara Indonesia. Selain kebijakan privatisasi BUMN, kebijakan liberalisasi ekonomi juga berdampak pada ketimpangan ekonomi masyarakat Indonesia, seperti pengangguran yang semakin meningkat, dan sebagian besar penduduk Indonesia tidak mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang layak. Padahal, negara Indonesia sangat berharap dengan diterapkannya kebijakan liberalisasi dapat merubah keadaan perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik lagi dari sebelumnya. 
Kata Kunci : pivatisasi, liberalisasi, restrukturisasi, intervensi
Pendahuluan
            Pada tahun 1954 pemerintah Indonesia bergabung sebagai anggota lembaga International Monetary Fund (IMF). Tetapi setelah sebelas tahun menjadi anggota lembaga IMF, pada bulan Mei tahun 1965 pemerintah Indonesia keluar dari keanggotaan lembaga IMF, karena terjadi kerusuhan antara tahun 1964-1965, yaitu tragedi G30/S/PKI[1]. Namun, pada akhirnya pemerintah Indonesia kembali menjadi anggota IMF pada tanggal 23 Februari 1967. Dengan penjelasan mengenai awal Indonesia masuk dalam keanggotaan IMF, dapat diketahui bahwa pemerintah Indonesia sudah bergabung menjadi salah satu anggota IMF sejak zaman pemerintahan Orde Lama, yaitu di bawah kepemimpinan Ir. Soekarno. Pada awalnya, tujuan Indonesia bergabung sebagai anggota IMF belum didasari dengan ketertarikan pinjaman yang ditawarkan IMF kepada setiap negara anggotanya, melainkan tidak lebih dari sekedar mengikuti tren seluruh negara dibagian dunia yang bergabung sebagai anggota IMF.
            Tetapi lambat laun, keikutsertaan Indonesia sebagai salah satu anggota lembaga International Monetary Fund (IMF) menimbulkan kerugian dan dampak buruk tersendiri bagi pemerintah Indonesia, karena menjadi anggota lembaga IMF berarti harus bersedia untuk menerima usulan yang bersifat mengintervensi berbagai kebijakan negara anggotanya. Kebijakan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan liberalisasi ekonomi di Indonesia adalah contoh dari kebijakan yang diintervensi oleh lembaga IMF. Kebijakan privatisasi BUMN yaitu pengalihan pengelolaan perusahaan milik negara kepada para investor asin atau pihak swasta. Sedangakan kebijakan liberalisasi adalah kebijakan yang membatasi peran pemerintah terhadap jalannya perekonomian, dan pihak swastalah yang memegang andil untuk menjalankan dan mengatur perekonomian di Indonesia.
            Usulan kebijakan yang diajukkan oleh lembaga IMF sebenarnya dilatar belakangi atas pengaruh yang kuat dari Amerika Serikat, sebagai negara pemilik voting terbesar[2] dalam lembaga IMF. Amerika Serikat memanfaatkan lembaga IMF sebagai alat untuk menjalankan kepentingan dalam mengintervensi kebijakan ekonomi dan sektor keuangan negara anggota IMF, khususnya kebijakan di Indonesia. Sehingga, negara Indonesia tidak bisa menentukan alur kebijakan ekonominya sendiri, karena harus mengikuti kebijakan yang telah dirancang oleh IMF.
            Pada akhirnya, pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk memutuskan kontrak kerja dengan lembaga International Monetary Fund (IMF), karena berbagai kebijakan yang diajukan IMF kepada pemerintah Indonesia seperti kebijakan privatisasi BUMN, liberalisasi ekonomi tidak dapat  memperbaiki keadaan perekonomian negara Indonesia. Sebaliknya, kebijakan privatisasi dan liberalisasi ekonomi, bersifat menguntungkan bagi lembaga IMF dan negara-negara donatur, karena kebijakan privatisasi dan liberalisasi sangat memudahkan negara-negara donatur dalam lembaga IMF, untuk menguasai kekayaan dan aset-aset negara yang dimiliki oleh Indonesia. Cadangan devisa yang cukup memadai yang dimiliki Indonesi, semula sebesar U$D 14 miliar menjadi U$D 33 miliar[3], menjadi alasan lain bagi pihak pemerintah Indonesia untuk mengambil kebijakan pemutusan kontrak kerja dengan lembaga International Monetary Fund (IMF).
Dampak Penandatangan Letter of Intent Bagi Negara Indonesia
             Pada tahun 1998, Letter of Intent untuk pertama kalinya ditandatangani secara resmi oleh presiden Soeharto yang disaksikan oleh Michel Camdessus yang menjabat sebagai Managing Director IMF. Penandatanganan LOI yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia diharapkan dapat membantu perekonomian Indonesia yang sedang mengalami krisis. Letter of Intent (LOI) adalah dokumen yang menjelaskan mengenai kebijakan yang diimplementasikan dalam suatu negara dalam konteks pinjaman yang diajukan terhadap lembaga International Monetary Fund (IMF). Tetapi, perjanjian antara lembaga  IMF dengan pemerintah Indonesia, dinilai sebagai perjanjian yang diputuskan secara sepihak tanpa ada persetujuan dari anggota DPR-RI. Peraturannya tercantum  dalam pasal 11 UUD 1945 , bahwa secara materiil dan secara formal, perjanjian internasional apapun juga yang akan dibuat atau ditandatangani oleh pemerintah, harus terlebih dahulu disetujui oleh DPR-RI, sepanjang perjanjian internasional tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Misalnya usulah dari lembaga IMF untuk menyusun undang-undang Bank Indonesia (BI), yaitu  undang-undang no.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
            Dalam salah satu pasal Articles of Agreement of the IMF (Arcticle V section 1), memang diatur mengenai lembaga IMF yang hanya bersedia berhubungan dengan bank sentral dari negara anggota. Lahirnya Undang-Undang no 23 tersebut tentu sejalan dengan kemauan lembaga IMF. Sungguh memprihatinkan negara Indonesia yang sudah merdeka dan berdaulat, berbagai kebijakan mengenai perbankan dan kebijakan moneter harus tunduk dan dikendalikan oleh lembaga International Monetary Fund (IMF). Tetapi, disisi lain intervensi yang dilakukan oleh lembaga IMF terhadap kebijakan monter dan perbankan di Indonesia, merupakan bentuk dari ketidak mampuan pemerintah dalam menyelesaikan krisis yang terjadi pada tahun 1997.  Padahal, Bank Indonesia adalah lembaga yang mengatur mengenai kebijakan moneter yang berada di Indonesia, jadi apabila Bank Indonesia saja sudah tunduk terhadap peraturan lembaga IMF, berarti pemerintah Indonesia sudah tidak diberi peluang untuk menentukan alur perekonomian negaranya sendiri.
            Selain mengintervensi kebijakan perbankan dan kebijakan moneter, penandatanganan Letter of Intent (LOI) dianggap sangat merugikan bagi kalangan petani di Indonesia. Akibat kebijakan lembaga International Monetary Fund (IMF) seperti penghapusan dan pengurangan subsidi, pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan dengan Badan Urusan Logistik (BULOG), dan penurunan tarif impor komoditi pangan seperti beras, terigu, gula, dsb. Seharusnya, Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang luas dan berbagai macam kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki, dapat dikelola dan dimanfaatkan hasilnya untuk memajukan kesejahteraan masyarakat Indonesia, tanpa harus mengikuti berbagai macam kebijakan yang diusulkan oleh lembaga IMF.
Bisnis Utama International Monetary Fund (IMF) : Kebijakan Ekonomi Makro dan Sektor Keuangan
            Pusat perhatian pengawasan utama bagi lembaga International Monetary Fund (IMF) adalah kebijakan ekonomi makro dan sektor keuangan negara anggotanya. Kebijakan dalam sektor ekonomi makro yang diatur oleh lembaga IMF yaitu mengenai pengaturan perekonomian secara keseluruhan, yang bertujuan untuk dapat memperhatikan kinerja perekonomian negara-negara anggota. Pengawasan dalam ekonomi makro, meliputi pengelolaan uang (moneter) dan kredit, serta nilai tukar uang. Sedangkan dalam kebijakan sektor keuangan, lembaga IMF mengawasi lembaga keuangan dan perbankan di Indonesia.Bahkan lebih dari sekedar mengawasi, lembaga IMF juga ikut mengatur regulasi (kebijakan) terhadap sektor keuangan negara anggotanya, termasuk regulasi keuangan di negara Indonesia. Sehingga, perekonomian negara Indonesia secara langsung diintervensi oleh lembaga IMF.
            Pinjaman dana yang berasal dari lembaga International Monetary Fund (IMF), yang disertai dengan rancangan kebijakan yang ditarapkan di Indonesia ternyata tidak dapat merubah atau memperbaiki situasi perekonomian di Indonesia. Padahal, seharusnya dana yang berasal dari lembaga IMF dan penerapan berbagai kebijakan yang diusulkan oleh lembaga IMF dapat merubah keadaan perekonomian, yang nantinya dapat merangsang terhadap pertumbuhan perekonomian negara Indonesia.  Nilai tukar mengambang paling bebas di dunia adalah salah satu contoh kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga IMF dalam sektor keuangan Indonesia, yang berdasarkan Letter of Intent (LOI) dianggap merugikan bagi pihak Indonesia.
            Selain mengawasi sektor keuangan dan perekonomian makro di Indonesia, lembaga International Monetary Fund (IMF) juga ikut mengawasi kebijakan struktural yang mendukung perekonomian makro. Termasuk, kebijakan pasar tenaga kerja yang mempengaruhi kesempatan kerja dan tingkat upah buruh. Lembaga IMF memberikan nasihat kepada negara anggota terhadap pengaturan upah, sehingga akan terwujudnya tujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja negara anggota, termasuk di Indonesia.
            Selain, memberikan nasihat mengenai tingkat upah para pegawai swasta, lembaga IMF juga memberikan nasihat mengenai berbagai kebijakan yang nantinya diharapkan dapat menciptakan keadaan perekonomian yang berkelanjutan. Perekonomian yang berkelanjutan adalah pertumbuhan yang dapat terus terjaga tanpa disertai dengan inflasi dan neraca pembayaran. Sehingga, lembaga IMF dapat membantu mengenai pengentasan kemiskinan negara-negara anggota. Tetapi pada kenyatannya, lembaga International Monetary Fund (IMF) tidak dapat mengentaskan kemiskinan sesuai dengan kebijakan yang dimiliki oleh IMF. Salah satu contoh kebijakan liberalisasi ekonomi yang diterapkan di Indonesia malah menimbulkan ketimpangan ekonomi yang signifikan dan meningkatkan angka pengangguran di Indonesia.
Mekanisme Intervensi Kebijakan International Monetary Fund (IMF) di Indonesia
      1.      Kebijakan Privatisasi
            Pada prinsipnya privatisasi adalah proses pengalihan pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang awalnya dikelola oleh negara, menjadi berpindah tangan kepada pihak swasta. Penerapan kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia, merupakan usulan yang diberikan oleh lembaga International Monetary Fund (IMF) kepada pemerintah Indonesia. Tujuan privatisasi BUMN yang dilakukan pemerintah Indonesia yaitu untuk dapat mengatasi permasalahan perekonomian. Seperti anggaran belanja negara yang membengkak, hutang luar negeri yang sudah jatuh tempo, stabilitas ekonomi yang mulai melemah, dan instabilitas politik yang terjadi di Indonesia. Terjadinya defisit anggaran pada saat krisis ekonomi tahun 1997 adalah alasan lain bagi pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan privatisasi BUMN, dengan harapan penerapan kebijakan privatisasi terhadap BUMN dapat membantu menutupi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Sehingga, dapat memulihkan kembali keadaan perekonomian negara Indonesia.
            Berawal dari tahun 1968 sampai pada masa pemerintahan presiden Soeharto yakni tahun 1991, secara terus-menerus privatisasi BUMN tidak dapat dihentikan. PT. Semen Gresik adalah salah satu perusahaan yang pertama kali menjadi perusahaan yang terkena kebijakan privatisasi. Selama periode pemerintahan Soeharto-Habibie berhasil melakukan privatisasi terhadap sembilan BUMN, dengan total nilai U$D 5 miliar, BUMN yang berhasil diprivatisasi diantaranya PT Perkebunan Nusantara III, PT Perkebunan Nusantara IV, PT Pupuk Kaltim, PT Tambang Batubara Bukit Asam, PT Aneka Tambang Tbk[4], dll. Bentuk privatisasi yang dilakukan yaitu melalui penawaran umum di pasar modal ataupun dengan melalui strategic partner[5] yakni mengundang investor yang menjadi rekan strategis.
            Dalam kebijakan privatisasi terdapat dua motivasi penting, yaitu tekanan fiskal dan motif efisiensi. Tekanan fiskal yaitu terjadinya kesulitan pemerintah dalam membiayai pembangunan negaranya, sehingga privatisasi dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan pembangunan, karena diharapkan dengan diterapkannya privatisasi, pemerintah akan mendapatkan dana yang berasal dari para investor asing yang nantinya dapat digunakan untuk menutupi defisit anggaran dan dapat digunakan untuk modal pembangunan negara di Indonesia. Motif efisiensi yaitu sebuah anggapan yang mempercayai bahwa, jika badan usaha yang dikelola swasta bisa lebih efisien, dibandingkan badan usaha yang dikelola oleh negara. Bukti empirisnya yaitu di Amerika Serikat, biaya produksi perusahaan negara 40% lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan swasta, sementara di Jerman perbedaannya mencapai 50%, sedangkan di Indonesia sendiri, perbedaannya mencapai angka sekitar 29%-50%[6]. Ketidak efisienan dalam pengelolaan BUMN terjadi, karena terdapat ketidak jelasan hubungan antara pemilik dengan pengelola, sehingga bisa saja terjadi pembengkakan biaya produksi dalam pengelolaan BUMN yang nantinya akan menimbulkan agency cost [7]yang tinggi.
            Tetapi, penerapan kebijakan privatisasi di Indonesia sebagai negara yang masih berkembang jelas berbeda dengan penerapan kebijakan privatisasi yang diterapkan di negara-negara maju. Seharusnya penerapan kebijakan privatisasi BUMN, disertai dengan perubahan pada kinerja para pegawai dalam proses pengelolaan BUMN. Sehingga, kebijakan privatisasi BUMN benar-benar dapat memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia, yang tidak sekedar dimaknai dengan pelepasan aset-aset dan kekayaan yang dimiliki oleh negara Indonesia tanpa diikuti oleh peningakatan pendapatan negara dan efisiensi. Selain itu, penerapan kebijakan privatisasi tidaka akan berhasil jika pemerintah belum bisa menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Sehingga, jika pemerintah belum siap untuk menciptakan iklim perekonomian yang kondusif, maka memberhentikan kebijakan privatisasi adalah jalan yang harus diambil oleh pemerintah Indonesia.
             
      2.      Liberalisasi Ekonomi dan Politik
            Kebijakan liberalisasi ekonomi (pasar) di Indonesia sudah mulai diterapkan setelah runtuhnya masa pemerintahan orde baru, dibawah kepemimpinan presiden Soeharto. Kebijakan liberalisasi pasar yang diambil oleh pemerintah Indonesia, awalnya hanya sebagai bentuk aspirasi untuk menghadapi pemerintahan yang otoriter dibawah rezim Soeharto. Penerapan kebijakan liberalisasi pasar setelah runtuhnya rezim orde baru, bertujuan untuk meminimalisir peran pemerintah terhadap pengelolaan pasar di Indonesia, sehingga pengelolaan negara tidak terlalu terpusat (sentralisasi) seperti saat pemerintahan orde baru. Sebaliknya, kebijakan liberalisasi pasar memberikan peluang yang sangat luas bagi pihak swasta untuk dapat mengelola sektor ekonomi ataupun pasar di Indonesia. Selain bertujuan untuk mengurangi peran pemerintah terhadap pengelolaan sektor ekonomi (pasar), kebijakan liberalisasi ekonomi juga diterapkan atas usulan dari lembaga International Monetary Fund (IMF) yang tercantum dalam perjanjian Letter of Intent (LOI).
            Menurut Faisal Basri terdapat empat fungsi pasar yang harus dijalankan ketika dimulainya penerapan kebijakan liberalisasi pasar. Fungsi pasar terdiri dari market creating, market regulation, market stabilzing, dan market legitimasing. Market creating yaitu pasar berfungsi untuk menciptakan situasi perekonomian yang kondusif. Market regulation yaitu terdapatnya regulasi atau aturan, yang mengatur jalannya perekonomian (pasar). Market stabilizing yaitu pasar harus bisa menciptakan stablilitas perekonomian suatu negara, dengan hasil yang diraih. Market legitimasing yaitu dalam menjalankan kegiatan dalam pasar, harus memiliki kebijakan untuk menentukan regulasi atau aturan dengan persetujuan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pasar. Sehingga, liberalisasi perekonomian bukan berarti tidak memiliki aturan yang jelas, justru dengan adanya peraturan maka semua pihak tidak dirugikan akibat tindakan oknum yang hanya mementingkan keuntungan semata tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
            Namun, disisi lain penerapan kebijakan liberalisasi pasar yang diambil oleh pemerintah, tidak serta merta dapat memperbaiki pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lemah. Sebaliknya kebijakan liberalisasi pasar di Indonesia dapat menimbulkan ketimpangan ekonomi yang tinggi bagi masyarakat Indonesia, seperti tingkat pengangguran yang semakin meluas, pelayanan pendidikan yang kurang begitu baik, dan rendahnya pelayanan kesehatan bagi sebagian besar penduduk di Indonesia. Bukan sekedar menimbulkan ketimpangan ekonomi, liberalisasi pasar juga mempengaruhi hak-hak sosial ekonomi masyarakat yang tidak dapat terpenuhi. Bukan sekedar menimbulkan hilangnya hak-hak sosial ekonomi masyarakat, liberalisasi ekonomi juga mendatangkan konsekuensi lainnya, yaitu hilangnya hak-hak sipil dan politik secara efektif bagi masyarakat Indonesia. Sehingga, kebijakan liberalisasi dapat mencegah persamaan politik, yang sebenarnya menjadi prinsip dalam sistem pemerintahan yang demokrasi.
            Namun, seharusnya penerapan kebijakan liberalisasi terhadap perekonomian di Indonesia bukan berarti penerapan kebijakan yang tanpa batas. Kebijakan dan situasi pasar seharusnya tidak dimonopoli oleh sebagian pelaku pasar saja, sehingga nantinya jika benar-benar dapat dimonopoli oleh salah stu pihak, akan menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Dalam kebijakan liberalisasi Badan Usaha Milik Negar (BUMN), negara harus bisa merubah fungsi yang tadinya sebagai penentu kebijakan dalam pasar, sekarang harus berperan sebagai fasilitator untuk menumbuhkan perekonomian. Jadi, negara tidak begitu saja melepaskan diri dari pengawasan perekonomian Indonesia, pihak pemerintah juga ikut andi dalam perekonomian di Indonesia, hanya saja berbeda fungsinya saja.
            Dengan berbagai penjelasan mengenai langkah penerapan kebijakan liberalisasi pasar, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan liberalisasi ekonomi bukan jalan keluar yang tepat untuk memperbaiki situasi perekonomian di Indonesia. Sebenarnya, banyak aspek yang harus dibenahi pihak pemerintah Indonesia, agar dapat memulihkan atau memperbaiki kembali situasi perekonomian negara Indonesia, bukan sekedar merubah sistem yang akan dijalankan untuk mengalihkan pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang tadinya dikelola oleh negara kepada pihak swasta. Tetapi, untuk memajukan perekonomian di Indonesia semua pihak harus siap untuk menghadapi tantangan ke depan, dan perbaikan kinerja dalam pengelolaan BUMN serta demokratisasi adalah hal yang paling penting dalam memperbaiki keadaan perekonomian di Indonesia . Jadi, penerapan kebijakan liberalisasi ekonomi harus disertai dengan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), terutama SDM yang terlibat dalam pengelolaan BUMN. Sehingga, liberalisasi benar-benar dapat dirasakan manfaatnya bagi semua pihak tanpa terkecuali, atau dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Kesimpulan dan Saran
            Pada awalnya kehadiran lembaga IMF di Indonesia diharapkan dapat membantu memperbaiki berbagai masalah yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia, yang diakibatkan oleh krisis ekonomi tahun 1997. Tetapi, keberadaan lembaga IMF di Indonesia dianggap lebih mempersulit keadaan perekonomian negara Indonesia, karena berbagai macam kebijakan yang diterapkan sama sekali tidak dapat memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia. Berbagai kebijakan yang diterapkan di Indonesia, berdasarkan saran lembaga International Monetary Fund (IMF), terdiri dari kebijakan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), liberalisasi ekonomi, penandatanganan Letter of Intent (LOI), dan tindakan lembaga IMF yang mengintervensi serta mengawasi kebijakan sektor keungan dan ekonomi di Indonesia.
            Kebijakan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang pada awalnya bertujuan untuk menutupi defisit anggaran negara Indonesia, ternyata bukanlah cara yang tepat untuk mengatasi permasalahan defisit anggaran negara. Kebijakan privatisasi sendiri, seharusnya diikuti dengan perbaikan kinerja dalam pengelolaan BUMN, bukan hanya sekedar untuk mendapatkan dana dari para investor. Sehingga, privatisasi yang diterapkan di Indonesia tidak terkesan hanya untuk memindahkan aset-aset dan kekayaan negara semata kepada tangan para investor asing.
            Kebijakan liberalisasi ekonomi yang diterapkan di Indonesia atas usulan lembaga International Monetary Fund (IMF), bertujuan untuk mengurangi kekuasaan pemerintah terhadap pengelolaan pasar. Sehingga, pihak swasta dapat mengelola perekonomian dengan leluasa. Tentunya, kebijakan liberalisasi yang memiliki aturan jelas atas kesepakatan bersama, sehingga tidaka ada pihak yang meraih keuntungan yang sangat besar, sedangkan pihak lain merasa dirugikan terutama masyarakat. Seperti timbulnya perbedaan ekonomi yang sangat signifikan antar anggota masyarakat, pengangguran yang semakin meluas, serta tingkat pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang kurang begitu baik. Jangan sampai, pihak swasta leluasa untuk memonopoli keadaan perekonomian negara Indonesia, sedangkan pihak negara harus siap untuk menanggung resiko akibat keserakahan dari pihak swasta, yang hanya mementingkan keuntungan semata.
            Setelah menguraikan pembahasan mengenai kebijakan liberalisasi ekonomi dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dapat diketahui bahwa menjadi anggota lembaga International Monetary Fund (IMF) bukanlah jalan yang tepat bagi penanganan keadaan perekonomian di Indonesia yang lemah. Seharusnya, pemerintah Indonesia sendiri yang mencari jalan keluar untuk menghadapi krisis yang terjadi dengan berkonsultasi dengan para ekonom handal yang berasal dari Indonesia. Sehingga, pemerintah Indonesia tidak harus mengikuti berbagai macam kebijakan yang berasal dari lembaga International Monetary Fund (IMF). Dengan begitu, pemerintah Indonesia dapat lebih mandiri, dalam menentukan alur kebijakan perekonomiannya sendiri. Sehingga, situasi perekonomian negara Indonesia benar-benar dapat diselesaikan oleh pihak pemerintah sendiri.
            Semoga dengan kebijakan pemutusan kontrak kerja yang diambil oleh pemerintah Indonesia dengan lembaga International Monetary Fund (IMF), dapat memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia. Seharusnya sebelum pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk berhenti bekerja sama dengan lembaga IMF, harus sudah mempersiapkan kebijakan yang dapat memperkuat perekonomian Indonesia. Tentunya, agar pemerintah Indonesia tidak perlu memperpanjang kembali kerjasama dengan lembaga International Monetary Fund (IMF).


Bibliografi
http://harmono.multiply.com/journal/item12?&showinterestial=1&u=%2Fjournal%2Fitem (accessed Januari Kamis, 2013).
In Apakah Dana MoneterInternasional Itu ?, by Jeremy Clift, 58. Washington D.C: seksi grafik IMF, 2001.
http://pustaka.unpad.ac.id/archived/97701/ (accessed Desember Minggu, 2012).
Februari 2012.http://nyomansudapet.dosen.narotama.ac.id/2012/02/08/ekonomi-mikro-dan-makro-%E2%80%93-pengertian-dan-perbedaan/ (accessed Januari Kamis, 2013).
April 2012. http://shingwiris.wordpress.com/2012/04/17/kondisi-pemulihan-ekonomi-dari-krisis-di-Indonesia (accessed Desember Kamis, 2012).
http://www.bumn.go.id/kinerja-kementrian-bumn/privatisasi/
http://www.akademika.or.id/arsip/Privatisasi%20Tak%20Selalu%20Berhasil.htm (accessed Januari Kamis, 2013).
http://srimulyani.net/tag/kerjasama-ri-imf (accessed Desember Sabtu, 2012).
http://infoindonesia.wordpress.com/2011/04/26/bank-dunia-dan-imf-gunakan-isyu-korupsi-untuk-jalankan-privatisasi-dan-agenda-neolib-lainnya (accessed Desember Minggu, 2012).



[1]“ 2010:dampak kehadiran IMF terhadap hubungan Indonesia-AS pada era Soeharto”, http://politicalthinktank.wordpress.com/2010/02/14/dampak-kehadiran-imf-terhadap-hubungan-indonesia-as-pada-era-soeharto/.
[2] Ibid.
[3] “Suara merdeka, 2003: Indonesia Mampu putus dengan  IMF,”Suara Merdeka, http://www.suaramerdeka.com/harian/0304/23/nas13.htm
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] http://www.akademika.or.id/arsip/Privatisasi%20Tak%20Selalu%20Berhasil.htm.

1 comment:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    ReplyDelete