Kebijakan pemutusan kontrak kerja dengan lembaga
International Monetary Fund (IMF) adalah tindakan yang diambil oleh pemerintah
Indonesia. Kebijakan pemutusan kontrak kerja yang diambil oleh pemerintah
Indonesia, bertujuan untuk membebaskan diri dari bayang-bayang intervensi yang
dilakukan oleh lembaga IMF terhadap berbagai macam kebijakan yang diterapkan di
negara Indonesia. Intervensi kebijakan ekonomi yang dilakukan lembaga IMF
terdiri dari kebijakan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan
kebijakan liberalisasi ekonomi. Pada
kenyataanya berbagai macam kebijakan
yang diterapkan di Indonesia atas usulan lembaga IMF, tidak serta-merta
memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia. Sebaliknya, tindakan intervensi
yang dilakukan lembaga IMF terhadap kebijakan ekonomi makro dan sektor keuangan
di Indonesia, dapat memperburuk keadaan ekonomi negara Indonesia. Misalnya
kebijakan privatisasi BUMN yang diusulkan oleh lembaga IMF, malah menimbulkan kerugian
bagi pemerintah Indonesia, karena para investor asing dapat menguasai sebagian
besar aset-aset dan kekayaan yang dimiliki oleh negara Indonesia. Selain
kebijakan privatisasi BUMN, kebijakan liberalisasi ekonomi juga berdampak pada
ketimpangan ekonomi masyarakat Indonesia, seperti pengangguran yang semakin
meningkat, dan sebagian besar penduduk Indonesia tidak mendapatkan pelayanan
pendidikan dan kesehatan yang layak. Padahal, negara Indonesia sangat berharap
dengan diterapkannya kebijakan liberalisasi dapat merubah keadaan perekonomian
Indonesia ke arah yang lebih baik lagi dari sebelumnya.
Kata Kunci : pivatisasi, liberalisasi,
restrukturisasi, intervensi
Pendahuluan
Pada tahun
1954 pemerintah Indonesia bergabung sebagai anggota lembaga International Monetary Fund (IMF). Tetapi
setelah sebelas tahun menjadi anggota lembaga IMF, pada bulan Mei tahun 1965
pemerintah Indonesia keluar dari keanggotaan lembaga IMF, karena terjadi
kerusuhan antara tahun 1964-1965, yaitu tragedi G30/S/PKI[1].
Namun, pada akhirnya pemerintah Indonesia kembali menjadi anggota IMF pada
tanggal 23 Februari 1967. Dengan penjelasan mengenai awal Indonesia masuk dalam
keanggotaan IMF, dapat diketahui bahwa pemerintah Indonesia sudah bergabung
menjadi salah satu anggota IMF sejak zaman pemerintahan Orde Lama, yaitu di
bawah kepemimpinan Ir. Soekarno. Pada awalnya, tujuan Indonesia bergabung
sebagai anggota IMF belum didasari dengan ketertarikan pinjaman yang ditawarkan
IMF kepada setiap negara anggotanya, melainkan tidak lebih dari sekedar
mengikuti tren seluruh negara dibagian dunia yang bergabung sebagai anggota
IMF.
Tetapi
lambat laun, keikutsertaan Indonesia sebagai salah satu anggota lembaga
International Monetary Fund (IMF) menimbulkan kerugian dan dampak buruk
tersendiri bagi pemerintah Indonesia, karena menjadi anggota lembaga IMF
berarti harus bersedia untuk menerima usulan yang bersifat mengintervensi
berbagai kebijakan negara anggotanya. Kebijakan privatisasi Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan liberalisasi ekonomi di Indonesia adalah contoh dari
kebijakan yang diintervensi oleh lembaga IMF. Kebijakan privatisasi BUMN yaitu
pengalihan pengelolaan perusahaan milik negara kepada para investor asin atau
pihak swasta. Sedangakan kebijakan liberalisasi adalah kebijakan yang membatasi
peran pemerintah terhadap jalannya perekonomian, dan pihak swastalah yang
memegang andil untuk menjalankan dan mengatur perekonomian di Indonesia.
Usulan kebijakan
yang diajukkan oleh lembaga IMF sebenarnya dilatar belakangi atas pengaruh yang
kuat dari Amerika Serikat, sebagai negara pemilik voting terbesar[2]
dalam lembaga IMF. Amerika Serikat memanfaatkan lembaga IMF sebagai alat untuk
menjalankan kepentingan dalam mengintervensi kebijakan ekonomi dan sektor
keuangan negara anggota IMF, khususnya kebijakan di Indonesia. Sehingga, negara
Indonesia tidak bisa menentukan alur kebijakan ekonominya sendiri, karena harus
mengikuti kebijakan yang telah dirancang oleh IMF.
Pada akhirnya,
pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk memutuskan kontrak kerja dengan
lembaga International Monetary Fund (IMF), karena berbagai kebijakan yang
diajukan IMF kepada pemerintah Indonesia seperti kebijakan privatisasi BUMN,
liberalisasi ekonomi tidak dapat
memperbaiki keadaan perekonomian negara Indonesia. Sebaliknya, kebijakan
privatisasi dan liberalisasi ekonomi, bersifat menguntungkan bagi lembaga IMF
dan negara-negara donatur, karena kebijakan privatisasi dan liberalisasi sangat
memudahkan negara-negara donatur dalam lembaga IMF, untuk menguasai kekayaan
dan aset-aset negara yang dimiliki oleh Indonesia. Cadangan devisa yang cukup
memadai yang dimiliki Indonesi, semula sebesar U$D 14 miliar menjadi U$D 33
miliar[3],
menjadi alasan lain bagi pihak pemerintah Indonesia untuk mengambil kebijakan
pemutusan kontrak kerja dengan lembaga International Monetary Fund (IMF).
Dampak
Penandatangan Letter of Intent Bagi Negara Indonesia
Pada tahun 1998, Letter of Intent untuk
pertama kalinya ditandatangani secara resmi oleh presiden Soeharto yang
disaksikan oleh Michel Camdessus yang menjabat sebagai Managing Director IMF.
Penandatanganan LOI yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia diharapkan dapat
membantu perekonomian Indonesia yang sedang mengalami krisis. Letter of Intent
(LOI) adalah dokumen yang menjelaskan mengenai kebijakan yang diimplementasikan
dalam suatu negara dalam konteks pinjaman yang diajukan terhadap lembaga
International Monetary Fund (IMF). Tetapi, perjanjian antara lembaga IMF dengan pemerintah Indonesia, dinilai
sebagai perjanjian yang diputuskan secara sepihak tanpa ada persetujuan dari
anggota DPR-RI. Peraturannya tercantum
dalam pasal 11 UUD 1945 , bahwa secara materiil dan secara formal,
perjanjian internasional apapun juga yang akan dibuat atau ditandatangani oleh
pemerintah, harus terlebih dahulu disetujui oleh DPR-RI, sepanjang perjanjian
internasional tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Misalnya usulah
dari lembaga IMF untuk menyusun undang-undang Bank Indonesia (BI), yaitu undang-undang no.23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.
Dalam salah
satu pasal Articles of Agreement of the IMF (Arcticle V section 1), memang
diatur mengenai lembaga IMF yang hanya bersedia berhubungan dengan bank sentral
dari negara anggota. Lahirnya Undang-Undang no 23 tersebut tentu sejalan dengan
kemauan lembaga IMF. Sungguh memprihatinkan negara Indonesia yang sudah merdeka
dan berdaulat, berbagai kebijakan mengenai perbankan dan kebijakan moneter
harus tunduk dan dikendalikan oleh lembaga International Monetary Fund (IMF).
Tetapi, disisi lain intervensi yang dilakukan oleh lembaga IMF terhadap
kebijakan monter dan perbankan di Indonesia, merupakan bentuk dari ketidak
mampuan pemerintah dalam menyelesaikan krisis yang terjadi pada tahun
1997. Padahal, Bank Indonesia adalah lembaga
yang mengatur mengenai kebijakan moneter yang berada di Indonesia, jadi apabila
Bank Indonesia saja sudah tunduk terhadap peraturan lembaga IMF, berarti
pemerintah Indonesia sudah tidak diberi peluang untuk menentukan alur
perekonomian negaranya sendiri.
Selain
mengintervensi kebijakan perbankan dan kebijakan moneter, penandatanganan
Letter of Intent (LOI) dianggap sangat merugikan bagi kalangan petani di
Indonesia. Akibat kebijakan lembaga International Monetary Fund (IMF) seperti
penghapusan dan pengurangan subsidi, pengurangan peran pemerintah dalam
perdagangan dengan Badan Urusan Logistik (BULOG), dan penurunan tarif impor
komoditi pangan seperti beras, terigu, gula, dsb. Seharusnya, Indonesia sebagai
negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang luas dan berbagai macam
kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki, dapat dikelola dan dimanfaatkan
hasilnya untuk memajukan kesejahteraan masyarakat Indonesia, tanpa harus
mengikuti berbagai macam kebijakan yang diusulkan oleh lembaga IMF.
Bisnis Utama
International Monetary Fund (IMF) : Kebijakan Ekonomi Makro dan Sektor Keuangan
Pusat perhatian
pengawasan utama bagi lembaga International Monetary Fund (IMF) adalah
kebijakan ekonomi makro dan sektor keuangan negara anggotanya. Kebijakan dalam
sektor ekonomi makro yang diatur oleh lembaga IMF yaitu mengenai pengaturan
perekonomian secara keseluruhan, yang bertujuan untuk dapat memperhatikan
kinerja perekonomian negara-negara anggota. Pengawasan dalam ekonomi makro,
meliputi pengelolaan uang (moneter) dan kredit, serta nilai tukar uang. Sedangkan
dalam kebijakan sektor keuangan, lembaga IMF mengawasi lembaga keuangan dan
perbankan di Indonesia.Bahkan lebih dari sekedar mengawasi, lembaga IMF juga
ikut mengatur regulasi (kebijakan) terhadap sektor keuangan negara anggotanya,
termasuk regulasi keuangan di negara Indonesia. Sehingga, perekonomian negara
Indonesia secara langsung diintervensi oleh lembaga IMF.
Pinjaman
dana yang berasal dari lembaga International Monetary Fund (IMF), yang disertai
dengan rancangan kebijakan yang ditarapkan di Indonesia ternyata tidak dapat
merubah atau memperbaiki situasi perekonomian di Indonesia. Padahal, seharusnya
dana yang berasal dari lembaga IMF dan penerapan berbagai kebijakan yang
diusulkan oleh lembaga IMF dapat merubah keadaan perekonomian, yang nantinya
dapat merangsang terhadap pertumbuhan perekonomian negara Indonesia. Nilai tukar mengambang paling bebas di dunia
adalah salah satu contoh kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga IMF dalam
sektor keuangan Indonesia, yang berdasarkan Letter of Intent (LOI) dianggap
merugikan bagi pihak Indonesia.
Selain
mengawasi sektor keuangan dan perekonomian makro di Indonesia, lembaga
International Monetary Fund (IMF) juga ikut mengawasi kebijakan struktural yang
mendukung perekonomian makro. Termasuk, kebijakan pasar tenaga kerja yang
mempengaruhi kesempatan kerja dan tingkat upah buruh. Lembaga IMF memberikan
nasihat kepada negara anggota terhadap pengaturan upah, sehingga akan
terwujudnya tujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja negara anggota, termasuk
di Indonesia.
Selain,
memberikan nasihat mengenai tingkat upah para pegawai swasta, lembaga IMF juga
memberikan nasihat mengenai berbagai kebijakan yang nantinya diharapkan dapat
menciptakan keadaan perekonomian yang berkelanjutan. Perekonomian yang
berkelanjutan adalah pertumbuhan yang dapat terus terjaga tanpa disertai dengan
inflasi dan neraca pembayaran. Sehingga, lembaga IMF dapat membantu mengenai
pengentasan kemiskinan negara-negara anggota. Tetapi pada kenyatannya, lembaga
International Monetary Fund (IMF) tidak dapat mengentaskan kemiskinan sesuai
dengan kebijakan yang dimiliki oleh IMF. Salah satu contoh kebijakan
liberalisasi ekonomi yang diterapkan di Indonesia malah menimbulkan ketimpangan
ekonomi yang signifikan dan meningkatkan angka pengangguran di Indonesia.
Mekanisme
Intervensi Kebijakan International Monetary Fund (IMF) di Indonesia
1.
Kebijakan
Privatisasi
Pada prinsipnya
privatisasi adalah proses pengalihan pengelolaan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang awalnya dikelola oleh negara, menjadi berpindah tangan kepada pihak
swasta. Penerapan kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia, merupakan usulan
yang diberikan oleh lembaga International Monetary Fund (IMF) kepada pemerintah
Indonesia. Tujuan privatisasi BUMN yang dilakukan pemerintah Indonesia yaitu
untuk dapat mengatasi permasalahan perekonomian. Seperti anggaran belanja
negara yang membengkak, hutang luar negeri yang sudah jatuh tempo, stabilitas
ekonomi yang mulai melemah, dan instabilitas politik yang terjadi di Indonesia.
Terjadinya defisit anggaran pada saat krisis ekonomi tahun 1997 adalah alasan
lain bagi pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan privatisasi BUMN,
dengan harapan penerapan kebijakan privatisasi terhadap BUMN dapat membantu
menutupi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Sehingga, dapat
memulihkan kembali keadaan perekonomian negara Indonesia.
Berawal dari tahun 1968 sampai pada
masa pemerintahan presiden Soeharto yakni tahun 1991, secara terus-menerus
privatisasi BUMN tidak dapat dihentikan. PT. Semen Gresik adalah salah satu
perusahaan yang pertama kali menjadi perusahaan yang terkena kebijakan
privatisasi. Selama periode pemerintahan Soeharto-Habibie berhasil melakukan
privatisasi terhadap sembilan BUMN, dengan total nilai U$D 5 miliar, BUMN yang
berhasil diprivatisasi diantaranya PT Perkebunan Nusantara III, PT Perkebunan
Nusantara IV, PT Pupuk Kaltim, PT Tambang Batubara Bukit Asam, PT Aneka Tambang
Tbk[4],
dll. Bentuk privatisasi yang dilakukan yaitu melalui penawaran umum di pasar
modal ataupun dengan melalui strategic
partner[5]
yakni mengundang investor yang menjadi rekan strategis.
Dalam
kebijakan privatisasi terdapat dua motivasi penting, yaitu tekanan fiskal dan
motif efisiensi. Tekanan fiskal yaitu terjadinya kesulitan pemerintah dalam
membiayai pembangunan negaranya, sehingga privatisasi dianggap sebagai solusi
untuk menyelesaikan permasalahan pembangunan, karena diharapkan dengan
diterapkannya privatisasi, pemerintah akan mendapatkan dana yang berasal dari
para investor asing yang nantinya dapat digunakan untuk menutupi defisit
anggaran dan dapat digunakan untuk modal pembangunan negara di Indonesia. Motif
efisiensi yaitu sebuah anggapan yang mempercayai bahwa, jika badan usaha yang
dikelola swasta bisa lebih efisien, dibandingkan badan usaha yang dikelola oleh
negara. Bukti empirisnya yaitu di Amerika Serikat,
biaya produksi perusahaan negara 40% lebih tinggi dibandingkan dengan
perusahaan swasta, sementara di Jerman perbedaannya mencapai 50%, sedangkan di
Indonesia sendiri, perbedaannya mencapai angka sekitar 29%-50%[6].
Ketidak efisienan dalam pengelolaan BUMN terjadi, karena terdapat ketidak
jelasan hubungan antara pemilik dengan pengelola, sehingga bisa saja terjadi
pembengkakan biaya produksi dalam pengelolaan BUMN yang nantinya akan
menimbulkan agency cost [7]yang
tinggi.
Tetapi, penerapan kebijakan
privatisasi di Indonesia sebagai negara yang masih berkembang jelas berbeda
dengan penerapan kebijakan privatisasi yang diterapkan di negara-negara maju.
Seharusnya penerapan kebijakan privatisasi BUMN, disertai dengan perubahan pada
kinerja para pegawai dalam proses pengelolaan BUMN. Sehingga, kebijakan
privatisasi BUMN benar-benar dapat memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia,
yang tidak sekedar dimaknai dengan pelepasan aset-aset dan kekayaan yang
dimiliki oleh negara Indonesia tanpa diikuti oleh peningakatan pendapatan
negara dan efisiensi. Selain itu, penerapan kebijakan privatisasi tidaka akan
berhasil jika pemerintah belum bisa menciptakan iklim perekonomian yang
kondusif. Sehingga, jika pemerintah belum siap untuk menciptakan iklim
perekonomian yang kondusif, maka memberhentikan kebijakan privatisasi adalah
jalan yang harus diambil oleh pemerintah Indonesia.
2.
Liberalisasi
Ekonomi dan Politik
Kebijakan
liberalisasi ekonomi (pasar) di Indonesia sudah mulai diterapkan setelah
runtuhnya masa pemerintahan orde baru, dibawah kepemimpinan presiden Soeharto.
Kebijakan liberalisasi pasar yang diambil oleh pemerintah Indonesia, awalnya
hanya sebagai bentuk aspirasi untuk menghadapi pemerintahan yang otoriter
dibawah rezim Soeharto. Penerapan kebijakan liberalisasi pasar setelah
runtuhnya rezim orde baru, bertujuan untuk meminimalisir peran pemerintah
terhadap pengelolaan pasar di Indonesia, sehingga pengelolaan negara tidak
terlalu terpusat (sentralisasi) seperti saat pemerintahan orde baru.
Sebaliknya, kebijakan liberalisasi pasar memberikan peluang yang sangat luas
bagi pihak swasta untuk dapat mengelola sektor ekonomi ataupun pasar di
Indonesia. Selain bertujuan untuk mengurangi peran pemerintah terhadap
pengelolaan sektor ekonomi (pasar), kebijakan liberalisasi ekonomi juga
diterapkan atas usulan dari lembaga International
Monetary Fund (IMF) yang tercantum dalam perjanjian Letter of Intent (LOI).
Menurut Faisal Basri terdapat empat
fungsi pasar yang harus dijalankan ketika dimulainya penerapan kebijakan
liberalisasi pasar. Fungsi pasar terdiri dari market creating, market
regulation, market stabilzing,
dan market legitimasing. Market creating yaitu pasar berfungsi
untuk menciptakan situasi perekonomian yang kondusif. Market regulation yaitu terdapatnya regulasi atau aturan, yang
mengatur jalannya perekonomian (pasar). Market
stabilizing yaitu pasar harus bisa menciptakan stablilitas perekonomian
suatu negara, dengan hasil yang diraih. Market
legitimasing yaitu dalam menjalankan kegiatan dalam pasar, harus memiliki
kebijakan untuk menentukan regulasi atau aturan dengan persetujuan dari
berbagai pihak yang terlibat dalam pasar. Sehingga, liberalisasi perekonomian
bukan berarti tidak memiliki aturan yang jelas, justru dengan adanya peraturan
maka semua pihak tidak dirugikan akibat tindakan oknum yang hanya mementingkan
keuntungan semata tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
Namun, disisi lain penerapan
kebijakan liberalisasi pasar yang diambil oleh pemerintah, tidak serta merta
dapat memperbaiki pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lemah. Sebaliknya
kebijakan liberalisasi pasar di Indonesia dapat menimbulkan ketimpangan ekonomi
yang tinggi bagi masyarakat Indonesia, seperti tingkat pengangguran yang
semakin meluas, pelayanan pendidikan yang kurang begitu baik, dan rendahnya
pelayanan kesehatan bagi sebagian besar penduduk di Indonesia. Bukan sekedar
menimbulkan ketimpangan ekonomi, liberalisasi pasar juga mempengaruhi hak-hak
sosial ekonomi masyarakat yang tidak dapat terpenuhi. Bukan sekedar menimbulkan
hilangnya hak-hak sosial ekonomi masyarakat, liberalisasi ekonomi juga
mendatangkan konsekuensi lainnya, yaitu hilangnya hak-hak sipil dan politik
secara efektif bagi masyarakat Indonesia. Sehingga, kebijakan liberalisasi
dapat mencegah persamaan politik, yang sebenarnya menjadi prinsip dalam sistem
pemerintahan yang demokrasi.
Namun, seharusnya penerapan
kebijakan liberalisasi terhadap perekonomian di Indonesia bukan berarti
penerapan kebijakan yang tanpa batas. Kebijakan dan situasi pasar seharusnya
tidak dimonopoli oleh sebagian pelaku pasar saja, sehingga nantinya jika
benar-benar dapat dimonopoli oleh salah stu pihak, akan menimbulkan kerugian
bagi pihak lain. Dalam kebijakan liberalisasi Badan Usaha Milik Negar (BUMN),
negara harus bisa merubah fungsi yang tadinya sebagai penentu kebijakan dalam
pasar, sekarang harus berperan sebagai fasilitator untuk menumbuhkan perekonomian.
Jadi, negara tidak begitu saja melepaskan diri dari pengawasan perekonomian
Indonesia, pihak pemerintah juga ikut andi dalam perekonomian di Indonesia,
hanya saja berbeda fungsinya saja.
Dengan berbagai penjelasan mengenai
langkah penerapan kebijakan liberalisasi pasar, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa kebijakan liberalisasi ekonomi bukan jalan keluar yang tepat untuk
memperbaiki situasi perekonomian di Indonesia. Sebenarnya, banyak aspek yang
harus dibenahi pihak pemerintah Indonesia, agar dapat memulihkan atau
memperbaiki kembali situasi perekonomian negara Indonesia, bukan sekedar
merubah sistem yang akan dijalankan untuk mengalihkan pengelolaan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), yang tadinya dikelola oleh negara kepada pihak swasta.
Tetapi, untuk memajukan perekonomian di Indonesia semua pihak harus siap untuk
menghadapi tantangan ke depan, dan perbaikan kinerja dalam pengelolaan BUMN
serta demokratisasi adalah hal yang paling penting dalam memperbaiki keadaan
perekonomian di Indonesia . Jadi, penerapan kebijakan liberalisasi ekonomi
harus disertai dengan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), terutama
SDM yang terlibat dalam pengelolaan BUMN. Sehingga, liberalisasi benar-benar
dapat dirasakan manfaatnya bagi semua pihak tanpa terkecuali, atau dengan
tujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Kesimpulan dan Saran
Pada awalnya kehadiran lembaga IMF
di Indonesia diharapkan dapat membantu memperbaiki berbagai masalah yang
dihadapi oleh pemerintah Indonesia, yang diakibatkan oleh krisis ekonomi tahun
1997. Tetapi, keberadaan lembaga IMF di Indonesia dianggap lebih mempersulit
keadaan perekonomian negara Indonesia, karena berbagai macam kebijakan yang
diterapkan sama sekali tidak dapat memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia.
Berbagai kebijakan yang diterapkan di Indonesia, berdasarkan saran lembaga
International Monetary Fund (IMF), terdiri dari kebijakan privatisasi Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), liberalisasi ekonomi, penandatanganan Letter of
Intent (LOI), dan tindakan lembaga IMF yang mengintervensi serta mengawasi
kebijakan sektor keungan dan ekonomi di Indonesia.
Kebijakan privatisasi Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang pada awalnya bertujuan untuk menutupi defisit anggaran
negara Indonesia, ternyata bukanlah cara yang tepat untuk mengatasi
permasalahan defisit anggaran negara. Kebijakan privatisasi sendiri, seharusnya
diikuti dengan perbaikan kinerja dalam pengelolaan BUMN, bukan hanya sekedar
untuk mendapatkan dana dari para investor. Sehingga, privatisasi yang
diterapkan di Indonesia tidak terkesan hanya untuk memindahkan aset-aset dan
kekayaan negara semata kepada tangan para investor asing.
Kebijakan liberalisasi ekonomi yang
diterapkan di Indonesia atas usulan lembaga International Monetary Fund (IMF),
bertujuan untuk mengurangi kekuasaan pemerintah terhadap pengelolaan pasar.
Sehingga, pihak swasta dapat mengelola perekonomian dengan leluasa. Tentunya,
kebijakan liberalisasi yang memiliki aturan jelas atas kesepakatan bersama,
sehingga tidaka ada pihak yang meraih keuntungan yang sangat besar, sedangkan
pihak lain merasa dirugikan terutama masyarakat. Seperti timbulnya perbedaan
ekonomi yang sangat signifikan antar anggota masyarakat, pengangguran yang
semakin meluas, serta tingkat pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi sebagian
besar penduduk Indonesia yang kurang begitu baik. Jangan sampai, pihak swasta
leluasa untuk memonopoli keadaan perekonomian negara Indonesia, sedangkan pihak
negara harus siap untuk menanggung resiko akibat keserakahan dari pihak swasta,
yang hanya mementingkan keuntungan semata.
Setelah menguraikan pembahasan
mengenai kebijakan liberalisasi ekonomi dan privatisasi Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), dapat diketahui bahwa menjadi anggota lembaga International
Monetary Fund (IMF) bukanlah jalan yang tepat bagi penanganan keadaan
perekonomian di Indonesia yang lemah. Seharusnya, pemerintah Indonesia sendiri
yang mencari jalan keluar untuk menghadapi krisis yang terjadi dengan
berkonsultasi dengan para ekonom handal yang berasal dari Indonesia. Sehingga,
pemerintah Indonesia tidak harus mengikuti berbagai macam kebijakan yang
berasal dari lembaga International Monetary Fund (IMF). Dengan begitu,
pemerintah Indonesia dapat lebih mandiri, dalam menentukan alur kebijakan
perekonomiannya sendiri. Sehingga, situasi perekonomian negara Indonesia
benar-benar dapat diselesaikan oleh pihak pemerintah sendiri.
Semoga
dengan kebijakan pemutusan kontrak kerja yang diambil oleh pemerintah Indonesia
dengan lembaga International Monetary Fund (IMF), dapat memperbaiki keadaan
perekonomian Indonesia. Seharusnya sebelum pemerintah Indonesia mengambil
keputusan untuk berhenti bekerja sama dengan lembaga IMF, harus sudah
mempersiapkan kebijakan yang dapat memperkuat perekonomian Indonesia. Tentunya,
agar pemerintah Indonesia tidak perlu memperpanjang kembali kerjasama dengan
lembaga International Monetary Fund (IMF).
Bibliografi
http://harmono.multiply.com/journal/item12?&showinterestial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
(accessed Januari Kamis, 2013).
In Apakah Dana
MoneterInternasional Itu ?, by Jeremy Clift, 58. Washington D.C: seksi
grafik IMF, 2001.
http://pustaka.unpad.ac.id/archived/97701/
(accessed Desember Minggu, 2012).
Juli 2009. http://nusantarnews.wordpress.com/2009/07/12/sejarah-bumn-imf-word-bank-dan-privatisasi-di-Indonesia-3/ (accessed Desember Minggu, 2012).
Februari
2012.http://nyomansudapet.dosen.narotama.ac.id/2012/02/08/ekonomi-mikro-dan-makro-%E2%80%93-pengertian-dan-perbedaan/
(accessed Januari Kamis, 2013).
April 2012. http://shingwiris.wordpress.com/2012/04/17/kondisi-pemulihan-ekonomi-dari-krisis-di-Indonesia
(accessed Desember Kamis, 2012).
http://www.bumn.go.id/kinerja-kementrian-bumn/privatisasi/
http://www.akademika.or.id/arsip/Privatisasi%20Tak%20Selalu%20Berhasil.htm (accessed Januari Kamis,
2013).
http://infoindonesia.wordpress.com/2011/04/26/bank-dunia-dan-imf-gunakan-isyu-korupsi-untuk-jalankan-privatisasi-dan-agenda-neolib-lainnya
(accessed Desember Minggu, 2012).
[1]“ 2010:dampak kehadiran IMF terhadap hubungan Indonesia-AS pada era
Soeharto”, http://politicalthinktank.wordpress.com/2010/02/14/dampak-kehadiran-imf-terhadap-hubungan-indonesia-as-pada-era-soeharto/.
[2] Ibid.
[3] “Suara merdeka, 2003: Indonesia Mampu putus
dengan IMF,”Suara Merdeka, http://www.suaramerdeka.com/harian/0304/23/nas13.htm
[5] Ibid.
[6] Ibid.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
ReplyDeleteNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut