Tulisan ini menganalisis kebijakan publik mengenai perbedaan gender yang
membuat susahnya bergerak bagi perempuan di ranah politik. Seiring dengan
beragam persoalan yang dialami perempuan yang hak-haknya sering dirampas dan
belum di letakan sebagaimana mestinya oleh kebanyakan masyarakat, dimana masih
tingginya tingkat kekerasan yang dialami oleh perempuan yang dilakukan oleh
oknum maupun institusi jelas merupakan pekerjaan besar yang membutuhkan
perhatian serius secara politik. Perempuan pun mempunyai hak yang sama pada
hakikatnya. Sayangnya sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan
hanya menjadi sosok pelengkap. Namun, yang menjadi persoalan, ternyata
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum
laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Tujuan dari upaya ini adalah
untuk menghilangkan kesetaraan gender yang ada dalam masyarakat abikat
social-budaya, kebijakan politik serta doktrin interpretasi agama. Untuk
mewujudkan hal ini relasi gender yang sama antara laki-laki dan perempuan. Isu
gender tidak hanya merupakan isu ragional ataupun nasional, tetapi sudah
merupakan isu global. Isu yang menonjolkan berkaitan dengan gender di
Indonesia. Dengan demikian hasil analisis dapat dipergunakan untuk pertimbangan
program pemberdayaan perempuan agar perempuan bisa berkarya seperti kaum
laki-laki. Kaum perempuan pun tidak akan tersingkirkan oleh kaum laki-laki dan
akan adanya kesetaraan bagi kaum perempuan dan laki-laki. Bukti-bukti empiris
sudah menunjukan bahwa keseteraan gender sudah bukan masalah di negeri ini.
Hanya saja yang memang perlu diperjuangkan adalah bagaimana agar perempuan
semakin berdaya di dalam pengembangan Sumber Daya Manusia terutama melalui
pendidikan, sehingga ke depan peluang untuk memasuki dunia publik akan semakin
nyata.
gender, hak azasi
perempuan, politik Indonesia, ketidakadilan gender, kesetaraan gender
Sejak
dasa warsa terakhir telah menjadi bahasa yang memasuki setiap analisis sosial menjadi
pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubaha sosial serta menjadi
topik penting dalam setiap perbincangan mengenai pembangunan. Namun apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan gender dan mengapa dikaitkan dengan usaha
emansipasi kaum perempuan?
Pemahaman
dan pembeda antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan
analisa untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan social yang menimpa
kaum perempuan. Hal ini karena ada kaitan erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan
gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Misalnya
analisa yang di kembangkan oleh Karl Mark ketika melakukan kritik terhadap
sistem kapitalisme akan lebih tajam jika pertanyaan gender juga di kemukakan.
Demikian halnya analisa kritis lainnya dalam bidang kebudayaan maupun politik,
tanpa pertanyaan gender, akan berwatak mendua, di satu saat sedang
memperjuangkan suatu bentuk ketidakadilan gender. Dengan demikian analisis
gender merupakan analisa kritis yang mempertajam berbagai analisa kritis
ekonomi,sosial,politik dan budaya yang sudah ada.
Konsep
gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang di
bentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa
anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Misalnya saja
perempuan di anggap lemah,lembut, emosional,
keibuan dan lain sebagainya. Sedangkan, lelaki di anggap kuat,rasional,perkasa
dan lain sebagainya. Sifat-sifat tersebut bukanlah kodrat, karena tidak abadi
dan dapat dipertukarkan. Artinya ada lelaki yang emosional, lemah lembut, keibuan
dan lain sebagainya. Sementara itu, ada juga perempuan yang kuat, rasional dan
lebih kuat dari lelaki, tetapi pada zaman yang lain dan di tempat yang berbeda,
lelaki yang lebih kuat.
Dengan
melihat perbedaan yang jelas antara lelaki dan perempuan, maka dapat di
katakana bahwa gender dapat di artikan sebagai konsep social yang membedakan
(dalam arti memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan biologis
atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah enurut kedudukan, fungsi dan
peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Demikian
halnya dengan zaman kecil di tempat-tempat umum, seperti di terminal,stasiun
dan lain-lain. Selalu di pisahkan antara tempat untuk laki-laki dan perempuan.
Pemisahan ini selain karena perbedaan jenis kelamin (seks) juga karena alasab moral,etika dan agama.
Tulisan
ini akan membahas tentang Perbedaan Gender di Indonesia yang membuat susahnya
perempuan untuk bergerak di ranah Politik. Oleh karena itu saya akan membahas
tentang peran politik perempuan di Indonesia.
Ketidaksetaraan Gender
Berbicara
tentang perempuan dan politik, merupakan bahasan yang menarik sebab, peran
politik perempuan dari perspektif kalangan feminism radikal adalah di mana
terjadinya transformasi total. Peran perempuan di ranah domestik ke ranah pulik
atau dalam bahasa populernya ketidaksetaraan gender.
Pertanyaannya
kini, jika tonggak keterlibatan perempuan di ranah politik sudah di rencanakan
semenjak 22 desember 1928 silam, apakah realisasinya sudah maksimal pada hari
ini? Logikanya dalam kurun waktu 73 tahun, tentu banyak perubahan signifikan
yang terjadi dalam khazanah politik perempuan di negeri ini. Apa lagi dengan
gendering emansipasi yang selalu di tabuh setiap tanggal 21 april. Ditambah
pula, sekarang DPR sedang menggondok RUU
tentang ketidaksetaraan gender. Bahkan untuk kepentingan itu politisi senayan
merasa perlu untuk studi banding sampai ke Denmark, menurut Rieke Diah
Pitaloka, dua bulan setelah deklarasi sumpah pemuda.[1]
Tak
bisa di pungkiri, minimnya partisipasi kaum hawa di kancah perpolitikan negeri
ini, khususnya Sumatra barat tidak terlepas dari berbagai stigma dan stereotype
yang berkembang di tengah masyarakat,sebagai perbandingan misalnya 11% dari 55
orang anggota dewan. Menurut anggota DPD asal sumbar,emma yohana contoh lainnya
tidak mudah bagi perempuan untuk mengambil peran secara proposional di ranah
politik, karena ia harus berjuang dan berbanding dengan laki-laki untuk
mendapatkan suara.
Dominasi
budaya patriarkhi seolah member garisan tegas bahwa antara perempuan dengan
politik merupakan dua dunia yang berbeda dan tidak dapat bersinergi satu dengan
yang lainnya. Dunia perempuan adalah di rumah yang meliput wilayah domestic,
mengurus anak-anak dengan segala tetek bengeknya dan kalaupun berkarir di luar
rumah maka pekerjaan atau karier bukanlah hal yang utama. Perempuan di haruskan
siap memainkan peran ganda, sebagai ibu dan perempuan bekerja sedangkan politik
adalah tempat yang cocok bagi laki-laki karena penuh dengan intrik-intrik
berbahaya, terlihat macho, penuh maneuver serta identik denga uang dan
kekuasaan.
Dengan
kondisi seperti ini, perempuan jelas tidak memiliki nilai tawar menawar. Terjun
ke dunia politik bagi perempuan bukan berarti harus menjadi anggota
legislatif,bupati,wali kota, atau presiden. Namun berperan aktif di ranah
politik merupakan pembuktian kemampuan intelegasi sekaligus aktualisasi diri
bagi kaum hawa keterlibatan perempuan dengan politik.
Menurut
artikel yang saya baca contoh-contoh kesetaraan gender itu beban ganda. Beban
ganda (double burden) artinya beban
pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan
jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran
yang status dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang
bekerja di wilayah public, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban
mereka di wiliyah domestic. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah
mensubstitusi pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah
tangga atau aggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung
jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami
beban yang berlipat ganda.
Saat
ini, masyarakat sipil sedang menggagas untuk masukan dan kritisi terhadap dua
draf yang ada. Karena berangkat dari filosofi kepentingan yang berbeda, maka
Jaringan Advokasi Keseteraan Gender bersepakat melalui workshop 11 maret 2011
untuk membuat sandingan secara keseluruhan konsep pengaturan tentang kesetaraan
gender. Hal ini karena draft RUU dari pemerintah dan DPR lebih menunjukan
pengaturan tentang tata kelola mainstreaming gender di Indonesia. Jika melihat
lebih jauh, hak-hak perempuan yang spesifik belum menjadi hal penting dalam
pengaturannya karena diletakan pada penjelasan pasan dan belum jelasnya
kewajiban siapa dalam menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan
dalam berbagai bidang.
Oleh karena itu, beberapa ususlan
penting yang perlu diatur dalam RUU Kesetaraan Gender kelak adalah :
1) Kewajiban Negara dalam menjamin
pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan.
2) Perlu mengidentifikasi area
pemenuhan dan perlindungan, apakah satu atau dua area tertentu, atau multi area
dalam arti mengatur hak-hak perempuan diberbagai bidang.
3) Perlu mengatur jelas tanggung jawab
pihak-pihak terkait seperti lembaga Negara, swasta maupun peran serta
masyarakat dalam pemenuhan dan perlindungan hak perempuan.
4) Perlu mendefinisikan secara jelas
kesetaraan gender, ketidakadilan gender maupun diskriminasi gender termasuk
didalamnya dampak dari ketidaksetaraan gender.
5) Mekanisme pemenuhan dan perlindungan
termasuk didalamnya mekanisme kelembagaan dan pembiayaan.
6) Sanksi administrative maupun pidana
bila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak perempuan ataupun terjadinya
diskriminasi akibat perbedaan jenis kelamin.[2]
Membatasi hak-haknya
pada ranah publik.
Memberikan fokus pada tindakan
Negara akan membatasi makna hak asasi manusia hanya pada kekerasan di ranah
publik. Profil dari subyek hak asasi manusia dalam konteks ini adalah orang
yang aktif di ranah publik. Akses tak terbatas yang dimiliki laki-laki dan di
sisi lain terhalangnya partisipasi perempuan di ranah publik/politik
menyebabkan konstruksi hak asasi manusia hanya sebatas pengalaman laki-laki.
Akibatnya, kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan tetap berada di
luar perhatian perlindungan hak asasi manusia. Pembatasan kebebasan sipil
perempuan hanya di ranah privat, di samping pembatasan bergerak, berbicara,
penyadaran, dan kebebasan dalam keluarga secara tradisional akan tetapi berada
di luar lingkup perhatian hak asasi manusia. Status publik, partisipasi, hak,
dan sumber daya perempuan terus menerus
dimendiasi, jika tidak bergantung pada sistem nilai social dan budaya di
ranah privat. Dalam terminology hak asasi manusia, konsekuensi pembedaan
wilayah kehidupan menjadi ranah privat dan publik telah menghambat cakupan dan
aplikasi hak asasi manusia seperti dalam gambaran berikut :
|
Katergori pelanggaran
|
Pelaku pelanggaran
|
Korban
|
Publik
|
Hak sipil, politik.
|
Negara sebagai pelaku.
|
Hak individu, utamanya laki-laki
yang lebih mendominasi ranah publik.
|
Privat
|
Hak ekonomi, sosial, budaya.
|
Pelaku non-negara.
|
Hak kolektif, utamanya perempuan
yang di batasi di ranah privat.[3]
|
Contoh
ketidakadilan gender yang ada di tengah masyarakat yang kita bahas saat ini
adalah mengenai sosol seorang wanita untuk menjadi seorang pemimpin. Sebenarnya
pada masyarakat umumya, permasalahan mengenai hal ini tidak begitu di
permasalahkan. Akan tetapi ada beberapa oknum atau masyarakat atau kalangan
tertentu yang mempermasalahkan hal ini, yaitu mengenai sosok seorang wanita
untuk menjadi seorang pemimpin.
Dapat
kita lihat bahwa kebanyakan pemimpin baik itu perusahaan Negara maupun lembaga
institusi lainnya, sebagian besar atau mungkin dapat kita katakana hamper semuanya
dipimpin oleh seorang pria. Pria dianggap memiliki wibawa dan kekuatan, dan
tentu bila kita bandingkan dengan wanita tentu jauh berbeda. Dalam sudut
pandang kami sebenarnya pria maupun wanita yang menjadi seorang pemimpin ialah
bukanlah sebuah masalah. Siapapun berhak untuk menjadi seorang pemimpin, entah
itu pria maupun wanita.
Akan
tetapi, kenyataannya dalam masyarakat bahwa lelaki lebih dipercaya disbanding
wanita dalam memimpun suatu kelompok. Anggapan khalayak bahwa kebanyakan wanita
melihat dirinya sebagai seseorang yang ragu, imbang, bingung akan tujuan-tujuan
mereka dalam hidup, dan menunggu dipilih atau disadari keberadaannya oleh ria.
Mereka tidak suka mengambil resiko dan mereka menjadi gelisah dalam situasi di
mana mereka tidak mengetahui banyak hal.
Bahkan,
dari beberapa sumber menyebutkan bahwa kaum tertentu yang “mengharamkan” wanita
untuk menjadi seorang pemimpin. Alasan yang dikemukakan ialah salah satunya
sebagai berikut, Pemimpin wanita itu pasti merugikan. Akan tetapi, menurut pendapat
kamu, alasan yang dikemukan dari sumber tersebut tidaklah wajar. Tidak ada
alasan yang jelas mengenai pernyataan mereka tersebut. Oleh karena itu,
kamimenganggap hal ini juga sebagai bentuk ketidakadilan gender oleh beberpa
pihak.[4]
Hak Azasi Perempuan
Hak
azasi perempuan (HAP) dapat di pahami sebagai hak yang di miliki oleh seorang
perempuan, karena dia perempuan. HAP muncul karena Universal Declaration of Human Right (UDHR)belum mampu mengkomodasi
perlindungan terhadap perempuan atas pelaksanaan haknya. Jadi, HAP merupakan
bagian dari Hak Azasi Manusia (HAM) yang tidak lepas dari sejarah perkembangan
HAM.
HAP
merupakan gelombang HAM. Ketiga, yang muncul karena UDHR beserta dua konvensi
turunnya International Convernant on
Civil and Political Right (ICCPR) dan International
Convernant Economic, Social, Culture Right (ICESCR) belum cukup
mengakomodir hak dasar perempuan, belum mengakui adanya perbedaan (differences) antara perempuan dan
laki-laki serta tidak mengatur aksi afirmatif kepada kelompok rentan, termasuk
perempuan.
Perkembangan
HAP tidak berhenti pada Convention on the
Elimination of All forms of Descrimination Against Women (CEDAW) namun berkembang
ke isu-isu yang belum di akomodasi dalam CEDAW. Dalam konferensi HAM di Wina
tahun 1993 HAP dan hak anak di akui sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
HAM Universal. Pada tahun 1995 di adakan konferensi sedunia keempat tentang
perempuan di Beijing yang menghasilkan Deklarasi Beijing dan landasan Aksi
Beijing. Dalam konferensi Beijing ini di rumuskan aksi-aksi yang harus di
laksanakan untuk memajukan dan memberdayakan perempuan. Dalam deklarasi ini di
nyatakan bahwa persamaan antara perempuan dan laki-laki adalah masalah hak
azasi, syarat dari keadilan sosial dan persamaan pembangunan dan perdamaian.
Menurut artikel Ria Permana Sari yang pernah saya baca.[5]
Pada
lampiran Undang-Undang Republik Indonesia no.7 tahun 1984, tanggal 24 juli 1984
tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita bagian
IV pasal 15 yang mengatakan bahwa Negara-negara peserta wajib memberikan kepada
wanita persamaan hak dengan laki-laki di muka hukum dan Negara-negara peserta
wajib memberikan kepada wanita dalam urusan-urusan sipil, kecakapan hukum yang
sama untuk menjalankan kecakapan ntersebut khususnya memberikan kepada wanita
hak-hak yang sama untuk menandatangani kontrak-kontrak dan mengurus harta benda
serta wajib member mereka perlakuan yang sama pada semua tingkatan prosedur di
muka hakim dan pengadilan.
Dengan
lambatnya pemajuan perlindungan hak azasi perempuan di Indonesia maka nampaknya
di perlukan upaya-upaya di samping kegiatan sosialisasi yang optimal mengenai
hak azasi perempuan, juga penambahan peraturan perundang-undangan tentang hak
azasi perempuan. Di samping itu, dengan banyaknya masalah yang muncul tentang
kehidupan perempuan, maka perangkat undang-undang masih sangat di perlakukan
untuk mengatasi pesoalan-persoalan perempuan. Seperti eksploitasi terhadap
tenanga kerja perempuan, persoalan perempuan di wilayah konflik, prosititusi
dan lain-lainnya.
Sementara di Indonesia, yang sudah
meratifikasi Committee on the Elimination
of Descrimination against Women (CEDAW) sejak tahun 1984, dalam
implementasinya masih belum dapat melindungi perempuan dari tindak kekerasan
yang dilakukan oleh individu secara langsung maupun Negara melalui kebijakan-kebijakan
patriarkhis dan berorientasi pada pasar. Sistem patriarkhi yang tercermin dalam
kebijakan ditingkat Nasional maupun Lokal, menghasilkan praktek-praktek dan
tindakan yang mengabaikan hak-hak perempuan, memperkuat kekerasan dan
pelaggaran hak asasi manusia dan hak asasi perempuan (HAP), serta mengancam
sumber-sumber dan keberlanjutan hidup masyarakat, khususnya perempuan.
Kepentingan aktor-aktor global melalui perusahaan multinasional dan
transnasional dalam berbagai perjanjian internasional seperti FTA, G-20, dll
sangat jelas terlihat melalui pola pembangunan yang terjadi di Indonesia saat
ini. Sistem tersebut selanjutnya mendapatkan dukungan lembaga keuangan
internasional (World Bank, Asia Development Bank, sebagainya), terlihat dengan
jumlah hutang Indonesia per-2012 telah mencapai Rp 1.944,14 triliun.[6]
Namun
dalam hak-hak asasi perempuan ada beberapa hak-hak khusus. Dan ketika
membicarakan tentang Hak Perempuan, ada satu instrument hukum yang mengatur Hak
perempuan, yaitu Undang-undang No 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on
the elimination all form of discrimination againt women) atau yang lebih
dikenal dengan sebutan CEDAW.
Dalam CEDAW disebutkan beberapa
bentuk hak-hak perempuan, diantaranya:
1) Hak untuk memperoleh, mengubah atau
mempertahankan kewarganegaraannya.
2) Hak untuk memperoleh pendidikan.
3) Hak untuk bekerja yang layak,
termasuk memberikan hak-hak khusus bagi perempuan bekerja yang hamil.
4) Hak dibidang kesehatan.
5) Hak-hak dibidang ekonomi dan sosial,
termasuk hak partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan di segala
tingkat.
6) Hak atas hukum yang adil.
7) Hak atas perkawinan Negara Lemah
dalam Melindungi HAP sampai saat ini, penghormatan, perlindungan serta
pemenuhan akan hak-hak perempuan tampaknya masih jauh dari kata “maksimal”[7]
Peran Politik Perempuan di Indonesia
Seiring
dengan beragam persoalan yang di alami perempuan yang hak-haknya seiring di
rampas dan belum di letakan sebagai mana mestinya oleh kebanyakan masyarakt di
mana masih tingginya tingkat kekerasan yang di alami oleh perempuan yang di
lakukan oleh oknum maupun institusi jelas merupakan pekerjaan besar yang di
butuhkan perhatian serius secara politik.
Politik
memang bukan satu-satunya solusi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan
masalah-masalah kaum hawa yang juga secara mental atau psikologis yang
mengharuskan masalah itu dapat di sembuhkan serta memulihkan rasa percaya diri
secara normal sebagai seseorang manusia. Mereka yang mengalami masalah akan
mudah di tolong tatkala politik sebagai salah satu power di pegang individu yang punya komitmen politik yang kuat pada
masalah perempuan.
Masalah
politik inilah yang harus di pegang oleh orang-orang yang seharusnya adalah
perempuan itu sendiri. Bagaimana urusan-urusan perempuan secara psikologis dan
kultur yang bersifat interen atau menginteral lebih di ketahui oleh perempuan
sendiri. Karena itu perjuangan ini akan efektif bila sarana politik yang sudah
tersedia dalam jatah 30% harus direbut oleh perempuan bila masalah-masalah
perempuan yang seabrek ingin di minimalisir melalui kekuatan di parlemen
mendatang.
Pada
hasil pemilu tahun 2004 baru mampu mengakomendasi kursi perempuan sebanyak
10,7% atau hanya 28 orang dari 550 anggota parlemen yang menjadi wakil
rakyatuntuk periode 2004-2009. Angka ini jelas belum bisa mewakili power perempuan agar cepat bergerak
lebih leluasa sehingga mampu memperjuangkan aspirasi kaum perempuan secara
keseluruhan. Partai politik belum sepenuhnya a thome dengan kewajiban 30%
mencalonkan perempuan sebagai caleg nomor jadi yang ada perempuan justru di
pasang sebagai symbol akomondatif dengan nomor-nomor sepatu yang susah
meloloskan perempuan menuju kursi parelemen.
Model
yang di pakai partai pada perempuan hanya simbolik lips service sebagai
strategi dari partai yang ujung-ujungnya menarik konstituen memilih partai yang
ada ansich. Tidak tahu apa alasan perempuan di partai cuma di pajang, kesan
bahwa perempuan tidak memiliki standard an cenderung lemah dan terbatas adalah
argumentasi yang bersifat apologi atau mencari kelemahan perempuan saja. Sikap
ambivelense partai yang cenderung mendua dalam melihat perempuan adalah
gambaran dari sikap masyarakat kita yang belum sepenuhnya melihat perempuan
sebagai kekuatan perubahan dalam masyarakat.
Politik
penuh persaingan inilah yang harus di hadapi baik perempuan mau terjun memilih
politik sebagai pilihan pengabdian dalam membantu merubah wajah politik
Indonesia yang coreng moreng khususnya orang-orang yang ingin menjadi kata
lisator-lisator perempuan lain yang masih banyak tertinggal serta banyak pula
berbagai korban-korban kekerasan yang belum tersentuh oleh kebijakan Negara
sampai saat ini.
Hal
ini di tandai dengan terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden
perempuan pertama republic ini. Fenomena terpilihnya Megawati inilah yang
kemudian menjadi pintu gerbang bagi para perempuan untuk terus aktif terlibat
di ranah politik. Hingga kemudian hari, di lingkup elit politik semakin banyak
sekali kita temukan fakta yang menunjukan bahwa yang menduduki posisi strategis
tersebut adalah kaum perempuan. Fenomena ini semakin bertiup kencang setelah
munculnya UU pemilu nomer 10 tahun 2008 pasal 8 alinea 1 d mengenai jatah
perempuan di parlemen.
Namun
terlepas dari itu semua, muncul sebuah pandangan lain yang sesungguhnya perlu
kita telisik terkait dengan fenomena eksistensi kaum perempuan di ranah politik
negeri ini. Khususnya yang berkaitan dengan risk
ataupun impact akan kerasnya
kehidupan politik yang harus di tanggung oleh mereka. Dalam berbagai kasus,
perempuan kerap kali mengalami sebuah kejadian yang cukup menggelisahkan,
terkait dengan eksistensinya dalam pergaulan di ranah politik, sebut saja
kasus-kasus hukum yang menimpa Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti, Wa Ode,
Miranda Gultoem, Sri Mulyani, dll. Jika kita amati di luar konteks kasus yang
mereka hadapi, khususnya yang berkaitan dengan konteks keadilan gender,
mungkinkah mereka melakukan hal yang bertentangan dengan hukum tersebut di
sebabkan bukan oleh factor internal yang ada dalam diro mereka? Melainkan
factor eksternal (arus politik) yang melingkupi mereka ? perlu kita tahu
bahwasanya kekuatan-kekuatan politik inilah yang memiliki pengaruh kuat dalam
mengatur perilaku politik seseorang. Sehingga dalam pandangan sisi historisnya,
kaum perempuan yang di nilai “lemah”
mudah sekali terombang ambing oleh pusaran arus politis yang memang menjadi
korban dari adanya dinamika politik ini.
Kita
sadari bahwa dalam kancah perpolitikan sangatlah minim dan seakan akan wanita
selalu di rugikan oleh lelaki terbukti dengan adanya undang-undang yang
mengatur tentang kursi kaum perempuan di birokrasi, perempuan hanya di batasi
tiga puluh persen selebihnya itu untuk kaum lelaki, dan hal ini bukan berarti
bahwa wanita tidak mampu dan bersaing dengan kaum lelaki, dan saat ini mungkin
undang-undang yang mengatur kursi atau jatah di berokrasi masih kokoh artinya
tidak ada perubahan tapi bukan berarti undang-undang ini akan terus kokoh
selamanya suatu saat pasti aka nada perubahan mengingat kemampuan dan juga
semangat perempuan sudah tidak bisa lagi di ragukan, kalau kita lihat di
permukaan ternyata wanita sudah mulai banyak mewarnai dalam even-even penting
missal saja dalam pemilu, pilgub, pilkada, pilkadas bahkan sampai pada tatanan
struktur yang paling bawah. Selain itu juga mendidik dan mengkader anak agar
supaya menjadi anak yang cerdas dan baik yang bisa di harapkan oleh bangsa, ada
yang mengatakan bahwa wanita adalah makhluk sensitive dan feminism dan juga
wanita mempunyai kekurangan dalam reproduksi yang akan menghambat
keberlangsungan tugasnya dan lain sebagainya dan hamper secara keseluruhan kaum
wanita sepakat dengan alasan-alasan di aras karena itu sifatnya menguntungkan
kaum lelaki dan bahkan ada yang mengatakan bahwa tiga puluh persen porsi di
birokrasi untuk perempuan sudah cukup banyak mengingat kelemahan dan
kekurangannya.
Dapat
disimpulkan bahwa gender menjadi isu yang banyak dibicarakan seirama dengan
perkembangan akses pendidikan bagi perempuan. Melalui akses pendidikan yang
semakin luas bagi perempuan, maka kesadaran untuk membincangkan relasi gender
di dalam kehidupan masyarakat menjadi semakin mengedepankan. Kesetaraan gender
sebagaimana yang diketahui adalah produk impor dari negeri barat tentang adanya
tuntutan untuk keseimbangan peran di dalam relasi gender tersebut.
Isu
yang sangat mendasar tentang gender adalah meliputi tiga hal, yaitu gender
differentiation, gender inequality dan gender oppression. Perbedaan gender di
dalam kehidupan memang masih menjadi masalah di Negara-negara berkembang.
Misalnya kesamaan di dalam mengakses pendidikan, pekerjaan, politik dan
social-ekonomi. Kesamaan akses ini dirasakan sangat penting, sebab selama ini
memang ada sebuah anggapan yang sangat kuat bahwa ada perbedaan akses di dalam
ranah public antara lelaki dan perempuan.
Namun
demikian, di akhir-akhir ini akses perempuan di dalam politik memang sudah
mulai tampak dengan semakin banyaknya keterlibatan perempuan di dalam politik
praktis. Bukankah sekarang semakin banyak perempuan di dunia legislative,
birokrasi dan juga jabatan-jabatan politik lain. Ada beberapa bupati perempuan
yang terdapat di Indonesia, semakin terbuka akses pendidikan dan keterbukaan
politik, maka tentu akan semakin banyak perempuan yang akan bisa. Oleh karena
itulah sekali lagi saya menyatakan bahwa pemberian kuota kepada perempuan di
dalam representasi politik tentulah tidak penting.
Referensi
Alie, Marzuki. Situs resmi Demokrat. April 1, 2011.
http://www.demokrat.or.id/2011/04/realitas-baru-perpolitikan-di-indonesia/
(accessed 01 03, 2013).
Fanani, Estu R. Kalyanamitra. Sempemter 21, 2012.
http://www.kalyanamitra.or.id/2012/09/kesetaraan-gender-kondisi-perempuan-yang-perlu-diwujudkan/
(accessed Januari 9, 2013).
Rustam, Wahidah. Solidaritas Perempuan. 11 26, 2012.
http://www.solidaritasperempuan.org/index.php?option=com_content&view=article&id=254%3Apernyataan-sikap-solidaritas-perempuan-q-negara-pelaku-pelanggaran-hak-asasi-perempuan-stop-militerismeq-&catid=45%3Apenguatan-organisasi&Itemid=94&lang=en
(accessed Januari 1, 2013).
Suzanti, Irma. Indipt Online Blog. Semtember 29, 2011.
http://blog.indipt.org/uncategorized/hak-asasi-perempuan-16/ (accessed 12 28,
2012).
Teguh. Harian Haluan. April 21, 2012.
http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=14350:peran-perempuan-di-ranah-politik&catid=11:opini&Itemid=187
(accessed Januari 9, 2013).
[1]
Rieke diah pitaloka, “peran perempuan diranah politik,” ketidaksetaraan gender
1,1,April(2012): 1
[2]
Esti F. Fanani, “Kondisi perempuan yang perlu diwujudkan” 1,1,November (2012)
[3]
“Mengembalikan hak-hak perempuan” hal.15 tentang membatasi hak-hak perempuan di
ranah publik.
[4]
“Ketidakadilan gender dimasyarakat” tentang kepemimpinan seorang wanita, tidak
ada tahun.
[5]
Ria Permana Sari, “Perkembangan Hak Azasi Perempuan,” Hak Azasi Perempuan
1,1,Januari (2009):1
[6]
Wahidah Rustam, “Negara pelanggaran hak azasi perempuan,” hak azasi perempuan
1,1,November (2012): 1
[7]
Irma Suzanti, “Hak Asasi Perempuan,” bentuk hak asasi perempuan,1,2, oktober
(2011): 1
No comments:
Post a Comment