Masalah
pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya belum adanya kesepakatan pada tatanan konsep hak
azasi manusia, adanya pelanggaran HAM bersifat individualistik, serta kurang
berfungsinya lembaga-lembaga penegak hukum.
Dewasa ini banyak kalangan berasumsi negatif terhadap pemerintah dalam
penegakan HAM di Indonesia. Pada
kenyataannya pemerintah tidak seperti apa yang masyarakat gunjingkan. Hal tersebut bisa terbukti dengan berbagai
kebijakan pemerintah yang salah satunya seperti upaya pemerintah menyambut baik
kerjasama internasional. Dalam upaya
penegakan HAM di seluruh dunia atau setiap negara seperti Indonesia sangat
merespon terhadap pelanggaran HAM internasional. Bentuk pelanggaran HAM sendiri terdiri dari
berbagai macam bentuk, diantaranya adalah bentuk ketenagakerjaan pada anak di
bawah umur. Anak tersebut terenggut
hak-haknya yang sebagaimana semestinya diperoleh. Hak seperti mendapatkan pendidikan, hak
mendapatkan rasa aman, dan sebagainya.
Kasus ketenagakerjaan ini biasanya dijumpai dalam masyarakat dengan
kondisi perekonomian yang kurang mampu.
Penghasilan orang tua yang kurang, membuat orang tua memanfaatkan tenaga
si anak untuk memperoleh uang demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Permasalahan anak tersebut membuat pemerintah
melahirkan batas usia minimal anak. Dengan
ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang berada di bawah
usia 18 tahun. Ketentuan tentang batas
umum tersebut sejalan dengan isi pasal 2 dan 3 dari konvensi ILO Nomor 138
tahun 1973, yang intinya menyebutkan bahwa batas usia minimum tidak kurang dari
usia penyelesaian wajib belajar dan dalam kasus apapun tidak kurang dari 15
tahun. Akan tetapi larangan itu ada
pengecualiannya, yakni anak yang berusia 13 sampai 15 tahun dapat melakukan pekerjaan
ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental
maupun sosialnya.
Kata Kunci: Demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), Hak Anak,
Hukum, Pemerintah
Pendahuluan
Di dalam negara demokrasi
yang baru berkembang, permasalahan yang sering kali terjadi adalah berbagai
pelanggaran HAM. Seperti di Indonesia
sendiri kasus ini masih saja terjadi meski pada kenyataannya sudah ada berbagai
lembaga pemerintah yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap terjadinya
pelanggaran HAM di Indonesia. Banyak
macam kasus pelanggaran HAM di Indonesia di antaranya yaitu kasus
ketenagakerjaan anak di bawah umur.
Dalam hal ini anak tidak mendapatkan hak anak yang sebagaimana
semestinya didapatkan. Hak di sini
seperti hak mendapatkan pendidikan, hak memperoleh rasa aman, hak bermain,dan sebagainya.
Masalah ketenagakerjaan
anak biasanya dijumpai di masyarakat yang berada di garis kemiskinan. Kondisi penghasilan orang tua yang tidak
mencukupi perekonomian keluarga mendorong orang tua mempekerjakan anaknya. Meski pada kenyataanya Bekerja bagi anak
mempunya dampak positif dan negatif.
Kenyataannya dengan mereka bekerja akan kehilangan masa kanak-kanaknya. Dampak positif bagi anak yang bekerja yaitu
anak sudah terlatih untuk bertanggung jawab melakukan pekerjaan dan bagi keluarga dapat mencukupi perekonomiannya dan bahkan anak
dapat melanjutkan pendidikannya yang mungkin selama ini tertunda.
Isu-isu ketidaktegasan
pemerintah dalam penanganan permasalah ini menjadi gunjingan masyarakat. Tetapi pada kenyataannya pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan dengan berbagai bentuk perundang-undangan serta batas
minimal umur tenaga kerja anak. Hanya saja
masyarakat tidak memperdulikan kebijakan tersebut. Masyarakat tidak sadar akan akibat dari
permasalahan ini, yang nantinya akan menghambat kesejahteraan dan kenyamanan
mereka sendiri.
Pelangaran HAM di Indonesia
Hak azasi manusia hakikatnya telah terjamin secara konstitusional telah di
bentuk oleh lembaga penegakan hak azasi manusia. Namun hal itu tidak menyurutkan lahirnya
pelanggaran-pelanggaran hak azasi manusia di negeri Indonesia ini.[1] Apabila di cermati
secara seksama, ternyata faktor penyebabnya kompleks. Dalam hal ini faktor-faktor penyebabnya
antara lain: Masih belum adanya kesepakatan pada tatanan konsep hak azasi
manusia, adanya pelanggaran HAM bersifat individualistik yang akan mengancam
kepentingan umum, kurang berfungsinya lembaga-lembaga penegak hukum,
merajalelanya kemiskinan hingga mendorong tindakan yag tidak sesuai.
Kasus-kasus pelanggaran
HAM di Indonesia terbagi menjadi beberapa bentuk pelanggaran seperti: kekerasan
pada anak, kekerasan dalam rumah tangga(KDRT), perbudakan, pembunuhan, dan
berbagai contoh lainnya. Keadaan bangsa yang rumit dengan berbagai tindakan
kejahatan mengancam ketenangan masyarakat dan membuat bangsa Indonesia sangat
menderita dan mengancam integrasi nasional.
Buruknya nilai moral yang ada pada diri masyarakat mendominasi
pelanggaran-pelanggran HAM di Indonesia.
Faktor pendidikan yang kurang menjadi salah-satu faktor terbentuknya
karakteristik seseorang. Misalnya
seseorang hanya mendapatkan pendidikan pada bangku sekolah dasar (SD), hingga
dia terpaksa terjun dalam dunia kerja seperti pengamen, supir angkot dan
sebagainya. Sehingga anak dalam konteks
pendidikan tidak mendapatkan pendidikan moral yang diberikan pada media sekolah
sebagai mana semestinya. Anak semakin
tumbuh dewasa dengan lingkungan kerjanya yang secara otomatis membentuk
karakteristik pribadinya. Kondisi
seperti inilah yang membuat mental bangsa ini menjadi tak bermoral dan rentang
dalam pelanggaran HAM. Upaya penegakan
terhadap kasus pelanggaran HAM tergantung pada apakah pelanggaran itu masuk
kategori berat atau bukan. Apabila
berat, maka penyelesaiannya melalui HAM, namun apabila pelanggaran HAM bukan
berat melalui peradilan umum. Selaku
manusia dan sekaligus warga negara yang baik, bila melihat atau mendengar
terjadinya pelanggaran HAM sudah seharusnya memiliki keperdulian demi
terwujudnya ketertiban sosial yang di harapkan.
Dewasa ini banyak kalangan yang berasumsi negatif terhadap pemerintah dalam
penegakan HAM di Indonesia. Perlu di
ketahui bahwa pemerintah Indonesia sudah sangat serius dalam penegakan HAM.[2] Pertama hal ini dapat di lihat dari
upaya-upaya pemerintah sebagai berikut: Indonesia menyambut baik kerjasama
Internasional dalam upaya penegakan HAM di seluruh dunia atau di setiap negara,
dan Indonesia sangat merespon terhadap pelanggaran HAM Internasional. Kedua, komitmen pemerintah Indonesia dalam
mewujudkan penegakan HAM, hal tersebut telah di tentukan dalam prioritas dalam
pembangunan nasional tahun 2000 – 2004 (Propenas) dengan membentuk kelembagaan
yang berkaitan dengan HAM. Ketiga,
pengeluaran Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asazi Manusia,
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, serta masih banyak
undang-undang yang lain yang belum tersebutkan menyangkut penegakan hak azasi
manusia.[3]
Dari berbagai uraian
mengacu bukti konkret bahwa Indonesia tidak serius dalam penegakan HAM. Maka terjawablah pertanyaan-pertanyaan sebagian
kalangan terhadap keseriusan pemerintah dalam penegakan Hak Azasi Manusia. Di samping pemerintah mempunyai peran yang
sangat urgent dalam penegakan HAM,
juga dibutuhkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat termasuk peran Lembaga
Sosial Masyarakat (LSM), peran pers dan lembaga masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan penegakan HAM adalah
sebuat proses menuju bangsa Indonesia yang aman dan tentram.
Hak-Hak Anak yang Seharusnya di Dapatkan
Anak merupakan salah satu subjek hukum hak azasi manusia, oleh karena itu
anak memiliki hak-hak yang harus dipenuhi.
Hak adalah hak dasar yang wajib diberikan dan didapatkan oleh anak yang
termasuk pada usia 0-18 tahun, meliputi anak usia dini dan juga remaja usia
12-18 tahun.[4] Hak anak ini berlaku baik anak yang mempunyai
orang tua ataupun yang sudah tidak mempunyai orang tua, dan juga anak terlantar. Di sini hak yang harus diperoleh anak
seperti, hak bermain, hak mendapatkan akte, hak mendapatkan pendidikan, hak
berpartisipasi, hak keamanan dan masih banyak hak lainnya. Menurut Undang-Undang 23 Tahun 2002, anak
memiliki empat hak dasar yaitu: hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan,
dan hak berpartisipasi. Dalam hal ini
anak yang di maksud adalah anak yang berumur di bawah umur delapan-belas tahun
termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
Hak hidup adalah hak yang berlaku sejak anak masih di dalam kandungan,
seperti memberikan rangsangan dan gizi ketika anak masih di dalam kandungan,
memeriksa kandungan dan masih banyak lainnya.
Dalam hal ini bentuk pelanggarannya seperti aborsi dan melakukan
tindakan yang membahayakan janin dalam kandungan. Selain itu, hak tumbuh kembang
yaitu hak anak yang harus diberikan kesempatan sebaik-baiknya untuk tumbuh
dan berkembang, seperti dipelihara dengan baik, jika anak sakit diobati
atau dibawa ke dokter, diberi ASI (Air Susu Ibu) dan beberapa tindakan
lainya. Selain itu secara psikis juga
harus diperhatikan, seperti memberikan rasa aman dan nyaman, membuat lingkungan
kondusif, tidak memberikan makanan yang berbahaya bagi perkembangannya, diajari
cara berbahasa yang baik dan benar, dan diberi pola asuhan yang memanusiakan
anak.[5] Hak perlindungan, anak
harus dilindungi dari situasi-situasi darurat, menerapkan perlindungan hukum,
dan dari betuk apapun yang berkaitan dengan masa depan si anak. Hak partisipasi adalah hak anak dalam tatanan
keluarga harus dibiasakan diajak bicara apalagi yang menyangkut
kebutuhan-kebutuhannya atau hal yang di inginkannya. Contoh ingin sekolah di mana, dan jika orang
tua menginginkan yang lain dicarikan titik temu. Seperti membeli sepatu seperti apa, si anak
di ajak bicara. Karena apa yang
dipilihkan orang dewasa belum tentu terbaik bagi si anak, sehingga anak
diperlakukan sebagai insan yang dimanusiakan.
Tidak semua orang tua
menyadari, apakah anaknya sudah terpenuhi haknya atau belum. Tidak semua orang
tua juga memperhatikan secara detail hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh
anak. Di dalam Undang-Undang tentang perlindungan anak yaitu Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 diatur sebagai hak-hak anak, antara lain: hak atas nama
sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan, berhak atas berekspresi
sesuai dengan kecerdasan dan usia, setiap anak berhak atas pendidikan tanpa
diskriminasi, berhak beribadah menurut agamanya, setiap anak berhak diasuh
dengan kasih sayang sehingga dapat tumbuh kembang dengan optimal, anak berhak
bermain dengan teman sebaya, anak berhak dilindungi dari berbagai bentuk
kekerasan, anak berhak atas informasi yang benar. Selain dalam Undang-Undang
tersebut, hak anak dijelaskan dalam hak mutlak anak, antara lain: hak gembira,
hak pendidikan, hak perlindungan, hak atas kebangsaan, hak untuk memperoleh
nama, hak makanan, hak kesehatan, hak rekreasi, hak kesamaan, hak peran dalam
pembangunan.[6] Kewajiban dan tanggung jawab
masyarakat terhadap perlindungan anak di laksanakan dalam kegiatan dan peran
masyarakat. Sedangkan orang tua
berkewajiban untuk melindungi, mengasuh, mendidik, menumbuhkembangkan anak
sesuai dengan minat dan bakat.
Ketenaga Kerjaan di Bawah Umur
Mempekerjakan anak di bawah umur merupakan
kasus yang dominan dijumpai di negara Indonesia. Kasus ini biasanya dijumpai pada masyarakat
dengan kondisi ekonomi yang kurang mampu.
Orang tua memanfaatkan tenaga anak untuk mengumpulkan uang. Orang tua dengan penghasilan yang pas-pasan
mendorong anak untuk terjun ke lapangan kerja.
Bekerja bagi anak mempunya dampak positif dan negatif. Kenyataannya dengan mereka bekerja akan
kehilangan masa kanak-kanaknya. Dampak positif bagi anak yang bekerja yaitu
anak sudah terlatih untuk bertanggung jawab melakukan pekerjaan dan bagi
keluarga dapat mencukupi perekonomiannya dan bahkan anak dapat melanjutkan
pendidikannya yang mungkin selama ini tertunda.
Setelah Indonesia
mengalami krisis moneter, jumlah anak yang mencari pekerjaan di pabrik-pabrik
dan dunia usaha mengalami peningkatan.[7] Banyaknya pemutusan hubungan kerja oleh
beberapa pengusaha membuat kondisi sosial dan ekonomi pekerja menjadi
terpuruk. Keadaan ini membuat anak-anak
terpaksa harus membantu mencukupi ekonomi keluarga mereka. Pada dasarnya anak tidak boleh bekerja karena
waktu mereka harusnya di pakai untuk belajar, bermain, bergembira, berada dalam
suasana damai dan diberi kesempatan dan fasilitas untuk mencapai cita-citanya
sesuai dengan perkembangan fisik, psikologis, intelektual, dan sosial.[8] Namun pada kenyataanya banyak anak umur di
bawah 18 tahun yang telah terlibat dalam kegiatan perekonomian. Pekerja anak sekarang ini bukan hanya sekedar
isu anak-anak menjalankan pekerjaannya dengan imbalan upah, melainkan
eksploitasi, bentuk pekerjaan berbahaya.
Dalam hal ini anak sudah berada dalam kondisi yang tidak bisa ditolelir.
Pada umumnya masalah
ketenagakerjaan pada anak ini kurang mendapatkan perhatian dari pihak hukum
maupun sosial. Hal ini disebabkan karena
keadaan anak yang terpaksa bekerja terkadang hanya sebagai tambahan tenaga
kerja pada proses produksi yang pada umumnya anak tidak terikat pada kesempatan
kerja, karena syarat-syarat formal yang harus di penuhi dalam rangka perlindungan
tidak di miliki anak. Ditambahan lagi
anak tidak mencukupi umur dalam membuat kesepakatan (perjanjian) kerja. Ditambah lagi pikiran perusahaan yang
berasumsi bahwa perusahaan berusaha mendapatkan tenaga kerja yang bernilai
murah dan salah satunya denga mempekerjakan anak di bawah umur. Dalam hal ini, anak dinilai lebih murah dan
mudah dikendalikan tidak akan berbuat aneh-aneh dan mudah dikendalikan. Perusahaan menempatkan pekerja anak sebagai
salah satu faktor ekonomi bukan sisi kemanusiaan dan sosialnya. Mereka memperlakukan pekerja anak sebagai
pekerja dewasa tetapi kenyataannya upah yang di dapat bernilai lebih
rendah. Dengan demikan, pengusaha yang
mempekerjakan anak tidak melihat aspek produktivitas tetapi lebih mengarah pada
output. Bisa terlihat kejahatan
kemanusiaan yang tiada-taranya karena terdapat pengingkaran terhadap anak dan
pengingkaran terhadap perlindungan anak.
Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Indonesia
Di Indonesia, perhatian dari berbagai pihak terhadap pekerja anak
memperlihatkan tendensi yang semakin meningkat.
Hal ini merupakan dampak dari diratifikasinya konvensi hak-hak anak pada
tahun 1990 melalui keputusan presiden nomor 36 tahun 1990, ikut sertanya
Indonesia dalam konverensi ILO tentang pekerja anak yang menghasilkan konvensi
nomor 138 tahun 1973, dan dengan diundangkannya berbagai macam peraturan
perundang-undangan yang bermaksud melakukan perlindungan terhadap anak-anak
yang terpaksa bekerja.[9]
Menurut Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1948 disebutkan bahwa pemerintah melarang secara mutlak, tanpa
pengecualian apapun bagi anak-anak untuk bekerja. Akan tetapi meskipun sudah diperkuat dengan
berbagai macam sanksi pidana, adanya larangan tersebut tidak dapat berlaku
secara efektif. Pada tataran normatif,
ketidak-efektifan tersebut antara lain disebabkan oleh sikap ambivalen atau ketidakseriusan dari
pemerintah sendiri. Sikap ini tercermin
pada penegakan hukumnya. Ketentuan di
atas dimaksudkan akan diberlakukan secara bertahap dengan peraturan pemerintah. Sambil menunggu dikeluarkannya peraturan
pemerintah yang dimaksud, mengenai pekerja anak semula masih di berlakukan
peraturan perundang-undangan yang berasal dari jaman Hindia Belanda yaitu Ordonansi tahun 1925 tentang peraturan
pembatasan pekerjaan anak dan pekerja wanita pada malam hari.[10]
Dapat disimpulkan bahwa
sebenarnya pemerintah menganut sikap penolakan dan menganjurkan penghapusan
pekerja anak dengan melarang anak-anak bekerja, sebagaimana telah dicantumkan
dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1948. Akan tetapi berdasarkan perarturan menteri
tenaga kerja atau Per-01/MEN/1987 tentang perlindungan bagi anak yang terpaksa
bekerja. Larangan itu tidak lagi
bersifat absolut, akan tetapi ada pengecualian tertentu, yang membuka
kesempatan bagi dipekerjakannya anak.
Hal inilah yang kemudian diperkuat dalam Pasal 95 No.96 Undang-Undang
Nomor 25 tahun 1997 tentang ketenagakerja yang kemudian di perbaharui lagi
dengan Undang-Undang No.13 Tahun 2003.
Kondisi empiris tersebut
mendorong pemerintah untuk lebih bertindak konsisten dalam melarang anak untuk
bekerja. Sikap ini terefleksi di dalam
peraturan menteri tenaga kerja per-01/MEN/1987 tentang perlindungan bagi anak
yang terpaksa bekerja, yang tidak lagi melarang secara absolut bagi anak-anak
untuk bekerja, akan tetapi hanya melakukan beberapa pembatasan dalam keadaan
apa dan untuk pekerjaan apa saja anak-anak
itu di larang bekerja. Pemikiran yang
demikianlah yang kemudian tercermin dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997
Tentang Ketenagakerjaan. Setelah melalui
beberapa tahapan kajian, pemerintah akhirnya menetapkan Undang-undang baru
yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003.
Undang-undang tersebut justru tidak melakukan larangan bagi anak-anak
untuk melakukan pekerjaan, melainkan hanya melakukan pembatasan saja.
Dalam undang-undang
ketatanegaraan yang baru (UU Nomor 13 Tahun 2003) dicantumkan larangan secara
tegas bagi setiap pengusaha untuk mempekerjakan anak (pasal 68). Dalam pasal 1 Undang-Undang No.23 Tahun 2002
ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang berada di bawah
usia 18 tahun. Ketentuan tentang batas
umum tersebut sejalan dengan isi pasal 2 dan 3 dari konvensi ILO Nomor 138
tahun 1973, yang intinya menyebutkan bahwa batas usia minimum tidak kurang dari
usia penyelesaian wajib belajar, dan dalam kasus apapun tidak kurang dari 15
tahun. Akan tetapi larangan itu ada
pengecualiannya, yakni anak yang berusia 13 sampai 15 tahun dapat melakukan
pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental
maupun sosialnya (pasal 69), pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian
kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang
(pasal 70), pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya (pasal 71).
Penutup
Tenaga kerja yang diberlakukan pada anak dinilai melanggar hak azasi. Hal ini terkait dengan hak azasi manusia, di
mana anak juga memiliki berbagai hak yang harus di jungjung tinggi oleh orang
lain. Hal ini tercantum dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya pasal 28B (2). Oleh karena itu, tidak seharusnya dan bukan
pada tempatnya jika anak harus bekerja di usia yang seharusnya mereka belajar
dan bermain, karena bekerja merupakan tanggung jawab orang tua, bukan
anak. Selain itu orang tua juga
berkewajiban untuk melindungi, mengasuh, mendidik, menumbuh kembangkan anak
sesuai minat dan bakat.
Anak juga merupakan
generasi penerus bangsa yang perlu dilindungi haknya. Hal ini dikarenakan dapat berpengaruh
terhadap generasi penerus yang berkualitas.
Jika mereka terus dieksploitasi oleh orang tuanya karena alasan ekonomi,
maupun menjadi korban orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tentunya hal itu akan berimbas pada pertumbuhan
dan kondisi anak sehingga tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana
mestinya.
Pemerintah telah
memberikan berbagai upaya untuk mengurangi tingkat tenaga kerja anak, yaitu
dengan mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang melindungi hak
anak dan peraturan perundang-undangan yang melarang penggunaan tenaga kerja
anak. Meskipun larangan itu tidak secara
mutlak, namun tetap saja ada pembatasan dan berbagai persyaratan yang sagat
tegas yang harus dipenuhi pengusaha jika akan menggunakan tenaga kerja, dalam
rangka perlindungan terhadap tenaga kerja anak.
Namun, tetap saja pada dasarnya pengusaha dilarang menggunakan tenaga
kerja anak.
Daftar Pustaka
Nesia Hapsari, Kartika Hanajari. "keterkaitan hak asasi manusia terhadap
tenaga kerja anak." januari 12, 2012: 12.
1 januari 2012.
http://oeebudhi.blogspot.com/2012/01/makalah-hak-asasi-manusia.html (diakses
Desember 15, 2012).
Pelanggaran HAM di
Indonesia.
http://dhono-wareh.blogspot.com/2012/02/pelanggaran-ham-di-indonesia.html
(diakses Desember 16, 2012).
Redaksi, Tim. Undang
Undang Perlindungan Anak. Jakarta: Fokus media, 2010.
Saraswati, Rika. Hukum
Perlindungan Anak di Indonesia. Jakarta: Citra Aditya, 2009.
Watch, Tianshi. 3 juli
2008. http://tianshit.wordpress.com/2008/07/03/uu-tenaga-kerja-untuk-perlindungan-anak-di-bawah-umur/
(diakses Desember 16, 1012).
[1]Saraswati Rika, Hukum Perlindungan Anak di
Indonesia (Jakarta: Citra Aditya, 2009), Hal 22.
[2]Wordpress,’’Peran
Pemerintah Dalam Penegakan Hak Azasi Manusia’’ di akses tanggal 15 Desember
2012 pada http://riuisme.wordpress.com/2009/04/07/peran-pemerintah-dalam-menegakan-hak-asasi-manusia/
[3]R. Wiyono, S.H, Pengadilan Hak Azasi Manusia di Indonesia (Jakarta: Prenada Media,
2006), Hal 41.
[4]Saraswati Rika, Hukum Perlindungan Anak di
Indonesia (Jakarta: Citra Aditya, 2009), Hal 8.
[5]
Ahmad Sofian, Perlindungan Anak di Indonesia (Bandung: PT Softmedia, 2012), hal
14.
[6]Ahmad Sofian, Perlindungan
Anak di Indonesia (Bandung: PT Softmedia, 2012), hal 21.
[7]Perwakilan,’’Kondisi
tenaga kerja legal’’ di akses tanggal 15 Desember 2012 pada http://perwakilan.jatengprov.go.id/tenaga-kerja/kondisi-tenaga-kerja-legal.html
[8]Ahmad Sofian, Perlindungan
Anak di Indonesia (Bandung: PT Softmedia, 2012), hal 43.
[9]Unicef,’’Perlindungan
Anak’’di akses tanggal 16 Desember 2012 pada http://www.unicef.org/indonesia/id/protection.html
[10]Saraswati Rika, Hukum Perlindungan Anak di
Indonesia (Jakarta: Citra Aditya, 2009), Hal 74.
Sangat membantu gan! :D
ReplyDeleteAlhamdulillah, semoga membantu dan bermanfaat. Terima kasih telah berkunjung pada tulisan ini.
Deletemakasi
ReplyDeleteAlhamdulillah, semoga membantu dan bermanfaat. Terima kasih telah berkunjung pada tulisan ini.
Delete