Friday, November 7, 2014

Peran Pemerintah Terhadap Pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) dalam Kasus Ketenagakerjaan Anak di Bawah Umur di Indonesia

Masalah pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya belum adanya kesepakatan pada tatanan konsep hak azasi manusia, adanya pelanggaran HAM bersifat individualistik, serta kurang berfungsinya lembaga-lembaga penegak hukum.  Dewasa ini banyak kalangan berasumsi negatif terhadap pemerintah dalam penegakan HAM di Indonesia.  Pada kenyataannya pemerintah tidak seperti apa yang masyarakat gunjingkan.  Hal tersebut bisa terbukti dengan berbagai kebijakan pemerintah yang salah satunya seperti upaya pemerintah menyambut baik kerjasama internasional.  Dalam upaya penegakan HAM di seluruh dunia atau setiap negara seperti Indonesia sangat merespon terhadap pelanggaran HAM internasional.  Bentuk pelanggaran HAM sendiri terdiri dari berbagai macam bentuk, diantaranya adalah bentuk ketenagakerjaan pada anak di bawah umur.  Anak tersebut terenggut hak-haknya yang sebagaimana semestinya diperoleh.  Hak seperti mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan rasa aman, dan sebagainya.  Kasus ketenagakerjaan ini biasanya dijumpai dalam masyarakat dengan kondisi perekonomian yang kurang mampu.  Penghasilan orang tua yang kurang, membuat orang tua memanfaatkan tenaga si anak untuk memperoleh uang demi mencukupi kebutuhan keluarganya.  Permasalahan anak tersebut membuat pemerintah melahirkan batas usia minimal anak.  Dengan ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang berada di bawah usia 18 tahun.  Ketentuan tentang batas umum tersebut sejalan dengan isi pasal 2 dan 3 dari konvensi ILO Nomor 138 tahun 1973, yang intinya menyebutkan bahwa batas usia minimum tidak kurang dari usia penyelesaian wajib belajar dan dalam kasus apapun tidak kurang dari 15 tahun.  Akan tetapi larangan itu ada pengecualiannya, yakni anak yang berusia 13 sampai 15 tahun dapat melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental maupun sosialnya.

Kata Kunci:  Demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), Hak Anak, Hukum, Pemerintah

Pendahuluan
            Di dalam negara demokrasi yang baru berkembang, permasalahan yang sering kali terjadi adalah berbagai pelanggaran HAM.  Seperti di Indonesia sendiri kasus ini masih saja terjadi meski pada kenyataannya sudah ada berbagai lembaga pemerintah yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia.  Banyak macam kasus pelanggaran HAM di Indonesia di antaranya yaitu kasus ketenagakerjaan anak di bawah umur.  Dalam hal ini anak tidak mendapatkan hak anak yang sebagaimana semestinya didapatkan.  Hak di sini seperti hak mendapatkan pendidikan, hak memperoleh rasa aman, hak bermain,dan sebagainya. 
            Masalah ketenagakerjaan anak biasanya dijumpai di masyarakat yang berada di garis kemiskinan.  Kondisi penghasilan orang tua yang tidak mencukupi perekonomian keluarga mendorong orang tua mempekerjakan anaknya.  Meski pada kenyataanya Bekerja bagi anak mempunya dampak positif dan negatif.  Kenyataannya dengan mereka bekerja akan kehilangan masa kanak-kanaknya.  Dampak positif bagi anak yang bekerja yaitu anak sudah terlatih untuk bertanggung jawab melakukan pekerjaan dan bagi keluarga dapat mencukupi perekonomiannya dan bahkan anak dapat melanjutkan pendidikannya yang mungkin selama ini tertunda. 
            Isu-isu ketidaktegasan pemerintah dalam penanganan permasalah ini menjadi gunjingan masyarakat.  Tetapi pada kenyataannya pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dengan berbagai bentuk perundang-undangan serta batas minimal umur tenaga kerja anak.  Hanya saja masyarakat tidak memperdulikan kebijakan tersebut.  Masyarakat tidak sadar akan akibat dari permasalahan ini, yang nantinya akan menghambat kesejahteraan dan kenyamanan mereka sendiri.

Pelangaran HAM di Indonesia
            Hak azasi manusia hakikatnya telah terjamin secara konstitusional telah di bentuk oleh lembaga penegakan hak azasi manusia.  Namun hal itu tidak menyurutkan lahirnya pelanggaran-pelanggaran hak azasi manusia di negeri Indonesia ini.[1]  Apabila di cermati secara seksama, ternyata faktor penyebabnya kompleks.  Dalam hal ini faktor-faktor penyebabnya antara lain: Masih belum adanya kesepakatan pada tatanan konsep hak azasi manusia, adanya pelanggaran HAM bersifat individualistik yang akan mengancam kepentingan umum, kurang berfungsinya lembaga-lembaga penegak hukum, merajalelanya kemiskinan hingga mendorong tindakan yag tidak sesuai.
            Kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia terbagi menjadi beberapa bentuk pelanggaran seperti: kekerasan pada anak, kekerasan dalam rumah tangga(KDRT), perbudakan, pembunuhan, dan berbagai contoh lainnya. Keadaan bangsa yang rumit dengan berbagai tindakan kejahatan mengancam ketenangan masyarakat dan membuat bangsa Indonesia sangat menderita dan mengancam integrasi nasional.  Buruknya nilai moral yang ada pada diri masyarakat mendominasi pelanggaran-pelanggran HAM di Indonesia.  Faktor pendidikan yang kurang menjadi salah-satu faktor terbentuknya karakteristik seseorang.  Misalnya seseorang hanya mendapatkan pendidikan pada bangku sekolah dasar (SD), hingga dia terpaksa terjun dalam dunia kerja seperti pengamen, supir angkot dan sebagainya.  Sehingga anak dalam konteks pendidikan tidak mendapatkan pendidikan moral yang diberikan pada media sekolah sebagai mana semestinya.  Anak semakin tumbuh dewasa dengan lingkungan kerjanya yang secara otomatis membentuk karakteristik pribadinya.  Kondisi seperti inilah yang membuat mental bangsa ini menjadi tak bermoral dan rentang dalam pelanggaran HAM.  Upaya penegakan terhadap kasus pelanggaran HAM tergantung pada apakah pelanggaran itu masuk kategori berat atau bukan.  Apabila berat, maka penyelesaiannya melalui HAM, namun apabila pelanggaran HAM bukan berat melalui peradilan umum.  Selaku manusia dan sekaligus warga negara yang baik, bila melihat atau mendengar terjadinya pelanggaran HAM sudah seharusnya memiliki keperdulian demi terwujudnya ketertiban sosial yang di harapkan.
            Dewasa ini banyak kalangan yang berasumsi negatif terhadap pemerintah dalam penegakan HAM di Indonesia.  Perlu di ketahui bahwa pemerintah Indonesia sudah sangat serius dalam penegakan HAM.[2]  Pertama hal ini dapat di lihat dari upaya-upaya pemerintah sebagai berikut: Indonesia menyambut baik kerjasama Internasional dalam upaya penegakan HAM di seluruh dunia atau di setiap negara, dan Indonesia sangat merespon terhadap pelanggaran HAM Internasional.  Kedua, komitmen pemerintah Indonesia dalam mewujudkan penegakan HAM, hal tersebut telah di tentukan dalam prioritas dalam pembangunan nasional tahun 2000 – 2004 (Propenas) dengan membentuk kelembagaan yang berkaitan dengan HAM.  Ketiga, pengeluaran Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asazi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, serta masih banyak undang-undang yang lain yang belum tersebutkan menyangkut penegakan hak azasi manusia.[3]
            Dari berbagai uraian mengacu bukti konkret bahwa Indonesia tidak serius dalam penegakan HAM.  Maka terjawablah pertanyaan-pertanyaan sebagian kalangan terhadap keseriusan pemerintah dalam penegakan Hak Azasi Manusia.  Di samping pemerintah mempunyai peran yang sangat urgent dalam penegakan HAM, juga dibutuhkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat termasuk peran Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), peran pers dan lembaga masyarakat Indonesia.  Hal ini disebabkan penegakan HAM adalah sebuat proses menuju bangsa Indonesia yang aman dan tentram.

Hak-Hak Anak yang Seharusnya di Dapatkan
            Anak merupakan salah satu subjek hukum hak azasi manusia, oleh karena itu anak memiliki hak-hak yang harus dipenuhi.  Hak adalah hak dasar yang wajib diberikan dan didapatkan oleh anak yang termasuk pada usia 0-18 tahun, meliputi anak usia dini dan juga remaja usia 12-18 tahun.[4]  Hak anak ini berlaku baik anak yang mempunyai orang tua ataupun yang sudah tidak mempunyai orang tua, dan juga anak terlantar.  Di sini hak yang harus diperoleh anak seperti, hak bermain, hak mendapatkan akte, hak mendapatkan pendidikan, hak berpartisipasi, hak keamanan dan masih banyak hak lainnya.  Menurut Undang-Undang 23 Tahun 2002, anak memiliki empat hak dasar yaitu: hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan, dan hak berpartisipasi.  Dalam hal ini anak yang di maksud adalah anak yang berumur di bawah umur delapan-belas tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan.  Hak hidup adalah hak yang berlaku sejak anak masih di dalam kandungan, seperti memberikan rangsangan dan gizi ketika anak masih di dalam kandungan, memeriksa kandungan dan masih banyak lainnya.  Dalam hal ini bentuk pelanggarannya seperti aborsi dan melakukan tindakan yang membahayakan janin dalam kandungan. Selain itu, hak tumbuh kembang yaitu hak anak yang harus diberikan kesempatan sebaik-baiknya untuk  tumbuh  dan berkembang, seperti dipelihara dengan baik, jika anak sakit diobati atau dibawa ke dokter, diberi ASI (Air Susu Ibu) dan beberapa tindakan lainya.  Selain itu secara psikis juga harus diperhatikan, seperti memberikan rasa aman dan nyaman, membuat lingkungan kondusif, tidak memberikan makanan yang berbahaya bagi perkembangannya, diajari cara berbahasa yang baik dan benar, dan diberi pola asuhan yang memanusiakan anak.[5]  Hak perlindungan, anak harus dilindungi dari situasi-situasi darurat, menerapkan perlindungan hukum, dan dari betuk apapun yang berkaitan dengan masa depan si anak.  Hak partisipasi adalah hak anak dalam tatanan keluarga harus dibiasakan diajak bicara apalagi yang menyangkut kebutuhan-kebutuhannya atau hal yang di inginkannya.  Contoh ingin sekolah di mana, dan jika orang tua menginginkan yang lain dicarikan titik temu.  Seperti membeli sepatu seperti apa, si anak di ajak bicara.  Karena apa yang dipilihkan orang dewasa belum tentu terbaik bagi si anak, sehingga anak diperlakukan sebagai insan yang dimanusiakan.
            Tidak semua orang tua menyadari, apakah anaknya sudah terpenuhi haknya atau belum. Tidak semua orang tua juga memperhatikan secara detail hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh anak. Di dalam Undang-Undang tentang perlindungan anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 diatur sebagai hak-hak anak, antara lain: hak atas nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan, berhak atas berekspresi sesuai dengan kecerdasan dan usia, setiap anak berhak atas pendidikan tanpa diskriminasi, berhak beribadah menurut agamanya, setiap anak berhak diasuh dengan kasih sayang sehingga dapat tumbuh kembang dengan optimal, anak berhak bermain dengan teman sebaya, anak berhak dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan, anak berhak atas informasi yang benar. Selain dalam Undang-Undang tersebut, hak anak dijelaskan dalam hak mutlak anak, antara lain: hak gembira, hak pendidikan, hak perlindungan, hak atas kebangsaan, hak untuk memperoleh nama, hak makanan, hak kesehatan, hak rekreasi, hak kesamaan, hak peran dalam pembangunan.[6]  Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak di laksanakan dalam kegiatan dan peran masyarakat.  Sedangkan orang tua berkewajiban untuk melindungi, mengasuh, mendidik, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan minat dan bakat.

Ketenaga Kerjaan di Bawah Umur
             Mempekerjakan anak di bawah umur merupakan kasus yang dominan dijumpai di negara Indonesia.  Kasus ini biasanya dijumpai pada masyarakat dengan kondisi ekonomi yang kurang mampu.  Orang tua memanfaatkan tenaga anak untuk mengumpulkan uang.  Orang tua dengan penghasilan yang pas-pasan mendorong anak untuk terjun ke lapangan kerja.  Bekerja bagi anak mempunya dampak positif dan negatif.  Kenyataannya dengan mereka bekerja akan kehilangan masa kanak-kanaknya. Dampak positif bagi anak yang bekerja yaitu anak sudah terlatih untuk bertanggung jawab melakukan pekerjaan dan bagi keluarga dapat mencukupi perekonomiannya dan bahkan anak dapat melanjutkan pendidikannya yang mungkin selama ini tertunda. 
            Setelah Indonesia mengalami krisis moneter, jumlah anak yang mencari pekerjaan di pabrik-pabrik dan dunia usaha mengalami peningkatan.[7]  Banyaknya pemutusan hubungan kerja oleh beberapa pengusaha membuat kondisi sosial dan ekonomi pekerja menjadi terpuruk.  Keadaan ini membuat anak-anak terpaksa harus membantu mencukupi ekonomi keluarga mereka.  Pada dasarnya anak tidak boleh bekerja karena waktu mereka harusnya di pakai untuk belajar, bermain, bergembira, berada dalam suasana damai dan diberi kesempatan dan fasilitas untuk mencapai cita-citanya sesuai dengan perkembangan fisik, psikologis, intelektual, dan sosial.[8]  Namun pada kenyataanya banyak anak umur di bawah 18 tahun yang telah terlibat dalam kegiatan perekonomian.  Pekerja anak sekarang ini bukan hanya sekedar isu anak-anak menjalankan pekerjaannya dengan imbalan upah, melainkan eksploitasi, bentuk pekerjaan berbahaya.  Dalam hal ini anak sudah berada dalam kondisi yang tidak bisa ditolelir.
                       Pada umumnya masalah ketenagakerjaan pada anak ini kurang mendapatkan perhatian dari pihak hukum maupun sosial.  Hal ini disebabkan karena keadaan anak yang terpaksa bekerja terkadang hanya sebagai tambahan tenaga kerja pada proses produksi yang pada umumnya anak tidak terikat pada kesempatan kerja, karena syarat-syarat formal yang harus di penuhi dalam rangka perlindungan tidak di miliki anak.  Ditambahan lagi anak tidak mencukupi umur dalam membuat kesepakatan (perjanjian) kerja.  Ditambah lagi pikiran perusahaan yang berasumsi bahwa perusahaan berusaha mendapatkan tenaga kerja yang bernilai murah dan salah satunya denga mempekerjakan anak di bawah umur.  Dalam hal ini, anak dinilai lebih murah dan mudah dikendalikan tidak akan berbuat aneh-aneh dan mudah dikendalikan.  Perusahaan menempatkan pekerja anak sebagai salah satu faktor ekonomi bukan sisi kemanusiaan dan sosialnya.  Mereka memperlakukan pekerja anak sebagai pekerja dewasa tetapi kenyataannya upah yang di dapat bernilai lebih rendah.  Dengan demikan, pengusaha yang mempekerjakan anak tidak melihat aspek produktivitas tetapi lebih mengarah pada output.  Bisa terlihat kejahatan kemanusiaan yang tiada-taranya karena terdapat pengingkaran terhadap anak dan pengingkaran terhadap perlindungan anak.

Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Indonesia
            Di Indonesia, perhatian dari berbagai pihak terhadap pekerja anak memperlihatkan tendensi yang semakin meningkat.  Hal ini merupakan dampak dari diratifikasinya konvensi hak-hak anak pada tahun 1990 melalui keputusan presiden nomor 36 tahun 1990, ikut sertanya Indonesia dalam konverensi ILO tentang pekerja anak yang menghasilkan konvensi nomor 138 tahun 1973, dan dengan diundangkannya berbagai macam peraturan perundang-undangan yang bermaksud melakukan perlindungan terhadap anak-anak yang terpaksa bekerja.[9]
            Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 disebutkan bahwa pemerintah melarang secara mutlak, tanpa pengecualian apapun bagi anak-anak untuk bekerja.  Akan tetapi meskipun sudah diperkuat dengan berbagai macam sanksi pidana, adanya larangan tersebut tidak dapat berlaku secara efektif.  Pada tataran normatif, ketidak-efektifan tersebut antara lain disebabkan oleh sikap ambivalen atau ketidakseriusan dari pemerintah sendiri.  Sikap ini tercermin pada penegakan hukumnya.  Ketentuan di atas dimaksudkan akan diberlakukan secara bertahap dengan peraturan pemerintah.  Sambil menunggu dikeluarkannya peraturan pemerintah yang dimaksud, mengenai pekerja anak semula masih di berlakukan peraturan perundang-undangan yang berasal dari jaman Hindia Belanda yaitu Ordonansi tahun 1925 tentang peraturan pembatasan pekerjaan anak dan pekerja wanita pada malam hari.[10] 
            Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pemerintah menganut sikap penolakan dan menganjurkan penghapusan pekerja anak dengan melarang anak-anak bekerja, sebagaimana telah dicantumkan dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1948.  Akan tetapi berdasarkan perarturan menteri tenaga kerja atau Per-01/MEN/1987 tentang perlindungan bagi anak yang terpaksa bekerja.  Larangan itu tidak lagi bersifat absolut, akan tetapi ada pengecualian tertentu, yang membuka kesempatan bagi dipekerjakannya anak.  Hal inilah yang kemudian diperkuat dalam Pasal 95 No.96 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1997 tentang ketenagakerja yang kemudian di perbaharui lagi dengan Undang-Undang No.13 Tahun 2003. 
            Kondisi empiris tersebut mendorong pemerintah untuk lebih bertindak konsisten dalam melarang anak untuk bekerja.  Sikap ini terefleksi di dalam peraturan menteri tenaga kerja per-01/MEN/1987 tentang perlindungan bagi anak yang terpaksa bekerja, yang tidak lagi melarang secara absolut bagi anak-anak untuk bekerja, akan tetapi hanya melakukan beberapa pembatasan dalam keadaan apa dan untuk  pekerjaan apa saja anak-anak itu di larang bekerja.  Pemikiran yang demikianlah yang kemudian tercermin dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan.  Setelah melalui beberapa tahapan kajian, pemerintah akhirnya menetapkan Undang-undang baru yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003.  Undang-undang tersebut justru tidak melakukan larangan bagi anak-anak untuk melakukan pekerjaan, melainkan hanya melakukan pembatasan saja.
            Dalam undang-undang ketatanegaraan yang baru (UU Nomor 13 Tahun 2003) dicantumkan larangan secara tegas bagi setiap pengusaha untuk mempekerjakan anak (pasal 68).  Dalam pasal 1 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang berada di bawah usia 18 tahun.  Ketentuan tentang batas umum tersebut sejalan dengan isi pasal 2 dan 3 dari konvensi ILO Nomor 138 tahun 1973, yang intinya menyebutkan bahwa batas usia minimum tidak kurang dari usia penyelesaian wajib belajar, dan dalam kasus apapun tidak kurang dari 15 tahun.  Akan tetapi larangan itu ada pengecualiannya, yakni anak yang berusia 13 sampai 15 tahun dapat melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental maupun sosialnya (pasal 69), pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (pasal 70), pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya (pasal 71).

Penutup
Tenaga kerja yang diberlakukan pada anak dinilai melanggar hak azasi.  Hal ini terkait dengan hak azasi manusia, di mana anak juga memiliki berbagai hak yang harus di jungjung tinggi oleh orang lain.  Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya pasal 28B (2).  Oleh karena itu, tidak seharusnya dan bukan pada tempatnya jika anak harus bekerja di usia yang seharusnya mereka belajar dan bermain, karena bekerja merupakan tanggung jawab orang tua, bukan anak.  Selain itu orang tua juga berkewajiban untuk melindungi, mengasuh, mendidik, menumbuh kembangkan anak sesuai minat dan bakat. 
            Anak juga merupakan generasi penerus bangsa yang perlu dilindungi haknya.  Hal ini dikarenakan dapat berpengaruh terhadap generasi penerus yang berkualitas.  Jika mereka terus dieksploitasi oleh orang tuanya karena alasan ekonomi, maupun menjadi korban orang-orang yang tidak bertanggung jawab.  Tentunya hal itu akan berimbas pada pertumbuhan dan kondisi anak sehingga tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya.
            Pemerintah telah memberikan berbagai upaya untuk mengurangi tingkat tenaga kerja anak, yaitu dengan mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang melindungi hak anak dan peraturan perundang-undangan yang melarang penggunaan tenaga kerja anak.  Meskipun larangan itu tidak secara mutlak, namun tetap saja ada pembatasan dan berbagai persyaratan yang sagat tegas yang harus dipenuhi pengusaha jika akan menggunakan tenaga kerja, dalam rangka perlindungan terhadap tenaga kerja anak.  Namun, tetap saja pada dasarnya pengusaha dilarang menggunakan tenaga kerja anak.


Daftar Pustaka 

Nesia Hapsari, Kartika Hanajari. "keterkaitan hak asasi manusia terhadap tenaga kerja anak." januari 12, 2012: 12.
1 januari 2012. http://oeebudhi.blogspot.com/2012/01/makalah-hak-asasi-manusia.html (diakses Desember 15, 2012).
Pelanggaran HAM di Indonesia. http://dhono-wareh.blogspot.com/2012/02/pelanggaran-ham-di-indonesia.html (diakses Desember 16, 2012).
Redaksi, Tim. Undang Undang Perlindungan Anak. Jakarta: Fokus media, 2010.
Saraswati, Rika. Hukum Perlindungan Anak di Indonesia. Jakarta: Citra Aditya, 2009.
Watch, Tianshi. 3 juli 2008. http://tianshit.wordpress.com/2008/07/03/uu-tenaga-kerja-untuk-perlindungan-anak-di-bawah-umur/ (diakses Desember 16, 1012).



[1]Saraswati Rika, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia (Jakarta:  Citra Aditya, 2009), Hal 22.
[2]Wordpress,’’Peran Pemerintah Dalam Penegakan Hak Azasi Manusia’’ di akses tanggal 15 Desember 2012 pada http://riuisme.wordpress.com/2009/04/07/peran-pemerintah-dalam-menegakan-hak-asasi-manusia/
[3]R. Wiyono, S.H, Pengadilan Hak Azasi Manusia di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2006), Hal 41.
[4]Saraswati Rika, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia (Jakarta:  Citra Aditya, 2009), Hal 8.
[5] Ahmad Sofian, Perlindungan Anak di Indonesia (Bandung: PT Softmedia, 2012), hal 14.
[6]Ahmad Sofian, Perlindungan Anak di Indonesia (Bandung: PT Softmedia, 2012), hal 21.
[7]Perwakilan,’’Kondisi tenaga kerja legal’’ di akses tanggal 15 Desember 2012 pada http://perwakilan.jatengprov.go.id/tenaga-kerja/kondisi-tenaga-kerja-legal.html
[8]Ahmad Sofian, Perlindungan Anak di Indonesia (Bandung: PT Softmedia, 2012), hal 43.
[9]Unicef,’’Perlindungan Anak’’di akses tanggal 16 Desember 2012 pada http://www.unicef.org/indonesia/id/protection.html
[10]Saraswati Rika, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia (Jakarta:  Citra Aditya, 2009), Hal 74.

4 comments: