Hak asasi manusia adalah
hak-hak yang melekat pada martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
yang sifatnya tidak bisa diganggu oleh siapapun. Bangsa Indonesia menghargai
dan memberikan kebebasan yang sama kepada setiap warganya untuk
menerapkan HAM selama kebebasan itu tidak mengganggu HAM milik orang lain. Implementasi
HAM dapat dipahami secara benar dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya
HAM yang tercermin dalam perilaku sehari-hari dan diupayakan secara terus
menerus ke setiap orang sedini mungkin.
Kata kunci : hak asasi
manusia, pancasila
PENDAHULUAN
Hak asasi manusia adalah
hak-hak dasar yang dibawa sejak lahir yang melekat pada diri manusia sebagai
anugerah Tuhan. Hak asasi manusia tidak dapat lepas dengan segala sesuatu yang
berhubungan dengan kegiatan manusia dan tidak dapat dipisahkan dari pribadi
tiap-tiap orang. Dalam pelaksanaannya, Negara juga wajib melindungi hak asasi
warganya sebagai manusia secara individual berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
ada dengan dibatasi oleh ketentuan agama, etika moral, dan budaya yang berlaku
di Negara Indonesia dan oleh sistem kenegaraan yang digunakan. Maksudnya disini
adalah bahwa negara wajib melindungi hak asasi warganya selama tidak mengganggu
atau membuat kerugian hak asasi warganya yang lain.
Dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab, bangsa
Indonesia mengakui, menghargai, dan memberikan hak yang sama kepada setiap
warganya untuk menetapkan Hak Asasi Manusia (HAM). Seperti keterangan di atas
bahwa kebebasan HAM tersebut tidak mengganggu dan harus menghormati HAM orang
lain. Jadi hak asasi kita berbatasan dengan hak asasi orang lain. Sikap tersebut harus
tetap dijaga untuk menumbuhkan toleransi dan kerjasama. Dengan demikian
keadilan pun dapat tercipta.
Di dalam UUD 1945, HAM pun telah diatur dan dijelaskan. Di
bidang politik, pembuat UUD 1945 memikirkan adanya hak atas kemerdekaan setiap
orang yang berada di wilayah Indonesia untuk berserikat dan berkumpul
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Ketentuan dalam UUD ini dibuat
agar dalam pelaksanaan hak berserikat mengeluarkan pikiran tidak mengganggu
keamanan dan ketertiban nasional. Oleh karena itu, pelaksanaannya harus
didasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Banyak sekali penjelasan
tentang HAM yang diatur dalam UUD dan pancasila. Tidak hanya di bidang politik
saja, tetapi juga di bidang agama, sosial, pendidikan, dan lain-lain.
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan terjemahan dari
berbagai bahasa asing yaitu droit de I’
homme dari Bahasa Prancis, human
rights dari Bahasa Inggris, dan mensellijke
rechten dari Bahasa Belanda. Hak asasi manusia di dalam kepustakaan
dibedakan menjadi pengertian hak-hak dasar dengan hak-hak asasi manusia. Dilihat
dari tingkat pengakuannya, hak-hak asasi manusia mempunyai skala pengakuan
internasional sedangkan hak-hak dasar berhubungan dengan pengakuan hukum
nasional. Pengakuan hukum nasional itu bisa dalam bentuk undang-undang dasar
dan peraturan perundangan yang lain. Pengakuan dan jaminan HAM di Indonesia
tersebut diatur dalam Pancasila sila kedua, UUD 1945, Ketetapan MPR RI Nomor
XVII/ MPR/ 1998 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya misalnya: UU
No.39 tahun 1999.
Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pancasila
mengandung pengertian tentang pengakuan terhadap perlindungan hak asasi
manusia. Pengakuan dan perlindungan hak asasi tersebut mengandung arti adanya
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan.
Menurut Budiardjo (dalam Emran & Nurdin, 1994: 171), hak asasi manusia
didefinisikan sebagai hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan
dibawanya bersamaan dengan kelahirannya atau kehadirannya di dalam kehidupan
masyarakat. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa manusia harus memperoleh
kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.
Menurut Poerbopranote (dalam Emran & Nurdin, 1994:
171), hak asasi adalah yang bersifat asasi artinya hak-hak yang dimiliki
manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga
bersifat suci. Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki
oleh pribadi manusia sehingga hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari
eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Ada banyak pengertian tentang apa itu
HAM dan banyak para ahli yang menjelaskan tentang pengertian HAM itu sendiri.
Menurut Mertoprawiro (dalam Margono, dkk, 2002: 60), pada
mulanya yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada
martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, seperti hak hidup,
hak kebebasan dan kesamaan, yang sifatnya tidak dapat dilanggar oleh siapapun. Dalam
perkembangan selanjutnya, hak-hak asasi manusia itu dapat dibagi dan dibedakan
sebagai berikut: hak asasi pribadi, hak asasi ekonomi, hak asasi untuk
mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, hak asasi
politik, hak asasi sosial dan kebudayaan, dan hak asasi untuk mendapatkan
perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan.
Konsep dasar atau pengertian dari HAM banyak macamnya
sesuai dengan pendapat para ahli masing-masing. Mereka berasal dari pendidikan,
sejarah,budaya masyarakat, dan lingkungan yang berbeda-beda. Hal ini tergantung
bagaimana cara mereka memandan apa itu HAM. Tetapi pada intinya, apa yang
mereka ungkapkan adalah sama bahwa HAM dipahami sebagai hak dasar (asasi) yang
dimiliki manusia. Hak ini melekat pada setiap manusia dan merupakan sifat dari
kemanusiaannya. Pengertian sederhana ini menjadi lebih kompleks apabila
dihadapkan pada manusia dan kehidupannya yang dinamis.
Dari beberapa pengertian maka dapat diketahui bahwa
unsur-unsur yang ada dalam pengertian HAM yaitu sebagai berikut: (1) hak yang
dimiliki menurut kodratnya; (2) hak itu melekat pada diri manusia; (3) hak itu
merupakan pemberian Tuhan; (4) hak itu harus dipertahankan; (5) hak itu
bersifat suci dan luhur; dan (6) universal artinya menyeluruh dimili manusia
tanpa perbedaan.
Hak asasi bersifat universal artinya menyeluruh berlaku
dimana saja dan kapan saja yang dimiliki manusia tanpa perbedaan walaupun
manusia Indonesia terdiri dari berbagai paham keagamaan seperti Hindu, Budha,
Islam, Kristen, dan Khong Hu Chu. Semuanya mengakui bahwa di atas manusia ada
penciptanya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dengan adanya keyakinan terhadap adanya
sang pencipta ini maka dapat tumbuh rasa kemanusiaan yang tinggi di antara
orang-orang Indonesia. Kemudian timbullah segala perbuatan dan tindakan yang
selalu berdasarkan pada rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
Masalah Hak Asasi Bagi Bangsa
Indonesia
Pandangan Idonesia
Tentang Hak Asasi Manusia
Pengertian dan persepsi hak asasi manusia harus memiliki
keseimbangan. Artinya tidak hanya pengertian hak asasi manusia secara individu
dan masyarakat dalam kehidupan social, melainkan harus pula melibatkan sektor
kehidupan politik, social dan ekonomi. Untuk mencapai keseimbangan pengertian
itu, Indonesia bekerjasama dengan Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-
Bangsa menyelenggarakan lokarnya tentang hak asasi manusia tanggal 26-28 Januari
1993 di Jakarta untuk kawasan Asia Pasifik.
Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang
bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi
Manusia (HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen
kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu
pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan
negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM
di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus
dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya.
Namun demikian, pemasukan pasal-pasal mengenai HAM
sebagai suatu jaminan konstitusi (constitutional
guarantee) ternyata masih menyimpan banyak perdebatan di kalangan
akademisi maupun praktisi HAM. Fokus permasalahan terjadi pada dua pasal yang
apabila dibaca secara sederhana mempunyai pengertian yang saling bertolak
belakang, yaitu mengenai ketentuan terhadap non-derogable
rights (Pasal 28I) dan ketentuan mengenai human rights limitation (Pasal 28J). Benarkah
dalam UUD 1945 itu tersendiri terdapat pembatasan atas ketentuan HAM, termasuk
di dalamnya terhadap Pasal 28I yang di akhir kalimatnya berbunyi ”…adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun”? Tulisan ringan ini akan mencoba menjawab
pertanyaan tersebut berdasarkan pendapat the
2nd founding parents serta tafsir resmi dari Mahkamah Konstitusi.
Lokakaryanya ini membahas pengertian hak asasi manusia. Pengertian
dimaksud bukan sekedar dalam pengertian kita sendiri akan tetapi bukan pula
dalam pemahaman Barat; rumusan pengertian hak asasi manusia yang sesuai dengan
watak semua bangsa, sesuai dengan kondisi masyarakat. Indonesia dapat
menjelaskan pandangan Indonesia tentang hak asasi manusia yang selalu
menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan
Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 kepada dunia luar.
Pelaksanaan Hak Asasi
Manusia dalam Pancasila
Pelaksanaan hak asasi manusia
dalam Pancasila sebagaimana tersebut dalam Pembukaan
dan Batang Tubuh Undang- Undang
Dasar 1945. Pelaksanaan hak asassi manusia tidak dapat secara mutlak, karena
penuntunan pelaksanaan yang demikian itu secara mutlak berarti melanggar hak
asasi manusia yang sama bagi orang lain.
Hak-hak asasi manusia dalam Pancasila dirumuskan dalam
pembukaan UUD 1945 dan terperinci di dalam batang tubuh UUD 1945 yang merupakan
hukum dasar konstitusional dan fundamental tentang dasar filsafat negara
Republik Indonesia serat pedoman hidup bangsa Indonesia, terdapat pula ajaran
pokok warga negara Indonesia. Yang pertama ialah perumusan ayat ke 1 pembukaan
UUD tentang hak kemerdekaan yang dimiliki oleh segala bangsa didunia. Oleh
sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kebulatan lima dasar dalam Pancasila, mengemukakan
Pancasila seperti dikemukakan Notonegoro dalam Pidato Dies Universitas
Airlangga pada 10 Nopember 1955 secara filsafat kenegaraan, dan istilah “Pancasila”
oleh Dr. Sumantri Harjoprakoso dalam “Indonesisch mensbeeld als basis ener
psychotherapie” (Leiden, Juni 1956) yang juga digunakan dalam bidang kebatinan
yang menyebut lima tabiat manusia guna mencapai pendirian hidup sempurna,
yaitu: 1. Rela, 2. Narimo (Jawa), 3. Temen (Jujur), 4. Sabar, dan 5. Budi
luhur. Lima tabiat ini agar dapat melaksanakan sandaran hidup yang dinamakannya
“Tri Sila” yakni: a. eling (beriman), b. percaya dan c. mituhu (setia). “Pancasila”
juga dikemukakan Prof. Dr. Priyono, Menteri PP dan KK pada Seminar Ilmu dan
Kebudayaan di Yogyakarta (29 Juni 1956) sebagai “Panca Sila” Bahasa Indonesia.
Hubungan HAM dengan Pembukaan, diperlihatkan dengan
secara khusus hak asasi kemerdekaan segala bangsa dan tujuan negara, baik
keluar dan kedalam dicantumkan dalam Pembukaan, sedangkan dalam UUDS hanya
mencantumkan tujuan perdamaian tanpa menjaga ketertiban dunia. Isi Mukaddimah
UUDS juga dinyatakan sama dengan Preambule Piagam Perdamaian (Charter for
Peace). Yang menarik adalah tinjauannya terhadap lima sila dalam Pancasila yang
membantu para penyelenggara memahami makna yang terkandung di dalamnya,
sehingga dapat menilai apakah konstitusi yang dirumuskan sejalan dengan
nilai-nilai Pancasila.
HAM juga terdapat di dalam Pembukaan konstitusi kita yang
pernah berlaku. Namun, pelaksanaan HAM tetap berlandaskan nilai-nilai
Pancasila. Misalkan contoh bagaimana kedudukan individu dalam sistem demokrasi?
Demokrasi kita tetap berlandaskan kolektivisme, bukan pertentangan individu dan
“social orde” seperti demokrasi liberal dan hak-hak lainnya yang tetap
berlandaskan kondisi masyarakat asli Indonesia.
Hubungan antara Hak asasi manusia dengan Pancasila dapat dijabarkan Sebagai berikut :
1. Sila ketuhanan yang maha Esa menjamin hak kemerdekaan untuk memeluk agama , melaksanakan ibadah dan menghormati perbedaan agama.
2. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab menempatkan hak setiap warga negara pada kedudukan yang sama dalam hukum serta serta memiliki kewajiban dan hak-hak yang sama untuk mendapat jaminan dan perlindungan undang-undang.
3. Sila persatuan indonesia mengamanatkan adanya unsur pemersatu diantara warga Negara dengan semangat rela berkorban dan menempatkan kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan pribadi atau golongan, hal ini sesuai dengan prinsip HAM dimana hendaknya sesama manusia bergaul satu sama lainnya dalam semangat persaudaraan.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan dicerminkan dalam kehidupan pemerintahan, bernegara, dan bermasyarakat yang demokratis. Menghargai hak setiap warga negara untuk bermusyawarah mufakat yang dilakukan tanpa adanya tekanan, paksaan, ataupun intervensi yang membelenggu hak-hak partisipasi masyarakat.
5. Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengakui hak milik perorangan dan dilindungi pemanfaatannya oleh negara serta memberi kesempatan sebesar-besarnya pada masyarakat.
Hubungan antara Hak asasi manusia dengan Pancasila dapat dijabarkan Sebagai berikut :
1. Sila ketuhanan yang maha Esa menjamin hak kemerdekaan untuk memeluk agama , melaksanakan ibadah dan menghormati perbedaan agama.
2. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab menempatkan hak setiap warga negara pada kedudukan yang sama dalam hukum serta serta memiliki kewajiban dan hak-hak yang sama untuk mendapat jaminan dan perlindungan undang-undang.
3. Sila persatuan indonesia mengamanatkan adanya unsur pemersatu diantara warga Negara dengan semangat rela berkorban dan menempatkan kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan pribadi atau golongan, hal ini sesuai dengan prinsip HAM dimana hendaknya sesama manusia bergaul satu sama lainnya dalam semangat persaudaraan.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan dicerminkan dalam kehidupan pemerintahan, bernegara, dan bermasyarakat yang demokratis. Menghargai hak setiap warga negara untuk bermusyawarah mufakat yang dilakukan tanpa adanya tekanan, paksaan, ataupun intervensi yang membelenggu hak-hak partisipasi masyarakat.
5. Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengakui hak milik perorangan dan dilindungi pemanfaatannya oleh negara serta memberi kesempatan sebesar-besarnya pada masyarakat.
Perbedaan Gender di
Indonesia
Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa
perempuan dan laki – laki berbeda. Namun, gender bukanlah jenis kelamin
laki – laki dan perempuan sebagai pemberian Tuhan. Gender lebih ditekankan pada
perbedaan peranan dan fungsi yang ada dan dibuat oleh masyarakat. Oleh karena
itu, gender penting di pahami dan dianalisa untuk melihat apakah perbedaan
tersebut menimbulkan diskriminasi dalam artian perbedaan yang membawa kerugian
dan penderitaan terhadap pihak perempuan.
Sebenarnya,
kita telah mempunyai basis legal yang menjamin hak - hak dan kesempatan
bagi laki – laki dan perempuan. Hal tersebut terlihat dari Deklarasi
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang di buat oleh PBB pada tahun 1993.
Namun, deklarasi tersebut tidak begitu dikenal oleh masyarakat di Indonesia,
sehingga jarang di buat sebagai acuan dalam kegiatan penyelesaian masalah yang
berbasis gender (Sunanti Zalbawi, 2004).
Di
Indonesia, isu kesetaraan gender akhir – akhir ini menjadi isu yang tidak ada
habisnya dan masih berusaha terus di perjuangkan baik di tingkat eksekutif
maupun legislatif. Hal tersebut seperti yang diutarakan oleh Imam Prasodjo
dalam Kompas 29 Juli 2010, menyatakan bahwa permasalahan perspektif gender yang
paling substantif juga terlihat di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Permasalahan
tersebut mencakup substantif pemahaman tentang kebijakan berspektif gender itu
sendiri. Peningkatan kesadaran dan pemahaman itu, harus dibarengi dengan adanya
keterwakilan perempuan – perempuan dalam lembaga – lembaga negara, terutama
lembaga pembuat kebijakan. Mengingat perempuan masih saja mengalami ketimpangan
di bidang pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi hanya karena perkembangan
pengetahuan masyarakat Indonesia tentang gender itu sendiri masih sangat
lambat.
a. Konsep gender dalam kehidupan masyarakat Indonesia
Posisi
perempuan dalam keluarga pada umumnya dan di masyarakat Indonesia pada
khususnya, masihlah berada di bawah laki – laki. Seperti kasus istri yang
bekerja di luar rumah harus mendapat persetujuan dari suami, namun pada umumnya
meskipun istri bekerja, haruslah tidak boleh memiliki penghasilan dan
posisi lebih tinggi dari suaminya. Meskipun perempuan sudah bekerja di luar
rumah, mereka juga harus memperhitungkan segala kegiatan yang ada di rumah,
mulai dari memasak hingga mengurus anak.
Lingkungan pendidikan
Di
bidang pendidikan, perempuan menjadi pilihan terakhir untuk mendapatkan akses. Oleh
karena itu, tingkat buta huruf tertinggi di Indonesia juga masih didominasi
oleh kaum perempuan (kompas, 29 Juli 2010).
Lingkungan pekerjaan
Perempuan
yang memiliki akses pendidikan yang tinggi pada umumnya bisa mendapatkan
pekerjaan yang layak. namun, pemilihan pekerjaan tersebut masih berbasis
gender. Perempuan dianggap kaum yang lemah, pasif dan dependen. Pekerjaan
seputar bidang pelayanan jasa seperti bidang administrasi, perawat, atau
pelayan toko dan pekerjaan dengan sedikit ketrampilan seperti pegawai
administrasi dan hanya sedikit saja yang menduduki jabatan manajer atau
pengambil keputusan (Abbott dan Sapsford, 1987).
b. Gender dan kesehatan di Indonesia
GBHN
membuat permasalahan gender semakin pelik, dalam penjabarannya intinya
menyebutkan bahwa perempuan indonesia berfungsi sebagai istri pengatur rumah
tangga, sebagai tenaga kerja di segala bidang dan sebagai pendidik pada bagi
anak – anaknya. Konsep tersebut semakin membingungkan perempuan di Indonesia
untuk memilih antara terjun dalam kegiatan di luar rumah dan menjadi istri
sertai bu yang baik (Retno Suhapti, 1995).
Konsep
ini sangat berat bagi perempuan, dikarenakan proporsional beban tersebut mampu
membuat perempuan retan akan stress. Selain itu, permasalahan ada pada keputusan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan. Contohnya pada kasus ibu hamil yang menunggu
keputusan suaminya untuk pergi berobat ke dokter. Pada akhirnya, ibu hamil
terlambat mendapatkan penanganan yang dapat berakibat fatal bagi kesehatan
janin dan ibu itu sendiri. Hal tersebut nampak permasalah gender di Indonesia
mengakar sejak dahulu yang diawali dengan kebijakan pemerintah yang berlaku
saat itu.
Berdasarkan
permasalahan yang terjadi, sudah waktunya perempuan dan laki – laki di
Indonesia sama – sama berfungsi sebagai pengatur rumaha tangga pada khususnya
dan pengatur beberapa kebijakan negara pada umumnya. Dengan tercapainya kondisi
ini, dapat terjalin dengan harmonis bagi perempuan dan laki – laki di
Indonesia. Perempuan juga harus mendapatkan kesempatan yang sama memilih dan
meraih posisi yang sejajar dengan laki laki di masyarakat.
Untuk
mewujudkan kondisi ini, mau tidak mau, kaum perempuan Indonesia harus sadar
bahwa selama ini konsep yang berlaku adalah konsep yang berorientasi gender
yang membuat membedakan peran antara perempuan dan laki – laki di Indonesia,
menghambat kesempatan mereka. Kesadaran perempuan lah yang sangat di butuhkan
untuk dapat meningkatkan kondisinya sendiri di bidang kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, dll. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan perubahan
keputusan bagi dirinya sendiri tanpa harus di bebani konsep gender.
Hak Asasi Perempuan
Pembicaraan hak asasi perempuan
sebagai hak asasi manusia sebetulnya bukan hal yang relatif baru. Meskipun
demikian, hak asasi perempuan yang sudah mulai terangkat dari beberapa waktu
sebelumnya, kelihatannya semakin menguat dari waktu-ke waktu. Seseorang
yang menjadi korban tidak lagi hanya akan cukup menerima bahwa ia memiliki hak,
namun ia akan mulai mencari dimana letak jaminan akan hak tersebut dan
bagaimana caranya agar hak tersebut dapat diperoleh. Tentu saja
proses ini bukan proses yang sekali jalan, melainkan mensyaratkan hal-hal
tertentu. Yang sangat mendasar bagi upaya untuk memperoleh hak adalah
pengetahuan dasar tentang hak tersebut dan jaminannya ada dimana. Pengetahuan
tersebut dapat diperoleh dengan berbagai cara yang antara lain melalui bacaan,
berdiskusi secara intens, dan olahan pengalaman. Tulisan ini
memberikan informasi dasar tentang hak perempuan, instrumen-instrumen yang
mencantumkannya dan secara khusus membahas Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan.
Hak Asasi Perempuan, yaitu hak yang dimiliki oleh seorang
perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan,
dalam khasanah hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam
berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. Sistem ini meliputi berbagai
instrumen hukum dan perangkat pelaksanaan sistem hukum baik di tingkat
nasional, regional maupun internasional. Berbagai sistem tersebut tidak saja
mencantumkan hak yang diakui namun juga bagaimana menjamin dan mengakses
hak tersebut. Dalam konteks Indonesia misalnya, pengaturan hak asasi
manusia kaum perempuan dapat ditemui di dalam UUD 1945, KUHPidana,
KUHPerdata, UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Peradilan HAM dan
berbagai peraturan lainnya (terlampir). Penegakannya dilakukan oleh institusi
negara dan para penegak hukum. Salah satu sumber utama adalah UU No. 7 tahun
1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan. UU tersebut secara jelas mengadopsi Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Para pejuang hak-hak perempuan
di berbagai wilayah dunia melontarkan kritik bahwa hukum dan sistem
hak asasi manusia itu adalah sistem yang sangat maskulin dan
patriarki, yang dibangun dengan cara berfikir dan dalam dunia laki-laki yang
lebih memperhatikan dan kemudian menguntungkan laki-laki dan melegitimasi
situasi yang tidak menguntungkan perempuan.
Hal tersebut dilihat dari beberapa hal pertama,
pendikotomian antara wilayah publik dan privat; kedua, konsepsi pelanggaran hak
asasi manusia sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh negara; ketiga,
pendekatan ‘kesamaan’ (sameness) dan ‘perbedaan’ (differences) yang dipakai
oleh beberapa instrumen pokok hak asasi manusia; keempat, pemilahan dan
prioritas hak sipil dan politik, ketimbang hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak
asasi manusia khususnya pendekatan hak asasi manusia yang konvensional lebih
menekankan pengakuan jaminan terhadap hak-hak dalam lingkup publik sementara
wilayah domestik tidak dijangkau demi alasan melindungi hak privasi seseorang.
Pemilahan antara wilayah lingkup dan publik dan prioritas
perlindungan hak pada wilayah publik sangat dilematis dalam konteks penegakan
hak asasi manusia terhadap manusia yang berjenis kelamin perempuan. Sebab,
dalam banyak pengalaman perempuan, wilayah domestik dan privat ini malah
menjadi arena di mana kekerasan dan diskriminasi berlangsung sangat serius dan
massif. Namun, situasi kekerasan tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran
hak asasi manusia dan hanya dikategorikan sebagai perlakuan kriminal semata.
Konsepsi pemilahan publik dan domestik pun berjalin dengan pandangan bahwa
pelaku pelanggaran hak asasi manusia adalah negara (state actor) yang kemudian
meminggirkan berbagai pengalaman perempuan.
Dalam kasus “penyiksaan” (torture), misalnya, pendekatan
hak asasi manusia konvensional hanya akan melihat kasus penyiksaan sebagai
pelanggaran hak asasi manusia jika dilakukan oleh aparat negara dan terjadi di
wilayah publik. Hal ini mengabaikan situasi yang sering dialami oleh perempuan
korban kekerasan rumah tangga (yang mengalami penyiksaan), di mana kekerasan
yang dilakukan oleh aktor negara dan kekerasan berlanjut karena aktor negara
tidak segera bertindak terhadap pelakunya. Di samping itu, beberapa instrumen
pokok memang telah meletakkan prinsip prinsip non-diskriminasi khususnya atas
dasar jenis kelamin. Pendekatan yang dipakai dalam prinsip non-diskriminasi
tersebut adalah “setiap orang adalah sama” khususnya di mata hukum, sehingga
orang harus “diperlakukan sama” (sameness).
Perlakuan berbeda dan perlindungan khusus hanya diberikan
kepada perempuan yang menjalankan fungsi reproduksinya seperti melahirkan dan
menyusui, karena asumsinya perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanya pada
perbedaan biologis (difference). Pendekatan ini dipandang tidak melihat akar
masalah perempuan di mana kekerasan dan diskriminasi itu akibat dari relasi
kekuasaan yang timpang dan telah berjalan sejak lama. Akibanya perempuan selalu
berada pada posisi yang tidak beruntung (disadvantages) di hampir seluruh aspek
kehidupan yang tidak mudah dikembalikan kepada posisi yang lebih baik jika
tidak ada perlakuan dan perlindungan khusus. Perlakuan dan perlindungan khusus
hanya pada perempuan yang sebagai “ibu” menjalankan peran domestik saja.
Sementara perempuan yang tidak menjadi “ibu” dan banyak
perempuan yang tidak pula berperan sebagai “ibu” berada pada posisi yang lemah
dan tidak beruntung karena relasi timpang dan dampak dari ketertindasan tidak
dijamin perlindungannya, diperlakukan sama dengan pihak (laki-laki) yang
memiliki situasi yang lebih beruntung. Perlakuan sama menyebabkan situasi yang
lebih senjang untuk tujuan atau hasil pencapaian keadilan. Perlakuan yang sama
tidak akan menjamin perempuan dan laki-laki bisa secara sama mengakses
pendidikan dan fasilitas kesehatan jika tidak ada jaminan atau landasan untuk
tersedianya langkah-langkah strategis dan khusus untuk menghapus atau
menghilangkan hambatan perempuan untuk mengakses secara sama terhadap pendidikan
atau akses lainnya.
Selain itu, pendekatan hak asasi manusia klasik
memprioritaskan dan sekaligus memilah-milah hak sipil dan politik dan
meninggalkan hak ekonomi, sosial dan budaya. Penekanan tentang hak hidup,
misalnya, banyak dilakukan terkait dengan hak untuk bebas dari hukuman mati. Tidak
untuk menyatakan bahwa hak itu tidak penting, namun pemilihan wilayah yang
diprioritaskan berdampak pada banyaknya kasus-kasus yang terkait dengan hak
hidup lainnya dari aspek sosial dan budaya tidak diperlakukan setara. Misalnya,
banyak perempuan yang mati pada saat melahirkan akibat layanan dan fasilitas
kesehatan yang tidak memadai, perempuan migran yang mati akibat perlakuan
sewenang-wenang majikan dan tidak adanya perlindungan hukum bagi mereka, bukan
jadi area yang dianggap penting dalam konteks hak hidup.
Padahal peristiwa ini adalah peristiwa yang sangat dekat
dengan keseharian hidup perempuan. Berbagai kritik dan advokasi yang
dilontarkan atas kelemahan sistem hak asasi manusia dari perspektif pengalaman
perempuan berdampak pada adanya perkembangan pemikiran baru tentang konsep hak
asasi manusia. 45Pemikiran para pejuang perempuan diakomodir dan diadopsi dalam
hukum hak asasi manusia sejak dirumuskannya instrumen internasional yang
spesifik untuk menghadapi persoalan diskriminasi terhadap perempuan, yaitu
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada
tahun 1976 dan mulai berlaku pada tahun 1979.
Konvensi ini meletakkan pemikiran dasar bahwa
diskriminasi terhadap perempuan sebagai hasil dari relasi yang timpang di dalam
masyarakat yang dilegitimasi oleh struktur politik dan termasuk hukum yang ada.
Konvensi meletakkan pula strategi/langkah-langkah khusus sementara yang perlu
dilakukan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan.
Penutup
Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang melekat pada
martabat manusia sejak lahir, sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang sifatnya
tidak bisa diganggu oleh siapapun seperti hak untuk hidup. Kita memiliki hak
asasi manusia tetapi kita tidak boleh mengganggu hak asasi orang lain.
Daftar Pustaka
“ Permasalahan HAM di Indonesia” Diakses tanggal 3 january 2013http://aslinandya.blogspot.com/2011/05/permasalahan-ham-di-indonesia.html
“Hak Asasi Perempuan di Indonesia” Diakses tanggal 5 january 2013
http://www.elsam.or.id/?act=view&id=270&cat=c/603&lang=in
“Perbedaan dan Isu Perbedaan Gender” Diakses tanggal 8 january 2013
http://www.psikologizone.com/keterbatasan-pekerjaan-dan-isu-perbedaan-gender/06511278
No comments:
Post a Comment