Pemikiran
H.O.S Tjokroaminoto: Prinsip Egalitas Sosial Dalam Sosialisme Islam
Tjokroaminoto
Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang
lebih familiar dengan sebutan H.O.S Tjokroaminoto adalah guru besar dari
pergerakan modern pada awal abad ke-20. Keberadaan dirinya sebagai ketua
Sarekat Islam (SI) banyak diamini sebagai seorang pelopor pergerakan nasional
yang menolak tunduk terhadap Belanda melalui pengorganisasian modern dalam
sejarah pergerakan nasional. Muncul sebagai salah satu pelopor pergerakan
nasional, Tjokroaminoto menjadikan dirinya sebagai tokoh pergerakan
fenomenal pada masa awal pergerakan modern di Indonesia. Menurut P.F Dahler
salah seorang pemimpin nasionalis berkebangsaan Belanda[1], Tjokkroaminoto adalah harimau mimbar yang
pidato-pidatonya dapat memukau pendengarnya sampai berjam-jam. Dengan postur
tubuh yang tegap, penampilan yang berwibawa, dilengkapi dengan suara yang berat
dan bahasa yang teratur menjadikan dirinya sebagai tokoh massa yang sangat
disegani oleh pihak penjajah pada masa kolonial. Kharisma dan kemampuan inilah
yang suatu hari nanti akan menurun kepada salah satu muridnya sang proklamator
kemerdekaan Indonesia, Soekarno.
Raden Haji Oemar Said Tjokroaminoto
dilahirkan pada 16 Agustus 1882. Nama kecilnya adalah Oemar Said. Ia lahir di
Desa Bukur, Madiun bertepatan dengan setahun sebelum meletusnya Gunung Krakatau
di Selat Sunda, dari keluarga Raden Mas Tjokromiseno. Cikal bakal keluarganya
berasal dari Ponorogo, desa Tegalsari. Kakeknya, Raden Mas Adipati Tjokronegoro
adalah Bupati Ponorogo. Sedangkan ibunya adalah anak seorang ulama di daerah
Madiun, bernama Kiai Bagus Kasan Besari. Kakek dari pihak ibunya adalah
keturunan ulama kenamaan pada penghujung abad kesembilan belas yang ikut serta
dalam mendakwahkan pengajaran Islam di wilayah Keresidenan Madiun, Ponorogo,
dan bahkan ke kawasan Jawa Timur.[2] Kesadaran nasionalisme Tjokroaminoto
telah tumbuh semenjak dirinya masuk ke sekolah OSVIA Magelang yang menyiapkan
murid-muridnya untuk menjadi abdi pemerintah kolonial. Di sekolah pegawai
Pamong Praja inilah, Tjokroaminoto banyak menyaksikan perlakuan yang berbeda
antara pribumi dan anak-anak Belanda. Tiga tahun selepas kelulusannya dari
OSVIA, Tjokroaminoto bekerja sebagai seorang juru tulis di Kepatihan Ngawi,
bahkan ia berhasil menduduki jabatan sebagai seorang Patih. Tetapi, karena
terdorong oleh keinginan hatinya Tjokroaminoto memutuskan untuk berhenti dan
pindah ke Surabaya dan bekerja di sebuah perusahaan Belanda.[3]
Di kota inilah kesadaran
nasionalismenya sebagai pemuda yang terjajah di negerinya sendiri mulai
tumbuh. Bergabungnya Tjokroaminoto di SDI yang berdiri pada tahun 1905 di bawah
pimpinan seorang ulama dan pengusaha H. Samanhudi. Menjadikan dirinya cepat
dikenal sebagai salah satu tokoh pergerakan yang radikal dengan karena sikapnya
yang menentang perlakuan kesewenang-wenangan oleh pemerintah kolonial terhadap
penduduk pribumi di Hindia Belanda. Sikap kesewenangan dari pihak kolonial
inilah yang juga membuat dirinya meninggalkan pekerjaannya sebagai abdi di
Pemerintahan Hindia Belanda. Berbekal tinta dan kertas, dirinya memutar haluan
dengan menekuni dunia jurnalistik pada tahun 1907[4]. Melalui beragam tulisannya yang termuat
dalam berbagai media Tjokroaminoto mengkritik ketidakadilan pihak penjajah
terhadap kaum pribumi. Menurut pemikiran Tjokroaminoto, kesadaran nasionalisme
dapat tumbuh dan berkembang melalui usaha peningkatan rasa persatuan masyarakat
pada tingkatnatie (bangsa), dan melalui kebijakan menentukan
pemerintahannya sendiri, atau setidaknya melalui pemberian hak kepada
masyarakat bumiputera untuk mengemukakan pendapatnya dalam masalah-masalah
politik.[5] Hal ini dikemukakan dirinya dalam
kongres nasional Sarekat Islam (SI) di Bandung Tahun 1916. Ia mengemukakan
bahwa, “Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang
diberikan makan hanya disebabkan karena susunya.” Dalam pernyataan tersebut
jelaskah bahwa Cokrominoto mengkritik keras adanya sikap sewena-wenana yang
dilakukan oleh pemerintahan kolonial yang mengeluarkan peraturan di Hindia
Belanda tanpa adanya partisipasi dan mendengarkan aspirasi penduduk pribumi.[6]
Sebagai kaum pemuda dan terpelajar dari
penduduk pribumi, Tjokroaminoto sangat menentang tindakan ketidakadilan yang
diberlakukan oleh pemerintah Belanda yang sewena-mena terhadap hajat hidup
masyarakat pribumi yang terjajah. Baginya, tindakan yang dilakukan oleh pihak
kolonial tidak lebih dari tindakan para kapitalis yang hidup sebagai benalu di
atas kesuburan tanah air orang lain. Menurut Tjokroaminoto[7], kesejahterakan masyarakat yang adil dan
makmur bisa tercapai melalui pelaksanaan Sosialisme Islam. Beliau mengemukakan
bahwa cita-cita sosialisme di dalam Islam tidak bisa disamakan dengan
sosialisme yang muncul dan digembar-gemborkan di Eropa. Sosialisme Islam lebih
tua dan paripurna terutama menyangkut asas-asas humanisme dan persamaan hak
dihadapan Tuhan.
Menurut pendapatnya, Islam adalah
sebenar-benarnya agama yang bersifat demokratis dan telah menetapkan
dasar-dasar hukum yang bersifat sosialistik bagi tiap pemeluknya. Islam secara
agama tidak membeda-bedakan manusia dari ras, suku, bahasa, warna kulit, dan
status sosial seseorang. Islam sebagai agama, sebagaimana yang diyakini oleh
dirinya adalah penghormatan setinggi-tingginya terhadap persamaan hak dan
derajat manusia di hadapan Tuhan. Islam tidak mengkultuskan adanya kasta,
bahkan mengutuk keras terhadap sikap membeda-bedakan manusia berdasarkan kelas
sosial. Dalam intisari pemikiran Sosialisme Islam yang diyakini oleh
Tjokroaminoto. Ada tiga bentuk yang menjadi pondasi Sosialisme Islam secara
fundamental, yaitu;[8] kemerdekaan (vrijheid-liberty),
persamaan (gelijk-qualty), dan persaudaraan (broederchap-fraternity).
Dari ketiga intisari tersebut,
Tjokroaminto mengungkapkan bahwa dasar dari Sosialisme Islam adalah terletak
pada keutamaan nilai persamaan dan persaudaraan dalam kemerdekaan bagi setiap
manusia dihadapan penciptanya. Sosialisme Islam tidak pernah melakuan tindakan
pemaksaan terhadap setiap orang. Hal terpenting dalam ajaran Sosialisme Islam
menurutnya adalah persoalan etika dan perangai tingkah laku seseorang dengan
adanya perbaikan terhadap prilaku dan nafsu yang tidak baik di dalam sistem
masyarakat. Sebab dirinya yakin bahwa kesejahteraan dan keadilan akan timbul
melalui sifat dan perangai yang baik di dalam kehidupan. Sebab asas-asas
sosialis dapat tumbuh dan berkembang dengan baik ketika adanya anjuran dan
tindakan yang prilaku baik melalui individu dalam membentuk sistem
kemasyarakatan yang sosial-religius dengan susunan pemerintahan yang
bersendikan demokrasi, dan musyawarah untuk mufakat serta tidak berdasarkan
kepada aturan pertentangan kelas yang justru dipakai sebagai sarana penindasan
di negara-negara Barat akibat adanya konflik dan gesekan kelas di dalamnya.
Sebagaimana salah satu nasehatnya,[9] “Larena mangan sadurunge wareg”.
Agar setiap generasi sadar untuk menghindari sikap rakus dan serakah, serta
bertindak aji mumpung untuk memperkaya diri menggunakan
jabatan untuk kepentingan pribadi dan golongan.
[1] P.F. Dahler dalam Kholid O. Santosa pada tulisan pembuka “HOS.
Tjokroaminoto: Raja Jawa Yang Tak Bermahkota pada buku Islam dan Sosialisme Tjokroaminoto, (Bandung: Sega Arsy, 2008), hal. vii.
No comments:
Post a Comment