Tulisan ini menganalisis tentang hubungan antara media televisi dan politisi. Hubungan
antara media televisi dengan dunia politik memang tidak bisa dipisahkan,
keduanya sama-sama menguntungkan dalam kepentingan masing-masing pihak. Seorang
politisi membutuhkan televisi sebagai alat untuk menyebar luaskan gagasan atau
kebijakan kepada masyarakat. Sedangkan televisi membutuhkan politik sebagai
bahan berita untuk kebutuhan informasi masyarakat dalam peranya sebagai kontrol
pemerintah. Penulisan artikel ini dilatarbelakangi oleh hubungan antara
politisi dan televisi yang mulai memengaruhi penyajian informasi. Hal ini
menjadi penting untuk dibahas ketika informasi yang disajikan oleh televisi
tidak lagi berimbang karena telah
disusupi corong-corong kepentingan politik. Media televisi yang tidak seimbang
ini tentu saja akan berimbas pada kehidupan demokrasi. Tujuan dari penulisan
ini untuk kepentingan studi sebagai tugas terstruktur. Artikel ini ditulis
dengan menggunakan pendekatan kualitatif, pengambilan data dilakukan dengan
cara analisis media massa dan studi pustaka yang menghasilkan beberapa
referensi.
Kata
Kunci: Media televisi, Politik, kepentingan politik, Demokrasi, Pemerintah
Pendahuluan
“there’re only two things which can throw
light upon hear on earth. Two things, one is the sun in heaven and the second
one is the press on earth.” (Mark twin)
Sebelum tahun 1987 saluran televisi
Indonesia hanya memiliki TVRI sebagai saluran televisi nasional. Namun seiring
dengan alur dinamika masyarakat, maka bermunculanlah televis-televisi swasta.
Televisi swasta pertama yang muncul di Indonesia adalah RCTI (Rajawali Citra
Televisi) pada tahun 1987, lalu munculah saluran-saluran televisi lain seprti
SCTV, Indosiar, Antv, dan TPI. Kemunculan salunan televisi tersebut dapat
menjadi alternatif masyarakat dalam mencari informasi dan hiburan.
Selama
periode TVRI (30 tahun) masyarakat banyak disuguhi program hiburan dan
informasi yang lebih merujuk pada kepentingan politik penguasa. Dari acara
hiburan, informasi, sampai acara pendidikan selalu menyampaikan “pesan”
kepentingan pemerintah. Kemudian masyarakat selalu mendapatkan informasi yang
seragam setiap harinya. Kemunculan beberapa saluran televisi swasta memberi
sedikit pencerahan bagi masyarakat di mana masyarakat dapat mengakses informasi
yang beragam dan dapat menyaksikan berbagai hiburan. Kemunculan saluran
televisi swasta ini juga disambut hangat oleh para industriawan, di mana mereka
dapat mengiklankan produknya secara luas, karena pada masa TVRI periklanan dalam
televisi dilarang dengan alasan mengurangi sikap konsumerisme masyarakat.
Televisi sebagai media massa yang lebih diterima dalam masyarakat dibanding
media massa yang lainya berpeluang besar terhadap pembentukan opini masyarakat
dan pembentukan citra. Dengan demikian televisi diharapkan dapat menjadi salah
satu media yang dapat menjadi anjing penjaga atau watch dog dalam jalanya pemerintah. Hal tersebut dapat di rasakan
oleh masyarakat sesaat setelah era orde baru runtuh. ketika orde baru, media
massa khusunya televisi tampak “diam” berbicara mengenai korupsi, namun pada
era reformasi ini televisi begitu gencar menjalankan fungsi kontrolnya terhadap
pemerintah tanpa rasa takut terhadap rezim otoriter. Namun dengan hadirnya
televisi swasta ini sering menimbulkan “kecurigaan” masyarakat terutama tentang
stasiun televisi yang dimiliki oleh aktor politik. Sebut saja ANTV dan TV One
yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie yang merupakan politisi Partai Golkar, MNC,
RCTI, dan MetroTV yang pemiliknya adalah Surya Paloh dan Hary Tanoesoedibjo
yang berada di Parta Nasdem, lalu TRANS TV dan TRANS7 yang dimiliki oleh
Chairul Tanjung ( donatur Partai Demokrat ).
Dari yang telah diuraikan di atas bahwa
kepemilikan media oleh aktor politik telah menghadirkan berbagai pertanyaan,
apakah saluran televisi dapat bersifat objektif dalam penyampaian inforrmasi?
Apakah saluran televisi dapat terlepas oleh kepentingan politik penguasa? Hal
ini menarik untuk dikaji mengingat televisi sangat berpengaruh penting dalam pembentukan
opini dan pencitraan.
Kekuatan Media Televisi
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah
menguatkan peran media massa dalam kehidupan masyarakat. Setidaknya ada tiga
fungsi yang melekat pada media yaitu memberi informasi, pendidikan, dan
hiburan.[1]
Media massa yang merupakan komponen dari empat pilar demokrasi harus dijaga kebebasanya sebagai anjing penjaga bagi jalanya pemerintahan. Kebebasan yang
diberikan pada praktiknya sering disalah artikan oleh media sehingga sering
terjadi berbagai konflik antara media dan penguasa.
Kini, media massa tidak hanya tumbuh
menjadi penjaga atau pengawas kekuasaan rezim berkuasa. Namun, media telah
menjadi kekuatan baru bagi para pelaku politik dan ekonomi. Bisnis media kini
mulai diatur oleh orang yang memiliki kekuatan politik dan uang yang kemudian
berkolaborasi mengatur isi yang pada
akhirnya setiap informasi akan disusupi oleh kepentingan tertentu. Hal ini
tentu saja memperlihatkan bagaimana media dapat menjadi kekuatan bagi politisi
dan pengusaha untuk mencari keuntungan.
Salah satu media yang paling dominan
saat ini adalah media televisi. Kelebihan televisi yang menampilkan penyiaran
secara audio visual lebih menarik masyarakat indonesia. Televisi kini bukan
lagi menjadi barang sekunder dan istimewa karena mayoritas keluarga indonesia
sudah memiliki televisi dan televisi telah dijadikan barang yang pokok.
Keberadaan
industri pertelevisian telah mengundang beragai macam tanggapan. Fungsi
televisi dalam menyajikan informasi melalui berita, wawancara, komentar, bahkan
talk show sekalipun dapat menimbulkan
opini dan tanggapan yang berbeda-beda dalam masyarakat. media terutama televisi
dalam keahlianya mengolah data, fakta, dan kata-kata dalam suatu pemberitaan,
tentu saja akan menarik perhatian dan membuat audiens beropini baik setuju
maupun tidak terhadap pemberitaan yang ditayangkan. Dengan begitu maka, media
televisi bukan hanya menampilkan hiburan dan informasi saja namun media
televisi juga dapat dijadikan pembentuk pendapat umum.
Kehebatan media televisi dalam
membentuk opini ini dapat kita lihat ketika seseorang membeli produk karena
pengaruh iklan yang ditampilkan di televisi atau ketika seseorang memilih aktor
politik karena aktor politik tersebut sering muncul di televisi. Hal ini
membuat politisi atau para pemimpin negara tidak dapat lepas dari peran media
sebagai pembentuk opini masyarakat. Media terutama televisi sering dimanfaatkan
oleh politisi atau pemimpin negara sebagai sarana untuk memperkenalkan gagasan
dan sosok mereka sendiri. Televisi berpartisipasi aktif dalam menyajikan
berbagai kasus, informasi, dan prestasi seseorang, terutama dalam bidang
politik dan pemerintahan, sekaligus menjadi pengarah opini publik dalam promosi para
kandidat partai politik, baik untuk pemilihan presiden, parlemen atau kepala
daerah. Pemberitaan yang dikabarkan oleh media televisi tentu saja tidak lepas
dari sudut pandang ruang redaksi yang akan membentuk bahkan memengaruhi
pandangan atau opini pemirsa.
Pengaruh media dalam pembentukan
opini publik juga terlihat dalam kasus perang teluk, di mana Amerika berusaha
menarik simpati dunia mealui berbagai media terutama televisi agar mendukung
intervensinya yang dilakukan di Irak. Dalam perang tersebut militer Amerika
menyatakan bahwa mereka membutuhkan senjata (media) untuk membatu menyerang
Irak. Amerika melalui media barat
memberitakkan bahwa Sadam Husein adalah seorang pembunuh berdarah dingin, hal
ini tentu saja membentuk opini dunia tentang Saddam Husein dan Irak. Namun,
strategi Amerika Serikat dibalas oleh presiden Irak Saddam Husein (almarhum)
dengan mengizinkan Peter Arnett dari CNN untuk melakukan siaran langsung dari
Baghdad. Saddam ingin memperlihatkan kepada dunia tentang apa yang sebenarnya
terjadi di Irak dan mengubah pendapat umum. Bahkan dalam propagandanya Saddam
tiba-tiba muncul di tengah-tentang sandraan tentara Amerika dengan penuh
simpati.[2]
Apa yang terjadi antara Irak dan
Amerika bukan hanya perang senjata, tetapi juga perang informasi antara stasiun
televisi yang pro Amerika dan pro perjuangan Irak. Misalnya, stasiun televisi
Al-Jazeera dan Al-Arabi yang di pancarkan secara global oleh Arab berusaha
untuk mengimbangi pemberitaan dari saluran televisi pro Amerika. Sehingga kedua
saluran televisi tersebut menjadi target sasaran bom untuk menghentikan
pemberitaan agar mereka dapat membentuk opini umum secara sepihak. Bentuk dari
media televisi sebagai pembentuk opini yang efektif juga dapat kita lihat
bagaimana media dengan berbagai tanggapanya tentang politisi perempuan.
Media televisi telah terlanjur banyak
menayangkan acara yang menggambarkan bahwa perempuan itu lemah, tidak rasional,
tidak bisa mengambil keputusan,dan lain sebagainya yang pada akhirnya menjadi
hambatan bagi seorang kandidat perempuan dalam pemilu atau pemilukada. Di
Indonesia Krisna Sen pernah menulis tentang tekanan publik dan media terhadap
pencalonan Megawati sebagai presiden. Isu yang banyak diangkat oleh media pada
saatb itu adalah isu bahwa seorang perempuan “haram” menjadi pemimpin di
Indonesia.[3]
Pada saat itu media seperti menentang kepemimpinan politik perempuan yang pada
akhirnya media massa membentuk opini masyarakat untuk menentang pemimpin
politik perempuan. Bahkan negara yang demokratisnya tinggi seperti Amerika juga
mengalami hal yang serupa. Erika Falk[4]
yang melakukan studi gender dan liputan media Amerika menemukan bahwa meskipun
Hillary Clinton memimpin polling pada
pemilu saat itu, tidak membuat banyak media televisi untuk lebih banyak
meliputnya. Namun, keanyakan media malah lebih banyak meliput Obama. Hillary
juga lebih sering mendapat julukan rendah dan menjatuhkan. Kondisi ini tentu
saja sangat merugikan bagi Hillary Clinton. Hasil liputan media tentang
kepemimpinan serang perempuan tentu saja memengaruhi cara pandang masyarakat
pada kandidat politik perempuan yang nantinya juga akan memengaruhi jumlah
suara yang di berikan terhadap kandidat perempuan dan tentu saja sangat
berpengaruh bagi ketidak adilan gender. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa media
televisi sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik. Bahkan dalam suatu
survei di Amerika menyebutkan 9 dari 10 orang Amerika percaya bahwa media
memiliki pengaruh besar dalam pembentukan pendapat umum.
Kekuatan televisi sebagai media juga
menampilkan berbagai tayangan telah melahirkan orang-orang berbakat di dunia
seni menjadi lebih terkenal. orang-orang terkenal yang sering kita sebut selebritis
ini sebagian besar adalah seorang penyanyi, aktris/aktor, musisi, model, dan
persenter. Semakin banyak ditampilkan di televisi seseorang akan semakin
familiar dan populer. Sosok artis yang begitu dikenal dalam masyarakat memang
tak lepas dari kemampuan media massa terutama televisi yang handal dalam
membentuk citra dan opini publik. Kepopuleran selebriti dan seorang politisi
memang tak bisa dilepaskan dari peran televisi, melalui televisi, kita dapat
mengenal wajah dan latar belakang selebriti dan politisi. Liputan yang
dilakukan secara terus menerus oleh media cukup akurat untuk meningkatakan
pengetahuan pemilih pada calon dan seorang pemilih kemungkinan akan memilih
kandidat yang dikenal daripada yang tidak dikenal. Kepopuleran selebritis ini sering kali
dimanfaatkan oleh para politisi untuk menarik masa kertika kampanye. Contohnya,
ratu talk show Oprah Winfrey dimanfaatkan oleh Obama (calon
presiden AS 2008) untuk menarik sebagian besar dari 18.500 orang yang datang di
depan panggung kampanye Obama.[5]
Kini di negara-negara demokratis
khususnya Indonesia, seorang selebritis bukan hanya telah menjadi penarik masa
dalam kampanye. Namun, dengan tanggapan bahwa kemungkinan seorang pemilih akan
memilih kandididat yang lebih dikenal membuat banyak partai menggiring
selebriti sebagai salah satu kader atau wakil partainya dalam pemilu untuk memperjuangkan kursi kekuasaan partainya di dalam
pemerintahan. Partai politik ingin memenangkan pemilu secara instan karena para
selebritis tidak perlu susah-susah berkampanye atau mempromosikan dirinya
sendiri karena sebagian masyarakat telah mengenalnya.
Sejumlah selebriti telah
menorehkan namanya sebagai pejabat penting daerah maupun anggota legislatif.
Seperti, Zumi Zola yang berhasil menjadi Bupati Tanjung Jabung timur, Jambi dan
Dicky Chandra yang sempat menjadi wakil Bupati Garut, Jawa barat. Sebelumnya,
juga telah ada Rano Karno yang menjadi wakil gubernur Banten dan Dede Yusuf
yang juga menjadi wakil gubernur Jawa Barat. Lalu, selebriti yang berhasil
menjadi anggota DPR yaitu, Rieke Dyah Pitaloka yang tahun ini juga menyalonkan
diri sebagai gubernur Jawa Barat, Rachel Mariam, Eko Patrio, Angelina Sondak,
dll. Ada juga yang akan menyalonlan diri sebagai pejabat, seperti dedy Mizwar
yang menyalonkan diri sebagai wakil gubernur Jawa Barat, lalu ada aktor tampan
Irwansyah yang akan maju di Pilkada Tangerang 2013 dan yang sempat heboh
diberitakan adalah sang raja dangdut yang akan menyalonkan diri sebagai
presiden di tahun 2014 mendatang.[6]
Keberadaan selebritis di kancah politik ini memang tak dapat dipisahkan dari
keberadaan televisi dalam masyarakat. keduanya seperti keping uang logam yang
tidak dapat dipisahkan dan saling menguntungkan.
Netralitas Media Televisi?
Kenetralan media televisi secara
absolut memang sulit untuk direalisasikan, baik itu secara praktis maupun
secara teoris. Media televisi dalam menyajikan berita tentu saja memiliki 2
ruang penting dalam proses pengangkatan berita. Pertama, ruang redaksi yang bertugas untuk memproduksi tulisan atau
tayangan berita. Kedua, ruang
industri yang bertugas dalam pendanaan dan pemasaran, pihak industri biasanya
yang mencari iklan, donatur, dan dana dari pemilik media tersebut.
Sering
kali para pemilik kepentingan politik memanfaatkan televisi sebagai alat
kampanye yang efektif sehingga mereka bersedia menjadi donatur atau bahkan berupaya
memiliki sebuah stasiun televisi. Hal ini seharusnya tidak memengaruhi ruang
redaksi dalam memproduksi berita, namun tetap saja kenetralan redaksi seringkali
gagal berkompromi dengan kepentingan penguasa media tersebut. Apalagi jika
pengusa suatu media tersebut adalah salah seorang aktor politik. Maka, tidak
heran lagi bila alur pemberitaan tentang dirinya dan partainya dapat diarahkan
sesuai keinginan. Padahal kenetralan
media telah diatur dalam UU 32/2002 tentang penyiaran pasal 36 ayat 4 yang
menyebutkan, “isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh
mengutamakan golongan.” Dari undang-undang tersebut dapat kita simpulkan bahwa
media seharusnya tidak memunculkan kesan menilai atau keberpihakanya terhadap
suatu partai atau aktor politik, terutama pada pemilu atau kepentingan politik
lainya. Biarlah masyarakat yang menilai sendiri tentang aktor politik atau
partai tersebut. Yang harus dilakukan media sebenarnyan hanya menampilkan
informasi tentang politik dengan sebenar-benarnya.
Dalam
proses negara demokratis, sebuah kenetralan, independensi, dan objektifitas
media sangat dibutuhkan. Media yang memiliki kenetralan, independensi, dan
objektifitas dapat membongkar kepalsuan yang terjadi dalam kubu birokrasi, dan
media dijadikan sebagai alat penyalur kritik untuk mengawasi jalanya
pemerintahan. Dalam pilkada, media televisi dapat menyukseskan kampanye dengan
cara memberi informasi tentang bagaimana cara memberikan suara saat pilkada,
lalu memberkan informasi tentang betapa pentingnya pilkada kepada masyarakat
sehingga angka golput menurun. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa media massa
senantiasa mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengawasi jalanya
pemerintahan. Dengan demikian, peran media terutama televisi sangat diperlukan
objektifitas dan netralitasnya dalam menyajikan informasi baik dalam pemilu
ataupun dalam pengawasan pemerintah. Namun, sekarang ini memang sangat sulit
untuk menemukan media terutama media televisi yang benar-benar netral atau
objektif. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah masih ada
media yang bersifat netral di Indonesia? Adakah media yang tidak berafiliasi
pada kepentingan tertentu? Bisakah media hanya berorientasi pada bisnis dan
bukan pada kepentingan politik?
Kepemilikan Media Televisi
Setelah UU Penyiaran No. 32/2002
diberlakukan, ada tiga kategori bisnis media massa yang diakui pemerintah,
yakni media massa swasta nasional, media publik, media lokal, dan media
komunitas. Industri televisi indonesia berkembang pesat sejak awal tahun 2000.
Kelebihan televisi yang menampilkan pesan secara audio-visual membuat televisi
semakin kuat kedudukanya di tengah keluarga. Selain itu, media televisi juga
memiliki kekuatan yang luar biasa mengingat peranya dalam membentuk opini atau
menciptakan citra melalui acara berita, pendidikan, dan melalui hiburan. Bahkan
dalam mengarahkan opini, televisi juga dapat mengarahkan seorang pemilih lebih
efektif dari pada mengarahkan pemilih melalui kampanye. Hal ini tentu saja
membuat para pelaku politik berupaya berinteraksi dengan baik atau bahkan
memiliki dan beraliansi dengan suatu media.
Sebagai negara demokratis, Indonesia
membebaskan semua warga negaranya untuk mengembangkan diri melalui kebutuhan
dasarnya seperti yang tertera pada UUD 1945 pasal 28C ayat 1. Dengan begitu
dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk mendirikan bisnis saluran
televisi sekalipun itu seorang politisi. Beberapa politisi atau partai politik yang
beraliansi dengan media televisi yaitu, Partai Golkar jelas, Aburizal Bakrie
yang merupakan ketua umum Partai Golkar memiliki dua saluran televisi yaitu TV
One dan ANTV. Antv didirikan bersama
Agung Laksono pada tahun 1994 yang pada masa itu mereka masih menjadi
fungsionaris Partai Golkar pada masa orde baru. Sedangkan TV One yang
sebelumnya bernama Lativi adalah milik mantan menteri Soeharto pada masa itu,
yakni Abdul Latief. Lativi kemudian bangkrut dan diambil alih oleh Bakrie
Group, yang berganti nama menjadi TV One. Sementara itu, saluran televisi yang
beraliansi pada kepentingan partai demokrat adalah Trans TV dan trans 7
dimiliki oleh pengusaha pribumi dan pemilik Para Group yaitu Chairul Tanjung.
Trans7 awalnya adalah TV 7 didirikan oleh Kompas Group yang tidak bertahan lama
lalu dimarger oleh Para Group menjadi Trans7. Kemudian ada duet Surya Paloh dan
Hary Tanoesoedibjo yang bergabung dalam Partai Nasiaonal Demokrat atau Nasdem.
Surya Paloh merupakan pemilik dari Media Indonesia Group yang mendirikan
stasiun televisi yaitu, Metro TV yang didirikan pada tahun 1994 ketika itu
Surya Paloh masih menjadi fungsionaris Partai Golkar pada rezim Soeharto.
Sedangkan Hary Tanoesoedibjo adalah pemilik MNC Group dengan jaringan stasiun
televisi terbesar yaitu RCTI, Global TV, dan MNC TV.
Keterlibatan
politisi pada industri stasiun televisi dikhawatirkan dapat menimbulkan adanya
konspirasi para elite yang akan
melakukan kontrol pemberitaan dan informasi .
Media televisi dijadikan sebagai alat kepentingan politik dan ekonomi untuk
mencari keuntungan. Para pejabat akan mengatasnamakan kepentingan bangsa untuk mengatur pemberitaan sesuai
keinginan mereka. Sedangkan atas nama pertumbuhan ekonomi para pebisnis atau
pedangan juga melakukan hal yang sama. Dapat disimpulkan bahwa kebebasan media
yang dijiwai oleh demokrasi telah disusupi corong-corong kepentingan yang
setiap informasi dan suara beritanya yang telah dimodali kekuatan politik dan
bisnis.
Fenomena
kepemilikan media oleh politisi telah membuat netralitas Televisi menjadi patut
dipertanyakan. Bagaimanapun, pemilik Televisi yang juga seorang politisi ini
membutuhkan pencitraan sekaligus berbagai cara untuk menyerang lawan
politiknya. Dan Televisi merupakan sarana terbaik yang bisa dimanfaatkan. Seperti
yang diungkapkan Peter Golding dan Graham Murdoch yang mengungkapkan bahwa
sifat dan fungsi media televisi akan berubah jika sudah berada antara uang dan
kepentingan. Perbahan tersebut adalah keberpihakan media atas pasar dan politik
yang dapat mengarahkan suatu berita dan menutupi kebenaran yang diketahuinya.
Serta ada pergeseran dari hard journalism (hard news) yang dikaitan dengan
pemberitaan langsung dan nyata sesuai dengan kejadianyang sebenarnya yang
berubah menjadi soft journalism, yang menceritakan berita dengan sudut pandang
yang lebih menarik masyarakat yang sedikit atau banyak berbeda dengan kejadian
sebenarnya.[7]
Lihat bagaimana Surya Paloh bisa
membuat dirinya bermenit-menit hadir di layar Televisi melalui Metro TV. Di
Metro TV, penayangan pidato Surya Paloh bisa lebih lama dibandingkan dengan
presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemberitaan positif mengenai Partai Nasdem
juga kerap terlihat di Televisi miliknya. Kekuatan partai ini semakin terasa
setelah Surya Paloh berhasil menggaet Harry Tanoesoedibjo MNC Group dengan 3
stasiun televisi terkenal.
Selain Surya Paloh yang mamanfaatkan
televisi untuk pencitraan, ada juga Nirwan Bakrie keluarga Bakrie yang berusaha
menjatuhkan lawan politiknya melalui televisi. Pada saat itu, kisruh sepakbola
yang terjadi di Indonesia sangat lekat dengan nuansa politik . Nirwan Bakrie
memanfaatkan televisi milik keluarganya
TV One dan ANTV untuk menyerang Djohar Arifin Husin. Kedua stasiun televisi ini
bahkan sempat dilaporkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kerena berita
yang disajikan dianggap tidak berimbang.
Pada kasus korupsi misalnya, yang
mendera beberapa kader Partai Demokrat, begitu massif diberitakan
distasiun-stasiun televisi kecuali di Trans TV dan Trans 7 yang beritanya tidak
terlalu massif. Padahal, kasus korupsi juga banyak terjadi di partai-partai lain.
Publik digiring untuk beropini seakan-akan yang korupsi hanya kader Partai
Demokrat saja. Padahal hampir semua partai politik muncul adalah tempat yang
nyaman untuk melakuakan praktik-praktik koruptif. Sedangkan partai besar
seperti PDIP jarang sekali muncul di televisi baik itu prestasi ataupun
kekuranganya. Hal ini disebabkan karena partai besar ini tidak memiliki atau
bergabung dengan salah satu stasiun televisi. Berbeda dengan Partai Nasdem yang
begitu sering muncul di televisi dan Aburizal Bakrie yang tak jarang juga
terlihat di televisi. Bahkan hari ulang tahun Partai Golkar juga ditayangkan di
ANTV. Namun bagaimana dengan kasus lumpur lapindo? Begitu minim disiarkan
disiarkan di ANTV dan TV One. Bahkan berita yang disiarkan kadang berbeda, stasiun
televisi lain memberitakan tentang lumpur lapindo dengan menyebutkan nama
perusahaan dan terlihat berpihak kepada korban lumpur lapindo. Sedangkan
pemberitaan oleh ANTV dan TV One mengenai lumpur lapindo selalu saja
menggunakan nama kota bukan menggunakan
nama perusahaan yang seharusnya bertanggung jawab dengan kasus ini. Kedua
stasiun televisi tersebut juga terlihat takut untuk memberitakan kasus yang
terjadi pada keluarga Bakrie dan Partai Golkar. Boleh jadi,
pemberitaan-pemberitaan itu memanng bentuk serangan terhadap lawan politik,
sekaligus menutupi kebobrokan partai tertentu yang menguasai media televisi
tertentu.
Kepemilikan stasiun televisi oleh
pilitisi pada dasarnya memang tidak disalahkan. Hanya saja menjadi salah ketika
setiap keping informasi disusupi oleh kepentingan politik. Masyarakat menjadi
bingung tentang kebenaran berita, tentang apakah stasiun A lebih baik dari
stasun B, tentang siapa yang benar, atau siapa yang seharusnya dipilih.
Keambiguan berita dan ketidak seimbangan berita menimbulkan kekhawatiran bahwa
media sebagai pilar keempat demokrasi kita tak lagi bisa diandalkan yang
kemudian akan menjadikan kehidupan demokrasi yang tak sehat.
Kesimpulan
Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan
bahwa peran televisi pada dasarnya bukan hanya dijadikan alat pelepas
ketegangan atau hiburan. Isi dan informasi yang ditanyangkan di televisi selalu
saja menimbulkan pengaruh dalam masyarakat. Dalam hal ini pemberitaan di
televisi selalu menimbulkan respon yang berbeda-beda terlepas berita itu benar
atau tidak atau respon tersebut setuju atau tidak.
Setidaknya televisi telah menyita
lebih banyak perhatian dibanding media-media yang lainya. Tayangan televisi
sangat berpengaruh kepada pembentukan opini masyarakat, baik itu tayangan berita,
drama, talk show, atau acara-acara
lainya. Kehebatan televisi dalam membentuk opini, membuat partai politik dan
politisi berlomba-lomba untuk beraliansi atau memiliki suatu media televisi.
Media televisi dalam menyampaikan informasi diharapkan dapat menjadi alat
transparansi pemerintah yang netral. Namun, kenetralan media televisi yang
lagi-lagi tidak dapat berkompromi dengan penguasa media yang juga seorang
politisi. Kenetralan media televisi juga tidak lepas dari sikap seorang
jurnalis. Keprofesionalisme seorang jurnalis kini bukan lagi berdiri di tengah
tanpa kesan memihak, namun berdiri di sebelah siapa yang menguasai media yang
akan mengatur alur berita.
Keberpihakan media terhadap partai
politik atau politisi tertuntu memang selalu dapat kita lihat dalam penayangan
berita yang kurang seimbang. Kerena pada dasarnya tidak ada netralitas yang
absolut. Karena setiap orang, jurnalis, atau media telivisi sekalipun memiliki
sudut pandang berbeda terhadap pihak lain. Namun, tidak dipungkiri bahwa
keberpihakan media yang terjadi tanpa kontrol akan melukai jalanya demokrasi
yang sehat.
Sudah sepatutnya pengelolaan media
televisi dikembalikan kepada program-program berita yang netral sebagai bentuk
pengabdian terhadap masyarakat atas kebutuhan informasi yang benar, seimbang,
dan bertanggung jawab. Media televisi diharapkan dapat terlepas dari
kepentingan-kepentingan politik tertentu sehingga dapat menciptakan mendorng
masyarakat yang cerdas, kritis, dan demokratis. Media yang netral juga akan
berjasa membuka mata publik tentang carut marut dunia politik dan tata kelola
pemerintah. Sehingga dapat menambah kedewasaan berpolitik di Indonesia
khususnya. Disamping itu juga perlu adanya kesadaran masyarakat tentang
bagaimana media tersebut dan siapa yang ada di belakangnya. Dengan begitu,
masyarakat dapat memilih tayangan yang baik atau tidak baik untuk ditonton.
Daftar Pustaka
Cangara, hafied. Komunikasi Politik.
Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Subiakto, Henry dan Rachmah Ida.
Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi. Jakarta: kencana prenada media group.
2012.
“Politik Selebriti.”
Detik.com. Diakses tanggal 3 Desember 2012. http://news.detik.com/read/2011/02/21/115254/1574993/471/politisi-selebriti.
“Keberadaan dan Peranan Media Massa
dalam Komunikasi Politik.” scibd.com. Diakses tanggal 7 Noveber, 2012.
http://id.scribd.com/doc/52638697/Peranan-Media-Massa-Dalam-Komunikasi-Politik.
“Hubungan antara Kekuatan Politik
dengan Media Massa Sebagai Alat Pencitraan.” Pakishijau.com. Terakhir
dimodifikasi 13 Januari, 2012.
http://www.pakishijau.com/2012/01/hubungan-antara-politik-dengan.html http.
“Independensi Media.”
Shnews.com. Diakses tanggal 6 Desember, 2012. http://shnews.co/detile-11907-perang-politik-di-media-televisi.html
[1]
Henry Subiakto dan Rachmah ida, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi,
(Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2012), 170.
[2]
Hafied Cangara, Komunikasi Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 196.
[3]
Henry Subiakto dan Rachmah ida, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi,
(Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2012), 163.
[4]
Henry Subiakto dan Rachmah ida, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi,
(Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2012), 162.
[5]
Hafied Cangara, Komunikasi Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 372.
No comments:
Post a Comment