Friday, November 7, 2014

Dampak Penerepan Kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Jenderal Soedirman Terhadap Masyarakat Setempat

Studi ini akan menganalisis tentang dampak penerapan kebijakan uang kuliah tunggal di Universitas Jenderal Seodirman terhadap masyarakat setempat. Kebijakan UKT dinilai menimbulkan banyak permasalahan yang mempunyai dampak terhadap masyarakat sekitar UNSOED. Uang kuliah tunggal (UKT) pada hakikatnya merupakan kebijakan yang baik yaitu untuk meringankan beban biaya kuliah yang ditanggung mahasiswa pada awal masuk perkuliahan, tetapi kebijaka tersebut dislewengkan oleh sebagaian orang dalam hal ini adalah rektorat yang mengambil keuntungan dari penerapan sistem UKT. Dampak dari penerapan sistem UKT yang jumlah nominalnya berbeda-beda meneyebkan masyarakat disekitar UNSOED yang notabennya tergolong masyarakat kurang mampu tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi. Hal itu dapat dilihat dari dominanya m-undang dasar 1945 yang mengatur tentang  pendidikan dan kebudayaan, telah mengatur jelas tentang sistem pendidikan nasional yang baik. Namun UKT yang diterapkan oleh UNSOED tergolong sedikit ahasiswa yang berasal dari luar daerah purwokerto, sedangkan dari daerah purwokerto itu sendiri lebih memilih bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya yang tergolong tidak mampu. Kesalahan sitem pendidikan yang terjadi sekarang ini, sebenarnya dapat kita atasi dengan sitem pendidikan yang multikulturalisme. Yaitu pendidikan yang  mengacu pada nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai sosial, dan nilai-nilai ketuhan. Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang sangat bertolak belakang dengan orientasi bisnis. Dalam pasal 31 undang menyimpang dari undang-undang tersebut. Kehidupan masayrakat sekitar UNSOED yang tergolong sederhana dengan penerapan UKT yang seperti itu semakin menambah penderitaan untuk mereka. Mereka yang seharusnya dapat hidup nyaman didaerahnya sendiri justru harus bergelut dengan kondisi ekonomi yang menjerat kehidupan mereka.


Pendahuluan
Sekarang ini diberlakukanya sistem UKT (Uang Kuliah Tunggal) di Universitas Jenderal Soedirman, sebenarnya meringankan mahasiswa pada saat awal masuk perkuliahan. Nominal yang tidak terlalu besar pada awal perkuliahan membuat orang tua dari mahasiswa merasa ringan untuk membayarnya. Namun, setelah orang tua mahasiswa mengetahui bahwa UKT itu di bayarkan setiap semester dengan nominal yang sama seperti pada semester awal, ternyata setelah dihitung-hitung, biayanya menjadi lebih mahal dari pada sebelum menggunakan sistem UKT. Ditambah lagi dengan adanya sumbangan murni yang juga dibayarkan setiap semester oleh mahasiswa yang apabila pada awal masuk perkuliahan memberikan sumbangan murni. Jadi sumbangan murni dan UKT dibyarkan setiap semester dan itu jelas sangat memberatkan mahasiswa. Mahasiswa banyak yang tidak tau pada awal masuk kuliah kalau UKT dan sumbangan murni itu dibayarkan setiap semester. Kita semua mengetahiu bahwa UNSOED adalah kampus rakyat, universitas yang visi dan misinya mengacu pada kehidupan di pedesaan. Namun apabila biaya kuliah UNSOED begitu mahal, bagaimana orang-orang di sekitar UNSOED yang notabene kelas menengah bawah dapat menguliahkan anak-anaknya di UNSOED. Sebenarnya banyak masyarakat sekitar UNSOED yang mempunyai keinginan dan potensi yang bagus. Namun mereka terhalangi oleh masalah biaya kuliah yang mahal. Andai saja Universitas kesayangan kita, kebanggaan kita, yaitu Universitas Jenderal Sedirman biaya kuliahnya murah dan bisa terjangkau oleh masyarakat sekitar UNSOED, tentu saja akan ada lebih banyak generasi muda yang dapat melanjutkan pendidikanya dan dapat merubah nasibnya. Saya harap dengan jurnal saya ini dapat membantu perjuangan rekan-rekan yang sedang berusaha menurunkan nominal UKT dan menghapuskan sumbangan murni. Saya harap para dosen, dekan, bahkan rektor dapat membaca jurnal saya ini supaya mereka dapat mempertimbangkan masyarakat sekitar dan mahasiswa pada setiap pengambilan keputusan dan kebijakan khususnya soal biaya kuliah.

Penerapan Uang Kuliah Tunggal (UKT)
            Uang kuliah tunggal atau yang biasa disebut UKT merupakan sistem pembayaran biaya perkuliahan yang baru diterapkan oleh UNSOED.  Uang kuliah tunggal merupakan tarif yang dihitung dari unit cost. Unit cost merupakan komponen biaya operasional yang diperlukan untuk proses pembelajaran dan utilitasnya disetiap wilayah di luar biaya investasi. Dengan penerapan uang kuliah tunggal, maka penggunaan akun pada penerimaan pendidikan lainya dapat berubah. Padahal  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh dalam berbagai media online mengakui jika kebijakan penggunaan UKT  belum dapat terlaksana karena sosialisasi belum selesai dilakukan dan persiapan yang belum matang. Alhasil UKT ditangguhkan hingga tahun 2013[1]. Namun seperti yang kita ketahui UNSOED sendiri telah menerapkan UKT pada tahun 2012, padahal UKT sendiri sebenarnya dilaksanakan harusnya di tahun 2013. UNSOED sendiri beralasan ditangguhkan bukan berarti tidak boleh, melainkan hukumnya sunah. Pengertian UKT sendiri adalah uang kuliah tunggal yaitu pembayaran semua kebutuhan mahasiswa hanya dilakukan sekali dalam setiap semester dengan nominal yang sama setiap semesternya. Mahasiswa juga dengan adanya UKT menjadi tidak dibebankan untuk membayar biaya yang lainya lagi seperti pembayaran jurnal dan uang perpustakaan fakultas. UNSOED sendiri menerapkan sistem UKT dengan nominal yang berbeda-beda untuk mahasiswa baru angkatan 2012, mulai dari 2,4 juta, 3 juta, 4 juta, 8 juta, sampai 15 juta untuk fakultas kedokteran. Terjadinya nominal UKT yang berbeda-beda disebabkan jalur masuk perkuliahan yang diambil mahasiswa berbeda. UNSOED sendiri menerapkan beberapa jalur masuk perguruan tinggi antara lain, jalur SNMPTN undangan, jalur SNMPTN tulis, dan SMPMB Lokal. Berikut adalah keuntungan dan kerugian menggunakan sistem uang kuliah tunggal. Keuntungan menggunakan sistem UKT yaitu: (1) Mahasiswa lebih praktis dalam membayar uang kuliah, (2) Uang kuliah tunggal dapat menghilangkan perbedaan keluaran biaya kuliah berdasarkan status sosial, (3) Orang tua mahasiswa dapat mengetahui biaya apa saja yang dikeluarkan selama satu semester, (4) Pemerintah dapat mengetahui secara jelas jumlah biaya yang dapat disubsidikan kepada perguruan tinggi negeri dalam bentuk BOPTN. Kemudia kerugian dalam penggunaan UKT yaitu: (1) Biaya kuliah terkesan lebih mahal karena semuanya dibayarkan diawal,(2) Akan terjadi program studi elitis dan ada pula yang terkesan program studi murah, (3) PTN di daerah bisa semakin termarjinalkan[2].
Pembayaran dengan sistem UKT sebenarnya meringankan mahasiswa pada awal masuknya, namun berkat kekritisan beberapa mahasiswa yang menghitung-hitung biaya kuliah menggunakan sistem UKT selama 8 semester ternyata hasilnya mengejutkan dan ternyata lebih mahal dari sistem yang sebelumya yaitu SKS. Setelah dihitung-hitung jika menggunakan sistem SKS dalam 8 semester mahasiswa menghabiskan uang sebanyak 17,5 juta, tetapi jika menggunakan sistem UKT dan uang UKTnya sebesar 2,4 juta selama 8 semester maka menghabiskan uang sebanyak 19,2 juta dan itu baru yang nominal UKTnya 2,4 juta, bagaimana dengan mahasiswa yang nominal UKTnya diatas 2,4 juta? Ditambah lagi ada mahasiswa yang juga ditarik uang sumbangan sebagai salah satu syarat masuk perguruan tinggi. Mungkin uang segitu terlihat kecil untuk orang-orang kaya, untuk mahasiswa yang berasal dari luar wilayah Purwokerto seperti dari Bandung, Bekasi, Bogor, Jakarta. Mahasiswa yang berasal dari daerah tersebut beranggapan nominal UKT yang sekian termasuk kecil dan memudahkan mereka untuk dapat berkuliah di UNSOED. Uang muka yang ringan dan tidak ada penarikan biaya lainya membuat UNSOED lebih didominasi oleh mahasiswa dari luar wilayah Purwokerto bukannya oleh mahasiswa dari daerah Purwokerto sendiri. Terus masyarakat sekitar UNSOED sendiri kemana? Kenapa mereka tidak dapat meneruskan kuliah di UNSOED yang terkenal dengan sebutanya sebagai kampus rakyat, universitas yang mengacu kearah pedesaan.

Rektorat Bersorak, Masyarakat Berteriak
            Dengan diterapkanya uang kuliah tunggal di UNSOED, tentunya membuat pendapatan atau pemasukan dana untuk operasional pendidikan di universitas semakin banyak. Dengan dana dari uang kuliah tunggal yang nominalnya lumayan “besar”, seharusnya fasilitas yang disediakan oleh universitas harus baik dan memuaskan mahasiswa. Penerapan uang kuliah tunggal sebenarnya menguntungkan jajaran rektorat. Dengan adanya uang kuliah tunggal mereka mendapatkan semacam uang lebih atau dana yang tiba-tiba masuk ke rekening mereka dengan sendirinya. Padahal dilain pihak, yaitu masyarakat, mereka susah payah mengumpulkan uang untuk membayar uang kuliah tunggal untuk biaya kuliah anak-anaknya agar tetap dapat berkuliah di UNSOED. Uang kuliah yang susah payah mereka kumpulkan ternyata malah di selewengkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kita semua tahu, berapa besar penghasilan masyrakat yang hidup di sekitar UNSOED. Mereka yang orang tuanya hanya seorang buruh atau karyawan swasta yang penghasilanya hanya sekitar 700-900 ribu rupiah perbulan bersusah payah mengumpulkan uang untuk membayar UKT yang jumlahnya 2,4 juta saja sudah sangat berat. Itupun bila orang tuanya benar-benar serius dan optimis untuk menguliahkan anak-anaknya. Kemudian bagaimana dengan mereka yang memiliki kecerdasan dan kemampuan untuk berpikir tetapi tidak dapat meneruskan ke bangku universitas karena terganjal masalah biaya kuliah yang menurut mereka mahal dan mereka tidak mampu membayarnya. Padahal kita sendiri tahu, UNSOED adalah kampus rakyat, universitas yang merakyat, terlebih lagi banyak dosen-dosen, kemudian rektor yang bilang bahwa UNSOED adalah universitas yang paling murah di Indonesia. Tetapi buktinya apa, berdasarkan survei yang dilakukan BEM Unsoed terhadap peraturan penarikan biaya kuliah bagi mahasiswa baru Unsoed, ternyata biaya pendidikan bagi mahasiswa baru Unsoed terlalu mahal. Contohnya,  Unsoed menetapkan biaya fasilitas pendidikan untuk mahasiswa kedokteran mulai Rp 75-200 juta. Selain itu, setiap semester mahasiswa masih dikenai biaya pendidikan sebesar Rp 1.750.000, sementara di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, sumbangan peningkatan mutu akademik paling kecil ditetapkan sebesar Rp 10 juta dengan tambahan tiap semester mencapai Rp 2.300.000. Contoh tersebut, menunjukkan Unsoed lebih mahal dibandingkan dengan UGM dengan kualitas pendidikan yang lebih baik. Selain itu, jika dibandingkan dengan kampus lain di Jawa Tengah, Unsoed juga dinilai masih paling mahal[3]. Dengan kenyataan seperti itu, bagaimana anak-anak yang bercita-cita menjadi dokter dapat meraih cita-citanya sedangkan dia orang tuanya tidak mampu. Dengan kenyataan seperti itu terlihat jelas bahwa orang yang ingin menjadi dokter harus berasal dari golongan kelas atas atau orang-orang yang mempunyai materi berlebih. Seperti yang dijelaskan dalam sebuah artikel yang bejudul “10 tahun lagi Indonesia kritis dokter yang berjiwa sosial” dalam artikel ini ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Gelar S. Ramdhani terhadap mahasiswa kedokteran gigi angkatan 2011 dimana hasil penelitian itu menjelaskan bahwa mahasiswa dimasa depan prakteknya hanya berdasarkan materi todak lagi berorientasi pada jiwa sosial. Mereka takut tidak bisa balik modal karena biaya kuliah yang mereka habiskan untuk menempuh pendidikan menjadi seorang dokter sangat banyak. Dengan demikian artikel itu bisa menjadi sebuah kenyataan yang nantinya akan mempersulit masyarakat yang tidak mampu dalam hal kesehatan mereka. Yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin tertindas dalam segala bidang kehidupan.
Berikut ini adalah pendapat dan alasan masyarakat sekitar UNSOED yang tergolong masyarakat mampu tetapi tidak melanjutkan kuliah di UNSOED, yang pertama mereka lebih memilih membeli tanah atau sawah untuk kehidupannya dari pada untuk kuliah, kedua anaknya yang tidak mau kuliah karena  teman-teman di lingkunganya kebanyakan setelah lulus SMA/SMK langsung bekerja, ketiga mereka lebih memilih untuk mengkuliahkan anaknya di universitas yang menurut mereka fasilitasnya lebih maju dibandingkan dengan UNSOED. Kemudia pendapat atau alasan masyarakat yang tidak mampu,  pertama mereka mengaku tidak memiliki biaya untuk melanjutkan kuliah, kedua bagi mereka yang mempunyai anak perempuan biasanya setelah lulus SMA/SMK akan dinikahkan karena masalah ekonomi, ketiga mereka berpikiran dari pada uangnya buat biaya kuliah mendingan buat modal berdagang atau dibelikan hewan ternak. Sungguh ironis, justru masyarakat lokal sendiri yang menjadi korban perkembangan jaman di daerahnya sendiri. Mereka tidak dapat menikmati fasilitas universitas yang ada di lingkungan mereka sendiri. Mereka lama-kelamaan akan tersisihkan oleh para pendatang khususnya mahasiswa yang bersal dari luar wilayah banyumas dan purwokerto.
Saya juga mencatat beberapa komentar dari mahasiswa terkait dengan penerapan sistem UKT. Pertama dari beberapa mahasiswa FISIP yang berpendapat bahwa dengan adanya UKT akan menimbulkan KKN (Korupsi Kolusi dan Nopetisme) yangf ujung-ujungnya menguntungkan pihak rektorat. Kedua dari mahasiswa Fakultas Ekonomi dia berpendapat penerapan UKT sebagian besar menguntungkan mahasiswa karena semuanya sudah dibayarkan diawal dengan nominal yang tidak sebesar saat menggunakan sistem kredit semester. Ketiga dari mahasiswa Fakultas Hukum menurut dia UKT yang diterimanya dengan nominal sebesar 3 juta rupiah, dinilai sangat murah dan tidak menyulitkan kondisi ekonominya,  jadi dia merasa sangat diuntungkan dengan penerapan UKT. Dalam bahasan ini bisa disimpulkan bahwa pendidikan murah hanya berlaku bagi mereka yang kondisi ekonominya bagus, sedangkan bagi mereka yang kondisi ekonominya lemah mereka belum dapat merasakan pendidikan yang murah.

Memimpikan Pendidkan Murah
            Pendidikan murah adalah impian semua masyrakat, keinginan semua masyarakat khususnya bagi mereka yang tergolong masyarakat tidak mampu. Seperti yang tercantum didalam undang-undang dasar negara republik Indonesia tentang pendidikan dan kebudayaan pasal 31 ayat (1) Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidkan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa , yang diatur dalam undang-undang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran dan pendapatan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Dengan adanya peraturan seperti itu seharusnya pendidikan yang murah dapat terealisasikan dengan baik, namun kenyataannya sekarang ini mulai dari sekolah dasar negeri saja sudah mulai menerapkan sistem beli bangku agar sang anak dapat bersekolah di sekolahan favorit. Mereka berlomba-lomba memberikan uang sukarela agar dapat membeli kursi di sekolahan tersebut. Bayangkan saja, di sekolah dasar saja yang sebenarnya masuk dalam peraturan wajib belajar 9 tahun yang seharusnya pendidikannya gratis justru terjadi sistem semacam itu, kemudian bagaimana nasib orang-orang yang hanya mengandalkan bantuan pemerintah. Mereka hanya mampu menyekolahkan anak-anak mereka di sekolahan yang fasilitasnya apa adanya dengan kondisi yang memprihatinkan dan kenyataan itulah yang terjadi di Purwokerto. Dimana terjadi sekat-sekat antara golongan kelas bawah dan golongan kelas atas. Mereka yang tergolong kelas atas akan menyekolahkan anak-anaknya di sekolahan yang favorit sedangkan anak-anak orang kelas bawah tidak akan bisa masuk ke sekolahan favorit karena biaya masuknya yang sangat tinggi. Kalau kejadian semacam itu terjadinya pada sekolahan swata itu tergolong lumrah, karena alasan “semua ditanggung sendiri”[4]. Namun kejadian seperti itu justru terjadinya di sekolahan-sekolahan yang notabennya sekolahan negeri bahkan sampai ketingkat universitas. Karena terdengar beberapa slentingan orang-orang yang mengatakan bahwa untuk bisa masuk ke perguruan tinggu negeri ternama konon harus beli kursi hingga puluhan sampai ratusan juta rupiah[5]. Seandainya slentingan itu benar, dan terjadi di Universitas Jenderal Soedirman, yang notabenya kampus rakyat, sunggung sangat memprihatinkan sekali. Sebenarnya bila kita melihat berdasarkan undang-undang dasar, pemerintah harus mengalokasikan dana minimal 20% untuk biaya pendidkan. Namun kenyataanya itu bagaikan mimpi di siang bolong karena biaya yang di realisasikan sekarang ini hanya sekitar 8%. Kemudaan kemana yang 12%?
   Orang-orang miskin yang mempunyai keuletan dan kedisiplinan tentunya akan membuat mereka sukses dalam kehidupanya, namun di Indonesia sendiri orang akan dinilai sukses dilihat dari segi ekonomi dan jabatan yang diperolehnya. Sementara masyrakat menilai  itu semua dapat diraih asalkan melalui pendidikan yang tinggi. Karena pendidikan ditafsirkan hanya untuk mengejar selembar sertifikat atau ijazah yang diakuinya dengan sekuat tenaga bahkan dengan berbagai cara termasuk cara-cara yang licik[6]. Bila cara-cara licik itu juga terjadi di UNSOED seperti misalnya menyuap dosen agar mendapatkan nilai yang bagus, maka setelah lulus orang tersebut akan menjadi orang yang suka dalam menggunakan cara-cara licik untuk menyelesaikan suatu masalah. Semoga saja di UNSOED tidak ada kecurangan dan semuanya jujur dan dilakukan dengan benar.
Dengan adanya kasus-kasus semacam itu hendaknya kita dapat memberikan solusi agar pendidikan yang murah dapat terealisasikan dengan baik. Seperti menggunakan sistem pendidikan yang multikultural. Kenapa harus multikultural, berikut adalah pertimbangan yang digunakan untuk membentuk pendidikan multikultural layak diapresiasikan adalah pertama, realitas bahwa indonesia adalah negara yang dihuni oleh berbagai suku, berbagai bangsa, berbagai etnis dengan bahasa yang beragam dan membawa budaya yang heterogen serta tradisi dan peradaban yang beraneka ragam. Kedua, secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Ketiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang berorientasi bisnis, komersialis, dan kapitalis. Keempat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kelima, pendidikan multikurtural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini[7]. Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang sangat bertolak belakang dengan orientasi bisnis. Karena pendidikan multikultural merupakan sebuah model pendidikan yang sarat nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai sosial, nilai-nilai keamalan, dan nilai-nilai ketuhanan[8]. Selain itu pemerintah juga harus menambah anggaran untuk pendidikan dan harus benar-benar mengawasinya dengan baik supaya berjalan dengan lancar dan tidak ada dana yang mengalir ke kantong-kantong orang yang tidak bertanggung jawab.

Kehidupan Masyarakat Sekitar UNSOED
Sekarang ini semakin banyak saja anak kecil memilih mengamen di sekitar kampus, demi seribu dan dua ribu rupiah hanya untuk keluarganya. Tak jauh pula dari kampus Unsoed, di dukuh Jumbul anak-anak berteriak “SaveSoedirman” menaruh harap pada hadirnya semangat Jendral Soedirman pengayom rakyat untuk mewujudkan Unsoed  kembali menjadi kampus rakyat, tempat kelak mereka mewujudkan cita-cita[9]. Adapun kita acap kali mencaci maki koruptor dan politisi, sering pula kita memaki Polisi. Nyatanya kita adalah pencaci dan pemaki ulung, yang sebenarnya sama tengah mengeluh pada dunia yang sudah terlanjur gila. Sama seperti pengamen dan anak-anak jalanan yang tak lagi punya daya kecuali berbagi rasa dengan lagu-lagunya. Negeri ini tengah putus asa, sistem menindas dan kebejatan penguasa tumbuh kembang tak ada yang menghambatnya[10]. Anak-anak yang hidup disekitar UNSOED itu bisa saja terlepas dari kontrol sosial karena himpitan ekonomi yang menjerat keluarga mereka. Seandainya anak-anak itu terlepas dari kontrol sosial, ujung-ujungnya akan merugikan mahasiswa dan mahasiswi yang berkuliah di UNSOED. Mereka bisa menjadi korban kenakalan anak-anak yang terlepas dari kontrol sosial. Untuk itulah dalam mendidik anak, ada renungan yang disampaikan Prof. Sartini (Kedaulatan Rakyat, 14 Mei 2006) bagi orang tua untuk mendidik anak-anaknya supaya mengalami tumbuh kembang yang baik  yaitu:
1.      Jika anak biasa dicela, maka dia akan terbiasa menyalahkan.
2.      Jika anak terbiasa dimususuhi, maka ia akan terbiasa menentang.
3.      Jika anak dihantui ketakutan, maka ia akan terbiasa merasa cemas.
4.      Jika anak banyak dikasihani, maka ia akan terbiasa meratapi nasib.
5.      Jika anak sering diolok-olok, maka ia akan terbiasa menjadi pemalu.
6.      Jika anak dikitari rasa iri, maka ia akan terbiasa merasa berslah.
7.      Jika anak serba dimengerti, maka ia akan terbiasa menjadi penyabar.
8.      Jika anak banyak diberi dorongan, maka ia akan terbiasa percaya diri.
9.      Jika anak banyak dipuji, maka ia akan terbiasa menghargai.
10. Jika anak diterima di lingkunganya, maka ia akan terbiasa menyanyang.
11. Jika anak sering disalahkan, maka ia akan terbiasa senang menjadi dirinya sendiri.
12. Jika anak mendapat pengakuan dari kiri kanan, maka ia akan terbiasa menetapkan arah langkahya.
13. Jika anak diberlakukan dengan jujur, maka ia akan terbiasa melihat kebenaran.
14. Jika anak ditimang tanpa dengan berat sebelah, maka ia akan terbiasa melihat keadilan.
15. Jika anak mngenyam rasa aman, maka ia akan terbiasa mengandalkan diri dan memprcayai orang sekitar.
16. Jika anak dikerumuni keramahan, maka ia akan terbiasa berpendirian “sunggung indah dunia ini”[11].
Yang terjadi sekarang ini justru orang tuanyalah yang mengajari dan memerintah mereka mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Entah dengan cara mengamen, berjualan koran, atau menjadi kuli di pasar-pasar. Pekerjaan semacam itu dijinkan oleh orang tuanya asalkan tidak berurusan dengan kepolisian. Seorang warga mengatakan membiarkan anak-anaknya mencari uang untuk tambahan jajan mereka sendiri yang penting halal dan tidak merugikan orang lain. Kalaupun bisa jangan meninggalakan bangku sekolah saat mencari uang. Itulah gambaran masyarakat yang hidup di lingkungan Universitas Jenderal Soedirman, mereka bisa dikatakan menjadi masyarakat yang terpinggirkan di daerahnya sendiri oleh para pendatang. Masyarakat sekitar UNDOED pekerjaanya kebanyakan menjadi tukang becak, buruh tani, kuli bangunan, pedagang, dan sopir angkutan umum. Secara tidak disengaja, mereka menjadi pelayan di daerahnya sendiri. Mereka menjadi pelayan bagi para mahasiswa yang berkuliah di UNSOED. Hal itu tidak akan menjadi masalah jika manusia memiliki pikiran yang positif atau baik. Didalam bukunya yang berjudul “ Motivation and Personality, (1940: 340)” dijelaskan bahwa sifat dasar manusia adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang dianggap netral atau baik, dan bukan jahat. Kebutuhan tersebut adalah (a) kebutuhan fisiologis, seperti makan, minum, istirahat dan kebutuhan dasar lainya yang harus dipenuhi manusia agar tetap hidup, (b) kebutuhan akan rasa aman, seperti kebutuhan akan tempat tinggal dan pekerjaan yang permanen, (c) kebutuhan akan rasa kasih sayang, seperti hubungan dengan orang lain yang didasari oleh rasa kasih sayang dan cinta, (d) kebutuhan akan harga diri, seperti keinginan agar dihargai sebagai anggota masyarakat, warga negara, dan anggota suatu kelompok organisasi, (e) kebutuhan akan akulturasi diri seperti kesempurnaan, keindahan, keadilan, dan kebermaknaan[12]. Dengan kelima aspek tersebut, masyarakat dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya.

Penutup
            Penerapan uang kuliah tunggal (UKT) menimbulkan dampak yang sangat banyak, bukan hanya kepada mahasiswa tetapi juga ke masyarakat. Penerapan sistem UKT mempermudah mahasiswa dalam melakukan pembayaran dan memberi keringanan mahasiswa saat masuk ke universitas. Karena jumlah uang yang dibayarkan tidak sebesar saat menggunakan sistem kredit semester yang harus membayar uang sumbangan murni. Namun nominal UKT yang terlalu besar juga menjadi kendala tersendiri untuk mahasiswa dan menimbulkan kecurigaan terjadinya korupsi di kantor rektorat. Besarnya nominal UKT juga menyebabkan masyarakat sekitar UNSOED tidak dapat menguliahkan anak-anaknya di UNSOED karena masalah biaya. Dengan demikian  masyarakat sekitar UNSOED tidak dapat berkuliah di peguruan tinggi sampai kapanpun kalau nominal UKTnya seperti sekarang ini. Masyarakat sekitar UNSOED akan lebih menderita dengan berjalanya waktu jika tidak ada perbaikan dalam dunia pendidikan yang dapat menguntungkan mereka, membantu mereka untuk dapat menikmati pendidkan di perguruan tinggi. Agar mereka dapat merubah nasib keluarganya dan keturunannya.

Bibliografi
Dawam, Ainurrofiq. 2003.  “ Emoh Sekolah”, Jogjakarta: Inspeal Ahimsakarya press
Susilo, Joko M. 2007. “ Pembodohan Siswa Tersistematis”, Yogyakarta: Pinus Book Publisher
Yekti, dan kawan-kawan. “ Unsoed Nekat Tarik UKT Tingan Diawal, Mencekik Diakhir”, AGRICA, 02 juli 2012 dalam
Andrianto, Aris. “Unsoed Dinilai Kampus Termahal di Jawa Tengah”, Tempo interaktif.com, 26 mei 2011 dalam  http://www.tempo.co/read/news/2011/05/26/177336913/Unsoed-Dinilai-Kampus-Termahal-di-Jawa-Tengah rabu tanggal 09/01/2013 (diakses 9 januari 2013)
Santoso, Urip.  “ Uang Kuliah Tunggal”, jurnal urip santoso, 18 desember 2012 dalam http://uripsantoso.wordpress.com/2012/12/18/uang-kuliah-tunggal/ (diakses 9 januari 2013 pukul 00.20)
Mahasiswa, “ save soedirman dan kerendahan hati”, Blog resmi save soedirman, 4 november 2012, http://www.savesoedirman.com/2012/11/savesoedirman-dan-kerendah-hati.html hari kamis tanggal 10//01/2013(diakses tanggal 9 januari 2012)



[2] Urip sentosa, “ Uang Kuliah Tunggal”, jurnal urip santoso, 18 desember 2012 dalam http://uripsantoso.wordpress.com/2012/12/18/uang-kuliah-tunggal/ (diakses 9 januari 2013 pukul 00.20)
[3]Aris andrianto, “Unsoed Dinilai Kampus Termahal di Jawa Tengah”,Tempo interaktif.com, 26 mei 2011 dalam  http://www.tempo.co/read/news/2011/05/26/177336913/Unsoed-Dinilai-Kampus-Termahal-di-Jawa-Tengah rabu tanggal 09/01/2013 (di akses 9 januari 2013)
[4] Ainurrofiq Dawam, “ Emoh Sekolah”, (Jogjakarta: ”Inspeal Ahimsakarya press”, 2003), hlm 39
[5] Ainurrofiq Dawam, “ Emoh Sekolah”, (Jogjakarta: ”Inspeal Ahimsakarya press”, 2003), hlm 30
[6] Ibid, hlm 31
[7]Ainurrofiq Dawam, “ Emoh Sekolah”, (Jogjakarta: ”Inspeal Ahimsakarya press”, 2003), 170
[8] Ibid, hlm 170
[9] Mahasiswa, “ save soedirman dan kerendahan hati”, Blog resmi save soedirman, 4 november 2012, http://www.savesoedirman.com/2012/11/savesoedirman-dan-kerendah-hati.html hari kamis tanggal 10//01/2013(diakses tanggal 9 januari 2012)
[10] Mahasiswa, “ save soedirman dan kerendahan hati”, Blog resmi save soedirman, 4 november 2012, http://www.savesoedirman.com/2012/11/savesoedirman-dan-kerendah-hati.html hari kamis tanggal 10//01/2013(diakses tanggal 9 januari 2012)
[11] M. Joko Susilo, “ Pembodohan Siswa Tersistematis”, ( Yogyakarta: “Pinus Book Publisher”), hlm 72
[12] Ainurrofiq Dawam, “ Emoh Sekolah”, (Jogjakarta: ”Inspeal Ahimsakarya press”, 2003), hlm 75

4 comments: