Studi ini akan menganalisis tentang
dampak penerapan kebijakan uang kuliah tunggal di Universitas Jenderal
Seodirman terhadap masyarakat setempat. Kebijakan UKT dinilai menimbulkan
banyak permasalahan yang mempunyai dampak terhadap masyarakat sekitar UNSOED.
Uang kuliah tunggal (UKT) pada hakikatnya merupakan kebijakan yang baik yaitu
untuk meringankan beban biaya kuliah yang ditanggung mahasiswa pada awal masuk
perkuliahan, tetapi kebijaka tersebut dislewengkan oleh sebagaian orang dalam
hal ini adalah rektorat yang mengambil keuntungan dari penerapan sistem UKT.
Dampak dari penerapan sistem UKT yang jumlah nominalnya berbeda-beda meneyebkan
masyarakat disekitar UNSOED yang notabennya tergolong masyarakat kurang mampu
tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi. Hal itu dapat dilihat dari dominanya m-undang
dasar 1945 yang mengatur tentang
pendidikan dan kebudayaan, telah mengatur jelas tentang sistem
pendidikan nasional yang baik. Namun UKT yang diterapkan oleh UNSOED tergolong
sedikit ahasiswa
yang berasal dari luar daerah purwokerto, sedangkan dari daerah purwokerto itu
sendiri lebih memilih bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya yang
tergolong tidak mampu. Kesalahan sitem pendidikan yang terjadi sekarang ini,
sebenarnya dapat kita atasi dengan sitem pendidikan yang multikulturalisme.
Yaitu pendidikan yang mengacu pada
nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai sosial, dan nilai-nilai ketuhan. Pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang sangat bertolak belakang dengan orientasi
bisnis. Dalam pasal 31 undang menyimpang dari undang-undang tersebut. Kehidupan
masayrakat sekitar UNSOED yang tergolong sederhana dengan penerapan UKT yang
seperti itu semakin menambah penderitaan untuk mereka. Mereka yang seharusnya
dapat hidup nyaman didaerahnya sendiri justru harus bergelut dengan kondisi
ekonomi yang menjerat kehidupan mereka.
Pendahuluan
Sekarang ini diberlakukanya sistem UKT
(Uang Kuliah Tunggal) di Universitas Jenderal Soedirman, sebenarnya meringankan
mahasiswa pada saat awal masuk perkuliahan. Nominal yang tidak terlalu besar
pada awal perkuliahan membuat orang tua dari mahasiswa merasa ringan untuk
membayarnya. Namun, setelah orang tua mahasiswa mengetahui bahwa UKT itu di
bayarkan setiap semester dengan nominal yang sama seperti pada semester awal, ternyata
setelah dihitung-hitung, biayanya menjadi lebih mahal dari pada sebelum
menggunakan sistem UKT. Ditambah lagi dengan adanya sumbangan murni yang juga
dibayarkan setiap semester oleh mahasiswa yang apabila pada awal masuk
perkuliahan memberikan sumbangan murni. Jadi sumbangan murni dan UKT dibyarkan
setiap semester dan itu jelas sangat memberatkan mahasiswa. Mahasiswa banyak
yang tidak tau pada awal masuk kuliah kalau UKT dan sumbangan murni itu
dibayarkan setiap semester. Kita semua mengetahiu bahwa UNSOED adalah kampus
rakyat, universitas yang visi dan misinya mengacu pada kehidupan di pedesaan.
Namun apabila biaya kuliah UNSOED begitu mahal, bagaimana orang-orang di
sekitar UNSOED yang notabene kelas menengah bawah dapat menguliahkan
anak-anaknya di UNSOED. Sebenarnya banyak masyarakat sekitar UNSOED yang
mempunyai keinginan dan potensi yang bagus. Namun mereka terhalangi oleh
masalah biaya kuliah yang mahal. Andai saja Universitas kesayangan kita,
kebanggaan kita, yaitu Universitas Jenderal Sedirman biaya kuliahnya murah dan
bisa terjangkau oleh masyarakat sekitar UNSOED, tentu saja akan ada lebih
banyak generasi muda yang dapat melanjutkan pendidikanya dan dapat merubah
nasibnya. Saya harap dengan jurnal saya ini dapat membantu perjuangan rekan-rekan
yang sedang berusaha menurunkan nominal UKT dan menghapuskan sumbangan murni.
Saya harap para dosen, dekan, bahkan rektor dapat membaca jurnal saya ini
supaya mereka dapat mempertimbangkan masyarakat sekitar dan mahasiswa pada
setiap pengambilan keputusan dan kebijakan khususnya soal biaya kuliah.
Penerapan Uang Kuliah Tunggal (UKT)
Uang kuliah tunggal atau yang biasa
disebut UKT merupakan sistem pembayaran biaya perkuliahan yang baru diterapkan
oleh UNSOED. Uang kuliah tunggal
merupakan tarif yang dihitung dari unit cost. Unit cost merupakan komponen
biaya operasional yang diperlukan untuk proses pembelajaran dan utilitasnya
disetiap wilayah di luar biaya investasi. Dengan penerapan uang kuliah tunggal,
maka penggunaan akun pada penerimaan pendidikan lainya dapat berubah.
Padahal Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Muhammad Nuh dalam berbagai media online mengakui jika kebijakan penggunaan UKT belum dapat terlaksana karena sosialisasi
belum selesai dilakukan dan persiapan yang belum matang. Alhasil UKT
ditangguhkan hingga tahun 2013[1].
Namun seperti yang kita ketahui UNSOED sendiri telah menerapkan UKT pada tahun
2012, padahal UKT sendiri sebenarnya dilaksanakan harusnya di tahun 2013. UNSOED
sendiri beralasan ditangguhkan bukan berarti tidak boleh, melainkan hukumnya
sunah. Pengertian UKT sendiri adalah uang kuliah tunggal yaitu pembayaran semua
kebutuhan mahasiswa hanya dilakukan sekali dalam setiap semester dengan nominal
yang sama setiap semesternya. Mahasiswa juga dengan adanya UKT menjadi tidak
dibebankan untuk membayar biaya yang lainya lagi seperti pembayaran jurnal dan
uang perpustakaan fakultas. UNSOED sendiri menerapkan sistem UKT dengan nominal
yang berbeda-beda untuk mahasiswa baru angkatan 2012, mulai dari 2,4 juta, 3
juta, 4 juta, 8 juta, sampai 15 juta untuk fakultas kedokteran. Terjadinya
nominal UKT yang berbeda-beda disebabkan jalur masuk perkuliahan yang diambil
mahasiswa berbeda. UNSOED sendiri menerapkan beberapa jalur masuk perguruan
tinggi antara lain, jalur SNMPTN undangan, jalur SNMPTN tulis, dan SMPMB Lokal.
Berikut adalah keuntungan dan kerugian menggunakan sistem uang kuliah tunggal.
Keuntungan menggunakan sistem UKT yaitu: (1) Mahasiswa lebih praktis dalam membayar
uang kuliah, (2) Uang kuliah tunggal dapat
menghilangkan perbedaan keluaran biaya kuliah berdasarkan status sosial, (3)
Orang tua mahasiswa dapat mengetahui biaya apa saja yang dikeluarkan selama
satu semester, (4) Pemerintah dapat mengetahui secara jelas jumlah biaya yang
dapat disubsidikan kepada perguruan tinggi negeri dalam bentuk BOPTN. Kemudia
kerugian dalam penggunaan UKT yaitu: (1) Biaya kuliah terkesan lebih mahal
karena semuanya dibayarkan diawal,(2) Akan terjadi program studi elitis dan ada
pula yang terkesan program studi murah, (3) PTN di daerah bisa semakin
termarjinalkan[2].
Pembayaran dengan sistem UKT
sebenarnya meringankan mahasiswa pada awal masuknya, namun berkat kekritisan
beberapa mahasiswa yang menghitung-hitung biaya kuliah menggunakan sistem UKT
selama 8 semester ternyata hasilnya mengejutkan dan ternyata lebih mahal dari sistem
yang sebelumya yaitu SKS. Setelah dihitung-hitung jika menggunakan sistem SKS
dalam 8 semester mahasiswa menghabiskan uang sebanyak 17,5 juta, tetapi jika
menggunakan sistem UKT dan uang UKTnya sebesar 2,4 juta selama 8 semester maka
menghabiskan uang sebanyak 19,2 juta dan itu baru yang nominal UKTnya 2,4 juta,
bagaimana dengan mahasiswa yang nominal UKTnya diatas 2,4 juta? Ditambah lagi
ada mahasiswa yang juga ditarik uang sumbangan sebagai salah satu syarat masuk
perguruan tinggi. Mungkin uang segitu terlihat kecil untuk orang-orang kaya,
untuk mahasiswa yang berasal dari luar wilayah Purwokerto seperti dari Bandung,
Bekasi, Bogor, Jakarta. Mahasiswa yang berasal dari daerah tersebut beranggapan
nominal UKT yang sekian termasuk kecil dan memudahkan mereka untuk dapat
berkuliah di UNSOED. Uang muka yang ringan dan tidak ada penarikan biaya lainya
membuat UNSOED lebih didominasi oleh mahasiswa dari luar wilayah Purwokerto
bukannya oleh mahasiswa dari daerah Purwokerto sendiri. Terus masyarakat sekitar
UNSOED sendiri kemana? Kenapa mereka tidak dapat meneruskan kuliah di UNSOED
yang terkenal dengan sebutanya sebagai kampus rakyat, universitas yang mengacu
kearah pedesaan.
Rektorat Bersorak, Masyarakat Berteriak
Dengan
diterapkanya uang kuliah tunggal di UNSOED, tentunya membuat pendapatan atau
pemasukan dana untuk operasional pendidikan di universitas semakin banyak.
Dengan dana dari uang kuliah tunggal yang nominalnya lumayan “besar”,
seharusnya fasilitas yang disediakan oleh universitas harus baik dan memuaskan
mahasiswa. Penerapan uang kuliah tunggal sebenarnya menguntungkan jajaran
rektorat. Dengan adanya uang kuliah tunggal mereka mendapatkan semacam uang
lebih atau dana yang tiba-tiba masuk ke rekening mereka dengan sendirinya.
Padahal dilain pihak, yaitu masyarakat, mereka susah payah mengumpulkan uang
untuk membayar uang kuliah tunggal untuk biaya kuliah anak-anaknya agar tetap
dapat berkuliah di UNSOED. Uang kuliah yang susah payah mereka kumpulkan ternyata
malah di selewengkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kita semua
tahu, berapa besar penghasilan masyrakat yang hidup di sekitar UNSOED. Mereka
yang orang tuanya hanya seorang buruh atau karyawan swasta yang penghasilanya
hanya sekitar 700-900 ribu rupiah perbulan bersusah payah mengumpulkan uang
untuk membayar UKT yang jumlahnya 2,4 juta saja sudah sangat berat. Itupun bila
orang tuanya benar-benar serius dan optimis untuk menguliahkan anak-anaknya.
Kemudian bagaimana dengan mereka yang memiliki kecerdasan dan kemampuan untuk
berpikir tetapi tidak dapat meneruskan ke bangku universitas karena terganjal
masalah biaya kuliah yang menurut mereka mahal dan mereka tidak mampu
membayarnya. Padahal kita sendiri tahu, UNSOED adalah kampus rakyat,
universitas yang merakyat, terlebih lagi banyak dosen-dosen, kemudian rektor
yang bilang bahwa UNSOED adalah universitas yang paling murah di Indonesia.
Tetapi buktinya apa, berdasarkan survei yang
dilakukan BEM Unsoed terhadap peraturan penarikan biaya kuliah bagi mahasiswa
baru Unsoed, ternyata biaya pendidikan bagi mahasiswa baru Unsoed terlalu
mahal. Contohnya, Unsoed menetapkan
biaya fasilitas pendidikan untuk mahasiswa kedokteran mulai Rp 75-200 juta. Selain
itu, setiap semester mahasiswa masih dikenai biaya pendidikan sebesar Rp
1.750.000, sementara di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, sumbangan
peningkatan mutu akademik paling kecil ditetapkan sebesar Rp 10 juta dengan
tambahan tiap semester mencapai Rp 2.300.000. Contoh tersebut, menunjukkan
Unsoed lebih mahal dibandingkan dengan UGM dengan kualitas pendidikan yang
lebih baik. Selain itu, jika dibandingkan dengan kampus lain di Jawa Tengah,
Unsoed juga dinilai masih paling mahal[3].
Dengan kenyataan seperti itu, bagaimana anak-anak yang bercita-cita menjadi
dokter dapat meraih cita-citanya sedangkan dia orang tuanya tidak mampu. Dengan
kenyataan seperti itu terlihat jelas bahwa orang yang ingin menjadi dokter
harus berasal dari golongan kelas atas atau orang-orang yang mempunyai materi
berlebih. Seperti yang dijelaskan dalam sebuah artikel yang bejudul “10 tahun
lagi Indonesia kritis dokter yang berjiwa sosial” dalam artikel ini ada sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Gelar S. Ramdhani terhadap mahasiswa kedokteran
gigi angkatan 2011 dimana hasil penelitian itu menjelaskan bahwa mahasiswa
dimasa depan prakteknya hanya berdasarkan materi todak lagi berorientasi pada
jiwa sosial. Mereka takut tidak bisa balik modal karena biaya kuliah yang
mereka habiskan untuk menempuh pendidikan menjadi seorang dokter sangat banyak.
Dengan demikian artikel itu bisa menjadi sebuah kenyataan yang nantinya akan
mempersulit masyarakat yang tidak mampu dalam hal kesehatan mereka. Yang kaya
akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin tertindas dalam segala bidang
kehidupan.
Berikut ini adalah
pendapat dan alasan masyarakat sekitar UNSOED yang tergolong masyarakat mampu
tetapi tidak melanjutkan kuliah di UNSOED, yang pertama mereka lebih memilih
membeli tanah atau sawah untuk kehidupannya dari pada untuk kuliah, kedua
anaknya yang tidak mau kuliah karena
teman-teman di lingkunganya kebanyakan setelah lulus SMA/SMK langsung
bekerja, ketiga mereka lebih memilih untuk mengkuliahkan anaknya di universitas
yang menurut mereka fasilitasnya lebih maju dibandingkan dengan UNSOED. Kemudia
pendapat atau alasan masyarakat yang tidak mampu, pertama mereka mengaku tidak memiliki biaya
untuk melanjutkan kuliah, kedua bagi mereka yang mempunyai anak perempuan
biasanya setelah lulus SMA/SMK akan dinikahkan karena masalah ekonomi, ketiga
mereka berpikiran dari pada uangnya buat biaya kuliah mendingan buat modal
berdagang atau dibelikan hewan ternak. Sungguh ironis, justru masyarakat lokal
sendiri yang menjadi korban perkembangan jaman di daerahnya sendiri. Mereka
tidak dapat menikmati fasilitas universitas yang ada di lingkungan mereka
sendiri. Mereka lama-kelamaan akan tersisihkan oleh para pendatang khususnya
mahasiswa yang bersal dari luar wilayah banyumas dan purwokerto.
Saya juga mencatat
beberapa komentar dari mahasiswa terkait dengan penerapan sistem UKT. Pertama
dari beberapa mahasiswa FISIP yang berpendapat bahwa dengan adanya UKT akan
menimbulkan KKN (Korupsi Kolusi dan Nopetisme) yangf ujung-ujungnya
menguntungkan pihak rektorat. Kedua dari mahasiswa Fakultas Ekonomi dia
berpendapat penerapan UKT sebagian besar menguntungkan mahasiswa karena
semuanya sudah dibayarkan diawal dengan nominal yang tidak sebesar saat
menggunakan sistem kredit semester. Ketiga dari mahasiswa Fakultas Hukum
menurut dia UKT yang diterimanya dengan nominal sebesar 3 juta rupiah, dinilai
sangat murah dan tidak menyulitkan kondisi ekonominya, jadi dia merasa sangat diuntungkan dengan
penerapan UKT. Dalam bahasan ini bisa disimpulkan bahwa pendidikan murah hanya
berlaku bagi mereka yang kondisi ekonominya bagus, sedangkan bagi mereka yang
kondisi ekonominya lemah mereka belum dapat merasakan pendidikan yang murah.
Memimpikan Pendidkan Murah
Pendidikan
murah adalah impian semua masyrakat, keinginan semua masyarakat khususnya bagi
mereka yang tergolong masyarakat tidak mampu. Seperti yang tercantum didalam
undang-undang dasar negara republik Indonesia tentang pendidikan dan kebudayaan
pasal 31 ayat (1) Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. (2)
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidkan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa , yang diatur dalam
undang-undang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran dan pendapatan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Dengan adanya
peraturan seperti itu seharusnya pendidikan yang murah dapat terealisasikan
dengan baik, namun kenyataannya sekarang ini mulai dari sekolah dasar negeri
saja sudah mulai menerapkan sistem beli bangku agar sang anak dapat bersekolah
di sekolahan favorit. Mereka berlomba-lomba memberikan uang sukarela agar dapat
membeli kursi di sekolahan tersebut. Bayangkan saja, di sekolah dasar saja yang
sebenarnya masuk dalam peraturan wajib belajar 9 tahun yang seharusnya pendidikannya
gratis justru terjadi sistem semacam itu, kemudian bagaimana nasib orang-orang
yang hanya mengandalkan bantuan pemerintah. Mereka hanya mampu menyekolahkan
anak-anak mereka di sekolahan yang fasilitasnya apa adanya dengan kondisi yang
memprihatinkan dan kenyataan itulah yang terjadi di Purwokerto. Dimana terjadi
sekat-sekat antara golongan kelas bawah dan golongan kelas atas. Mereka yang
tergolong kelas atas akan menyekolahkan anak-anaknya di sekolahan yang favorit
sedangkan anak-anak orang kelas bawah tidak akan bisa masuk ke sekolahan
favorit karena biaya masuknya yang sangat tinggi. Kalau kejadian semacam itu
terjadinya pada sekolahan swata itu tergolong lumrah, karena alasan “semua
ditanggung sendiri”[4].
Namun kejadian seperti itu justru terjadinya di sekolahan-sekolahan yang
notabennya sekolahan negeri bahkan sampai ketingkat universitas. Karena
terdengar beberapa slentingan orang-orang yang mengatakan bahwa untuk bisa
masuk ke perguruan tinggu negeri ternama konon harus beli kursi hingga puluhan
sampai ratusan juta rupiah[5].
Seandainya slentingan itu benar, dan terjadi di Universitas Jenderal Soedirman,
yang notabenya kampus rakyat, sunggung sangat memprihatinkan sekali. Sebenarnya
bila kita melihat berdasarkan undang-undang dasar, pemerintah harus
mengalokasikan dana minimal 20% untuk biaya pendidkan. Namun kenyataanya itu
bagaikan mimpi di siang bolong karena biaya yang di realisasikan sekarang ini
hanya sekitar 8%. Kemudaan kemana yang 12%?
Orang-orang miskin yang mempunyai keuletan
dan kedisiplinan tentunya akan membuat mereka sukses dalam kehidupanya, namun
di Indonesia sendiri orang akan dinilai sukses dilihat dari segi ekonomi dan
jabatan yang diperolehnya. Sementara masyrakat menilai itu semua dapat diraih asalkan melalui
pendidikan yang tinggi. Karena pendidikan ditafsirkan hanya untuk mengejar
selembar sertifikat atau ijazah yang diakuinya dengan sekuat tenaga bahkan
dengan berbagai cara termasuk cara-cara yang licik[6].
Bila cara-cara licik itu juga terjadi di UNSOED seperti misalnya menyuap dosen
agar mendapatkan nilai yang bagus, maka setelah lulus orang tersebut akan
menjadi orang yang suka dalam menggunakan cara-cara licik untuk menyelesaikan
suatu masalah. Semoga saja di UNSOED tidak ada kecurangan dan semuanya jujur
dan dilakukan dengan benar.
Dengan adanya
kasus-kasus semacam itu hendaknya kita dapat memberikan solusi agar pendidikan
yang murah dapat terealisasikan dengan baik. Seperti menggunakan sistem
pendidikan yang multikultural. Kenapa harus multikultural, berikut adalah
pertimbangan yang digunakan untuk membentuk pendidikan multikultural layak
diapresiasikan adalah pertama, realitas bahwa indonesia adalah negara yang
dihuni oleh berbagai suku, berbagai bangsa, berbagai etnis dengan bahasa yang
beragam dan membawa budaya yang heterogen serta tradisi dan peradaban yang
beraneka ragam. Kedua, secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada.
Ketiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang berorientasi bisnis,
komersialis, dan kapitalis. Keempat, pendidikan multikultural sebagai
resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kelima,
pendidikan multikurtural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai
gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini[7].
Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang sangat bertolak belakang dengan
orientasi bisnis. Karena pendidikan multikultural merupakan sebuah model
pendidikan yang sarat nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai sosial, nilai-nilai
keamalan, dan nilai-nilai ketuhanan[8].
Selain itu pemerintah juga harus menambah anggaran untuk pendidikan dan harus
benar-benar mengawasinya dengan baik supaya berjalan dengan lancar dan tidak
ada dana yang mengalir ke kantong-kantong orang yang tidak bertanggung jawab.
Kehidupan Masyarakat Sekitar UNSOED
Sekarang ini semakin
banyak saja anak kecil memilih mengamen di sekitar kampus, demi seribu dan dua
ribu rupiah hanya untuk keluarganya. Tak jauh pula dari kampus Unsoed, di dukuh
Jumbul anak-anak berteriak “SaveSoedirman” menaruh harap pada hadirnya semangat
Jendral Soedirman pengayom rakyat untuk mewujudkan Unsoed kembali menjadi kampus rakyat, tempat kelak
mereka mewujudkan cita-cita[9].
Adapun kita acap kali mencaci maki koruptor dan politisi, sering pula kita
memaki Polisi. Nyatanya kita adalah pencaci dan pemaki ulung, yang sebenarnya
sama tengah mengeluh pada dunia yang sudah terlanjur gila. Sama seperti
pengamen dan anak-anak jalanan yang tak lagi punya daya kecuali berbagi rasa
dengan lagu-lagunya. Negeri ini tengah putus asa, sistem menindas dan kebejatan
penguasa tumbuh kembang tak ada yang menghambatnya[10].
Anak-anak yang hidup disekitar UNSOED itu bisa saja terlepas dari kontrol
sosial karena himpitan ekonomi yang menjerat keluarga mereka. Seandainya
anak-anak itu terlepas dari kontrol sosial, ujung-ujungnya akan merugikan
mahasiswa dan mahasiswi yang berkuliah di UNSOED. Mereka bisa menjadi korban
kenakalan anak-anak yang terlepas dari kontrol sosial. Untuk itulah dalam
mendidik anak, ada renungan yang disampaikan Prof. Sartini (Kedaulatan Rakyat,
14 Mei 2006) bagi orang tua untuk mendidik anak-anaknya supaya mengalami tumbuh
kembang yang baik yaitu:
1. Jika anak biasa dicela, maka dia akan terbiasa menyalahkan.
2. Jika anak terbiasa dimususuhi, maka ia akan terbiasa menentang.
3. Jika anak dihantui ketakutan, maka ia akan terbiasa merasa cemas.
4. Jika anak banyak dikasihani, maka ia akan terbiasa meratapi nasib.
5. Jika anak sering diolok-olok, maka ia akan terbiasa menjadi pemalu.
6. Jika anak dikitari rasa iri, maka ia akan terbiasa merasa berslah.
7. Jika anak serba dimengerti, maka ia akan terbiasa menjadi penyabar.
8. Jika anak banyak diberi dorongan, maka ia akan terbiasa percaya diri.
9. Jika anak banyak dipuji, maka ia akan terbiasa menghargai.
10. Jika anak diterima di lingkunganya, maka ia akan terbiasa menyanyang.
11. Jika anak sering disalahkan, maka ia akan terbiasa senang menjadi dirinya
sendiri.
12. Jika anak mendapat pengakuan dari kiri kanan, maka ia akan terbiasa
menetapkan arah langkahya.
13. Jika anak diberlakukan dengan jujur, maka ia akan terbiasa melihat
kebenaran.
14. Jika anak ditimang tanpa dengan berat sebelah, maka ia akan terbiasa
melihat keadilan.
15. Jika anak mngenyam rasa aman, maka ia akan terbiasa mengandalkan diri dan
memprcayai orang sekitar.
16. Jika anak dikerumuni keramahan, maka ia akan terbiasa berpendirian
“sunggung indah dunia ini”[11].
Yang terjadi
sekarang ini justru orang tuanyalah yang mengajari dan memerintah mereka
mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Entah dengan cara
mengamen, berjualan koran, atau menjadi kuli di pasar-pasar. Pekerjaan semacam
itu dijinkan oleh orang tuanya asalkan tidak berurusan dengan kepolisian.
Seorang warga mengatakan membiarkan anak-anaknya mencari uang untuk tambahan
jajan mereka sendiri yang penting halal dan tidak merugikan orang lain.
Kalaupun bisa jangan meninggalakan bangku sekolah saat mencari uang. Itulah
gambaran masyarakat yang hidup di lingkungan Universitas Jenderal Soedirman, mereka
bisa dikatakan menjadi masyarakat yang terpinggirkan di daerahnya sendiri oleh
para pendatang. Masyarakat sekitar UNDOED pekerjaanya kebanyakan menjadi tukang
becak, buruh tani, kuli bangunan, pedagang, dan sopir angkutan umum. Secara
tidak disengaja, mereka menjadi pelayan di daerahnya sendiri. Mereka menjadi
pelayan bagi para mahasiswa yang berkuliah di UNSOED. Hal itu tidak akan
menjadi masalah jika manusia memiliki pikiran yang positif atau baik. Didalam
bukunya yang berjudul “ Motivation and Personality, (1940: 340)” dijelaskan
bahwa sifat dasar manusia adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang dianggap
netral atau baik, dan bukan jahat. Kebutuhan tersebut adalah (a) kebutuhan
fisiologis, seperti makan, minum, istirahat dan kebutuhan dasar lainya yang
harus dipenuhi manusia agar tetap hidup, (b) kebutuhan akan rasa aman, seperti
kebutuhan akan tempat tinggal dan pekerjaan yang permanen, (c) kebutuhan akan
rasa kasih sayang, seperti hubungan dengan orang lain yang didasari oleh rasa
kasih sayang dan cinta, (d) kebutuhan akan harga diri, seperti keinginan agar
dihargai sebagai anggota masyarakat, warga negara, dan anggota suatu kelompok
organisasi, (e) kebutuhan akan akulturasi diri seperti kesempurnaan, keindahan,
keadilan, dan kebermaknaan[12].
Dengan kelima aspek tersebut, masyarakat dapat memenuhi seluruh kebutuhan
hidupnya.
Penutup
Penerapan
uang kuliah tunggal (UKT) menimbulkan dampak yang sangat banyak, bukan hanya
kepada mahasiswa tetapi juga ke masyarakat. Penerapan sistem UKT mempermudah
mahasiswa dalam melakukan pembayaran dan memberi keringanan mahasiswa saat
masuk ke universitas. Karena jumlah uang yang dibayarkan tidak sebesar saat
menggunakan sistem kredit semester yang harus membayar uang sumbangan murni.
Namun nominal UKT yang terlalu besar juga menjadi kendala tersendiri untuk
mahasiswa dan menimbulkan kecurigaan terjadinya korupsi di kantor rektorat.
Besarnya nominal UKT juga menyebabkan masyarakat sekitar UNSOED tidak dapat
menguliahkan anak-anaknya di UNSOED karena masalah biaya. Dengan demikian masyarakat sekitar UNSOED tidak dapat
berkuliah di peguruan tinggi sampai kapanpun kalau nominal UKTnya seperti sekarang
ini. Masyarakat sekitar UNSOED akan lebih menderita dengan berjalanya waktu
jika tidak ada perbaikan dalam dunia pendidikan yang dapat menguntungkan
mereka, membantu mereka untuk dapat menikmati pendidkan di perguruan tinggi.
Agar mereka dapat merubah nasib keluarganya dan keturunannya.
Bibliografi
Dawam, Ainurrofiq.
2003. “ Emoh Sekolah”, Jogjakarta: Inspeal Ahimsakarya press
Susilo, Joko M.
2007. “ Pembodohan Siswa Tersistematis”,
Yogyakarta: Pinus Book Publisher
Yekti, dan kawan-kawan. “ Unsoed Nekat Tarik UKT Tingan
Diawal, Mencekik Diakhir”, AGRICA, 02 juli 2012 dalam
http://lpmagricafaperta.wordpress.com/2012/07/02/unsoed-nekat-tarik-ukt-ringan-diawal-mencekik-diakhir (diakses 8
januari 2013 pukul 12.40)
Andrianto, Aris. “Unsoed Dinilai Kampus Termahal di Jawa Tengah”, Tempo interaktif.com,
26 mei 2011 dalam http://www.tempo.co/read/news/2011/05/26/177336913/Unsoed-Dinilai-Kampus-Termahal-di-Jawa-Tengah
rabu tanggal 09/01/2013 (diakses 9 januari 2013)
Santoso, Urip. “ Uang
Kuliah Tunggal”, jurnal urip santoso, 18 desember 2012 dalam http://uripsantoso.wordpress.com/2012/12/18/uang-kuliah-tunggal/ (diakses 9 januari 2013 pukul 00.20)
Mahasiswa, “ save
soedirman dan kerendahan hati”, Blog resmi save soedirman, 4 november 2012, http://www.savesoedirman.com/2012/11/savesoedirman-dan-kerendah-hati.html
hari kamis tanggal 10//01/2013(diakses tanggal 9 januari 2012)
[1] Yekti, dan kawan-kawan, “Unsoed Nekat Tarik UKT Ringan diawal, Mencekik diakhir”, http://lpmagricafaperta.wordpress.com/2012/07/02/unsoed-nekat-tarik-ukt-ringan-diawal-mencekik-diakhir
(diakses 8 januari 2013 pukul 12.40)
[2] Urip sentosa, “ Uang Kuliah
Tunggal”, jurnal urip santoso, 18 desember 2012 dalam http://uripsantoso.wordpress.com/2012/12/18/uang-kuliah-tunggal/ (diakses 9 januari 2013 pukul 00.20)
[3]Aris andrianto, “Unsoed Dinilai Kampus Termahal di Jawa Tengah”,Tempo interaktif.com, 26 mei 2011 dalam http://www.tempo.co/read/news/2011/05/26/177336913/Unsoed-Dinilai-Kampus-Termahal-di-Jawa-Tengah
rabu tanggal 09/01/2013 (di akses 9 januari 2013)
[4] Ainurrofiq Dawam, “ Emoh Sekolah”, (Jogjakarta: ”Inspeal Ahimsakarya
press”, 2003), hlm 39
[5] Ainurrofiq Dawam, “ Emoh Sekolah”, (Jogjakarta: ”Inspeal Ahimsakarya
press”, 2003), hlm 30
[6] Ibid, hlm 31
[7]Ainurrofiq Dawam, “ Emoh Sekolah”, (Jogjakarta: ”Inspeal Ahimsakarya
press”, 2003), 170
[8] Ibid, hlm 170
[9] Mahasiswa, “ save soedirman dan kerendahan hati”, Blog resmi save
soedirman, 4 november 2012, http://www.savesoedirman.com/2012/11/savesoedirman-dan-kerendah-hati.html
hari kamis tanggal 10//01/2013(diakses tanggal 9 januari 2012)
[10] Mahasiswa, “ save soedirman dan kerendahan hati”, Blog resmi save
soedirman, 4 november 2012, http://www.savesoedirman.com/2012/11/savesoedirman-dan-kerendah-hati.html
hari kamis tanggal 10//01/2013(diakses tanggal 9 januari 2012)
[11] M. Joko Susilo, “ Pembodohan Siswa Tersistematis”, ( Yogyakarta:
“Pinus Book Publisher”), hlm 72
[12] Ainurrofiq Dawam, “ Emoh Sekolah”, (Jogjakarta: ”Inspeal Ahimsakarya
press”, 2003), hlm 75
thanks infonya
ReplyDeleteTerima kasih kembali atas kunjungannya, senang dapat membantu dan semoga bermanfaat.
Deletemakasih atas infonya ka
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat.
Delete