Dalam era global seperti sekarang ini, dimana dunia seolah-olah
tanpa batas (borderless), orang
bisa berusaha dan bekerja di manapun tanpa ada halangan, yang penting
dapat menghadapi lawannya secara kompetitif. Suatu hal yang sering dihadapi
dalam situasi semacam ini adalah timbulnya sengketa atau perselisihan. Sengketa
merupakan suatu hal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Oleh
karena itu, sengketa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Salah satu jenis sengketa yang sering kita temui adalah
sehari-hari sengketa dalam konteks bisnis. Sengketa yang timbul ini perlu untuk
diselesaikan. Masalahnya, siapa yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut. Cara yang paling mudah dan sederhana adalah para pihak yang
bersengketa menyelesaikan sendiri sengketa tersebut. Cara lain yang dapat
ditempuh adalah menyelesaikan sengketa tersebut melalui forum yang pekerjaannya
atau tugasnya memang menyelesaikan sengketa. Forum resmi untuk menyelesaikan
sengketa yang disediakan oleh negara adalah pengadilan.
Dalam menjalankan kegiatan
bisnis, kemungkinan timbulnya sengketa suatu hal yang sulit untuk dihindari.
Oleh karena itu, dalam peta bisnis modern dewasa ini, para pelaku bisnis sudah
mulai mengantisipasi atau paling tidak mencoba meminimalisasi terjadinya
sengketa. Langkah yang ditempuh adalah dengan melibatkan para penasehat hukum (legal adviser) dalam membuat dan ataupun
menganalisasi kontrak yang akan ditanda tangani oleh pelaku usaha. Yang menjadi
soal adalah, bagaimana halnya kalau pada awal dibuatnya kontrak, para pihak
hanya mengandalkan saling percaya, kemudian timbul sengketa, bagaimana cara
penyelesaian sengketa yang tengah dihadapi pebisnis. Secara konvensional atau
tepatnya kebiasaan yang berlaku dalam beberapa dekade yang lampau jika ada
sengketa bisnis, pada umumnya para pebisnis tersebut membawa kasusnya ke
lembaga peradilan ditempuh, baik lewat prosedur gugatan perdata maupun secara
pidana. Jika pilihannya penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga
peradilan, para pihak memperhatikan asas yang berlaku dalam gugat-menggugat
melalui pengadilan. Satu asas yang cukup penting adalah siapa yang mendalilkan,
wajib membuktikan kebenaran dalilnya. Asas ini dijabarkan dalam pasal 1865
KUHPdt yang mengemukakan bahwa:
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna
meneguhkanhaknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk suatu
peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”
Untuk itu, jika penyelesaian
sengketa bisnis dipilih lewat lembaga peradilan, ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangan, yakni pihak penggugat wajib membuktikan kebenaran dalilnya. Disamping
itu, penggugat harus tahu persis di mana tempat tinggal tergugat, sebagai
gugatan harusdiajukan di tempat tinggal tergugat, Asas ini dikenal dengan
istilah Actor Secuitor Forum Rei.
Litigasi adalah sistem
penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan
diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Penyelesaian
melalui Litigasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, mengatur penyelasaian melalui peradilan umum, peradilan
militer, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan khusus
seperti peradilan anak, peradilan niaga, peradilan pajak, peradilan
penyelesaian hubungan industrialdan lainnya. Melalui sistem ini tidak mungkin akan
dicapai sebuah win-win solution (solusi
yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan
dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi
pihak yang kalah.
Kebaikan dari sistem ini adalah:
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem
peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga
hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini)
2. Biaya yang relatif lebih murah (Salah satu asas peradilan
Indonesia adalah Sederhana, Cepat dan Murah)
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
1. Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan
di Indonesia yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung
dimana jika Pengadilan Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah
satu pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan
Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama
agar bisa berkekuatan hukum tetap)
2. Hakim yang "awam" (pada dasarnya hakim harus paham
terhadap semua jenis hukum. namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada
bidang yang tidak dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal
ini dikarenakan para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa
perkara. Tentunya hal ini akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai
dengan bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu
perkara karena hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim
yang menolak perkara. apalagi hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa
tersebut.)
Berdasarkan konsekuensi
bahwa putusan hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak
yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia Hakim wajib
memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi (nanti akan dibahas lebih
lanjut) untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai perdamaian maka
pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun pemeriksaan perkara dilanjutkan
kesempatan untuk melakukan perdamaian bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim
harus tetap memberikannya meskipun putusan telah disusun dan siap untuk
dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta
perdamaian (acte van daading) yang
pada intinya berisi para pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak
dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama
tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan
alasan ne bis in idem (perkara yang
sama tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian tersebut
berkekuatan sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan
upaya hukum).
Sebelum keluarnya Undang-undang
Hubungan Industrial penyelesaian sengketa perburuhan dalam perusahaan diatur
didalam Undang-undang No.22 tahun 1957 melalui peradilan P4D dan P4P. Untuk
mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa Buruh dan Tenaga Kerja
sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan di undangkan Undang-undang
No.2 Tahun 2004 sebagai wadah peradilan Hubungan Industrial disamping peradilan
umum.
Dalam Pasal 56 Undang-undang
No.2 Tahun 2004 mengatakan Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutuskan :
1.
di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
2.
di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan kepentingan
3.
di tingkat pertama mengenai perselisihan
pemutusan hubungan kerja
4.
di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Adapun susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
terdiri dari:
1.
Hakim
2.
Hakim ad Hoc
3.
Panitera Muda, dan
4.
Panitera Pengganti.
Untuk Pengadilan Kasasi di Mahkamah Agung terdiri dari :
1.
Hakim Agung
2.
Hakim ad Hoc pada Mahkamah Agung ; dan
3.
Panitera
Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad Hoc pada Pengadilan
Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung RI harus mempunyai
syarat-syarat sebagai berikut :
1.
warga negara Indonesia
2.
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3.
setia kepada Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
4.
berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun
5.
berbadan sehat sesuai dengan keterangan
dokter
6.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak
tercela
7.
berpendidikan serendah-rendahnya Starata Satu
(S-1) kecuali bagi Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung, syarat pendidikan Sarjana
Hukum serta berpengalaman dibidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.
Pengangkatan dan penunjukan
Hakim Ad Hoc tersebut pad pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan SK. Presiden
atas usul Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sebelum memangku jabatan
Hakim Ad Hoc wajib disumpah atau memberikan janji menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing serta Hakim Ad Hoc tersebut tidak boleh merangkap
Jabatan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 66 Undang-Undang No.2 Tahun 2004.
Hukum acara yang dipakai
untuk mengadili sengketa perburuan tersebut adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku dilingkungan Pengadilan Umum, kecuali di atur secara khusus oleh
Undang-Undang No 2 Tahun 2004 serta menuggu keputusan Presiden untuk menentukan
Tata Cara pengangkatan Hakim Ad Hoc Ketenaga Kerjaan.
Sebelum Undang-Undang ini
berlaku secara effektif didalam masyarakat dalam penyelesaian pemutusan
Hubungan Kerja masih memakai KEP/MEN/150 Tahun 2000 dan Undang-Undang No.13
Tahun 2003, tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan .
Penyelesaian Perselisihan
Melalui Pengadilan Hubungan Industrial PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus:
1.
Tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
2.
Tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan kepentingan;
3.
Tingkat pertama mengenai perselisihan PHK;
4.
Tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Ketentuan
Beracara dalam PHI tidak berbeda seperti Hukum Acara Perdata. Kecuali hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU No. 2 Tahun 2004 (Pasal
81 – Pasal 115).
Putusan PHI mengenai
Perselisihan Hak dan PHK dapat diajukan ke MA melalui Upaya Hukum Permohonan
Kasasi paling lama 14 hari setelah putusan dibacakan, atau menerima
pemberitahuan putusan.
Para pihak yang terlibat
dalam dunia perusahaan ingin agar segala sesuatunya dapat berjalan sesuai
dengan apa yang direncanakan. Akan tetapi, dalam praktik ada kalanya apa yang
telah disetujui oleh kedua belah pihak tidak dapat dilaksanakan karena salah
satu pihak mempunyai penafsiran yang berbeda dengan apa yang telah disetujui
sebagaimana yang tercantum dalam kontrak sehingga dapat menimbulkan
perselisihan. Apabila suatu
sengketa terjadi dan diselesaikan melalui badan pengadilan, hakim harus
memutuskannya berdasarkan sumber hukum yang ada secara teori salah satu yang
dapat dijadikan rujukan sebagai sumber hukum adalah yurisprudensi. Selain untuk
menjaga agar tidak terjadi kesimpangsiuran putusan, yang berakibat pada
ketidakpastian hukum bagi pihak-pihak yang berperkara, yurisprudensi juga
berguna untuk menyederhanakan pertimbangan hukum dalam pengambilan putusan.
Sengketa yang diselesaikan
melalui Pengadilan, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkanoleh kedua belah
pihak selain waktu dan biaya yang harus dikeluarkan cukup banyak, juga
identitas para pihak yang bersengketa akan diketahui oleh masyarakat. Sebagaimana
diketahui prinsip yang dianut oleh lembaga peradilan adalah pada asasnya
terbuka untuk umum. Masalah lainnya adalah
bahwa penyelesaian sengketa melalui pengadilan prosesnya cukup lama. Hal ini
tiada lain karena proses pengadilan ada beberapa tingkatan yang harus dilalui,
yakn tingkat pertama di pengadilan negeri (PN); tingkat kedua di pengadilan
tinggi (PT) untuk tingkat banding, dan tingkat ketiga adalah mahkamah agung
(MA) sebagai tingkat kasasi yang merupakan instansi terakhir dalam hierarki
lembaga peradilan.
Berdasarkan materi mengenai
penyelesaian sengketa secara litigasi lebih baik apabila permasalahan
diselesaikan secara non-litigasi terlebih dahulu. Penyelesaian secara
non-litigasi dapat secara negoisasi, konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi. Selain
karena tidak membutuhkan biaya yang besar, prosesnya pun terbilang lebih mudah
dan tidak memakan banyak waktu. Namun, alangkah lebih baik apabila kita dapat
mencegah timbulnya sengketa dalam perusahaan.
Sengketa terjadi jika salah satu pihak menghendaki pihak
lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak
berlaku demikian. Penyelesaian ini harus dilakukan menurut hukum atau
berdasarkan kesepakatan awal di antara para pihak. Salah satu penyelesaian
sengketa dalam dunia ekonomi yaitu melalui melalui badan pengadilan (litigasi).
Litigasi dianggap sebagai yang paling tidak efisien oleh para pelaku dunia
ekonomi komersial dalam penyelesaian sengketa dibandingkan dengan non-litigasi,
berkaitan dengan waktu dan biaya yang dibutuhkan. Rendahnya kesadaran hukum
juga ikut mempengaruhi, di mana para pihak yang berperkara di pengadilan bukan
untuk mencari keadilan melainkan untuk memenangkan perkara. Beberapa faktor
lain yang mengakibatkan pengadilan bersikap tidak responsif, kurang tanggap
dalammerespon tanggapan umum dan kepentingan rakyat miskin (ordinary citizen). Hal yang palingutama
adalah kemampuan hakim yang sifatnya generalis (hanya menguasai bidang hukum
secara umum tanpa mengetahui secara detil mengenai suatu perkara).
REFERENSI
ml.scribd.com/doc/91217444/ian-Sengketa-Litigasi-Non-Litigasi
http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=125259
Lalu Husni SH.M.Hum. Penyelesaian Perselisian
Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Diluar Pengadilan, Penerbit PT. Raja
Grafindo Parsada, Jakarta 2004.
Depnaker RI , Undang-undang No.2 Tahun 2004 Tentang
Perselisihan Hubungan Industrial, Penerbit Dewan Pimpinan Pusat Konfidrasi SPSI
dan Depnaker, 2004.
http://marullohtekindustri.blogspot.com/2012/06/penyelesaian-sengketa-perusahaan-secara.html
No comments:
Post a Comment