Dead
Poets Society adalah film Amerika yang diproduksi tahun 1989. Film yang ditulis oleh Thom Schulman ini
mengisahkan seorang guru yang bernama Mr.Keating, sebagai staf pengajar pada
sebuah sekolah swasta menengah atas elite khusus laki-laki pada tahun 1950
bernama Akademi Welton. Sekolah ini merupakan sekolahan yang terkenal ketat dan
selalu berpatok kepada empat landasan dasar utama yaitu tradisi, kehormatan,
disiplin, dan jaminan mutu. Film ini, pada awalnya menceritakan kisah kehidupan
murid-murid Akademi Welton yang berjumlah tujuh orang yaitu Neil Perry, Todd Anderson,
Knox Overstreet, Charlie Dalton, Richard Cameron, Steven Meeks dan Gerard Pitts
yang merasa tidak nyaman dengan peraturan sekolahnya tersebut, hal tersebut
terlihat dari perlakuan mereka yang menjadikan empat landasan utama dalam
sekolahnya menjadi humor, horor, kemorosotan, dan kotoran. Kemudian John
Keating atau Mr.Keating datang sebagai guru baru pindahan dari sekolah Chester
yang sangat terkenal di Landon sekaligus ia adalah alumni dari sekolah tersebut
yang mengajar sastra inggris. Teknik pengajaran yang dilakukan Mr.Keating
berbeda dengan guru lain yang selalu bersikap otoriter, menakutkan, menuntut
untuk terus menghafal dan tegas dalam mengajar .
Tidak seperti Mr.Keating, ia mendidik
murid-muridnya melalui sastra khususnya puisi dengan memberi kebebasan dalam
berkarya tanpa membatasinya dan bahkan ketika mengajar ia menyuruh mereka untuk
merobek halaman buku panduan dari seorang pengarang DrJ. Evan Pritchard, Ph.D.
tentang cara memahami puisi yang baik. Tak jarang pula Mr.Keating mengajak
murid-muridnya belajar diluar kelas, sehingga dari sikap Mr.Keating yang selalu
menciptakan suasana yang nyaman dalam belajar membuat murid-muridnya
terinspirasi dan sangat suka dengan Mr.Keating terutama Neil dan teman-temannya
yang sejak awal merasa terkekang berada di sekolah yang terkenal di Amerika
tersebut. Hingga suatu saat Neil dan teman-temannya menemukan sebuah buku tua
yang berisi catatan dari guru favorit mereka yaitu Mr. Keating yang didalamnya
menceritakan tentang kisah dirinya bersama teman-temannya dulu sewaktu masih
sekolah yang tergabung dalam sebuah klub yang bernama “Dead Poets Society”. Kegiatan klub tersebut adalah membuat dan
membaca puisi tetapi bukan didalam sekolah, melainkan di sebuah gua yang
letakknya tidak begitu jauh dari sekolah. Catatan dari Mr.Keating tersebut
menginspirasi Neil dan teman-temannya, hingga suatu saat mereka berdiskusi
untuk pergi ke gua yang dikisahkan dalam buku tersebut. Tindakan yang mereka
lakukan tersebut, sesuai dengan apa yang diajarkan Mr.Keating terutama tentang
istilah latin yaitu Carpe Diem (petiklah
hari) yang dalam bahasa inggris Seize
The Day yang berarti buatlah hidupmu lebih berarti. Hal
itulah yang membuat Neil dan teman-temannya nekat kabur dari sekolahan di malam
hari untuk pergi menemukan gua tersebut. Setelah mereka menemukannya, pada saat
itu pula Neil, Todd, Knox, Gerard, Cameron, Charlie, dan Meeks mulai
berkonsekuensi untuk meneruskan dan mengulang kembali sejarah klub Dead Poets Society dari
catatan Mr.Keating. Bermula dari situ, kepribadian mereka menjadi berubah dan
semakin hari keberaniannya terus bertambah. Mulai dari Knox Overstreet yang
awalnya ia adalah seorang laki-laki yang pemalu kemudian karena terinsipirasi
oleh pesan-pesan Mr.Keating kini ia berani mengutarakan isi hatinya kepada
seorang gadis yang bernama Cris. Selain Knox, yang juga sikapnya berubah begitu
mencolok adalah Neil. Neil Perry pada mulanya ia seorang murid terbaik Akademi
Walton yang terkenal karena prestasinya yang selalu mendapatkan nilai A. Akan
tetapi, bukan karena keinginannya sendiri ia masuk ke sekolah tersebut
melainkan kemauan ayahnya yang begitu besar untuk menjadikan Neil seorang
dokter sehingga membuat tindakannya selalu otoriter terhadap Neil termasuk
melarangnya berakting yang sebenarya itu menjadi hobi dan cita-cita Neil.
Hingga suatu hari, Neil nekat
mendaftar sebuah pergelaran drama yang bernama Henelly Hall dan mendapatkan
peran utama. Pergelaran pun dimulai, pada saat itu pula tanpa sepengetahun
Neil, ayahnya datang menyaksikan. Banyak pujian yang dilontarkan penonton dan
teman-temannya termasuk Mr.Keating terhadap aktingnya yang sangat bagus. Tapi
tidak untuk ayahnya, justru saat itu juga Neil ditarik pergi dan dibawa pulang
kerumah. Dirumah Neil bertengkar dengan ayahnya yang melarangnya berakting dan
hanya membolehkannya menjadi seorang dokter. Neil pun akhirnya mengalah dan
menuruti kemaunnya ayahnya, akan tetapi setelah orang tuanya tidur di malam
yang sama ia melakukan bunuh diri dengan cara menembak dirinya dengan pistol
milik ayahnya. Konflik pun menjadi sangat kompleks, ketika setelah Neil
meninggal ayahnya menuntut pihak sekolahan untuk menyelidiki kematian anaknya.
Dan Mr.Keating dijadikan sebagai kambing hitam atas kematian Neil dengan
tuduhan bahwa karena Neil sangat terinspirasi dengannya sehingga membuat Neil
berbohong dan berani terhadap ayahnya. Walaupun sebenarnya, sebelum Neil pergi
untuk mengikuti pergelaran drama tersebut, ia sempat menemui Mr.Keating tentang
kegalauannya untuk pergi atau tidak tepat semalam sebelum pertunjukkan itu
dimulai. Dan pada waktu itu Neil berkata kepada Mr.Keating tentang ayahya bahwa
“Ia merencanakan hidupku tapi tak pernah menanyakan apa yang aku inginkan” dan
intinya yang menyebabkan kematian Neil adalah ayahnya sendiri bukan Mr.Keating.
Konflik pun terus bertambah, ketika pada saat yang sama klub “Dead Poets
Society” yang dibuat Neil dan teman-temannya terungkap oleh sekolahan dan enam anggota
yang tersisa mulai Meeks hingga Knox terus diselidiki. Mereka pun diberikan
pilihan, antara mereka yang keluar atau Mr. Keating yang dikeluarkan. Jika
menandatangi surat perjanjian yang telah dibuat antara pihak sekolahan dengan
murid hal tersebut berarti setuju Mr.Keating dikeluarkan, dan jika tidak
menandatangani maka merekalah yang keluar.
Penyeledikan itu dilakukan dengan
cara menghadirkan orang tua masing-masing tanpa sepengetahuan Todd, Knox,
Dalton, Cameron, Meeks dan Pitts sebelumnya, sehingga hal tersebut membuat
mereka terpaksa menandatangi pernyataan yang akhirnya pihak sekolah
mengeluarkan Mr.Keating. Sebelum kepergiannya, Mr.Keating datang ke kelas
dimana mereka tengah mengikuti pelajaran sastra yang biasannya diajarkan
olehnya kini diajarkan oleh guru lain,
untuk mengambil sebuah barang pribadi yang tertinggal didalam sebuah
ruangan yang letaknya berada didalam kelas mereka. Pada saat Mr.Keating datang
hati Todd dan teman-temannya pun merasa sangat bersalah. Dengan berani kemudian
Todd memanggil Mr.Keating ditengah pelajaran dan naik diatas meja dan
memanggilnya “O,Captain, my Captain” sebuah panggilan khusus dari mereka kepada
Mr.Keating yang diambil dari sebuah puisi karangan Walt Whitman tentang Mr.
Abraham Lincoln, yang kemudian sikap Todd tersebut membuat teman-temannya turut
berdiri diatas meja tanpa menghiraukan guru yang menyuruhnya turun, sambil
menitihkan air mata Mr.Keating pun mengatakan “terimakasih anak-anak” kemudian
pergi.
Dari cerita film diatas, dapat
diambil sebuah pesan moral yang terkandung tentang sindiran serta sebuah kritik
terhadap pemikiran-pemikiran orthodox atau pemikiran kaum kolot pada masa itu.
Hal tersebut sangat terlihat dari sikap dan perilaku guru-guru Akademi Walton
terkecuali Mr.Keating yang sangat mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan
begitu memelihara kualitas sekolahannya agar murid-murid yang lulus dari
sekolah tersebut dapat masuk ke dalam sebuah perguruan tinggi yang favorit. Carpe Diem, Seize the Day adalah jargon
bagi Neil dan teman-temannya yang kemudian membuat mereka berani melanggar
berbagai peraturan sekolah maupun orang tuanya. Melalui ajaran yang diberikan
Mr.Keating tersebutlah Neil, Todd, Knox, Dalton, Cameron, Meeks, dan Pitts
menjadi paham akan makna pelajaran yang diberikan guru favorit mereka melalui
berbagai puisi hingga catatan mengenai “The Poets Society” yang semakin membuat
mereka bisa menikmati kehidupan, cinta, dan apa yang mereka inginkan tanpa ada
kekangan dari orang tua serta peraturan sekolah yang begitu ketat.
Terlepas dari itu, film yang telah
memenangkan piala Oscar serta menjadi film wajib yang harus diputar di kelas
Inggris sekolah menengah di Amerika Utara tersebut mengingatkan kita pada
sistem pendidikan yang ada di Indonesia yang juga belum dikatakan baik. Artinya,
mayoritas sekolah-sekolah yang ada di Indonesia saat ini hanya memberikan
pengajaran secara otoriter kepada murid-muridnya yang seolah-olah ilmu yang
diajarkan sesuai dengan peraturan kurikulum tersebut dapat menjadi bekal bagi
masa depan kelak setelah mereka lulus. Akan tetapi, jika ditelaah lebih dalam,
hal tersebut tentulah dapat dikatakan tidak manusiawi karena sekolah seakan
secara berjamaah mencetak tenaga kerja yang siap pakai untuk bersaing dalam
dunia kerja yang dizaman serba modern ini menuntut kualitas serta spesifikasi
masing-masing individu. Disisi lain, hakikat dari lembaga pendidikan itu
sendiri kurang dapat ditanamkan melalui proses belajar dan transformasi nilai
serta moral yang seharusnya. Banyak siswa yang tidak dihargai karena bakat atau
potensi mereka yang tidak sama antara murid satu dengan yang lain, akan tetapi
justru kenyataanya sekolah hanya memprioritaskan prestasi belajar yang
berbentuk nilai dengan sebuah angka yang tertera pada rapor hasil belajar atau
ijazah mereka saja yang semua itu berlaku pada mayoritas lembaga pendidikan
negeri hingga swasta.
Selain itu, pesan yang sangat
terlihat melalui kisah film tersebut adalah adanya kritik yang diberikan kepada
orang tua terutama dalam cara mendidik anak. Terlihat pada kisah Neil Perry
yang diceritakan bahwa ia adalah seorang murid yang cerdas, akan tetapi
tindakan orang tuanya yang begitu otoriter untuk melarangnya berakting dan
hanya diperbolehkan menjadi dokter, akhirnya membuat Neil bunuh diri. Padahal,
seyogyanya sebagai orang tua sebaiknya tidaklah begitu mengekang apa yang
menjadi cita-cita seorang anak. Orang tua, hendaknya dapat menempatkan diri
kepada anak melalui hubungan yang lebih dekat sehingga dimata anak orang tua
menjadi sosok seorang teman, sahabat, yang mampu menjadi pendengar bagi anaknya
sehingga antara apa yang menjadi keinginan anak dan orang tuanya dapat
dikomunikasikan dengan baik. Selama ini, seorang anak dirasa sudah terlalu
lelah berfikir soal pelajaran ataupun tugas sekolah, sudah seharusnya rumah
menjadi tempat mereka untuk mendapatkan perhatian dengan suasana yang nyaman
serta hubungan antara anggota keluarga yang harmonis.
Sebaliknya, jika orang tua hanya
menjadi seorang penuntut karena obsesinya yang terlalu tinggi maka hal tersebut
akan mempengaruhi jiwa psikologis sang anak karena tekanan dari orang tua yang
dapat menimbulkan stress hingga tindakan bunuh diri seperti yang dilakukan
Neil. Pada dasarnya, jika dilihat dari sudut pandang sosiologi tindakan bunuh
diri atau Suicide yang dilakukan oleh
Neil dalam kisah film diatas, maka kondisi tersebut dikarenakan integrasi
sosial diantara orang yang berada di lingkungan sekitarnya cenderung melemah
seperti yang dikemukakan oleh tokoh sosiologi Emile Durkheim. Dari kedua sudut
pandang tersebut dapat diambil dua kesimpulan, yang pertama bahwa orang tua
baik dizaman dulu maupun sekarang masih banyak yang tidak memperhatikan bakat
dan cita-cita dari sang anak, walaupun semua orang tua selalu menginginkan dan
memberikan yang terbaik untuk anaknya, tetapi toh belum tentu hal tersebut
mampu membuat sang anak bahagia. Kedua, lembaga pendidikan sekolahan secara
mayoritas hanya mementingkan kualitas dan eksistensi sekolahannya, murid-murid
tidak banyak dipedulikan dan justru menjadi obyek bagi
sekolah. Hal
tersebut terlihat dari peraturan hingga tindakan guru yang lebih banyak
bersikap otoriter khususnya dalam proses belajar mengajar.
Dari
film Dead Poets Society tersebut tidak hanya meninggalkan pesan dari sudut
pandang sistem pendidikan dan orang tua yang otoriter saja, tetapi kisah film
tersebut juga memberikan pelajaran kepada penonton kaitannya dengan kaijan
sosiologi sastra adalah bahwa melalui berbagai karya sastra seseorang
mendapatkan inspirasi dari apa yang ia baca. Bahkan pikiran orang akan menjadi
terbuka, mulai dari munculnya keberanian untuk menyatakan cinta, menjadi diri
sendiri, yang intinya mampu melakukan pemberontakan terhadap keadaan sosial
yang ada. Seperti yang telah diceritakan tentang kisah Neil dan teman-temannya
dalam film tersebut. Apa yang mereka baca mampu memberikan inspirasi baru dalam
hidup. Selain itu kepekaan sosial juga
dapat tumbuh dan terbangun melalu karya sastra. Emosi, empati, perasaan yang
diungkapkan dengan berimajinasi dan dibentuk dalam sebuah karya sastra mampu meluluhkan
hati seseorang yang sebelumnya tidak peduli terhadapnya, seperti yang dilakukan
oleh Knox Overstreet. Ia menyukai gadis yang telah dimiliki oleh laki-laki
lain, tetapi berkat kata Carpe Diem
yang telah menjadi jargon bersama ke enamnya temannya tersebut, ia memberanikan
diri menyatakan perasaannya kepada Cris, yang hasilnya Cris memberikan
kesempatan kepada Knox.
Menariknya
lagi, dari kisah film tersebut adalah tentang karya sastra yang digunakan
berbentuk puisi, dan isi dari puisi tersebut merupakan bentuk perlawanan pada
zaman itu. Seperti kutipan syair puisi berjudul “To The Virgins to Make Much of
The Time” yang ada dalam film tersebut :“Gather ye rosebuds while ye may”
(kumpulkan sekuntum mawar selagi kau bisa) yang dalam bahasa latin berarti
Carpe Diem (petikklah hari dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok), “Old
Time is still a-flying” (lamanya waktu yang masih terbang), “And this same flower that smiles today, tomorrow
will be dying”(Dan ini adalah bunga yang sama yang tersenyum hari ini, besok
akan menjadi layu). Pesan yang disampaikan dalam puisi seperti yang ada dalam
film tersebut bahwa kita sebagai manusia ibarat makanan bagi cacing-cacing,
percaya atau tidak semua orang pasti akan berhenti bernafas dan mati. Sehingga
selagi kita bisa untuk berjuang dan berubah maka harus dilakukan. Oleh karena
itu, Mr.Keating menjadi motivator bagi Neil dan temaan-temannya hingga mereka
melakukan perubahan yang tidak disangka sebelumnya.
Berbicara
mengenai puisi sebagai sebuah media yang digunakan dalam film tersebut sebagai
sebuah bentuk pemberontakan dan protes terhadap keadaan yang ada, maka hal
tersebut juga relevan dengan apa yang ada di Indonesia. Karya sastra di
Indonesia khususnya puisi menjadi alat untuk menggambarkan keadaan sosial,
ekonomi, bahkan politik yang buruk. Beberapa puisi yang terkenal dengan isi
perlawanannya adalah milik sastrawan WS Rendra dan Wiji Thukul. Keduanya
merupakan pemilik puisi-puisi yang sebagian besar isi dari karyanya adalah
bentuk kritik sosial yang begitu tajam bagi pemerintah, institusi agama bahkan
sesama sastrawan lainnya. Entah apapun bentuk karya sastra itu, pada dasarnya
karya sastra dibentuk serta dibuat dengan tujuan-tujuan tertentu bagi pembuat
maupun penikmatnya. Salah satu yang diharapkan setelah memahami dan menikmati
karya sastra adalah adanya semangat, kesadaran, kepekaan, dan timbulnya
motivasi dalam hidup pembacannya. Seperti yang telah digambarkan dalam kisah
film yang berjudul “Dead Poets Society” tersebut.
Gambaran
Neil dan teman- temannya yang dulu hanya sekedar pasrah dengan keadaan yang
ada, dengan berbagai macam peraturan serta kekangan dari orang tua. Setelah
hadirnya Mr.Keating mereka dapat berubah dan berani melakukan perlawanan.
Uniknya bahwa keberanian mereka muncul dari motivasi yang diberikan oleh
Mr.Keating yang hanya melalui sebuah kata dari kutipan puisi yang dibacakan
oleh Gerard Pitts yaitu Carpe Diem (petikklah hari). Hal ini, tentunya cukup
memperkuat asumsi yang telah dibahas diatas, bahwa yang namanya karya sastra
dapat merubah perilaku seseorang bahkan keadaan sosial yang ada. Maka inilah
urgensinya mengapa karya sastra menjadi sebuah bahan pelajaran maupun ilmu
pengetahuan yang penting bagi manusia. Walaupun karya sastra ibaratnya hanyalah
berbentuk sebuah tulisan saja, akan tetapi dengan belajar menikmati dan
memahami karya sastra itu, pembaca dapat mendapatkan berbagai manfaat termasuk
juga dengan membaca karya sastra mampu membuka cakrawala dunia yang dapat
merubah dunia.
Source : by KIF
No comments:
Post a Comment