Media merupakan lembaga sosial paling tinggi di masyarakat media membentuk masyarakat bertolak dari landasan bersifat pragmatis sosial dengan teori stimulus – respons dalam behaviorisme. Kehidupan demokratis yang didamba-dambakan masyarakat hanya bersifat substansial dalam siklus lima tahun sekali. Rakyat hanya dijadikan objek eksploitasi kepentingan suara oleh partai politik untuk meraih kekuasaan. Sementara legitimasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang tertinggi dalam era demokrasi tidak bisa dijalankan sebagaimana mestinya. Pers sejatinya menjadi mitra masyarakat dalam mengawal jalannya roda pemerintahan, terbagi ke dalam sekat kepentingan golongan atau pemilik modal. Keberpihakan pers di Indonesia rasanya belum sepenuhnya kepada rakyat , dalih dalih sebagai pamour pers di Indonesia hanya mementingkan fakktor ekonomi belaka.
Adanya keberpihakan non rakyat ini membuat pers
Indonesia diragukan sebagai lembaga yang kredibel dan demokratis , ketika
berbagai politisi-politisi pemegang kantor media yang berbeda mengagungkan
ideologi dan visinya, saling sikut dan saling susul. Rasanya sinergisitas di
negri ini akan semakin terperosok.
Pers, Caleg, Partai Politik, Demokrasi
Penuh perjuangan buat seorang calon legislatif dan
partai politiknya, betapa beratnya waktu 24 jam digunakan untuk
berpikir,berdiskusi, berkunjung ke konstuen(masa pendukung), dengan
tujuan untuk mensosialisasikan program-program yang akan ditawarkan dalam
kompanye, dan visi-misinya. Gambaran ini merupakan kegiatan para caleg
dan partai politik, yang supersibuk untuk mengejar target suara dan popularitas
di masyarakat, karena sayarat utama adalah suara sebanyak banyaknya yang bisa direkrut.
Seperti sebuah iklan, apapun jabatannya,pekerjaannya, pendidikannya
adalah tetap suara terbanyak.
Seperti layaknya para penjudi, yang lebih
dominan adalah emosi saat pertarungan, ketika sudah dipertengahan waktu,
dengan kalkulasi yang tidak sesuai dan strategi yang tidak murni, prinsipnya adalah yang penting menang dalam pertarungan itu.
Kalau cara berpikir seperti ini para
caleg kita ,maka bangsa ini akan diurus olah para mental spekulan,
yang tidak jelas visi-misinya, apalagi untuk kepentingan rakyat, yang
bakal ada adalah hanyalah kepentingan pribadi untuk kembali modal dan
kepentingan kroni (masa pendukung).
Sebelum pertarungan dimulai. Dalam
pengertian saya, bahwa suatu kemenangan itu ada dua yakni, kemenangan untuk
mengelola kemenangan dan kemenangan mengelola kegagalan ilustrasi kemenangan. Bila mendapat
dukungan, duduk menjadi anggota dewan, sesungguhnya belum disebut
pemenang, tetapi baru masuk keruang setan yang penuh godaan. Nah bilamana sudah
duduk mampu memilah , menolak dan mengindari godaan itu maka barulah anda
disebut pemenang sejati yang mapu mengelola kemenangan itu. Kalau pun
tidak terpilih menjadi anggota dewan ,maka anda akan belajar introsepeksi,
terhadap kegagalan itu, bila telah sadar dan tahu penyebab kegagalan
itu, maka kendalikan diri dan iklas menerima kekalahan itu. Sesungguhnya
itulah kemenangan sejati.
Selain dari pada itu, dewasa ini perkembangan akan
teknologi dan globalisasi membuat kita terbawa arus, pun juga dengan dunia politik, peran media
massa dan sosial media juga sangat berperan aktif dalam kemeanangan suuatu
caleg dan partai politik. Menarik memang , walau gerakan politik di Sosial
Media tidak identik dengan gerakan di lapangan yang cenderung konvensional
dengan pemasangan baligho dan kampenye, namun keunggulan di Sosial Media
hampir sama dengan hasil sesungguhnya di lapangan seperti hasil yang disampaikan
oleh beberapa lembaga survei.
Kemenangan suatu caleg juga bisa dikaitkan dengan peran media massa , sebagaimana media itu memberitakan suatu profil caleg dan aksi seorang caleg juga partai politiknya, namun di Indonesia kerap terjadi penyalah gunaaan weweang dari pers itu sendiri seringkali kode etik pers diabaikan , dan hanya mementingkan keuntungan semata tanpa adanya kredibiltas dari lembaga sosial nomer satu tersebut.
Pers Dan Sejarahnya
Pers adalah suatu lembaga sosial yang bergerak dalam
media massa , Pers di indonesia sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda,
ketika pada tahun 1615, diterbitkan surat kabar “Memories der Nouvelles”, yang
ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar”
pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah belanda yang bernaung
pada perusahaan belanda terbesar pada waktu itu yak ni VOC. Pada , Selain masa
pendudukan belanda , di massa pendudukan jepang , pers juga berkembang , ketika
surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri
dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan
rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang
mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di
zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan
karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.
Masa Revolusi Fisik dan Orde
Baru
Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di
saat-saat proklamasi kemerdekaan dicetuskan, dengan sendirinya sejalan dengan
perjuangan rakyat Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari para wartawan yang
langsung turut serta dalam usaha-usaha proklamasi. Semboyan “Sekali Merdeka
Tetap Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi para wartawan. Periode tahun 1945
sampai 1949 yang biasa dinamakan periode “revolusi fisik”, membawa coraknya
tersendiri dalam sifat dan fungsi pers kita. Dalam periode ini pers kita dapat
digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu pertama, pers yang terbit dan
diusahakan di daerah yang dikuasai oleh pendudukan sekutu, kemudian Belanda,
dan kedua pers yang terbit diusahakan di daerah yang dikuasai oleh RI yang
kemudian turut bergerilya.
Masa Demokrasi Liberal
Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh
pers republik sangat besar. Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan
keinginan rakyat akhirnya bubar dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950. Pada masa ini untuk memperoleh
pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili
aliran-aliran politik yang saling bertentangan, menyalahgunakan kebebasan pers
(freedom of the press), yang kadang-kadang melampaui batas-batas kesopanan.
Periode yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin
sering disebut sebagai zaman Orde Lama. Periode ini terjadi saat terbentuknya
Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, sebagai tindak lanjut
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga meletusnya Gerakan 30
September 1965. Dan kemudian pers beralih ke tangan era orde baru
Masa Orde Baru
Ketika alam Orde Baru ditandai dengan kegiatan
pembangunan di segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami perubahan
dengan sendirinya karena pers mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan
masyarakat di mana pers itu bergerak. Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi
merupakan salah satu alat yang vital dalam proses pembangunan. Pada masa Orde
Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers mengalami kebebasan yang sesuai
dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada
masa-masa ini menjadi penghalang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan
memperjuangkan hak-hak asasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Pers seolah bungkam dan mati kutu ketika pers hanya dijadikan alat
sebagai penggerak citra suatu negara yang bersifat otoriter pada waktu itu
Masa Reformasi
Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde
Baru yang harus disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiden Habibie
mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkali
kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden. Pers kala itu
bagaikan burung yang lepas dari sangkarnya, bergerak bebas tanpa arah , Pers kala itu adalah korban dari liberalisasi
demokrasi yang baru baru ini diterapkan di negara Indonesia. Semenjak dibukanya
kembali kebebasan pers melalui Surat Izin Pembuatan Pemberitaan (SIUPP) dan
berlakunya UU nomor 21 tahun 1982 (pasal 13 ayat 5), pers kian tak terkendali,
banyak surat kabar-surat kabar dan kantor berita baru yang bermunculan dan
membuat berbagai spekulasi yang beragam macam. Ada banyak hal hal positif dan
negatif dari hal ini. Kondisi pers saat itu bukanlah pada kondisi pers yang
berkembang akan tetapi bagaimana pers bisa survive dan bertahan atas badai yang
slalu menerpa. Krisis ekonomi yang menerpa pasca reformasi pun belum sepenuhnya
rampung. Seringkali pers berytahand engan dalih eouvoria kebebabasan serta
memanfaatkan longgarnya seluruh social
fabric masyarakat dan pemerintahan kita. Dimasa itu seringkali muncul
berita, liputan dan komentar yang berdomensi dan berwarna kuat sensasi bahkan
sesasionalisme . Sekalipun seringkali tidak diporsi seleranya , entah
pengertian kita tentang kebebasan pers tidak sependapat dengan keadaan itu.
Pers kala itu seperti kerbau yang tak tentu arah. Sadar atau tidak pers kala
itu mengundang pemodal besar untuk masuk ke dunia pers yang belum tentu menjadi
bisnis utama mereka. Kebanyakan orang menagggap kebebasan pers yang berkembang
dalam masa reformasi itu merupakan indikator dari demokrasi : tumbuhnya perbedaan
pendapat secara sehat sekalipun sering terkesan amat partisan. Tapi sebetulnya
semua itu tidak lepas dari kepentingan pasar.
Pers dan Demokrasi
Dalam ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang
demokrasi. Pertama, pemahaman demokrasi secara normatif. Kedua,
pemaham demokrasi secara empirik. Dalam pemahaman normatif, demokrasi merupakan
suatu kondisi yang secara ideal ingin diselenggarakan oleh suatu negara.
Sedangkan dalam pemahaman empirik, demokrasi dikaitkan dengan kenyataan
penerapan demokrasi dalam tataran kehidupan politik praktis.
Untuk melihat apakah demokrasi yang normatif
diterapkan dengan baik dalam kehidupan politik secara empirik, para ahli
politik membuat berbagai indikator untuk mengukurnya. Antara lain Huntington
yang mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem politik dimana para pembuat
keputusan kolektif yang paling kuat di dalam sistem politik, para calon secara
bebas bersaing untuk mendapatkan suara, dan hampir semua penduduk dewasa berhak
untuk memberikan suaranya. Selain itu, demokrasi juga mensyaratkan adanya
kebebasan sipil dan politik, yaitu adanya kebebasan untuk berbicara,
berpendapat, berkumpul, berorganisasi, yang dibutuhkan untuk perdebatan
politik, dan pelaksanaan kampanye pemilihan umum. Suatu sistem dikatakan tidak
demokratis bila oposisi dikontrol dan dihalangi dalam mencapai apa yang dapat
dilakukannya, seperti koran-koran oposisi dibredel, hasil pemungutan suara
dimanipulasi atau perhitungan suara tidak benar.
Sedangkan Dahl mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah
sistem politik dimana para anggotanya saling memandang antara yang satu dengan
yang lainnya sebagai orang-orang yang sama dalam segi politik, secara
bersama-sama berdaulat, memiliki kemampuan, sumber daya, dan lembaga-lembaga
yang mereka perlukan untuk memerintah diri mereka sendiri. Indikator demokrasi
yang diajukan Dahl adalah sebagai berikut:
- Adanya
kontrol terhadap kebijakan pemerintah.
- Adanya
pemilihan umum yang diadakan secara damai dalam jangka waktu tertentu,
terbuka, dan bebas.
- Semua
orang dewasa mempunyai hak untuk memberikan suaranya dalam pemilihan umum.
- Hampir
semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan diri sebagai kandidat
dalam pemilihan umum.
- Setiap
warga negara memiliki hak politik, seperti kebebasan berekspresi dan
mengeluarkan pendapat, termasuk didalamnya mengkritik pemerintah.
- Setiap
warga negara berhak untuk mendapatkan akses informasi alternatif yang
tidak dimonopoli oleh pemerintah atau kelompok tunggal lain.
- Setiap
warga negara berhak untuk membentuk dan bergabung dengan lembaga-lembaga
otonom, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan yang berusaha
untuk mempengaruhi pemerintah dengan mengikuti pemilihan umum dan dengan
perangkat-perangkat lainnya.
Berdasarkan pada pendapat Huntington dan Dahl di atas
jelaslah bahwa kehadiran media massa menempati ruang penting dalam proses
demokrasi, bahkan banyak ahli yang menyatakan bahwa pers sesungguhnya merupakan
salah satu pilar demokrasi. Keberadaan media massa dilihat sebagai salah satu
indikator demokratis tidaknya sebuah sistem politik karena terkait dengan
kebebasan untuk menyatakan pendapat dan mendapatkan akses informasi. Negara
yang demokratis akan menjamin kebebasan media massa dan negara yang otoriter
akan mengekang kehidupan media massa. Disinilah letak hubungan media massa dan
politik.
Pers Dan Politik
Sinergisitas berasal dari kata dasar
“sinergi” yang artinya kegiatan atau operasi gabungan. Sinergisitas berarti
merujuk pada kata sifat yang berkonotasi saling mempengaruhi atau saling
melakukan kegiatan. Dalam konteks arti kata operasi gabungan, berarti kata
sinergisitas merujuk pada melakukan kegiatan bersama, saling berkomunikasi atau
bekoordinasi agar terbentuk suatu tatanan kerjasama yang baik dalam mencapai
suatu tujuan. Dari hal di atas berarti dapat disimpulkan bahwa sinergisitas
merupakan bentuk upaya melakukan kerjsamas dalam bentuk koordinasi nyata dan
saling mengisi untuk mencapai suatu tujuan bersama.[1]
Pers adalah lembaga kemasyarakatan, sebagai lembaga kemasyarakatan, pers
merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama dengan subsistem
lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup secara mandiri, tetapi
dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lain. Bersama-sama dengan
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya itu, pers berada dalam keterikatan
organisasi yang bernama negara, karenanya pers dipengaruhi bahkab ditentukan
oleh falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu hidup. Pers di negara
dan di masyarakat tempat ia berada bersama mempunyai fungsi yang universal.
Akan tetapi, sejauh mana fungsi itu dapat dilaksanakan bergantung pada falsafah
dan sistem politik negara tempat pers itu beroperasi.
Kajian utama dari hal ini adalah ketika suatu media
bisa mengantarkan berbagai aspek politik yang bisa berjalan spekualan di masyarakat.
Karena politik juga mempengaruhi perkembangan media massa yang berada di suatu
negara. Dan media juga merupakan sarana paling efektif untuk jalanya suatu
perpolitikan, karena media massa memiiki kekuatan yang besar dalam
menyebar luaskan pesan-pesan politik, sosialisasi politik dan membentuk opini
publik
Masig –masing media memiliki kecenderungan yang
berbeda-beda dalam membentuk citra katakanlah sebuah ormas atau partai. Dimana
pencitraan itu pasti akan mnimbulkan opini publik tertentu terhadap parpol Media
masa semata-mata berfungsi menjadi saluran atau media komunikasi politik ,
tetapi juga turut aktif dalam membentuk citra dari isi (pesan ) yang ingin
disampaikan. Secara tekhnis dalam kurun waktu musim kampanye, pers terkena
dampak beberapa kejadian lewat komuniaksi politiknya karena ada beberapa alasan
diantaranya. Pertama, kehidupan politik memeperlihatkan aktifitasnya secara
nyata, karenanya lebih menarik untuk diamati ; kedua, persaingan antar kekuatan
politik tampak terbuka sehingga mudah diikuti setidaknya melalui media
massa; ketiga, perhatian media keapada aktifitas
politik tersebut luar biasa besar dan yang lebih penting lagi terdapat pretensi
bahwa media massa terlibat dengan kegiatan politik partisan kepada salah satu
kekuatan politik yang diliputnya atau yang di jagokannya. Sesuai dengan UU
nomer .. bawasanya pers merupakan lembaga yang memiliki sifat kredibilitas yang
tinggi sesuai dengan UU Pers
No. 40 Tahun
1999 dan UU Penyiaran No. 32 Tahun
2002 kemudian ditetapkan untuk menjamin kebebasan dan independensi media massa.
Walaupun masih banyak tanda
tanya apakah kedua undang-undang ini sudah cukup mampu menjamin pers sebagai kekuatan keempat (fourth estate) dari demokrasi. Media massa
yang terjamin kebebasan dan independensinya pada gilirannya menguntungkan
semuanya, baik negara maupun masyarakat. Walaupun seringkali dianggap merugikan kepentingan-kepentingan politik tertentu, namun ada juga hal
yang menguntungkan kepentingan politik seperti yang di bahas pada hal tadi. Dewasa
ini seringkali pers diragukan kredibilitasnya alih alih untuk mengangkat pamour
atau bertahan dari persaingan, kerapkali pers memiliki tangan kanan sebuah
partai, bahwasanya sebuah media mengkonstruksikan secara positif sebuah
kekuatan politik yang sama dengan ideologi dan visi politik media itu sendiri.
Gambaran bagaimanakah jika suatu media dan politik berbeda visi dan ideologi?
Apa maksud yang bisa kita tangkap kalau
ada satu kekuatan politik memperoleh penggambaran yang positif padahal
diantarnya keduanya media dan parpol memiliki latar belakang ideologis dan
politis yang berbeda? Adakah kemungkinan penjelasan lain dan apa maknanya jika dia
menggambarkan secara negatif sebuah partai politik padahal diantara keduanya
memiliki orientasi yang sama . Adakah hal itu dipentingkan karena faktor
ekonomi atau kepentingan tekhnis belaka?
Keberadaan seorang pembaca seperti tidak diperhitungkan dalam hal ini,
boleh jadi pemihakan suatu parpol dilakukan dalam rangka memuaskan massa sebuah
partai . Dengan kata lain bisa saja muatan ideologis dan politis dijadikan
dasar untuk mempertahankan pasar ( kepentingan ekonomi) tatkala suatu media
katakanlah sebuah koran memberitakan sebuah partai politik. Dengan kata lain kemenangan seorang caleg
bukanlah tidak mungkin hanya semata-mata dari proses retorikanya saja. Nuansa
kontestasi sengit perpolitikan Indonesia dengan menjadikan media sebagai corong
artikulasi partai politik. Kontestasi tersebut berupa perang opini berita,
komentar, maupun konten berita antar berbagai partai politik sehingga pada
akhirnya informasi yang disajikan oleh media akan tidak valid dan kredibel,
malahan akan menyesatkan opini masyarakat. kondisi yang sedemikan tentunya akan
sangat menyedihkan bagi insan pers yang menjunjung tinggi kenetralan media
dalam upaya mencerahkan dan sumber pengetahuan masyarakat. maka dapat dikatakan
bahwa inilah masa media capture of capitalism. Kapitalisme yang menyandera
pemberitaan media massa.
Media Capture of Capitalism
Terminologi tersebut diperkenalkan oleh Noam Chomsky (2004) dalam bukunya yang
berjudul Media Control : The Spectacular Achievement of Propaganda. Chomsky
mencontohkan kasus yang terjadi dalam pemberitaan media yang tidak independen
dalam media massa Amerika Serikat. Dia mencontohkan Fox News maupun CNN yang
cenderung membela kepentingan partai Republik di Kongres sehingga membuat
masyarakat Amerika sendiri menjadi terpengaruh untuk menjadi republikan. Tentu
saja, Rupert Murdoch adalah dalang di balik semua pemberitaan Fox maupun CNN
tersebut dimana Murdoch yang merupakan seorang konservatif adalah republikan
sejati. Hal tersebut terbukti dalam pemilu AS pada tahun 2003 dimana Fox News
secara gencar mempengaruhi publik Amerika Serikat untuk memilih George Walker
Bush menjadi presiden AS untuk periode kedua kalinya. Pemberitaan Fox News
sendiri menelikung berbagai pemberitaan mengenai kejahatan kemanusiaan akibat
perang invasi Amerika Serikat ke Iraq maupun Afghanistan sebagai bentuk
apresiasi melawan terorisme. Oleh karena itulah Fox maupun CNN sendiri secara
tidak langsung menjadi sandera Murdoch untuk senantiasa mendukung Republikan.
Kapitalisme justru membuat dan mengebiri kode etik jurnalisme media massa
Amerika Serikat yang cenderung humanitarian dan egalitarian dalam
pemberitaanya. Kapitalisme media justru membuat pemeritaan menjadi saluran
propaganda yang pada akhirnya menurunkan derajat pemberitaan media itu sendiri
sehingga hanya menjadi sampah informasi bagi masyarakat. Hal tersebut
dikarenakan konten berita hanya berisi sanjungan maupun pujian kepada politisi
partai politik dan bukannya berita kritis aspiratif. Media kehilangan fungsi
kontrol dan kritis kepada pemerintahan dan kelak akan kehilangan tempat di mata
masyarakat karena bukannya mencerahkan masyarakat malahan membodohi masyarakat
dengan berita yang sumir dan tidak kredibel.[2]
Kondisi ini bisa di realisasikan pada kehidupan di
indonesia sepertihalnya Metro TV maupun TV One yang di pegang oleh politisi kelas atas. Media
yang acap kali disebut sebagai gerbang informasi masyarakat Indonesia justru
juga kehilangan independensinya dalam pemberitaan. Kita ambil contoh dalam
pemberitaan lumpur lapindo, TV One sendiri enggan untuk memberitakan kasus
tersebut secara lugas, tajam, dan kritis seperti pada pemberitaan pada umumnya.
TV One justru menampilkan sisi baik lumpur Lapindo sebagai sarana pariwisata
alternatif di Jawa Timur dan hirau akan nasib pengungsi di desa Siring, Mindi,
maupun Reno Kenongo yang terlunta – lunta. Kondisi yang sedemikan justru
dimanfaatkan Metro TV untuk menyerang pemberitaan TV One yang mengangkat secara
besar-besaran kasus kejahatan kemanusiaan Lumpur Lapindo. Kondisi serupa juga
terjadi dalam pemberitaan mengenai pembentukan Partai Nasional Demokrat.
Pemberitaan TV One mengeksploitasi secara berlebihan pembentukan partai tersebut,
sementara Metro TV memberitakan secara halus bahwa Nasdem adalah partai
aspiratif. Oleh karena irulah dapat dikatakan bahwa kontestasi pemberitaan TV
One maupun Metro TV melambangkan persaingan politik antara Aburizal Bakrie
maupun Surya Paloh yang selama ini kurang akur sejak Munas Golkar di Riau pada
2009 silam.
Penulis sendiri
mengkhawatirkan hal serupa terjadi dalam pemberitaan MNC Group seiring dengan
masuknya Harry Tanoesoedibjo menjadi pengurus Partai Nasdem. Dikhawatirkan
kualitas pemberitaan MNC yang selama ini terkenal dengan isu sosial budayanya
akan terseret ke dalam arena politik yang sebearnya bukan domain pemberitaan
MNC Group. Maka bisa dibayangkan apa jadinya pemberitaan Media Indonesia,
Harian Suara Karya, maupun Koran Seputar Indonesia yang akan saling sikut
menyikut dalam pemberitaannya.
Untuk itu peran dewan pers sesegara mungkin untuk
mencegah hal tersebut terjadi dengan membentuk regulasi yang tegas untuk tidak
membela kepentingan pemiliknya dan lebih memperhatikan kepentingan untuk
mencerahkan pengetahuan masyarakat. Dewan Pers sekiranya perlu memperkuat kode
etik jurnalisme untuk mencegah kongkalingkong media dan partai politik.
Pers dalam kehidupan politik, mampu menciptakan
berbagai spekulasi dan opini publik. Pmeberitaan tentang politik (aktor, partai
politik dan peristiwa politik) senantiasa mengundang perhatian , tanggapan dan
bahkan tindakan politik. Hal ini disebabkoan oleh strategis dan besarnya
kemampuan media dalam mengkonstruksikan realitas politik.
Dalam menciptakan suatu sinergisitas antar kelompok
masyarakat. Sebagai
lembaga kemasyarakatan, pers merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia
berada bersama dengan subsistem lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup
secara mandiri, tetapi dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lain.
Bersama-sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya itu, pers berada
dalam keterikatan organisasi yang bernama negara, karenanya pers dipengaruhi
bahkan ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu
hidup. Pers di negara dan di masyarakat tempat ia berada bersama mempunyai
fungsi yang universal. Akan tetapi, sejauh mana fungsi itu dapat dilaksanakan
bergantung pada falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu beroperasi.
Referensi:
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi, 2008.
Hamad, Ibnu. Peran Media
Massa dalam Konstruksi Politik. Jakarta: Granit, 2004.
Jakob, Oetama. Pers
Indonesia Berkomunikasi Tidak Tulus. Jakata: PT Kompas Gramedia, 2001.
Prayitno, Aprianto Indria.
“SINERGISITAS PERS DAN PARTAI POLITIK DALAM PEMBANGUNAN DEMOKRASI DELIBERATIF.”
Analisa Poltik, 2011.
No comments:
Post a Comment