Tulisan ini mengangkat masalah
jender dan kesetaraannya. Kajian khusus pada artikel ini membahas tentang
penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender atau
RUU KKG. Dalam hal ini, penolakan tersebut dilakukan oleh Majelis Intelektual
dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI). MIUMI
menilai poin-poin yang terdapat didalam setiap pasal RUU KKG ini bertentangan
dengan nilai-nilai budaya di Indonesia.
Pada setiap pasal yang dikritisi oleh MIUMI, RUU KKG ini bertentangan
dengan etika, moral, budaya, dan agama masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi
etika sopan santun dan adat ketimurannya. Jika RUU KKG ini tetap disahkan,
ditakutkan budaya-budaya yang terdapat di Indonesia akan luntur dan
terlupakan. Selain bertentangan dengan
budaya Indonesia, isi dari RUU KKG ini banyak terjadi ambiguitas kata-kata.
Jika RUU KKG yang banyak memiliki ambiguitas kata-kata ini tetap disahkan tanpa
sebuah revisi, dikhawatirkan akan terdapat banyak pihak yang memanfaatkannya. Ambiguitas kata-kata dalam sebuah rancangan
undang-undang, apalagi sampai disahkan menjadi sebuah undang-undang, akan
memiliki dampak yang signifikan terhadap adat dan budaya Indonesia. Indonesia sangat menjunjung tinggi adat
ketimurannya. Jika RUU KKG ini tetap disahkan dengan banyaknya ambiguitas kata-kata, bukan tidak mungkin
nantinya Indonesia akan menganut faham liberalisme. Faham liberalisme tidak bisa berlaku pada
negara yang menjunjung tinggi adat ketimurannya seperti Indonesia. Etika, moral, budaya, dan agama Indonesia
tidak cocok dengan budaya-budaya barat dengan prinsip kebebasannya itu. Penolakan yang dilakukan MIUMI memiliki dasar
yang cukup jelas dan cukup kuat. Oleh karena itu, perlu pengkajian ulang atas
rancangan undang-undang tersebut sebelum akhirnya disahkan menjadi sebuah
undang-undang.
Kata kunci:
jender, budaya Indonesia, RUU KKG, penolakan
Pendahuluan
Gender adalah suatu sifat
yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural.[1] Dalam teori konstruksi sosial, persepsi
terkait perbedaan laki-laki dan perempuan secara jender kenyataannya dibangun
secara sosial masyarakat. Artinya, pembedaan sifat antara laki-laki dan
perempuan adalah bentukan dominasi dari kelompok-kelompok yang dianggap superior dalam masyarakat.
Perlu dibedakan antara
jender dengan seks dalam konstruksi sosial.
Seks (jenis kelamin) adalah pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin
tertentu. Pada jenis kelamin tidak
mungkin ada pembagian peran yang signifikan dalam konteks sosial dan kultural
dalam masyarakat, karena seks adalah ketentuan biologis yang sering dikatakan
sebagai kodrat manusia dalam eksistensinya.
Seks tidak bisa disamakan
dengan permasalahan jender. Konsep jender lahir karena adanya pembagian peran
antara laki-laki dengan perempuan. Perempuan menuntut kesetaraan hak dan kewajibannya
kepada laki-laki. Karena dasar itulah Indonesia ingin mencoba menerapkan hukum
yang jelas tentang konsep kesetaraan jender.
Pendek kata, permasalahan
tentang kesetaraan jender belum ada ada titik temunya. Dari konsep jender yang
sudah ada di Indonesia perlulah adanya sebuah undang-undang yang mengatur
tentang kesetaraan dan keadilan jender. Oleh karena itu, dalam artikel ini saya
akan membahas tentang rancangan undang-undang kesetaraan jender.
RUU KKG dan
budaya Indonesia
Budaya adalah hasil pikiran
dan kerja manusia yang dilembagakan dalam masyarakat baik secara formal maupun
kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.[2] Budaya berubah dari waktu ke waktu dan/atau
dari zaman ke zaman. Sama halnya dengan
jender, jender dapat berbuah seiring bergulirnya zaman karena jender dibentuk
atas konsepsi manusia. Jender lahir
ketika para kaum perempuan merasa ditindas oleh laki-laki sekitar awal abad
20-an. Kaum perempuan tidak
diperbolehkan bekerja di ruang publik dan hanya diperbolehkan di ruang
domestik. Hal inilah yang membuat kaum perempuan memberontak sampai akhirnya
membuat sebuah komunitas perempuan.
Komunitas perempuan memiliki
para anggota yang merasa dirinya ditindas oleh kaum laki-laki dan ingin
menuntut kesetaraan. Kesetaraan yang
dimaksud adalah kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan. Mereka ingin mendapat pengakuan dari publik
bahwa perempuan tidak hanya dikhususkan bekerja di sektor domestik tetapi juga
bisa handal dalam sektor publik. Atas
dasar inilah kaum perempuan tadi menamai kelompoknya sebagai kelompok feminis.
Kelompok-kelompok feminis inilah yang nantinya memperjuangkan hak asasi
perempuan atas kesetaraan jender dan membuka pikiran setiap orang bahwa
perempuan tidak hanya ditempatkan di sektor domestik tetapi bisa juga di sektor
publik.
Rancangan Undang-Undang
Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) sebagian besar banyak tidak sesuai
dengan budaya bangsa Indonesia yang bermayoritas penduduk beragama Muslim. Seperti yang tertera pada isi dari RUU KKG
pasal 12a memuat “dalam perkawinan, setiap orang berhak memasuki jenjang perkawinan
dan memilih suami atau isteri secara bebas”.
Bila di teliti kembali, kalimat yang terdapat pada isi pasal tersebut
memiliki arti, yaitu laki-laki bebas memilih pasangan apakah itu perempuan
ataupun sesama laki-laki, begitu juga sebaliknya. Sedangkan di Indonesia tidak diperbolehkan pernikahan
sesama jenis. Itu berarti isi pasal
tersebut sudah menyalahi aturan perundang-undangan dan di dalam kata-kata dan
bahasa yang digunakan banyak membuat ambigu.
Ambiguitas kata-kata
tersebut banyak terjadi pada isi dari pasal-pasal yang terdapat dalam Rancangan
Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG). Hal ini membuat pasal tersebut tidak dapat
diterima oleh tokoh-tokoh intelektual agama yang tergabung dalam Majelis
Intelektual Ulama Muda Indonesia atau yang biasa disebut MIUMI. MIUMI menilai, ambiguitas kata-kata tersebut
dapat membuat arti yang berbeda ketika nantinya rancangan undang-undang
tersebut disahkan. Padahal, rancangan undang-undang tersebuat dibuat dengan
harapan membuat hukum tentang jender yang jelas dan tegas.
Pernikahan sesama jenis
bukanlah budaya yang terdapat di negara Indonesia. Seseorang yang ingin menikah sesama jenis
harus mencari negara yang melegalkan hukum pernikahan sesama jenis agar
pernikahan mereka diakui. Itulah salah satu alasan mengapa pasal tersebut ikut
dikritisi oleh MIUMI. Meskipun hanya
ambiguitas kata-kata, hal itu bisa saja dimanfaatkan oleh kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan
Transgender) untuk kepentingan mereka. Kepentingan yang dimaksud, seperti
melegalkan pernikahan sesama jenis.
MIUMI menilai, jika
Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) tetap disahkan
tanpa sebuah revisi, banyak pihak yang akan memanfaatkan celah kesalahan yang
terdapat didalamnya. MIUMI menolak
disahkannya RUU KKG ini secara tergesa-gesa karena ditakutkan akan berpengaruh
signifikan terhadap Indonesia terutama dalam bidang budaya. Kebudayaan nikah sesama jenis yang tidak
terdapat di Indonesia bisa terlahir di negara ini, jika RUU tersebut tetap
dipaksakan untuk segera disahkan tanpa sebuah revisi terutama dalam
redaksionalnya.
Wacana tentang dibuatnya
Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) telah lama
menjadi pembicaraan di kalangan Komisi VIII DPR RI. Mereka menginginkan adanya hukum jelas yang
mengatur tentang kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan
perempuan. Perempuan berhak mendapat
perlindungan dari hal-hal yang berbau pelecehan seksual. Hukum tersebut tentunya berdasarkan apa yang
terjadi di lapangan. Banyak pelecehan
seksual yang terjadi bagi kalangan perempuan.
Beberapa diantara hal yang dapat dikategorikan pelecehan seksual adalah
menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang
dilakukan sangat ofensif, menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan
kotor, mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau
kehidupan pribadinya, meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk
mendapatkan promosi atau janji-janji lainnya, menyentuh atau menyenggol bagian
tubuh tanpa ada minat atau tanpa seizin dari yang bersangkutan.[3]
Banyak yang menjadikan
pelecehan seksual sebagai bahan dari lelucon yang dianggapnya supaya lebih
bersahabat. Padahal, belum tentu pihak
yang dilecehkan senang dengan apa yang dianggap sebagai lelucon tersebut. Bila pihak yang dilecehkan tidak senang
terhadap hal itu maka lelucon tersebut dapat dikategorikan sebagai pelecehan
seksual. Pelecehan seksual yang terjadi
saat ini banyak dilakukan pada ruang-ruang terbuka dan dilakukan secara
terang-terangan. Karena pelaku
melakukannya dengan kesadaran penuh.
Budaya pelecehan seksual
sangat merugikan kaum wanita. Kaum wanita dipaksa untuk menerima segala
pelecehan seksual baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Pelecehan seksual
yang disengaja tersebut, seperti memegang alat vital wanita dalam waktu lama.
Sedangkan pelecehan seksual yang tidak disengaja adalah terpegangnya alat vital
wanita dalam tempo yang sebentar dengan posisi tangan tidak aktif.
Pelecehan-pelecehan seksual
yang terjadi membuat DPR RI Komisi VIII mengambil inisiatif untuk membuat
Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG). RUU tersebut
dibuat DPR dengan harapan agar menjamin terciptanya keberlangsungan dari
kesetaraan dan keadilan gender sehingga tidak ada lagi diskriminasi dan
subordinasi gender, yang sering kali kaum perempuan sebagai korbannya. Adapun tujuan lainnya adalah memberikan
ketegasan hukum terhadap pelaku jender dengan hukuman setegas-tegasnya.
DPR menginginkan adanya
tindak tegas terhadap pelaku pelecehan seksual, kekerasan dan/atau
diskriminasi. Pasal tentang kekerasan
dan/atau diskriminasi tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan
Keadilan Gender (RUU KKG). Pada bab III
pasal 15 ayat 1 Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender berisi
tentang “setiap warga negara berkewajiban untuk mencegah terjadinya kekerasan,
diskriminasi, dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia.” Dengan dibuatnya pasal tersebut, artinya
Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) ingin
melakukan upaya perlindungan terhadap
korban kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan yang merendahkan martabat
manusia seperti yang tercantum pada ayat 3 bab III pasal 15 RUU tersebut.
Tidak hanya tentang
kekerasan atau pelecehan seksual, Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan
Keadilan Gender (RUU KKG) juga membahas tentang hak perempuan untuk ikut
bekerja di sektor publik. Adapun anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat
memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga,
berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab
kaum perempuan.[4]
Padahal, seharusnya perempuan juga mempunyai hak bekerja di sektor publik.
Perihal hak perempuan yang
diizinkan bekerja pada sektor publik seperti politik dan pemerintahan tercantum
dalam rancangan undang-undang kesetaraan dan keadilan gender. Hal itu dibahas pada bab III pasal 4 ayat 2
rancangan undang-undang tersebut berisi “selain hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit
30% (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislatif, eksekutif,
yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementrian, lembaga politik
dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional,
regional, dan internasional.” Artinya,
dalam undang-undang tersebut sudah terdapat gambaran bahwa perempuan juga
berhak mendapatkan kesetaraan dalam hal pekerjaan.
Upaya
penolakan MIUMI terhadap RUU KKG
Penolakan Rancangan
Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender atau RUU KKG oleh Majelis
Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dikarenakan isi RUU tersebut tidak
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Padahal, ketidaksetaraan jender dalam masyarakat Indonesia telah cukup
banyak merubah pandangan laki-laki terhadap perempuan. Saat ini, perempuan sudah tidak hanya di
tempatkan di sektor domestik seperti dahulu tetapi juga sudah banyak yang
bekerja di sektor publik.
Ketidaksetaraan jender dalam
masyarakat Indonesia muncul karena adanya perbedaan peran dan tanggung jawab
antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan inilah yang dijadikan tolak ukur ketidakadilan dan
ketidaksetaraan jender di Indonesia.
Perlu adanya undang-undang yang jelas untuk mengatur kesetaraan dan
keadilan jender di Indonesia. Namun, ketika
wacana rancangan undang-undang tersebut dilontarkan dan hampir disahkan, banyak
pihak yang justru menolak lahirnya rancangan undang-undang tersebut.
Majelis Intelektual dan
Ulama Muda Indonesia (MIUMI) yang paling keras menentang disahkannya Rancangan
Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG). Menurutnya, RUU KKG terutama dalam pasal 1,
2, dan 3 pada bab I memiliki pertentangan dalam Islam.[5] Mereka menilai Rancangan Undang-Undang
Kesetaraan dan Keadilan Gender merupakan rancangan undang-undang yang bersifat
liberal. Pada pasal-pasal yang terdapat
didalamnya tidak terkandung aspek utama Pancasila, yang merupakan ideologi
negara Indonesia, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Masih menurut MIUMI, isi dari pasal-pasal
itupun mengandung nilai-nilai yang mengindikasikan tidak menghormati hak-hak
umat Islam.
Majelis Intelektual dan
Ulama Muda Indonesia menilai, Rancungan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan
Gender terlalu berkiblat pada paham liberalisme dan nilai-nilai Barat yang
tidak memiliki basis filosofis, ideologis, sosial, dan budaya. Seperti pada bab III bagian pertama, didalamnya hanya di persoalkan
masalah politik dan pemerintahan, kewarganegaraan, pendidikan, komunikasi dan
informasi, ketenagakerjaan, kesehatan dan keluarga berencana, ekonomi, hukum,
dan perkawinan. Tidak dibahasnya masalah
sosial dan budaya. Padahal, negara
Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi agama, budaya, etika, dan
moral.
Tidak ada keterlibatan aktif
dari masyarakat perihal pembuatan Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan
Keadilan Gender (RUU KKG). Inilah yang
membuat banyak penolakan terjadi.
Masyarakat tidak mendapatkan fasilitas untuk ikut berpendapat dalam
perumusahan rancangan undang-undang ini.
Itulah yang menjadi salah satu alasan Majelis Intelektual dan Ulama Muda
Indonesia (MIUMI) menentang keras disahkannya Rancangan Undang-Undang
Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG). Jika sejak awal proses perumusannya
melibatkan masyarakat, kecil kemungkinan terjadi banyaknya penolakan seperti
yang sedang terjadi saat ini.
Pembuatannya murni karena
konsep dari anggota DPR Komisi VIII yang mengusulkan dibuatnya rancangan
undang-undang tersebut. Padahal
seharusnya, pembuatan rancangan undang-undang menilik pasal 53 UU Nomor 10
Tahun 2004 dan pasal 39 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004, serta penjelasannya
dapat diketahui bahwa masyarakat berhak memberikan masukan dalam rangka
persiapan atau pembahasan rancangan Perda.
Masukan masyarakat tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tertulis,
dan hak masyarakat tersebut dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib
DPRD.
Majelis Intelektual dan
Ulama Muda Indonesia (MIUMI) menilai, pembuatan Rancangan Undang-Undang
Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) mengacu pada paham-paham
liberalisme. Perumus konsep kesetaraan
jender ini telah didorong oleh nilai-nilai budaya barat yang sebenarnya tidak
cocok digunakan di negara yang memiliki adat ketimuran ini. Padahal, konsep kesetaraan yang dianut
negara-negara barat karena penindasan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan
selama berabad-abad.
Budaya barat mengaplikasikan
konsep kesetaraan jender karena memiliki latar belakang historis yang cukup
memilukan untuk kaum perempuan. Ketertindasan kaum perempuan yang selama
berabad-abad lamanya menjadikan perempuan-perempuan di negeri barat memborontak
dan meminta haknya sebagai perempuan. Perempuan-perempuan barat yang merasakan
ketertindasan juga menginginkan dikembalikan hak asasinya sebagai perempuan,
yaitu mendapat perlindungan.
Kentalnya budaya di
Indonesia telah berubah semenjak dicetuskannya ide jender ini. Salah satunya
adalah budaya sopan santun. Budaya sopan
santun yang dimaksud, seperti perempuan dari suku Jawa yang berlindung dan
menuruti nasehat laki-laki. Kini, perempuan banyak yang memberontak dan
menyetujui dibuatnya RUU KKG. Perempuan
yang menyutujui dan ingin segera disahkannya RUU KKG ini biasanya tergabung
dalam komunitas-komunitas pembela hak asasi perempuan. Padahal budaya suka Jawa tersebut sudah
berlangsung cukup lama dan turun-temurun.
Dahulu, di Jawa ada anggapan
bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur
juga.[6] Namun, hal pandangan tersebut telah
dipatahkan oleh perjuangan RA. Kartini dalam merebut emansipasi wanita. Berakar dari masalah tersebut, jender lahir
dan ingin diperjuangkan. Bukan hanya karena ingin memperoleh pendidikan yang
setara, tetapi juga pekerjaan yang disetarakan.
Perempuan-perempuan yang
tergabung dalam komunitas feminis memandang banyaknya terjadi subordinasi
terhadap perempuan. Anggapan bahwa
perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil
memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang
tidak penting.[7] Hal inilah yang membuat kaum feminis
menginginkan haknya sebagai manusia, yaitu berhak memimpin dan dipimpin.
Konsep berhak dipimpin dan
berhak memimpin sudah tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan
Gender (RUU KKG) yang juga menjadi penolakan Majelis Intelektual dan Ulama Muda
Indonesia (MIUMI). Konsep tersebut
tertdapat pada bab III pasal 4 ayat 2, yaitu “perempuan berhak memperoleh
tindakan khusus sementara paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dalam hal
keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga
pemerintahan non-kementrian, lembaga politik dan lembaga non-pemerintah,
lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional.” Dalam pasal tersebut terdapat kata,
memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30 persen, artinya mau
tidak mau dalam hal keterwakilan di legislatif dan lain-lain harus mendapatkan
30 persen dari jatah bangku yang ada.
Target aktivis KKG adalah kesetaraan secara kuantitatif antara laki-laki
dan perempuan, terutama di ruang publik, perempuan Indonesia dipaksa untuk
aktif di lapangan politik dan pemerintahan dengan mendapatkan porsi minimal 30
persen.[8]
Kesalahpahaman terbesar
terjadi pada perumus Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender
(RUU KKG). Pada kata-kata paling sedikit
30 persen, artinya perempuan harus terlibat aktif dalam politik pemerintahan. Hal itu memaksa kaum perempuan bekerja pada
instansi politik dan pemerintahan sekurang-kurangnya 30 persen. inilah yang diinginkan kaum feminis ekstrim
yang merasa dirinya dan perempuan Indonesia lainnya ditindas oleh laki-laki
karena dipaksa bekerja di ruang domestik.
Kejanggalan kembali terjadi
pada bab III pasal 15 ayat (dyang memiliki isi “menanamkan nilai-nilai
kesetaraan dan keadilan gender kepada anak sejak usia dini dalam keluarga”.
Jika sejak usia dini seorang anak sudah diajarkan nilai-nilai kesetaraan dan
keadilan gender maka anak tersebut akan jauh dari agama. Hal tersebut yang
tidak diinginkan oleh Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia
(MIUMI). Ketakutan seorang anak jauh
dari agama adalah salah satu bentuk penolakan MIUMI terhadap RUU KKG.
Ustaz Henri Shalahuddin,
M.A. dari MIUMI menawarkan keserasian jender bukan kesetaraan jender karena
keserasian jender tidak menuntut persamaan.
Konsep persamaan jender terdapat dalam bab I pasal 1 ayat 2 yang berisi tentang,
“kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan
laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol,
dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” Dalam konteks bahasa yang terdapat dalam
pasal tersebut, terdapat kata kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan
laki-laki. Sedangkan, menurut agama
laki-laki dan perempuan tidak dapat disamakan dan/atau disejajarkan. Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan
MIUMI menolak RUU KKG.
Dalam agama Islam, laki-laki
dan perempuan tidak dapat disamakan dan/atau disejajarkan karena hal itu
terdapat dalam wahyu Allah. Dengan
alasan itu, MIUMI bersikeras menolak disahkannya RUU KKG. Isi-isi dari RUU KKG tidak berdasarkan pada
firman Allah dan melanggar nilai dari Pancasila, yaitu sila pertama. Pasal-pasal yang terdapat didalamnya berisi
faham-faham liberalisme yang jauh dari agama dan budaya negara bermayoritas
penduduk muslim ini. Selain pasal-pasalnya
yang mengandung nilai liberalisme, RUU inipun sarat akan kecacatan.
Kecacatan-kecacatan yang terjadi bukan satu atau dua hal yang ditemui, tetapi
banyak sekali. Keanehan dalam setiap pasalpun menjadi pengamatan serius MIUMI.
Maka dari itu, MIUMI menentang keras disahkannya RUU KKG ini.
Dengan kata lain, perlu
banyak perubahan mendasar terkait dibuatnya rancangan undang-undang keadilan
dan kesetaraan gender. Agar hukum yang
mengatur tentang kesetaraan dan keadilan gender semakin jelas. Diharapkan tidak ada lagi penolakan-penolakan
terkait dibuatnya rancangan undang-undang kesetaraan dan keadilan gender. Padahal, rancangan undang-undang tersebut
telah banyak disetujui kaum perempuan yang termasuk dalam golongan
feminis. Mereka tidak mempermasalahkan
isi dari RUU KKG ini. Karena menurut
mereka rancangan undang-undang tersebut adalah sebuah niat baik dari kalangan
anggota DPR yang ingin menyejahterakan kaum perempuan.
Penutup
Jika banyak yang mengatakan
bahwa penolakan Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia atau MIUMI tidak
beralasan, pembahasan-pembahasan yang telah diutarakan dalam
pembahasan-pembahasan artikel ini telah memberikan bukti bahwa penolakan MIUMI
beralasan. Banyak aspek yang dikaji oleh
MIUMI yang menurutnya tidak pantas dijadikan sebuah undang-undang. Undang-undang yang lahir di negara ini
haruslah yang berasaskan ideologi Pancasila dan budaya-budaya di Indonesia
Penolakan-penolakan yang
diutarakan oleh MIUMI berdalih agama sebagai faktor utamanya. Dalam Pancasila sila pertama jelas tertulis,
Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, agama dijadikan alat nomer satu dalam
pembuatan sebuah undang-undang. Jika pembuatan sebuah rancangan undang-undang
tanpa melihat aspek agama maka rancangan undang-undang tersebut patut
dikritisi.
Selain faktor agama, MIUMI
juga merinci masalah redaksional dan ambiguitas kata-kata. Ambiguitas kata-kata banyak terjadi pada
setiap pasal yang terkandung dalam RUU tersebut. Dikhawatirkan ambiguitas kata-kata itu dapat
berdampak negatif yang signifikan. Berdampak negatif yang signifikan karena
dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang termarjinalkan di Indonesia. Pihak yang
dimaksud adalah kaum LGBT (Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender).
Kaum-kaum LGBT bisa jadi tidak
dimarjinalkan lagi jika RUU KKG ini tetap dipaksa untuk disahkan. Padahal, kaum LGBT ini dimarjinalkan karena konsep yang mereka punya tidak sesuai
dengan budaya Indonesia. Mereka memegang konsep liberalisme yang dikandung oleh
negara-negara barat. Mereka lupa bahwa
adat ketimuran tidak mengizinkan pernikahan sesama jenis. Untuk itu, MIUMI
menentang keras disahkannya Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan
Gender (RUU KKG) ini.
Dengan kata lain,
penolakan-penolakan yang diajukan MIUMI memiliki dasar yang cukup kuat. Penolakan yang dilakukan MIUMI bukan
semata-mata karena kepentingan golongannya melainkan karena ingin Indonesia
tetap menjunjung tinggi adat ktimuran dan religiusitasnya. Maka dari itu, perlu adanya perombakan yang
menyeluruh terhadap RUU KKG ini.
Daftar Pustaka
Simatauw,Meentje. Gender
& Pengelolaan Sumber Daya Alam: Sebuah Panduan Analisis. Kupang: PIKUL,
2001.
Fakih, Mansour. Analisis Gender.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
“MIUMI Serahkan Berkas Penolakan RUU KKG,” miumipusat.org. Terakhir
dimodifikasi 18 Juni, 2012,
http://miumipusat.org/index.php?option=com_content&view=article&id=133:miumi-serahkan-berkas-surat-penolakan-ruu-kkg&catid=34:news&Itemid=63.
Husaini, Adian. “RUU Kesetaraan Gender Perspektif
Islam.” Islamia, no. 23 (2012): 1-4.
Rancangan Undang-Undang Republik
Indonesia tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender
[1] Meentje Simatauw, Gender & Pengelolaan Sumber Daya Alam: Sebuah
Panduan Analisis, (Kupang: PIKUL, 2001), 7.
[2] Meentje Simatauw, Gender & Pengelolaan Sumber Daya Alam: Sebuah
Panduan Analisis, (Kupang: PIKUL,
2001), 13.
[3] Mansour Fakih, Analisis Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),
20.
[4] Mansour Fakih, Analisis Gender (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), 21.
[5] “MIUMI Serahkan Berkas Penolakan RUU
KKG,” miumipusat.org, terakhir dimodifikasi 18 Juni 2012,
http://miumipusat.org/index.php?option=com_content&view=article&id=133:miumi-serahkan-berkas-surat-penolakan-ruu-kkg&catid=34:news&Itemid=63
[7] Fakih, Mansour, Analisis Gender (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), 15.
No comments:
Post a Comment