Tulisan ini menganalisis mengenai kebijakan Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah
Daerah Purwokerto, Banyumas terhadap pengaturan pedagang kaki lima di Jalan
Jenderal Soedirman. Artikel ini menganalisis mengenai proses pembentukan
peraturan daerah yang sesuai prosedur yaitu harus mengambil sistem Bottom Up (
dari bawah ke atas ) tidak secara Top Down ( dari atas ke bawah ). Analisis
menunjukkan bahwa peraturan daerah yang dibuat oleh Pemerintah Daerah
Purwokerto mengandung kemungkinan bahwa peraturan dibuat secara Top Down
mengingat masih banyaknya masyarakat yang kurang sosialisasi mengenai adanya
Perda No. 4 Tahun 2003 yang mengkhususkan penataan pada pedagang kaki lima. Hal
ini terbukti pada adanya kericuhan saat penggusuran lapak pedagang kaki lima di
Jalan Jenderal Soedirman pada sekitar tahun 2011. Banyak dari para pedagang
kaki lima berpendapat bahwa sebelumnya tidak ada sosialisasi dari Pemerintah
Daerah tentang permasalahan lapak mereka dan mereka mengaku bahwa Perda yang
mengatur pedagang kaki lima tersebut tidak menguntungkan para pedagang kaki
lima sama sekali. Mereka tidak mendapat tindak lanjut apapun sebagai pernyataan
tanggung jawab atas kesejahteraan pedagang kaki lima yang juga merupakan bagian
dari masyarakat. Selain itu, tujuan penulisan artikel ini adalah untuk
mengetahui pertimbangan segi aspek sosial dan ekonomi serta kefektifitasan
adanya peraturan daerah tersebut. Masalah seperti ini jika tidak mendapat
tindak lanjut yang serius, maka bukan tidak mungkin akan menjadi masalah baru
yang cukup pelik di Purwokerto. Oleh karena itu dibutuhkan tanggung jawab penuh
atas kekuasan otonomi Pemerintah Daerah Banyumas untuk menyejahterakaan
masyarakatnya dengan menyusun suatu kebijakan yang berbasis kerakyatan.
Key
words : pedagang kaki lima – pemerintah
daerah – kebijakan daerah - perda no.3 tahun 2004
PENGANTAR
Purwokerto adalah ibukota Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Jumlah penduduknya 249. 705 jiwa pada tahun
2005. Secara tradisional, Purwokerto bukan merupakan kota industri maupun
perdagangan. Hingga saat ini, kegiatan-kegiatan industri sangat sedikit
ditemukan di Purwokerto. Jika pun ada industri, hanyalah industri yang masih
tradisional, yang hanya mempekerjakan segelintir orang saja.
Dengan
adanya perkembangan yang cukup signifikan dari jumlah mahasiswa yang semakin
meningkat menyebabkan kemajuan dari segi ekonomi kota Purwokerto. Setali tiga
uang dengan hal tersebut, mulai mengalami peningkatan masyarakat yang membuka
usaha, khususnya makanan. Maka itu, mulai muncullah berbagai masalah mengenai
perijinan-perijinan yang cukup pelik untuk diselesaikan.
Purwokerto
merupakan salah satu kota yang potensial di bidang perdagangan, karena adanya
lapangan kerja yang cukup luas, minat pasar yang lumayan tinggi, namun produsen
atau penyalur yang ada dapat dibilang masih minim. Hal ini menyebabkan para
pengusaha kecil yang mencoba membuka usahanya namun masih terhalang oleh
tempat, dengan tanpa sadar membuka usaha di sembarang tempat, terutama di
trotoar-trotoar yang ada di kota
Purwokerto, sebut saja salah satunya terdapat di Jalan Jenderal Soedirman yang
banyak sekali terdapat para pedagang kaki lima. Pada akhirnya, tata ruang kota
Purwokerto menjadi agak semrawut dengan adanya para pedagang yang menjajakannya
di pinggir jalan.
Dalam
potensi yang ada pada masyarakat terutama dalam bidang perdagangan, Pemerintah
Daerah sudah seharusnya dapat mengimbangi dalam pembuatan kebijakan-kebijakan
baru sebagai usaha menjaga tatanan kota yang sudah ada tanpa merugikan salah
satu pihak. Sehingga, disinilah hadir peranan Pemerintah Daerah bagi pengaturan
masyarakat di masing-masing daerahnya, khususnya Purwokerto, baik yang
berprofesi sebagai pekerja maupun pengusaha-pengusaha kecil yakni para pedagang
kaki lima tersebut.
Di
Jalan Jenderal Soedirman, Purwokerto, sudah lama identik dengan pusat
perbelanjaan masyarakat Purwokerto. Hal ini disebabkan karena ramainya
toko-toko mulai dari pusat onderdil kendaraan bermotor, pusat tekstil dan
bahan-bahan pakaian, hingga pusat perbelanjaan makanan dan minuman murah
disertai dengan mall atau pasaraya menjadikan daerah Jalan Jenderal Soedirman
tak pernah sepi. Dengan adanya lokasi yang strategis di tengah kota dilengkapi
dengan ruko-ruko yang layak untuk dijadikan tempat usaha, tak heran di wilayah
ini hampir seluruh masyarakatnya membuka usaha mulai dari hanya sekedar warung
hingga rumah makan dan tempat karaoke. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat
didaerah lain di Purwokerto mulai mencium aroma bisnis yang lumayan
menguntungkan. Oleh karena itu, mulai menjamurlah lapak-lapak pedagang kaki
lima dengan beragam usahanya yang justru menjadikan wajah Jalan Jenderal
Soedirman menjadi agak kumuh dan berantakan.
Dengan
menjamurnya lapak-lapak pedagang kaki lima mulai dari Jalan Jenderal Soedirman
hingga Alun-Alun Purwokerto mungkin dirasa sangat menguntungkan bagi masyarakat
yang berperan sebagai pembeli. Cukup beragamnya pilihan yang ditawarkan, mulai
dari buah-buahan, tempat makan, hingga segala macam keperluan mahasiswa maupun
masyarakat tersaji dengan relatif banyak dan harga yang ditawarkan cukup murah
dibanding yang ada di mall ataupun pasaraya. Namun pengaturan tata letak yang
seharusnya menjadi pengawalan ketat Pemerintah Daerah dibiarkan begitu saja dan
menjadi salah satu masalah bagi kota Purwokerto.
Ketika
hal ini mulai biasa terlihat di Jalan Jenderal Soedirman, tanpa adanya
pemberitahuan terlebih dahulu, Pemerintah Daerah yang dibantu oleh aparat
pamong praja menggusur lapak-lapak tersebut dengan alasan mengganggu kenyamanan
pengguna jalan raya ( karena mengakibatkan kemacetan-red ) dan juga tidak
memiliki ijin penggunaan lahan untuk membuka tempat usaha. Hal ini dianggap
ganjil mengingat mengapa saat sudah menjamur baru dibersihkan dan bagaimana
tindak lanjut Pemerintah Daerah atas nasib para pedagang kaki lima ini. Oleh
karena itu, seharusnya Pemerintah Daerah sudah memikirkan tindak lanjut
penyediaan tempat usaha kembali jika benar-benar langkah penggusuran harus
diambil.
Dalam
Perda No. 4 Tahun 2003 menjelaskan bahwa prosedur penggusuran pun harus sesuai
dan berjalan tertib. Tertib yang dimaksud ialah Pemerintah Daerah menyiapkan
pemberitahuan terlebih dahulu, kemudian disosialisasikan dengan baik kepada
para pedagang setelah sebelumnya juga menyiapkan tindak lanjut berupa tempat
baru untuk membuka usaha mereka kembali. Peraturan Daerah wajib dijadikan
pedoman atas pengambilan keputusan tindak lanjut Pemerintah Daerah dalam
mengatasi konflik maupun permasalahan. Mengingat saat penyusunan kebijakan,
Pemerintah Daerah sudah harus menyertakan partisipasi masyarakat daerah untuk
mengetahui apa yang diperlukan bagi kemajuan daerah mereka. Kiranya, aspek
ekonomi dan sosial juga harus ikut dipertimbangkan oleh Pemerintah Daerah dalam
pengambilan keputusan atas suatu putusan atau kebijakan. Namun, jika
permasalahan akibat penyelewengan Peraturan Daerah masih terjadi, dapat
disimpulkan bahwa mungkin Pemerintah Daerah yang belum bisa melakukan
pendekatan dan mensosialisasikan dengan baik atau kebiasaan masyarakat politik
yang acuh tak acuh masih melekat kuat pada tiap individu masyarakatnya. Jadi,
adanya permasalahan seperti ini bisa jadi tidak bisa dipertanggungjawabkan
kepada satu pihak saja, tetapi juga harus dievaluasi antara dua belah pihak
yang dapat disimpulkan bahwa apapun masalah yang ada di suatu daerah harus
diselesaikan dengan musyawarah dan damai, bukan dengan kekerasan yang
menimbulkan kericuhan dalam tindak penggusuran yang menimpa para pedagang kaki
lima di Jalan Jenderal Soedirman ini.
Pelaksanaan
Peraturan Daerah yang diambil oleh Pemerintah Daerah Banyumas dirasa masih
kurang efektif dan efisien mengingat masih banyak pelanggaran yang dilakukan
masyarakat yang kiranya masih sangat awam dengan Perda No.4 Tahun 2003
tersebut, sehingga dirasa sangat perlu dievaluasi ulang dengan menyertakan
rakyat melalui sistem Bottom Up ( dari bawah ke atas ) dan bukan sebagai
keputusan yang Top Down dan hanya untuk kepentingan para elit. Sehingga, adanya
kericuhan dan kekerasan pada saat penggusuran pedagang kaki lima di Jalan
Jenderal Soedirman ini sepertinya tidak perlu terjadi kembali mengingat adanya
juga hukum yang melindungi para pedagang kaki lima yaitu Pasal 27 Undang-undang
Dasar 1945 mengenai adanya hak-hak warga Negara untuk mendapatkan pekerjaan dan
kehidupan yang layak. Jadi, hak-hak warga Negara tersebut tetap terlindungi
dengan baik oleh Pemerintah Daerah, khususnya, tetapi tidak melanggar atas
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah.
KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
1. Otonomi Daerah
Otonomi
daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah). Dimana daerah otonom kemudian disebut juga
sebagai suatu daerah yang memiliki kekuasaan tersendiri terhadap segala atas
apa yang ada didaerahnya tersebut. Baik dalam segi kemasyarakatan, birokrasi,
maupun segi ekonomi dan budayanya. Pemerintah Daerah juga memiliki kewajiban
untuk menjaga keamanan dan ketertiban atas keberlangsungan pembangunan dari
segi poleksosbud daerahnya sehingga tercipta situasi yang kondusif atas suatu
penyelenggaraan pemerintahan.
1.1 Dasar Hukum
Kewenangan
suatu daerah untuk mengatur sendiri atas apa yang terjadi di masing-masing
daerahnya memiliki kekuatan hukum, karena apa yang akan masing-masing
Pemerintah Daerah putuskan maupun rundingkan harus melalui proses hukum yang
selalu diawasi dan dimintai pertanggungjawabannya oleh Pemerintah Pusat.
Dasar-dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah ialah :
a. Undang-Undang Dasar 1945
UUD 1945 merupakan landasan awal dan
paling dasar bagi setiap pelaksanaan maupun penyelenggaraan otonomi daerah.
Pasal 18 UUD 1945 menjelaskan adanya pembagian maupun pendistribusian
pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
b. Tap MPR RI
Tap MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang
penyelenggaraan otonomi daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber
Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah
dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Undang-Undang
Undang-undang No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Undang-undang No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Lalu Undang-undang No.32/2004 tentang
pemerintahan daerah. Otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Maka dari itu, otonomi daerah atau disebut juga sebagai
daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang
mempunyai hak atau kewenangan mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut ketentuan sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Penerapan Kebijakan Otonomi Daerah
1.1 Perda ( Peraturan Daerah )
·
Definisi
Perda : Peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang
dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan dari Kepala
Daerah ( Bupati ) atau sebuah peraturan perundang-undangan yang dibentuk
bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah, baik di
tingkat provinsi maupun di Kabupaten/Kota.
·
Prinsip Dasar Pembentukan Perda
1. Adanya dasar konstitusional dalam pembentukan peraturan
daerah
Dasar konstitusional yang seringkali
digunakan dalam penyusunan atau pembentukan peraturan daerah yaitu Pasal 1 ayat
(1) UUD 1945 menyatakan, ‘Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik.’ Selanjutnya Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan,’ Negara Kesatuan
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Artinya,
Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah desentralisasi,
dimana desentralisasi yang sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 adalah
pemberian wewenang yang seluas-luasnya pada Pemerintah Daerah
Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing- masing daerah. Lalu
dalam Pasal 12 Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung
kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi. Jadi, rancangan Peraturan Daerah dapat
berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur atau Bupati/Walikota.
1.2
Pelaksanaan Kebijakan Daerah
Di setiap pelaksanaan regulasi/kebijakan yang diambil
oleh Pemerintah Daerah, sudah sepatutnya seluruh kinerja serta hasil yang
diraih oleh Pemerintah Daerah dipertanggungjawabkan kepada rakyat, karena di
dalam suatu kegiatan ekonomi dari tadisional menuju modern, Pemerintah Daerah
dapat berpartisipasi secara aktif dan menyeluruh di dalam suatu sistem ekonomi
daerahnya tanpa mengurangi ataupun merusak kekuatan pasar itu sendiri.
Pemerintah Daerah sebagai pengendali kebijakan di daerahnya, dapat “datang”
dengan kekuatan memaksa dalam membuat aturan-aturan yang patut ditaati, serta
menentukan arah perekonomian dan timbal balik apa yang akan didapatkan oleh
masyarakatnya. Bahkan sebuah hak berupa kekusaan Pemerintah Daerah untuk
menyusun sebuah kebijakan dilansirkan justru menciptakan raja-raja kecil di
daerah yang mengaliensi kepentingan masyarakatnya. Program Nasional yang
diharapkan mampu dinikmati oleh semua lapisan masyarakat terkendala oleh
kepentingan segelintir pihak elit daerah, termasuk berbagai kasus penyimpangan
dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini dapat terjadi jika
pemahaman beberapa pihak mengenai distribusi kekuasaan di daerah adalah sebagai
tujuan, bukan sebagai jalan sebuah Negara mendekat kepada rakyatnya. Fakta yang
terjadi ini menghadirkan analisa baru mengenai pentingnya peranan pemerintah,
khususnya di tingkat daerah didalam suatu sistem ekonomi. Maka dari itu,
Pemerintah dapat bergerak dan menghasilkan suatu yang positif ataupun yang negatif
dan semuanya akan dibahas pada suatu teori yang disebut teori Regulasi Ekonomi[1].
1.1.1
Dasar dan Fakta Teori
Fokus dalam teori Regulasi adalah pada pelaku yang mendapat
manfaat dan yang menanggung beban. Suatu regulasi atau kebijakan ekonomi
dikeluarkan oleh pemerintah baik pusat maupun di suatu daerah, Purwokerto,
misalnya, dengan tujuan dan maksud tertentu. Terkadang hal ini dilaksanakan
penuh dengan kepentingan-kepentingan segelintir orang. Oleh karena itu,
nyatanya, dampak positif dan negatif tersebut datang secara bersamaan dimana
keuntungan yang dirasa bersamaan dengan kerugian yang didapat.
Jika kerugian yang datang seiring dengan manfaat yang
datang pula, Pemerintah Daerah, dalam hal ini, harus kembali memutar otak dalam
rangka berusaha menekan angka-angka kerugian tersebut dan mengembangkan segi
manfaat yang dicapai sehingga dapat tersebar semaksimal mungkin bagi
pengembangan daerahnya. Sejalan dengan adanya pengaplikasian secara serius dari
Pemerintah Daerah dalam menelaah kasus ini, seperti halnya yang dilakukan
George Stigler yang pada akhirnya justru dapat mengembangkan regulasi ini dan
mendapatkan kebermanfaatan yang tidak sedikit. Sehingga akhirnya, ia mampu
menyusunnya sebagai dasar pedoman menjadi lebih sistematis.
Secara lebih luas dan menyeluruh, teori regulasi ini
dapat ditujukan untuk melihat sisi manfaat dan buruknya suatu regulasi yang
bisa dikaitkan dengan Teori Optimal Pareto[2].
Teori regulasi harus dilaksanakan semaksimal mungkin yang pada tujuannya adalah
sebagai pengembangan manfaat untuk publik atau konstituen dan seminimalnya
menghilangkan dampak negatif atau kerugian yang ada. Jadi,teori regulasi dapat
dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah dengan harapan dapat mengurangi
kerugian yang mungkin akan muncul akibat adanya faktor kesalahan sistem maupun
kesalahan manusia dari segi penanaman pemahaman teori Regulasi ini.
1.1.2
Urgensi Keterkaitan Publik dalam Pembentukan Peraturan
Daerah
Sistem penyelenggaraan Negara merupakan salah satu unsur
penting dalam suatu Negara[3].
Tidak mengherankan bahwa pemicu terjadinya krisis Nasional disertai banyak
persoalan yang menyerang suatu Negara disebabkan oleh adanya tata kelola
pemerintahan yang belum memenuhi kriteria Good Governance yang baik. Oleh
karena itu, setara dengan yang terkandung dalam Tap MPR No. XI/MPR/2009
mengenai Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN dan Undang-undang No. 28
Tahun 1999 mengenai penyelenggara Negara yang bersih, bebas Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme.
Salah satu karakteristik Good Governance yang baik dan
berjalan semestinya adalah dengan adanya
partisipasi atau keterkaitan publik seminimalnya dalam suatu proses pembentukan
keputusan atau kebijakan.
Partisipasi publik yang diharapkan adalah mengenai
tampungan aspirasi mereka yang menjadikan mereka masyarakat politik yang aktif.
Untuk itu, diharapkan kinerja yang dinamis dapat menghasilkan sebuah keputusan
yang dapat berjalan sesuai prosedur dan diharapkan dapat mengurangi konflik
antara pemerintah dan masyarakat yang banyak disebabkan atau menjadi bukti
kegagalan pemerintah suatu daerah dalam menjalankan segi otonom kepada
daerahnya yakni mengatur dan mengelola pemerintahan beserta masyarakatnya.
Masyarakat
yang apatis dapat menjadi momok menakutkan bagi para penyelenggara pemerintahan
suatu Daerah maupun tingkat Negara, karena hal ini dapat menjadi bom waktu bagi
sang penyelenggara pemerintahan yang memungkinkan sudah mencapai titik maksimal
pada tahap pembuatan kebijakan. Hal ini dilontarkan bisa saja hanya untuk
kepentingan masyarakatnya, namun tidak menutup kemungkinan mereka akan
mengaitkan kepentingan pribadi di dalam keputusan yang mereka buat sebagai
tindak nyata atas protesnya mereka terhadap masyarakat yang seolah-olah tak
acuh terhadap hasil kerja mereka. Maka dari itu, hal-hal seperti inilah yang
dapat menjadi “alarm” peringatan bagi tiap pribadi/individu masyarakat untuk
bisa berperan aktif bagi proses penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya.
Pentingnya
keterkaitan publik dalam pembentukan peraturan daerah adalah juga sebagai
pengorganisir maupun pelaksana sehingga peraturan daerah dapat bekerja dengan
baik. Dapat diambil contoh, saat penentuan tingkat tarif pajak bagi masyarakat
di Purwokerto, disinilah masyarakat dapat mengaspirasikan usul-usul mereka bagi
Pemerintah Daerah sehingga Pemerintah Daerah mengetahui dan memahami dimana
letak kemauan dan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Terkadang, hal tersebut
didengarkan Pemerintah Daerah berasal dari segolongan masyarakat saja, tidak
secara menyeluruh. Padahal hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya
disintegrasi didalam pelaksanaan hasil kebijakan tersebut. Sebagai contoh, pada
akhirnya terjadi tindak penggusuran yang merugikan masyarakat kecil atau tidak
mampu, khususnya diakibatkan karena kesalahan prosedur perundingan dan
pengambilan keputusan oleh Pemerintah Daerah.
1.1.3 Relevansi dengan Indonesia Saat Ini
Adanya teori regulasi terutama yang bersifat kedaerahan
ini sebenarnya sangat membantu Pemerintah Daerah, utamanya, dalam memaksimalkan
kinerjanya dalam membangun regulasi yang tepat sasaran. Hal ini juga dapat
diwujudkan dengan adanya dukungan masyarakat yang aspiratif sehingga sistem
yang digunakan pemerintah adalah Bottom Up, bukan hanya sekedar Top Down.
Namun, Indonesia dewasa ini belum mampu memperbaiki kualitas pelayanan
birokrasinya secara penuh sehingga kebijakan yang ditempuh seringkali mengalami
penyelewengan dari sasaran yang sudah ditargetkan sebelumnya.
Bagi Pemerintah Pusat, pengotonomian
daerah dilakukan sebagai salah satu cara memberikan hak penuh bagi
keberlangsungan pemerintahan yang ada di daerah. Sehingga, interaksi yang
terjalin antara Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah
kepada masyarakat, serta Pemerintah Pusat kepada masyarakat menjadi lebih
efektif dan efisien, dimana Pemerintah Pusat juga dapat mengetahui keadaan
masyarakat di suatu daerah tertentu melalui Pemerintah Daerahnya, dan
masyarakatpun dapat mengajukan aspirasinya kepada Pemerintah Pusat melalui
Pemerintah Daerah.
Dalam interaksi yang sudah terjalin
dengan baik antara ketiga pelaku
pemerintahan ( Pusat, Daerah, dan masyarakat ), tidak mustahil dapat
tercipta hasil kinerja yang baik yang dapat membawa manfaat secara maksimal dan
menekan angka kerugian salah satu pihak yang ingin diuntungkan sesuai dengan
apa yang telah dijelaskan dalam Teori Regulasi Daerah. Pada akhirnya, teori ini
dapat teraplikasi dengan baik sebagai parameter keberhasilan kinerja suatu
pemerintahan daerah kepada masyarakatnya.
Selain dapat mengukur keberhasilan
kinerja Pemerintah Daerah terhadap kekuasaan otonominya, jalinan interaksi
kepada masyarakat juga sebagai bentuk tanggung jawab penuh pemerintah terhadap
kepentingan serta kebutuhan masyarakat di daerahnya. Misalnya, di dalam
pembahasan artikel ini menyangkut hak-hak pedagang kaki lima yang sedikit
terpinggirkan menjadi salah satu kepentingan masyarakat yang seringkali kurang
ditanggapi oleh Pemerintah Daerah. Pada akhirnya, hal tersebut justru
seringkali menjadi pemicu atas apa yang menjadi konflik antara Pemerintah
Daerah dan masyarakatnya.
Kurangnya komunikasi serta
sosialisasi atau pendekatan Pemerintah Daerah kepada masyarakat guna
memperbaiki sistem maupun penyuluhan mengenai prosedur pengambilan keputusan
Peraturan Daerah dirasa menjadi salah satu pemicu dimana masyarakat kurang
paham dan sadar atas bagaimana mengaspirasikan keinginan dan hak mereka atas
penyelenggaraan pemerintahan secara Good Governance yang lebih menekankan pada partisipasi
aktif masyarakat kepada pengembangan serta kemajuan daerahnya. Pada akhirnya,
dirasa perlu tindakan lebih dari segi Pemerintah Daerah yang notabene mempunyai
tanggung jawab atas sebuah kekuasaan dari Pemerintah Pusat untuk bersikap
produktif dan profesional menangani permasalahan di masing-masing daerah
bawahannya yang mempunyai karakteristik masyarakat berbeda-beda.
Masyarakat sebagai obyek
pemerintahan merangkap pengawas pemerintahan yang berkedaulatan kerakyatan,
sebenarnya dapat menjadi sarana atas tampungan-tampungan “inspirasi” yang
dirasa cukup memungkinkan untuk ditindaklanjuti menuju sebuah kebijakan.
Kebijakan disini ialah kebijakan yang berbasis kerakyatan dan memungkinkan atau
pasti disetujui oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun, terkadang penyelewengan
terjadi dalam hal ini sehingga menyebabkan hubungan keduanya menjadi kurang
harmonis dan seringkali menyebabkan masyarakat bertindak apatis atau masa bodoh
terhadap masalah-masalah yang ada di daerahnya sehingga mengesankan bahwa pemerintah
lamban dan kurang cepat tanggap terhadap permasalahan yang ada. Oleh karena
itu, pengkhususan cara pendekatan Pemerintah Daerah cukup ideal menjadi “angin
segar” dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di suatu daerah.
KAITAN OTONOMI DAERAH DAN GOOD
GOVERNANCE
1.
Definisi Good Governance
Good Governance adalah seluruh rangkaian proses
pengambilan keputusan atau kebijakan oleh pemerintah setempat ( baik pusat
maupun daerah ) dimana keputusan tersebut diimplementasikan atau tidak. Di
dalam sebuah Good Governance, dileburkan antara pemerintah dan yang diperintah,
sehingga tidak menekankan adanya suatu kedudukan maupun jabatan karena kita
semua adalah bagian dari proses Good Governance. Pada akhirnya, Good Governance
lebih menekankan kepada adanya keberlangsungan proses pengambilan keputusan
yang transparan dan tepat sasaran, dimana keputusan tersebut hasil dari
aspirasi masyarakat yang dirundingkan oleh pemerintah dan mengambil hasil yang
terbaik.
Ketika
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara wajib melayani setiap warga
negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus dilaksanakan oleh
pemerintah sebagai penyelenggara negara yaitu dalam berbagai sektor pelayanan,
terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar
masyarakat. Dengan kata lain seluruh kepentingan yang menyangkut hajat hidup
orang banyak itu harus atau perlu adanya suatu pelayanan.
Kepentingan
hajat orang banyak dalam bahasan artikel ini ialah kepentingan yang
berorientasi kepada seluruh lapisan masyarakat. Bukan saja kehadap segelintir
orang yang menjadikan kemampuan financial mereka sebagai senjata mereka untuk
mendapatkan kepentingan secara sepihak. Dalam hal ini seperti para pedagang
kaki lima, mereka mendirikan lapak-lapak dipinggir jalan atau menggunakan
trotoar sebagai tempat usaha karena tidak mempunya dana lebih untuk membeli
maupun menyewa tempat yang disediakan oleh Pemerintah Daerah atau bahkan
Pemerintah Daerah tidak menyediakan sarana tempat lain sebagai lapak baru yang
murah dan mempunyai investasi bisnis yang cukup menguntungkan.
2. Otonomi
Daerah dan Good Governance
Seperti yang sudah dibahas dalam paragraf sebelumnya,
otonomi daerah dibentuk atas dasar pembagian wewenang pengaturan sebuah daerah
dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, dimana dalam hal ini,
Pemerintah Daerah bertanggung jawab penuh atas daerah yang dibawahinya.
Pelaksanaan otonomi daerah juga dimaksudkan agar keefektifitasan pengambilan
kebijakan oleh Pemerintah Daerah berjalan tepat karena pemahaman yang lebih
oleh Pemerintah Daerah mengenai seluk-beluk daerahnya. Hal ini termasuk di
dalam suatu proses berjalannya Good Governance yang baik. Oleh karena itu,
pemerintah sebagai penyedia layanan publik memang sudah seharusnya menjadi
lebih dekat terhadap masyarakat agar pengarahan atas pengambilan kebijakan
berjalan dengan bijak tanpa ada satu pihakpun yang dirugikan.
Adanya reformasi dalam sistem pemerintahan yang
didasarkan pada prinsip demokrasi yang juga disuarakan pada reformasi total
tahun 1998 yang lalu, membuat perubahan fundamental pada sistem tata
pemerintahan lokal, dimana salah satunya adalah tuntutan untuk ikut
berpartisipasi politik secara aktif dalam setiap pengambilan
keputusan/kebijakan oleh pemerintah[4].
Melalui Undang-undang no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah atau yang
lebih dikenal sebagai UU Otonomi Daerah. UU ini secara fundamental merubah
sistem pemerintahan daerah sebelumnya (yang diatur melalui UU Nomor 5 Tahun
1974) yang menekankan kepada kekuasaan eksekutif ke arah kekuasaan legislatif
dan partisipasi masyarakat.
KESIMPULAN DAN SARAN :
Purwokerto
sebagai ibukota kabupaten Banyumas memiliki banyak potensi atas sumber daya
alam beserta masyarakatnya. Kegiatan industry di kota ini dapat dikatakan masih
sangat sedikit karena banyak dari masyarakat masih mengandalkan dalam mata
pencaharian petani ataupun industri-industri kecil-kecilan seperti industri
rumahan yang hanya mempekerjakan segelintir orang saja. Namun, dibalik itu,
kota Purwokerto memiliki potensial yang cukup besar di bidang ekonomi, yaitu
perdagangan. Dengan cukup meningkatnya jumlah “penghuni baru” kota ini yang
hampir sebagian besar merupakan mahasiswa dari luar Purwokerto, membuat kota
ini menjadi semakin ramai. Hal ini yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat asli untuk meningkatkan kapasitas kesejahteraan hidupnya melalui
perdagangan. Tak heran, di hampir seluruh bagian kota Purwokerto banyak
ditemukan pusat-pusat keramaian, termasuk yang terdapat di Jalan Jenderal
Soedirman, Purwokerto. Di daerah ini, banyak ditemukan pedagang-pedagang kaki
lima yang dengan leluasa membuka usahanya di pinggir-pinggir jalan bahkan di trotoar.
Oleh karena itu, disekitar tahun 2011, wajah Jalan Jenderal Soedirman menjadi
sedikit berantakan.
Pemerintah
Daerah dalam hal ini, sudah seharusnya bertindak sesuai kapasitasnya mengelola
tata ruang kota seapik mungkin. Namun, bukan berarti harus disertai kekerasan
dalam mengatasi masalah pedagang kaki lima, dikarenakan sesuai dengan Pasal 27
UUD 1945 bahwa setiap Warga Negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan
yang layak serta Perda No. 4 Tahun 2003 mengenai proses penggusuran yang harus sesuai
prosedur dan berjalan tertib. Maka itu, inilah yang menjadi pekerjaan rumah
bagi Pemerintah Daerah untuk menindak lanjuti permasalahan yang ada tanpa
merugikan satu pihak.
Terkadang,
permasalahan penggusuran merupakan momok menakutkan bagi para pedagang kaki
lima, dikarenakan setelah adanya penggusuran tersebut, mereka menjadi
penggangguran. Hal ini disebabkan karena tidak ada tanggung jawab dari
Pemerintah Daerah untuk menyelamatkan kesejahteraan para pedagang kaki lima
tersebut. Oleh karena itu, tindak lanjut berupa tempat usaha baru dan uang
ganti rugi dapat menjadi pemecah masalah atas penggusuran.
Para
pedagang kaki lima yang juga merupakan bagian dari masyarakat dapat menuntut
hak-haknya atas apa yang menimpa mereka. Di satu sisi, Pemerintah Daerah tidak
dapat tinggal diam, karena adanya otonomi daerah berbasis kerakyatan dan
masyarakat sebagai pengawas jalannya pemerintahan di daerah. Selain itu, jika
Pemerintah Daerah menggunakan Perda sebagai “senjata” dalam penggusuran, bila
ditelaah lebih dalam kembali, Peraturan Daerah berasal dari aspirasi masyarakat
yang kemudian diwujudkan oleh Pemerintah Daerah menjadi suatu kebijakan. Namun,
jika pada akhirnya masyarakat lah yang merugi, seharusnya Perda ini dapat
dievaluasi bahkan direvisi kembali, karena didalamnya terdapat hak-hak
masyarakat untuk diperjuangkan. Oleh sebab itu, tindakan Pemerintah Daerah yang
sewenang-wenang tidak dibenarkan karena terikat dalam suatu sistem pemerintahan
yang demokratis dan berkedaulatan rakyat.
REFERENSI
·
Arifin, B. dan D.J. Rachbini. (2001). Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik.
Jakarta : INDEF-UI
·
Rachbini,
Didik. (2004). EKONOMI POLITIK “Kebijakan
dan Strategi Pembangunan; Edisi 1”.Jakarta : Granit
·
Stanlard,
Martin. (2003). APAKAH EKONOMI POLITIK
ITU ? : Sebuah Studi Teori Sosial dan Keterbelakangan. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada
·
Ratnawati,
Tri. Perlu Reorientasi Konsep Otonomi
Daerah. www.politikindonesia.com. Last Modified December 28, 2011. http://www.politikindonesia.com/index.php?k=wawancara&i=30066-Tri%20Ratnawati:%20Perlu%20Reorientasi%20Konsep%20Otonomi%20Daerah.
Diakses pada 08 Januari 2013 pukul 18.35 WIB
·
Widianto,
Willy. Konflik Sosial Bukti Kegagalan
Otonomi Daerah. www.tribunnews.com. Last Modified November 01, 2012. http://www.tribunnews.com/2012/11/01/konflik-sosial-bukti-kegagalan-otonomi-daerah. Diakses pada 08 Januari 2013 pukul 18.35 WIB
·
Agustian,
Bemby. Otonomi Daerah dan Good Governance
dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah. www.wartawarga.gunadarma.ac.id. Last Modified April 25, 2010. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/04/otonomi-daerah-dan-good-governance-dalam-rangka-mewujudkan-keberhasilan-pembangunan-daerah.
diakses pada 08 Januari 2013 pukul 18.35 WIB
·
Wiseman.
Pengertian dan Proses Penyusunan Peraturan Daerah. www.undang-undang-indonesia.com. Last Modified Agustus 15, 2012. http://undang-undang-indonesia.com/forum/index.php?topic=32.0.
Diakses pada 08 Januari 2013 pukul 18.35 WIB
·
Wiyono,
Suko. Peraturan Daerah Sebagai Bagian Integral dari Peraturan
Perundang-undangan dalam Negara Hukum Republik. www.fh.wisnuwardhana.ac.id. Last Modified February 17, 2010. http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=37.
Diakses pada 08 Januari 2013 pukul 18.35 WIB
Faedlulloh, Dodi. PKL di
Purwokerto : Sebuah Analisis Awal. www.kompasiana.com. Last
Modified March 25, 2011. http://regional.kompasiana.com/2011/03/25/pkl-di-purwokerto-sebuah-analisis-awal-351392.html. Diakses pada 08 Januari 2013 pukul 18.35 WIB
[1]
Didik J.Rachbini, Ekonomi Politik : Kebijakan dan Strategi Pembangunan, 9-10.
[2]
Didik J.Rachbini, Ekonomi Politik : Kebijakan dan Strategi Pembangunan, 11.
[3]
Muhammad Ikhwan, “URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH”, Muhammad Ikhwan Blog, diakses pada 08 Januari 2013, pada
http://studihukum.blogspot.com/2011/02/urgensi-partisipasi-publik-dalam.html
[4]
Bemby Agustian, “OTONOMI DAERAH DAN
GOOD GOVERNANCE DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DAERAH”, www.wartawarga.gunadarma.ac.id, diakses pada 08 Januari 2013, pada http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/04/otonomi-daerah-dan-good-governance-dalam-rangka-mewujudkan-keberhasilan-pembangunan-daerah.
No comments:
Post a Comment