Review
Buku, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak
Hingga
kini, tulisan mengenai sejarah Banyumas hanyalah sekedar penerjemahan tentang
bukti-bukti arkeologis, dimana sumber-sumbernya hanya dari karya sastra dan
peninggalan dari para elit Banyumas di masa lalu. Belum ada yang benar-benar mampu menyusun
sejarah konvensional (sejarah sebagai ilmu) yang jelas dari daerah Banyumas
ini. Kemudian, para ilmuwan-ilmuwan sejarah mulai melakukan penelusuran yang
berdasarkan pada fakta dan data yang empiris dari wilayah Banyumas ini.
Wong
Banyumas atau yang biasa disebut sebagai komunitas Jawa Banyumasan, dikenal
berbeda dari komunitas Jawa lainya, seperti Jawa Sala, Jawa Yogya, Jawa
Semarang dan Jawa Surabaya. Komunitas
Jawa Banyumasan mendiami wilayah barat daya Jawa Tengah, daerah yang biasa
diebut dengan Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap,
Kebumen). Penggambaran tersebut tidak
berarti hanya untuk mereka yang tinggal di dalam lingkup Barlingmascakeb saja,
namun juga untuk komunitas-komunitas Jawa Banyumasan lain yang tersebar ke
seluruh nusantara, bahkan sampai ke penjuru dunia (Suriname dan Kaledonia).
Perbedaan
utama dari Jawa Banyumasan dengan jawa-jawa yang lain adalah pada karakteristik
bahasanya, dimana bahasa Banyumasan biasa disebut oleh jawa-jawa yang lain
sebagai bahasa ngapak. Istilah tersebut
merujuk pada penggunaan bahasa orang Banyumasan yang membaca huruf vokal a dan
o, dan huruf konsonan sangat mantap, sangat jelas dan tidak disamarkan, seperti
jawa-jawa yang lainya. Namun yang
diajarkan di sekolah-sekolah formal adalah bahasa jawa baku, yang merupakan
perkembangan terakhir dari bahasa jawa yang lahir pada abad ke 18. Sedangkan bahasa ngapak adalah bahasa
jawadwipa, yang konon adalah bahasa asli/murni masyarakat jawa.
Setelah
melewati proses sejarah yang panjang, akhirnya terbentuklah bahasa jawa baku
yang digunakan sebagai sarana ilmu pengetahuan, dimana di dalamnya terdapat
delapan tingkat bahasa sesuai dengan jenis pembentukan susunan kalimat/kata
dalam bahasa jawa baru. Delapan tingkat
tersebut adalah sebagai berikut : 1. BasaNgoko
Jawadwipa, 2. Basa Ngoko Andap, 3. Basa Madya, 4. Basa Krama, 5. Basa
Krama Inggil, 6. Basa Krama Desa, 7. Basa kasar, 8. Basa kedhaton (Basa
Bagongan). Bahasa jawa logat Banyumasa
dimasukan ke urutan pertama, Ngoko jawadwipa, atau yang sebelumnya disebut
dengan Ngoko Lugu (sejati).
Secara
geografis, letak Banyumas berada di Jawa Tengah bagian barat. Dalam segi administrasi, daerah Banyumas
dibagi menjadi empat kabupaten, yaitu kabupaten Banyumas, kabupaten
Banjarnegara, kabupaten Cilacap, dan kabupaten Purbalingga. Di sebelah barat berbatasan langsung dengan
provinsi Jawa Barat, di sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Pekalongan,
Pemalang, Tegal, Brebes, sebelah selatan berbatasan dengan samudra hindia, di
sebelah tenggara berbatasan dengan kabupaten Kebumen, dan di sebelah timur
berbatasan dengan kabupaten Wonosobo.
Dahulu, daerah banyumas menjadi salah satu bagian dari kasunanan Surakarta,
namun pasca perang Jawa (Perang Diponegoro 1825-1830), daerah ini menjadi
dibawah kekuasan colonial Belanda.
Setelah itu, Belanda membagi Banyumas menjadi 2 kabupaten, yaitu
Banyumas dan Ajibarang, dimana keduanya dipersiapkan untuk menjadi wilayah
karesidenan bersama Purbalingga, Cilacap dan Banjarnegara. Pada tahun 1883, Pusat pemerintahan kabupaten
Ajibarang dipindahkan ke Purwokerto, sehingga berganti menjadi kabupaten
Purwokerto, sehingga ketika terbentuk karesidenan Banyumas terdiri dari 5 kabupaten. Pada akhir tahun 1935 kabupaten Purwokerto
digabungkan bersama kabupaten Banyumas, hingga akhirnya status karesidenan
Banyumas sendiri dihapuskan oleh pemerintah RI pada era orde baru. Semenjak saat itu, 4 kabupaten bekas
karesidenan Banyumas berada langsung dibawah pemerintahan gubernur Jawa
Tengah.
Salah
satu menjadi dari Wong Banyumas Asli, adalah
dalam penggunaan bahasanya, yaitu bahasa jawa banyumasa. Yang khas dari bahasa jawa banyumasan, yang
menjadi pembeda dari bahasa jawa lain, adalah pembacaan beberapa huruf konsonan
seperi K dan R yang dibaca utuh, tidak disamarkan seperti bahasa jawa
wetanan/bandhekan. Selain itu juga
adalah cablaka, yang menjadi ciri
orang banyumasan, yaitu mengucapkan sesuatu secara langsung menuju ke poin yang
ingin dia bicarakan, terkadang sikap inilah yang mudah menyakiti perasaan orang
lain, karena diungkapkan secara langsung tanpa menggunakan kiasan dan
sebagainya. Bahasa Banyumas yang berasal
dari dari bahasa jawa ngoko asli, sering dianggap sebagai guyonan atau lelucon
bagi orang-orang bandhekan (sebutan orang Banyumas untuk orang-orang yang mengucapkan
huruf A dengan O dalam sebuah kalimat) karena bagi mereka bahasanya terdengar
lucu. Hal tersebut menyebabkan para
pemuda-pemuda Banyumasan masa kini yang bersekolah atau kuliah di Yogyakarta
menjadi malu-malu untuk menuturkan bahasa ibunya sendiri. Mereka lebih suka menggunakan bahasa Indonesia
pada saat berinteraksi dengan orang-orang diluar Banyumasan, dan hanya
menggunakan bahasa Banyumasan ketika berjumpa dengan teman-teman yang berasal
dari daerah Banyumas. Ada juga kisah
tentang penumpang kereta api jurusan Purwokerto – Surabaya – Banyuwangi, jika
perjalanan dari Surabaya atau banyuwangi, selama di perjalananya kereta nampak
sepi-sepi saja, namun ketika kereta sudah mulai memasuki kawasan jawa tengah,
maka mulai terdengar suara-suara dengan bahasa Banyumasan.
Pada
intinya, bahasa jawa bukanlah sesuatu yang terbentuk secara asal-asalan, ada
tata cara dan proses selama proses pembentukanya. Bagi orang asing yang tak mengerti akan
pembentukanya, pasti akan menganggapnya sebagai suatu bahasa asal-asalan. Padahal ada suatu aturan-aturan yang terdapat
di dalam bahasa jawa, seperti aturan untuk berbicara dengan orang tua, teman
sebaya ataupun untuk yang lebih muda, semua diatur secara terperinci. Bisa dibandingkan dnegan bahasa-bahasa lain
diseluruh dunia, tidak ada bahasa yang memiliki aturan-aturan serinci bahasa
jawa. Jika melihat fakta yang terjadi
saat ini, penggunaan bahasa Jawa sudah mengalami penurunan, terutama untuk
generasi muda, banyak diantara para generasi muda jawa yang malu-malu menggunakan
bahasa jawa, karena dianggap kuno ataupun tidak gaul dan sebagainya. Justru bahasa jawa, khususnya untuk jawa
banyumasan, sering sengaja dipakai oleh para pelawak di televisi yang berlagak
emnggunakan bahasa jawa banyumasan, padahal mereka bukanlah orang
banyumas. Bahasa yang terlontar dari
mulut mereka terasa sangat kaku dan memang tujuanya adalah untuk membuat
tertawa para penontonya. Sungguh
memprihatinkan memang, para generasi muda seharusnya mau menjaga dan
melestarikan warisan budaya jawa ini, minimal dengan tidak malu-malu bertutur
kata bahasa jawa dimanapun dia berada.
Source : by HDN
Keren Mas tulisannya.. Bolehkah sy ijin copy? atau gmn caranya supaya saya dapt jadikan tulisan ini sebagai referensi tulisan saya tentang Banyumas?
ReplyDeleteMonggo Bu, dipersilakan dan semoga bermanfaat untuk keperluan akademis nya, mau copy boleh, atau cara yang lain jg boleh selama baik untuk semua nya, terima kasih.
DeleteKepanjangen
ReplyDeleteMohon maaf apabila "kepanjangen", terima kasih masukannya.
Delete