Dalam artikel ini saya meneliti bagaimana hak-hak dari
pekerja/buruh outsourcing sudah
terpenuhi atau tidak di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Banyak pekerja/buruh outsourcing
yang tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja/buruh. Sehingga artikel
ini bertujuan untuk memberikan pandangan bahwa perlu mencantumkan hak-hak
pekerja/buruh outsourcing dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam praktek kerja outsourcing selama ini, banyak terjadi
pelanggaran akan hak-hak dari pekerja/buruh outsourcing.
Dengan alasan menekan pengeluaran produksi dalam mengupah sumber daya
manusia, banyak perusahaan menggunakan jasa pekerja/buruh outsourcing. Akibatnya, ada perusahaan yang mempekerjakan
pekerja/buruh outsourcing tanpa
menggunakan surat perjanjian kerja. Tanpa melalui perjanjian kerja,
pekerja/buruh outsourcing sewaktu-waktu
dapat di PHK (Putus Hubungan Kerja) tanpa sebuah alasan yang sangat jelas dan
tanpa uang pesangon karena statusnya yang merupakan pekerja/buruh outsourcing tanpa perjanjian kerja.
Selain permasalah mudahnya pekerja/buruh outsourcing
di PHK, banyak perusahaan yang membayar pekerja/buruh outsourcing dibawah upah pekerja/buruh tetap dengan kegiatan dan
waktu kerja yang sama. Sehingga dapat dikatakan upah pekerja/buruh outsourcing dibawah upah minimum yang
ditetapkan oleh pemerintah. Ada beberapa perusahaan yang bahkan melarang
pekerja/buruh outsourcing ikut dalam
keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh.
Dengan tidak masuknya pekerja/buruh outsourcing
ke dalam serikat pekerja/serikat buruh, maka mereka tidak akan dapat
memperjuangkan hak-hak mereka yang seharusnya. Untuk mengatasi permasalahan
itu, ada serikat pekerja/serikat buruh yang mengajukan pengujian UU
Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan
Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011 untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh outsourcing. Namun, pemerintahlah yang
seharusnya mulai mengkaji ulang sistem outsourcing
agar dapat melindungi hak-hak dari pekerja/buruh. Dan membuat sebuah
kebijakan untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh di Indonesia.
Kata Kunci: pekerja/buruh, outsourcing, UU
Ketenagakerjaan
Pendahuluan
Buruh atau tenaga kerja merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam
sebuag perusahaan. Dalam sebuah sistem produksi terdapat buruh yang menjalankan
alat-alat produksi. Buruh atau pekerja digunakan untuk menghasilkan barang
produksi dengan memanfaatkan tenaga mereka. Dan tenaga buruh atau pekerja itu
diganti dengan upah atas pekerjaan mereka.
Dengan semakin meluasnya arus globalisasi,
maka akan berdampak semakin berkembangnya perekonomian suatu negara. Dengan
semakin berkembanganya perekonomian sehingga diperlukan pembentukan
kebijakan-kebijakan yang dapat mengakomodir semua perkembangan perekonomian.
Serta dapat memberikan pengaturan dan pengawasan dalam roda perekonomian. Salah
satu kebijakan yang diambil adalah masalah ketenagakerjaan dalam sistem
perekonomian.
Sistem ketenagakerjaan setiap negara tentu
berbeda-beda sesuai dengan kebijakan yang diambil oleh negara tersebut. Sistem
ketenagakerjaan dibentuk oleh negara agar proses produksi berjalan dengan
lancar. Dengan sistem ketenagakerjaan yang dibentuk akan mengatur kondisi dan
keadaan pekerja/buruh dengan baik sehingga menjamin kelangsungan
proses produksi dan sistem perekonomian nasional serta dapat menjamin kesejahteraan dari pekerja/buruh.
Sistem ketenagakerjaan di Indonesia,
menerapkan sistem outsourcing.
Outsourcing merupakan sistem ketenagakerjaan dimana pekerja/buruh dikontrak
atau disewa oleh suatu perusahaan dengan jangka waktu tertentu. Dalam konteks
Indonesia, hal ini bukan merupakan hal baru. Sistem outsourcing sudah ada sebelum krisis ekonomi tahun 1997. Dan kian
diperkuat sejak awal krisis finansial yang melanda Asia Tenggara dan Asia Timur
pada tahun 1997, serta dilegalkan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997.
Sistem
kerja outsourcing muncul karena
merupakan perwujudan dari kebijakan Pasar Kerja Fleksibel yang dimintakan
kepada pemerintah Indonesia oleh IMF
(International Monetery Fund), World Bank, dan ILO (International Labour
Organitation),[1] sebagai syarat pemberian
bantuan untuk menangani krisis moneter pada tahun 1997. Kesepakatan dengan IMF tersebut menjadi dasar pembentukan
peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005 untuk
memberlakukan Pasar Kerja Fleksibel. Salah satu produk perundang-undangan yang
mengatur tentang sistem outsourcing setelah
diperbaharui adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, maka berlakulah secara resmi sistem outsourcing dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia.
Selama
ini sistem outsoucing hanya
menguntungkan bagi perusahaan karena dapat menghemat biaya produksi perusahaan.
Menghemat biaya karena pekerja/buruh yang dipekerjakan dengan sistem outsourcing dibayar dengan sangat murah
dan tidak diberikan tunjangan-tunjangan yang seharusnya didapatkan oleh pekerja/buruh. Dengan
alasan menghemat biaya sebenarnya sistem outsoucing
digunakan untuk menunjang produksi perusahaan tapi malah digunakan untuk
menekan biaya perusahaan dalam produksi.
Sesungguhnya
sistem outsourcing sangatlah merugikan bagi
pekerja/buruh. Dalam
sistem kerja outsourcing pekerja/buruh tidak
mempunyai kepastian kerja, karena mereka sewaktu-waktu dapat diputus kontrak
kerjanya. Selain itu juga, buruh yang kerja dengan sistem outsourcing tidak akan bisa masuk kedalam serikat pekerja/serikat buruh untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Dengan berlakunya sistem
ketenagakerjaan outsourcing maka akan
terjadi fragmentatif, diskriminatif, dan eksploitatif terhadap pekerja/buruh.
Dalam
penulisan artikel ilmiah ini, metode yang akan digunakan adalah deskriptif-eksplanatif dengan mengumpulkan data
melalui studi pustaka. Artikel ilmiah ini dibuat dengan tujuan untuk
memperjelas status buruh yang seharusnya dan memberikan kepastian kerja pada pekerja/buruh,
memberikan hak-hak yang semestinya kepada pekerja/buruh, serta meninjau kembali sistem
ketenagakerjaan outsourcing yang
diberlakukan oleh Indonesia. Sehingga sistem ketenagakerjaan yang di pakai
Indonesia dapat mensejahterakan pekerja atau buruh.
Pekerja/Buruh di Indonesia
1.
Pengertian Buruh
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, buruh
diartikan sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.[2] Setiap pekerjaan yang dikerjakan oleh buruh akan
mendapatkan imbalan atau upah sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. Buruh
mendapatkan upah setelah bekerja merupakan hak asasinya.
Buruh merupakan pekerjaan yang menjadi
mayoritas pekerjaan masyarakat kelas bawah di Indonesia. Mayarakat kelas bawah
tidak mempunyai pilihan lain dengan bekerja menjadi buruh karena mereka tidak
mempunyai kecakapan khusus dan berpendidikan rendah. Bahkan ada daerah yang khusus
memasok buruh-buruh untuk bekerja di perusahaan-perusahaan.
Sebagai masyarakat yang berpendidikan rendah,
meraka tidak mempunyai pilihan lain untuk bekerja selain menjadi buruh. Bagi
mereka menjadi buruh sudah sesuatu yang lebih baik daripada mereka menganggur.
Setidaknya dengan menjadi buruh mereka dapat memberikan nafkah yang cukup layak
bagi keluarganya. Di Indonesia buruh dapat bibedakan menjadi beberapa macam sesuai
dengan pekerjaan dan upah yang diberikan. Macam-macam buruh tersebut dapat
dibedakan sebagai berikut:
a.
Buruh Harian adalah buruh yang mendapatkan upah pada saat pekerjaan selesai
pada setiap harinya.
b.
Buruh Kasar adalah buruh atau pekerja hanya menggunakan tenaga fisik yang
kuat karena tidak mempunyai kecakapan khusus yang lain selain tenaganya.
c.
Buruh Musiman adalah buruh yang hanya mendapatkan pekerjaan pada
musim-musim tertentu.
d.
Buruh Pabrik adalah buruh atau pekerja yang bekerja di pabrik.
e.
Buruh Tambang adalah buruh atau pekerja yang bekerja di pertambangan.
f.
Buruh Tani adalah buruh atau pekerja yang bekerja di pertanian.
g.
Buruh Terlatih adalah buruh atau pekerja yang dilatih untuk keterampilan
kerja tertentu.
2.
Sejarah Buruh di Indonesia
Sejarah perburuhan di Indonesia melalui
berbagai masa, mulai dari masa penjajahan sampai masa kemerdekaan. Perburuhan
sudah ada di Indonesia dari dahulu. Masyarakat Indonesia sudah menawarkan
tenaganya kepada orang lain untuk mencari makan. Mulai dari menjadi buruh tanam
sampai menjadi pembantu rumah tangga pada sodagar-sodagar kaya pada masanya.
Masa yang paling kelam dalam sejarah
perburuhan di Indonesia terjadi pada masa penjajahan. Pada masa penjajahan
bahkan buruh bisa dibilang menjadi budak. Para buruh atau budak (masa penjajahan)
bekerja pada penjajah tanpa mendapatkan imbalan sedikitpun. Para buruh harus
bekerja tanpa mendapatkan hak-hak mereka sebagai pekerja dan hanya mempunyai
kewajiban untuk bekerja sesuai dengan yang diperintahakan oleh tuannya.
Perbudakan terjadi karena beberapa faktor.
Perbudakan terjadi karena para raja, bangsawan, penjajah dan para penguasa
ekonomi membutuhkan orang-orang yang bisa bekerja untuk mereka. Selain
kebutuhan dari para penguasa, perbudakan juga terjadi karena pendidikan
masyarakat yang rendah pada waktu itu. Yang paling utama terjadi perbudakan karena kemiskinan
yang melanda masyarakat pada masa itu.
Sebelum masa penjajahan, banyak orang yang
menghambakan diri kepada raja atau bangsawan. Menghambakan diri berbeda dengan
perbudakan. Perbudakan terjadi atas dasar pemaksaan sedangkan penghambaan
terjadi karena keinginan dari orang tersebut. Penghambaan bisa terjadi karena
faktor utang. Sehingga orang yang mempunyai utang membayar utangnya dengan
menghambakan diri kepada orang yang memberikan utang.
Pada masa kerajaan dan penjajahan, perbudakan
dan penghambaan memang banyak terjadi di Indonesia. Perbudakan dan penghambaan
terjadi karena faktor keterpaksaan, kebodohan dan kemiskinan. Namun seiring
merdekanya bangsa Indonesia, tidak serta merta perbudakan atau penghambaan itu
hilang. Perbudakan dan penghambaan diganti dengan istilah pekerja/buruh yang
mengabdi kepada seseorang.
Dengan berkembangnya teknologi dan informasi
buruh bukan hanya sebagai orang yang bekerja lalu mendapatkan upah, mereka juga
mempunyai hak-hak yang harus mereka dapatkan. Dalam masa pasca kemerdekaan,
khususnya setelah reformasi, pekerja/buruh semakin giat memperjuangkan hak-hak mereka.
Para buruh menuntut agar kerja keras mereka dibalas dengan harga yang setimpal.
Tuntutan pekerja/buruh bukan tanpa dasar. Hak-hak pekerja/buruh
sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang, namun dalam prakteknya
undang-undang tidak dijalankan semana mestinya. Para pekerja/buruh
berhimpun atau berkumpul dalam serikat pekerja/serikat
buruh untuk memperjuangkan
hak-hak mereka.
Dengan berakhirnya masa orde baru, berakhir
pula serikat tunggal yang dikuasai oleh satu serikat yaitu Federasi Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI). Dan berdasarkan keputusan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pendaftaran Serikat Buruh, maka banyak
buruh yang membentuk serikat tersendiri. Para buruh membentuk serikat dengan
buruh lain yang senasib dan satu pekerjaan.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid
kebebasan berserikat bagi buruh di kukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Sejak itu, Serikat Pekerja atau
Serikat Buruh tumbuh semakin banyak. Data terakhir pada bulan Juni tahun 2007,
ada 3 konfederasi yaitu Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI),
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), dan Konfederasi Serikat
Pekerja Indonesia (KSPI), serta 86 federasi dan belasan ribu Serikat
Buruh/Serikat Pekerja tingkat pabrik.
Munculnya banyak serikat pekerja/serikat buruh bukan hanya
karena diundangkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 namun karena kurangnya
keterampilan berorganisasi di kalangan buruh/pekerja sehingga menimbulkan perpecahan.
Seringkali serikat buruh atau serikat pekerja yang memisahkan diri karena
perbedaan pandangan atau perbedaan tujuan dalam menjalankan organisasi. Banyak
serikat buruh atau serikat pekerja baru yang pecah dan menambahkan kata
“reformasi” atau “baru” pada nama organisasi yang lama menunjukan rentannya
perpecahan dalam organisasi buruh.
Mengaca pada serikat buruh atau serikat
pekerja yang ada pada masa orde baru, serikat-serikat buruh/pekerja yang ada
pada saat ini dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok serikat besar. Pertama, kelompok Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia (SPSI). Kedua, kelompok
eks-Serikat Pekerja Seruluh Indonesia (eks-SPSI). Ketiga, kelompok non-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (non-SPSI)
atau independen. Kelompok buruh yang tergabung dalam organisasi eks-SPSI
merupakan kelompok buruh yang memisahkan diri dari organisasi SPSI dan
membentuk suatu organisasi yang baru. Sedangkan buruh yang tergabung dalam
organisasi non-SPSI merupakan organisasi yang sama sekali tidak ada kaitannya
dengan SPSI.
Sebenarnya perpecahan dalam serikat buruh
tidak hanya terjadi di tubuh SPSI saja, namun di serikat buruh lainpun terjadi.
Perpecahan lebih didasari pada hal-hal yang bersifat praktis dan bukan prinsip.
Di Indonesia serikat buruh atau serikat pekerja menganut prinsip unitaris dan tripartisme serta, dapat
dikategorikan sebagai economic unionism atau business unionism
yang membatasi perjuangan kepentingannya pada kesejahteraan anggota dalam
kerangka hubungan kerja.[3]
Dari banyaknya serikat buruh/pekerja akibat
dari reformasi dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 maka masalah dan konflik
anatarserikat terjadi seiring dengan tumbuhnya serikat buruh. Dengan banyaknya
serikat buruh yang dibentuk, banyak pula serikat buruh yang tidak mendaftarkan
organisasinya kepada Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Biasanya serikat
buruh yang tidak mendaftrakan organisasinya terkonsentrasi pada buruh yang bekerja
di sektor padat karya.
Pada dasarnya, budak pada masa penjajahan
atau buruh pada masa setelah kemerdekaan merupakan orang yang bekerja untuk
mendapatkan upah atas hasil kerjanya. Setiap buruh berhak mendapatkan hak-haknya
sebagai buruh atau sebagai manusia. Buruh memperjuankan hak-hak mereka dengan
ikut serta dalam keorganisasian yang disebut serikat buruh. Serikat buruh
merupakan wadah resmi bagi buruh untuk menuntut hak mereka dan menyampaikan
aspirasi mereka.
3.
Politik Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
Masa sebelum proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945, terjadi hukum perbudakan. Perbudakan dilakukan oleh berbagai suku
yang ada di Indonesia pada waktu itu seperti Sumba, Baree Toraja dan lain-lain.
Perbudakan diberlakukan sesuai dengan hukum adat dan tergantung pada tingkat
kewibawaan penguasa (raja) yang sedang berkuasa.
Perbudakan terus terjadi sampai masa
penjajahan Belanda dan Jepang. Perbudakan pada masa penjajahan Belanda disebut
kerja rodi. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, perbudakan disebut romusya. Dua jenis perbudakan itu,
sama-sama memaksa rakyat Indonesia bekerja tanpa mendapatkan sebuah imbalan.
Setelah Indonesia merdeka, tidak ada
perkembangan yang berarti mengenai ketenagakerjaan. Karena pada masa itu
Indonesia lebih fokus untuk mempertahankan kemerdekaan. Pemerintahan pada waktu
itu, produk hukum yang dihasilkan hanya menterjemahkan peraturan-peraturan
peninggalan Hindia Belanda.
Pada masa pemerintahan Soeharto, sistem
ketenagakerjaan Indonesia mulai mengalami perbaikan seiring dengan
dicanangkannya pembangunan ekonomi. Pemerintah mulai mengirim TKI (Tenaga Kerja
Indonesia) ke luar negeri. Namun sayangnya kedudukan pekerja/buruh semakin
melemah. Hak-hak pekerja/buruh tidak diberikan secara penuh.
Setelah pemerintahan Soeharto turun dan orde
baru runtuh, Presiden silih berganti beserta dengan kebijakan
ketenagakerjaannya. Peraturan perudang-undangan diperbaharui demi terciptanya
sistem ketenagakerjaan yang baik. Peraturan perundang-undangan baru dibuat untuk menjamin
hak-hak dari pekerja/buruh.
Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid,
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh. Dengan dikeluarkannya UU tersebut banyak serikat pekerja/serikat buruh
yang dibentuk. Namun karena pemehaman demokrasi yang belum matang, sehingga
jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang banyak membuat hubungan industrial di
Indonesia memburuk.
Presiden Megawati Soekarnoputri pada masa
pemerintahannya mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang sampai sekarang masih berlaku. Undang-undang ini merupakan
penyempurnaan dari peraturan serta undang-undang sebelumnya. Setelah berlakunya
undang-undang ini peraturan serta undang-undang sebelumnya dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Pada masa pemerintahan sekarang yaitu
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terjadi sedikit peningkatan dalam hal
ketenagakerjaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengupayakan kesejahteraan
pekerja/buruh. Namun sebenarnya masih belum dirasakan secara sepenuhnya oleh
para pekerja/buruh.
Sistem Outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
Dalam menjalankan sebuah perekonomian negara
dimana menyangkut tenaga kerja, maka pemerintahan suatu negara harus menerapkan
sebuah sistem yang dapat mengatur jalannya roda ketenagakerjaan. Maka di
pandang sangat perlu tersusunnya sistem ketenagakerjaan dalam tujuan
pembangunan ketenagakerjaaan sebagai bagian dari integral pembangunan nasional.
Sistem ketenagakerjaan haruslah diatur dalam sebuah peraturan resmi oleh
pemerintah sehingga dapat terwujudnya sistem ketenagakerjaan yang baik dan
sempurna.
Tentunya, sistem ketenagakerjaan haruslah
tersusun sebaik mungkin dengan memperhatikan hak-hak dan melindungi para
pekerja/buruh serta dapat menciptakan kondisi yang kondusif untuk perkembangan
dunia usaha. Dengan kondusifnya dunia usaha maka akan semakin banyak menyerap
tenaga kerja dan banyak membuka lapangan pekerjaan. Semakin banyak lapangan
pekerjaan maka akan semakin banyak tenaga kerja yang terserap sehingga
terciptanya kesejahteraan bagi semua pihak.
Sudah tentu, Indonesia mempunyai sebuah
sistem ketenagakerjaan untuk mengatur tenaga kerja yang berada di Indonesia.
Sistem ketenagakerjaan yang dianut oleh Indonesia adalah sistem outsourcing atau dalam istilah bahasa
Indonesia disebut dengan alih daya. Kebijakan sistem outsourcing ini diatur dalam sebuah produk hukum Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diresmikan pada tanggal 25
Maret 2003 di Jakarta oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Undang-undang ini
sebagai penyempurnaan dari undang-undang serta peraturan pemerintah yang ada
sebelumnya tentang ketenagakerjaan.
Sistem outsourcing
sebenarnya telah ada pada zaman Yunani dan Romawi. Pada saat itu, sistem outsourcing yang diberlakukan oleh
pemerintah Yunani dan Romawi bukanlah menyewa pekerja atau buruh namun menyewa
tentara asing untuk bekerja pada mereka. Seiring dengan perkembangan zaman, outsourcing mulai diterapkan di dunia
usaha. Para pengusaha mulai bersaing bukan hanya saja dengan menghasilkan
produk yang berkualitas, namun juga bagaimana menekan biaya produksi
serendah mungkin.
Dengan tingkat persaingan yang tinggi dan
akibat dari pasar global, praktek outsourcing
didorong oleh salah satu butir dari sepuluh butir kesepakatan dalam Washington Consensus[4] yang
mengidentifikasikan bahwa sebuah tenaga kerja dalam dunia usaha haruslah
bersifat fleksibel sebagai sebuah syarat untuk dunia investasi. Adapun isi dari
Washington Consensus adalah sebagai
berikut:
1. Disiplin anggaran pemerintah,
2. Pengarahan pengeluaran pemerintah
dari subsidi ke belanja sektor publik, terutama di sektor pendidikan,
infrastruktur, dan kesehatan, sebagai penunjang pertumbuhan dan pelayanan
masyarakat kelas menengah ke bawah,
4. Tingkat bunga yang ditentukan
pasar dan harus dijaga positif secara riil,
5. Nilai tukar yang kompetitif,
6. Liberalisasi pasar dengan
menghapus restriksi kuantitatif,
7. Penerapan perlakuan yang sama
antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik
investasi asing langsung,
9. Deregulasi untuk menghilangkan hambatan bagi pelaku ekonomi baru dan mendorong pasar
agar lebih kompetitif,
10. Keamanan legal bagi hak
kepemilikan.
Sehingga dari dunia usaha yang fleksibel
bahwa bila produksi meningkat maka tenaga kerjapun ikut meningkat, tapi bila
produksi menurun maka tenaga kerja juga harus dikurangi demi mengimbangi biaya
produksi. Dengan kefleksibelan dalam dunia usaha, maka perusahaan dapat
menerapkan outsourcing untuk
pengefisiensian produksi. Karena dengan sistem outsourcing perusahaan dapat mengurangi jumlah karyawan outsourcing yang dimilikinya kapanpun.
Outsourcing diterapkan
di dunia usaha untuk membagi resiko usaha yang ada kepeda pihak lain. Pada
prinsipnya outsourcing merupakan
penyerahan kerja kepada pihak lain yang lebih ahli dalam bidang tertentu untuk mengerjakan
bidang tertentu. Misal, sebuah perusahaan Wedding
Organizer menyerahkan urusan makanan kepada perusahaan Catering, dekorasi pada perusahaan dekorasi dan lain sebagainya.
Perkembangan sistem kerja outsourcing di Indonesia dibagi atas dua
zaman. Pertama, masa sebelum
kemerdekaan. Pada masa sebelum kemerdekaan sistem kerja outsourcing diberlakukan dalam sistem tanam paksa oleh Deli
Planters Vereeniging pada tahun
1879. Pemerintah Belanda pada waktu itu memberlakukan sistem outsourcing untuk menghasilakn jumlah
barang yang lebih banyak sehingga menambah devisa untuk negaranya di pasar
internasional. Salah satu usaha yang dilakukan Belanda untuk menambah devisanya
adalah dengan mendirikan perkebunan di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Kedua, masa setelah kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, sistem
kerja outsourcing diberlakukan
melalui Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1601 b yang menyatakan,
“pemborongan suatu pekerjaan adalah kesepakatan dua belah pihak yang saling
mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak lain dan pihak
lainnya membayarkan sejumlah harga.”[5] Sistem kerja outsourcing
pada sekarang ini mulai marak diberlakukan oleh perusahaan-perusahaan di
Indonesia. Bukan hanya perusahaan manufaktur saja yang menerapkan sistem kerja outsourcing namun juga di perusahaan
perusahaan seperti hotel, minimarket, restaurant,
mall dan lain-lain. Bahkan sekarang
ini, sistem kerja outsourcing mulai
diterapkan di dunia pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi.
Maka melihat banyaknya perusahaan
yang menggunakan tenaga kerja outsourcing
maka pemerintah memperbaharui peraturan tentang outsourcing kedalam sebuah undang-undang yang baru yaitu
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam undang-undang
tersebut berisi tentang asas, landasan dan tujuan ketenagakerjaan, perencanaan
tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan, pemberian kesempatan yang sama bagi
semua
pekerja/buruh, pelatihan tenaga kerja, penempatan tenaga kerja, penggunaan
tenaga kerja asing, pembinaan hubungan industrial, pembinaan lembaga dan sarana
hubungan industrial, perlindungan atas hak-hak dasar buruh/ pekerja, dan
pengawasan ketenagakerjaan. Kalau dilihat dari isi undang-undang tersebut bahwa
semua peraturan tentang tenaga kerja sudahlah sangat lengkap.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan terdapat pasal yang menyatakan sistem outsourcing atau alih daya dalam
penggunaan tenaga kerja. Selanjutnya, sistem outsourcing atau alih daya dikuatkan atau dijelaskan melalui
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep.100/MEN/VI/2004
tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Nomor:
Kep.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa
Pekerja/Buruh dan Nomor: Kep.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Peraturan tersebut
memberikan penjabaran atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang masih bersifat umum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi maka outsourcing diperbolehkan di Indonesia. Namun tentunya, setiap
kegiatan outsourcing atau alih daya
harus memperhatikan dan mematuhi segala peraturan yang ada agar terciptanya
dunia usaha yang kondusif. Akan tetapi, dalam perjalanan pelaksanaan outsourcing masih terdapat beberapa
masalah yang harus segera di selesaikan. Masalah yang paling mencolok dalam
pelaksanaan outsourcing di Indonesia
adalah perbedaan penafsiran atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Dalam UU Ketenagakerjaan terdapat tiga pasal
yang menyatakan tentang sistem kerja outsourcing
yaitu pasal 64, 65 dan 66. Dalam pasal-pasal tersebut dijelaskan bahwa
suatu perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaannya kepada perusahaan lain
melalui suatu perjanjian. Selain itu juga, pasal-pasal tersebut menerangkan
bahwa pekerjaan yang diberikan kepada perusahaan lain tidak boleh pekerjaan
pokok dari perusahaan pemberi pekerjaan.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa outsourcing diterapkan di Indonesia. Pertama, ketiadaan sumber daya yang
mampu mengerjakan suatu produksi. Sebenarnya alasan pertama ini sangatlah
riskan bila terjadi. Seharusnya suatu perusahaan menerapkan outsourcing dalam produksinya, dari
perusahaan tersebut haruslah mampu mengerjakan produksi pokoknya karena outsourcing hanya berfungsi untuk
memenuhi bahan penunjang produksi utama. Perusahaan yang memberlakukan outsourcing haruslah menjadi pengawas
atas jalannya produksi yang dilimpahkan kepada perusahaan lain dan bukan malah
melimpahkan produksi pokok kepada perusahaan lain.
Kedua, untuk
menciptakan lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran. Dengan outsourcing diberlakukan di Indonesia
akan membantu tumbuhnya iklim investasi. Dengan membaiknya iklim investasi maka
dengan sendirinya akan banyak lapangan pekerjaan yang terbentuk dan akan
mengurangi pengangguran. Semakin berkurangnya pengangguran maka bisa dibilang
kesejahteraan rakyat Indonesia menuju ke yang lebih baik.
Ketiga, merupakan
alasan yang paling utama yang digunakan perusahaan yaitu untuk menekan biaya
produksi seefisien mungkin. Dengan menerapkan sistem outsourcing yang
mempergunakan pekerja/buruh outsourcing dengan
gaji yang tidak sesuai dengan berbagai alasan. Bahkan ada perusahaan yang
sengaja membuat perusahaannya seolah-olah bangrut dan memecat semua karyawannya
dan mendirikan perusahaan baru dengan menerapkan sistem outsourcing.
Hubungan Sistem Outsourcing dengan Hak-hak Pekerja atau
Buruh
Sistem kerja outsourcing sudah menjadi sebuah gejala global, hampir semua negara
di dunia menggunakan sistem kerja outsourcing.
Indonesia sebagai salah satu dari negara-negara yang menerapkan sistem outsourcing, memiliki jumlah
pekerja/buruh outsourcing sebanyak 16 juta jiwa
dari 41 juta angkatan kerja formal atau sekitar 40%. Banyaknya pekerja/buruh outsourcing di Indonesia menimbulkan
kontrofersi di antara kalangan pengusaha dan pekerja/buruh. Dikalangan
pengusaha, sistem outsourcing sangatlah
mengutungkan dalam hal produksi usahanya. Sedangkan, bagi pekerja/buruh justru outsourcing sangatlah merugikan bagi
mereka karena terampasnya hak-hak mereka.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat pelanggaran-pelanggaran dalam
pelaksanaan praktek kerja outsourcing. Masalah
yang muncul antara lain seperti, perusahaan menyewa pekerja outsourcing untuk bekerja di pekerjaan
inti atau produksi utama perusahaan padahal pekerja outsourcing hanya boleh dipekerjakan kegiatan produksi tambahan
yang menunjang produksi utama. Masalah yang paling berat adalah tidak adanya
perjanjian antara perusahaan yang menjadi pengguna pekerja/buruh outsourcing dengan perusahaan penyedia pekerja. Dengan tidak adanya
surat perjanjian akan menyebabkan hilangnya hak-hak dari pekerja/buruh karena
tidak ada dasar hukum yang kuat untuk menuntut haknya.
Masalah mempekerjakan pekerja/buruh outsourcing pada pekerjaan inti
sangatlah melanggar Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
pasal 66 yang menyatakan bahwa pekerja/buruh outsourcing tidak boleh dipekerjakan dalam kegiatan produksi utama
dan hanya boleh dipekerjakan pada produksi penunjang saja. Sebenarnya,
pekrja/buruh outsourcing hanya boleh
dipekerjakan dalam jenis pekerjaan perifer seperti tenaga pembersih, keamanan,
mengemudi, catering, dan pekerjaan penunjang pertambangan. Namun, pada
prakteknya pekerja/buruh outsourcing dipekerjakan
pada pekerjaan inti dari perusahaan.
Pada pelanggaran praktek kerja outsourcing dengan mempekerjakan
pekerja/buruh tanpa perjanjian merupakan sebuah pelanggaran terhadap pasal 64
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan
bahwa sebuah pemborongan kerja haruslah melalui sebuah perjanjian tertulis.
Apabila tanpa perjanjian tertulis tentu akan menimbulkan dampak negatif bagi
pekerja/buruh outsourcing yang
dipekerjakan di perusahaan tersebut. Dampak negatif itu, berupa hilangnya
hak-hak dasar pekerja/buruh.
Dari masalah penggunaan pekerja/buruh outsourcing pada pekerjaan inti dari
perusahaan akan menimbulkan permasalahan baru di antara pekerta/buruh tetap dan
pekerja/buruh outsourcing. Akan
timbul diskriminasi diantara pekerja/buruh tetap dan pekerja/buruh outsourcing. Walaupun kedua jenis
pekerja/buruh tersebut bekerja di pekerjaan inti yang sama dari perusahaan,
namun perlakuan dari perusahaan terhadap pekerja/buruh tetap dan pekerja/buruh outsourcing sangatlah berbeda jauh.
Pekerja/buruh tetap akan mendapatkan hak-hak dasar mereka sebagai seorang
pekerja, sedangkan pekerja/buruh outsourcing
sebagian hak-hak dasarnya tidak dipenuhi oleh perusahaan.
Pembedaan hak-hak dasar antara pekerja/buruh
tetap dengan outsourcing seperti
diskriminasi upah dan diskriminasi berserikat. Upah yang merupakan hak dari
seorang pekerja/buruh terjadi perbedaan walaupun melakukan pekerjaan yang sama.
Seorang pekerja/buruh outsourcing terkadang
tidak diperbolehkan ikut serta dalam seuatu serikat pekerja atau serikat buruh.
Perbedaan tadi, menimbulkan perdebatan dikalangan pekerja/buruh. Para
pekerja/buruh menuntut untuk diperlakukan sama.
Dalam hal pembayaran upah pekerja/buruh tetap
dan pekerja/buruh outsourcing dengan
pekerjaan yang sama dan jam kerja yang sama terjadi perbedaan upah dari dua
kelompok pekerja itu. Pekerja/buruh outsourcing
upahnya lebih rendah dari pekerja/buruh tetap. Dari komponen upah berupa
premi hadir, premi masa kerja, tunjangan jabatan, uang makan, tunjangan
keluarga, tunjangan transfort, tunjangan shift dan tunjangan perumahan terjadi
perbedaan pembayaran. Pekerja/buruh outsourcing
hanya mendapatkan sebagian dari komponen upah tergantung dari kebijakan
perusahaan yang mempekerjakannya.
Upah pekerja/buruh outsourcing lebih rendah dari upah pekerja/buruh tetap, maka secara
otomatis upah pekerja/buruh outsourcing dibawah
upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah pada setiap tahunnya. Sementara
itu, tujuan dari penetapan upah minimum oleh pemerintah salah satunya untuk
menghindari kemungkinan eksploitasi pekerja/buruh oleh perusahaan yang
memanfaatkan kondisi pasar kerja untuk akumulasi keuntungannya. Pada
kenyataannya tujuan untuk menghindari eksploitasi pekerja/buruh oleh perusahaan
justru dengan sistem outsourcing terjadi
eksploitasi pekerja/buruh oleh perusahaan. Pekerja/buruh dieksploitasi oleh
perusahaan dengan pembayaran upah dibawah upah minimum yang ditetapkan oleh
pemerintah.
Selain diskriminasi upah, pekerja/buruh outsourcing juga mendapatkan
diskriminasi dalam hal keikutsertaan dalam serikat pekerja/serikat buruh.
Seorang pekerja/buruh outsourcing terkadang
tidak diperbolehkan oleh perusahaannya untuk ikut masuk kedalam suatu serikat
pekerja/serikat buruh. Dengan tidak masuknya pekerja/buruh ke dalam serikat
pekerja/serikat buruh, mereka akan kehilangan sebuah wadah untuk
mengasfirasikan dan menuntut hak.
Permasalahan yang paling krusial adalah
pekerja/buruh outsourcing yang
bekerja tanpa kontrak kerja. Tanpa adanya kontrak kerja, pekerja/buruh
sewaktu-waktu dapat diputus hubungan kerjanya oleh perusahaan. Pemutusan
hubungan kerja yang awalnya tidak ada perjanjian kontrak kerja, akan merugikan
pihak pekerja/buruh yang di PHK. Pekerja/buruh tidak akan mendapatkan haknya
sebagai pekerja yang di PHK karena bekerja tanpa kontrak kerja.
Untuk mengatasi permasalah yang terjadi akibat sistem kerja outsourcing, Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Petugas Pembaca Meter
Listrik Indonesia (AP2ML) mengadukan perlanggaran hak
konstitusional yang terjadi di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan kepada Mahkamah Konstitusi. Menanggapi laporan
tersebut, Mahkamah Konstitusi mengadakan sidang dan menghasilkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 yang menyatakan pasal 65 ayat 7 dan 66 ayat 2
huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan
secara bersyarat dengan UUD 1945. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa pekerja/buruh yang melaksanakan pekerjaan dalam
perusahaan outsorcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi
oleh konstitusi.
Untuk
melindungi hak-hak dari pekerja/buruh, Mahkamah Konstitusi mengusulkan dua buah
model yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak-hak dari pekerja/buruh. Pertama,
dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan
perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT,
melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”. Kedua,
menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer
of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Walaupun telah dikeluarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, berisi keputusan untuk menghilangkan beberapa frasa
dalam pasal 65 ayat 7 dan 66 ayat 2 huruf b dalam UU Ketenagakerjaan yang
berentangan dengan UUD 1945. Dalam keputusan tersebut menghilangkan berapa frasa yang
bersangkutan dengan kerja outsourcing. Walaupun
Mahkamah Konstirusi telah memutuskan dengan menghilangkan beberapa frasa
tentang outsourcing, namun tidak
begitu banyak berpengaruh terhadap hak-hak pekerja/buruh outsourcing yang selama ini telah dirampas. Pemerintah seharusnya
memperbaharui sistem ketenagakerjaan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan sistem yang lebih baik, dengan lebih
memperhatikan hak-hak dari seorang pekerja/buruh.
Sebuah sistem ketenagakerjaan yang berlaku
tidak boleh melanggar konstitusi. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 4 yang berbunyi Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Sangatlah jelas bahwa
sistem ekonomi Indonesia yang didalamnya ada sebuah sistem ketenagakerjaan haruslah
berdasarkan kebersamaan dan berkeadilan. Namun dalam sistem outsourcing justru sebaliknya, banyak
pekerja/buruh merasa diperlakukan tidak adil.
Pemerintah yang dalam hal Ketenagakerjaan mempunyai hak
untuk menentukan sebuah kebijakan haruslah memperhatikan pekerja/buruh dan
bukan hanya memperhatikan pihak pengusaha saja. Kebijakan yang diambil haruslah
menguntungkan kedua belah pihak. Segala kebijakan yang diambil oleh pemerintah
harus mensejahterakan semua orang yang terkait dengan kebijakan tersebut.
Kesimpulan
Dalam sebuah produksi dibutuhkan
pekerja/buruh untuk melaksankan produksi tersebut. Pekerja/buruh merupakan
orang yang dipekerjakan untuk melakukan suatu produksi dengan upah sebagai
imbalannya. Untuk mengatur pekerja/buruh dibutuhkan sebuah sistem
ketenagakerjaan yang dapat mengatur jalannya sistem ekonomi dan industri serta
melindungi hak-hak pekerja/buruh.
Indonesia sebagai negara berkembang
menerapkan sistem kerja outsourcing yang
merupakan perwujudan dari kebijakan Pasar Kerja Fleksibel yang dimintakan
kepada pemerintah Indonesia oleh IMF
(International Monetery Fund), World Bank, dan ILO (International Labour
Organitation) sebagai sebuah syarat untuk mendapatkan bantuan.
Kemudian kebijakan tersebut dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur sistem ketenagakerjaan nasional.
Dalam UU tersebut mengatur semua hubungan ketenagakerjaan antara pemerintah,
pengusaha dan pekerja/buruh.
Dalam perjalanan berlakunya Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat beberapa masalah. Masalah
yang timbul seperti pembayaran upah pekerja/buruh outsourcing yang lebih rendah dari upah minimum, tidak diberikannya
jaminan kerja oleh perusahaan pemakai jasa pekerja/buruh outsourcing, dan perusahaan yang sengaja pelanggar undang-undang
dengan mempekerjakan pekerja/buruh outsourcing
tanpa perjanjian kerja. Masalah tersebut timbul akibat dari keinginan
perusahaan untuk mengemat pengeluaran produksi perusahannya.
Untuk mengatsai permasalahan tersebut telah dikeluarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. Putusan tersebut menyatakan bahwa pasal 65
ayat 7 dan 66 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945. Serta memberikan
dua model dalam sistem outsourcing untuk
melindungi hak-hak dari pekerja/buruh. Pertama, dengan
mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang
melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan
berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”. Kedua, menerapkan
prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of
Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Tidaklah
cukup kalau hanya dengan dua model yang disarankan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melindungi hak-hak dari
pekerja/buruh. Pemerintah sebagai lembaga resmi yang mengatur sistem ketenagakerjaan
haruslah membuat suatu kebijakan yang dapat melindungi hak-hak pekerja/buruh,
baik pekerja/buruh tetap dan pekerja/buruh outsourcing.
Pemerintah haruslah lebih ketat dalam pengawasan perusahaan yang
mempekerjakan pekerja/buruh outsourcing dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh outsourcing.
Daftar Pustaka
Tjandraningsih, Indrasari, dan Rina Herawati, dan Suhadmadi. Diskriminatif dan Eksploitatif Praktek Kerja
Kontrak dan Outsourcing di Sektor Industri Metal di Indonesia. Bandung:
AKATIGA-FSPMI-FS, 2010.
Simanjuntak, Payaman J. Manajemen
Hubungan Industrial. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2011.
Djumialdji, F.X. Perjanjian Kerja. Jakarta:
Sinar Grafika, 2008.
The Chicago Manual of Style Sexteenth Edition.
Chicago: The Universitas of
Chicago Press, 2010.
Mohamad Faiz, Pan. ”OUTSOURCING
(ALIH DAYA) DAN PENGELOLAAN TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN: (Tinjauan Yuridis
terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).” Jurnalhukum.blogspot.com. May 20, 2007.
http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing-dan-tenaga-kerja.html.
Wijayanti, Asri. “Hukum Ketenagakejaan Pasca Reformasi.” Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
Sutedi, Adrian. “Hukum Perburuhan.” Jakarta: Sinara Grafika, 2009.
Maulana,
Prawira. “Inilah Putusan MK Soal Penghapusan ‘Outsourcing’!.” Kompas.com. 21
Januari 2012. http://nasional.kompas.com/read/2012/01/21/22270675/Inilah.Putusan.MK.Soal.Penghapusan.Outsourcing.
“Outsourcing,
Ada Sejak Zaman Romawi.” Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan
Provinsi Jawa Timur. Diakses 25 Desember 2012, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/majalah-sdm-plus/64-edisi-133-januari-2012/623-outsourcing-ada-sejak-zaman-romawi.
Indrasari
Tjandraningsih, “Serikat Buruh atau Serikat Pekerja di Indonesia.” Serikat Pekerja Perkebunan. Diakses 25
Desember 2012, http://www.pn8.co.id/spbunpn8/index.php?option=com_content&view=article&id=50%3Aserikat-buruh-serikat-pekerja-di-indonesia&Itemid=50.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
KEP.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa
Pekerja/Buruh
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011
[1] International
Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional yang bertanggungjawab
dalam mengatur jalannya sistem finansial global dan menyediakan pinjaman bagi
negara-negara anggotanya. World Bank adalah
lembaga keuangan internasional yang menyediakan pinjaman bagi negara-negara
berkembang di seluruh dunia. Tujuan utama World
Bank adalah menuntaskan kemiskinan di seluruh dunia. International Labor Organization adalah lembaga Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang mewadahi isu-isu dan masalah-masalah buruh di seluruh dunia.
[2] Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasal 1 ayat 3.
[3]
Indrasari Tjandraningsih, “Serikat Buruh atau Serikat Pekerja di Indonesia,” Serikat Pekerja Perkebunan, diakses 25
Desember 2012, http://www.pn8.co.id/spbunpn8/index.php?option=com_content&view=article&id=50%3Aserikat-buruh-serikat-pekerja-di-indonesia&Itemid=50.
[4] Washingrin
Consensus merupakan sebutan bagi sepuluh kebijakan ekonomi oleh John
Wiliamson pada tahun 1989.
[5]
“Outsourcing, Ada Sejak Zaman Romawi,” Dinas
Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependududkan Provinsi Jawa Timur, diakses
25 Desember 2012, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/majalah-sdm-plus/64-edisi-133-januari-2012/623-outsourcing-ada-sejak-zaman-romawi.
No comments:
Post a Comment