Menulis suatu karya
sastra lewat media internet bukan suatu hal yang baru di era digital seperti
sekarang ini. Publikasi suatu karya sastra tidak lagi menjadi monopoli buku,
koran, tabloid dan media cetak lainnya. Internet telah menjadi kekuatan baru
dalam hal publikasi suatu karya sastra lewat situs-situs media sosial dan
situs-situs blogging. Internet memiliki keunggulan dalam hal publikasi yang
tidak dimiliki oleh media cetak yang salah satunya adalah kepraktisan sifatnya.
Seorang penulis dapat dengan mudah mempublikasikan cerpen, esai, hingga puisi
lewat media sosial atau blog pribadinya dengan bantuan perangkat komputer dan
akses jaringan internet tanpa perlu repot-repot berurusan dengan pihak
penerbitan misalnya. Untuk urusan publikasi lebih lanjut dan promosi karyanya
tersebut si penulis dapat memanfaatkan jejaring pertemanan lewat media sosial
semisal Facebook dan twitter.
Pada
awal mulanya karya sastra yang belakangan dikenal sebagai sastra cyber semacam
ini tidak terlalu diperhitungkan di Indonesia bahkan masuk dalam kelompok
sastra pinggiran karena dianggap main-main dan tidak serius bahkan dicap
sebagai sastra yang lebih pantas masuk tong sampah. Pro dan kontra senantiasa
hadir bersama sesuatu yang baru, tidak terkecuali sastra cyber. Ahmadun Yosi
Herfanda, seorang penyair sekaligus redaktur koran Republika bahakan berujar
dalam salah satu artikel koran yang berjudul “Puisi Cyber,Genre atau Tong
Sampah”. Dalam artikel tersebut Ahmadun mengatakan bahwa sastra yang dituangkan melalui media cyber
cenderung hanyalah sebagai ”tong sampah.” Dikatakan
demikian, karena menurutnya sastra cyber merupakan karya-karya yang tidak
tertampung atau ditolak oleh media sastra cetak (2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa media cyber membuka ruang
yang luas bagi tumbuhnya sastra alternatif yang ”memberontak” terhadap
kemapanan – terhadap estetika yang lazim—dan bukan hanya menjadi media
duplikasi dari tradisi sastra cetak. Pernyataan tersebut
sebenarnya kurang patut dilontarkan oleh seorang sastrawan dan malah cenderung
menunjukkan arogansi seseorang yang berpikiran kolot. Mengetahui hal tersebut,
para penggiat sastra cyber justru menanggapi dengan tenang bahwa pembandingan
antara sastra cyber dan sastra koran cenderung tidak diperlukan. Intinya mereka
menganggap bahwa menulis atau menjadi sastrawan itu suatu kebebasan. Lagi pula
jika berbicara soal kualitas, walapun sastra cyber kerap dianggap tidak
berkualitas dan cenderung asal-asalan toh nantinya ada seleksi alam tersendiri
yang menentukan suatu karya sastra akan tetap eksis atau tidak. Selain itu
masyarakat pecinta sastra di Indonesia sudah semakin melek kualitas, mereka
tahu mana sastra yang yang memang berkualitas terlepas dari medianya apa dan
mana yang tidak berkualitas. Kemudian banyak dari mereka para penggiat sastra
cyber yang lebih senang disebut sebagai penulis ketimbang sastrawan.
Terlepas dari pro dan
kontra yang mengiringi diawal kemunculannya, seiring dengan berjalannya waktu,
sastra cyber ini mulai mendapatkan perhatian karena salah satu konsepnya yang
mandiri tidak bergantung seperti karya sastra cetak. Seorang penggiat sastra
cyber dapat berperan sebagai seorang penulis, penerbit, sekaligus promotor bagi
karyanya sendiri maupun karya orang lain. Karya sastra cyber ini punya penikmatnya
tersendiri. Inti dari cyber sastra itu sendiri adalah pengembangan sastra
melalui pemanfaatan kecanggihan teknologi terutama teknologi media. Selain itu,
kecanggihan media tersebut dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan dalam
dalam hal publikasi seperti diatas.
Jika dirunut kebelakang, awal mula kemunculan
sastra cyber di Indonesia adalah ketika antologi puisi cyber yang berjudul
Graffiti Gratitude terbit pada tanggal 9 Mei 2001. Penerbitan antalogi tersebut dimotori
oleh Sutan Iwan Soekri Munaf, Nanang Suryadi, Nunuk Suraja, Tulus Widjarnako,
Cunong, dan Medy Loekito. Mereka tergabung dalam satu yayasan yaitu Yayasan
Multimedia Sastra (YMS). Kemunculan antologi itu sendiri sudah memunculkan
kontra dikalangan sastrawan seperti pendapat Sutardji Coulzum Bachri ’tai yang dikemas secara menarik akan lebih laku
dibandingkan dengan puisi yang dikemas secara asal-asalan’. Pernyataan ini
dilontarkan berkaitan dengan cover yang tampak pada buku antalogi sastra cyber yaitu Graffiti Gratitude yang dipandang kurang baik sehingga
buku itu tidak layak untuk dijual.
Pada
dasarnya kritik-kritik yang menyertai munculnya sastra cyber tidak terlepas
dari “ukuran baku” sastra yang berkualitas yang telah lebih dulu ada dan mapan.
Para sastrawan yang mengkritik sastra cyber sebagai sastra yang tidak memiliki
kualitas adalah para angkatan tua yang jika dirunut lebih jauh lagi berkenaan
dengan hegemoni sastra yang telah ditanamkan sejak munculnya Balai Pustaka
sebagai parameter sastra mainstream yang
masih menjadi patokan hingga saat ini. Para angkatan tua tersebut
dianggap masih belum bisa menerima kenyataan bahwa perkembangan teknologi
terutama teknologi informasi yang mendorong munculnya internet dan sastra cyber
dengan tangan terbuka. Atau mungkin mereka enggan “posisi” mereka tergantikan
oleh genre yang baru muncul tersebut.
terlepas
dari banyaknya kontra terhadap sastra cyber tersebut, jika kita mau berpikir
secara posistif, semisal menanggapi pendapat Ahmadun diatas, bukankah
Puisi-puisi Chairil Anwar pada masanya dulu juga merupakan suatu pemberontakan
terhadapa pakem? Justru karena dia memberontak terhadap pakemlah karya-karyanya
menjadi sesuatu yang terasa sesuai dengan zamannya dulu. seiring dengan
berjalannya waktu muncul sastrawan-sastrawan lain yang memberontak pakem dan
menjadi penanda suatu angkatan dengan ciri khasnya. Jika menganalogikan dengan
sebuah siklus, sesuatu yang dulunya tidak mainstream yang memberontak sesuatu
yang sudah mapan lambat laun menjadi pakem, lalu muncul pemberontakan terhadap
pakem baru tersebut dan begitu seterusnya. Ada dan besar kemungkinan sastra
cyber kelak, bahkan sudah mulai menjadi sesuatu yang mainstream.
Salah satu contohnya
adalah tulisan-tulisan Raditya Dika di blognya yang kemudian dibukukan. Awalnya
orang cenderung memandang sebelah mata buku yang diadaptasi dari sebuah blog
yang dilihat dari segi penulisan maupun gaya bahasanya saja cenderung nyeleneh
bagi ukuran saat itu. Namun justru sub-genre tersebut menuai kesuksesasan.
Buku-buku novel dan kumpulan cerpen yang isinya tentang hal-hal konyol seputar
kehidupan sehari-harinya disukai banyak orang. Menjadi rebutan penerbit, hingga
difilmkan. Bukankah itu sesuatu hal yang luar biasa? Mungkin jika dilihat dari
kacamata mereka yang kontra terhadap sastra cyber kita bisa menyebut selera
masyarakat Indonesia kita masih rendah. Masyarakat kita lebih menyukai hal-hal
yang sifatnya populer, lelucon, dari suatu karya sastra ketimbang suatu karya
sastra berat yang membuat orang awam yang membacanya mengerutkan kening.
Jika kita mau jujur
atau terbuka soal selera masyarakat secara umum atau mereka para penikmat
sastra yang demikian itu mencerminkan kondisi sosial bangsa ini. Kita sudah
lelah dengan segala macam persoalan yang dihadapi bangsa ini dari mulai para
pejabat yang korup, politik yang carut marut, hingga utang luar negeri yang
semakin bertambah. Bukan hal yang salah jika masyarakat ingin mendapatkan
hiburan dari suatu karya sastra. Selain sastra cyber, perlawanan yang dilakukan
oleh seniman yang berusaha unutk mendobrak pakem berkesenian di Indonesia
hampir ada dalam setiap karya seni: Stand up comedy adalah perlawanan terhadapa
acara lawak slapstick yang tengah merajai televisi, musik-musik independen
lewat website netlabel yang merupakan perlawanan terhadap industri musik
mainstream yang semakin kapitalistik, dan masih banyak lainnya.
Pada akhirnya, sastra
cyber adalah suatu keniscayaan yang mesti diterima dengan tangan terbuka
sebagai hasil dari perkembangan zaman yang baik disadari atau tidak turut
mewarnai jalannya sejarah kesusastraan di negeri ini.
Daftar Pustaka
Tuhusetya, Sawali.
“Sastra Koran VS Sastra Cyber”. 23 September 2007.
http://sawali.wordpress.com/2007/09/23/sastra-koran-vs-sastra-cyber/. Diakses pada 25 April 2014
bagus
ReplyDelete