Indonesia yang menganut sistem pemerintahan yang
demokrasi, yang melakukan pilkada langsung dan otonomi daerah. Indonesia yang melakukan transisi hingga 3
kali ini yaitu pemerintahan Orde Lama, Pemerintahan Orde Baru dan yang terakhir
yang sekarang digunakan adalah Pemerintahan Orde Reformasi. Setiap pemerintahan menggunakan sistem yang
berbeda-beda. Otonomi daerah menjadi
pilihan setelah pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru yang berpola pemerintahan
yang sentralistik. Dalam pelaksanaan
Pilkada secara langsung rakyat yang memilih siapa yang akan menjadi pemimpin
daerah berikutnya itu salah satu wujud dari demokrasi lokal.
Kata kunci : Demokrasi, otonomi daerah, pilkada langsung
Pendahuluan
Secara garis besar dapat didefinisikan bahwa demokrasi
merupakan bentuk pemerintahan dimana kebijakan, secara langsung atau tidak
(langsung) amat ditentukan oleh suara mayoritas warga masyarakat yang memiliki
hak suara melalui wadah pemilihan (Linz and Stepan, 1996; Potter, 1997;
Henders, 2004). Demokrasi sebagai ‘kehendak
rakyat dan kebaikan bersama’ seperti apa yang diungkap Schumpeter, harus
dimaknai dalam dua pengertian. Pertama, demokrasi
sebagai kehendak rakyat. Pengertian dari
demokrasi sebagai kehendak rakyat sebenarnya hendak mengatakan dari mana sumber
demokrasi itu berasal, atau lebih tepatnya, dari mana sumber kekuasaan itu
berada. Dalam demokrasi kekuasan berasal
dari rakyat dalam kata lain rakyat adalah pemegang kekuasaan sebenarnya. Kedua, dalam
pemaknaan yang disampaikan oleh Schumpeter, demokrasi adalah sebagai kebaikan
bersama (common good).
Demokrasi didefinisikan sebagai karakteristik yang wajib
ada di negara-negara demokrasi. Pertama, pembatasan terhadap tindakan
pemerintah untuk memberikan perlindungan pada individu dan kelompok melalui
cara menyusun pergantian pimpinan secara berkala. Kedua,
adanya sikap toleran terhadap pendapat yang berlawanan. Ketiga,
persamaan di hadapan hukum yang diimplementasikan dengan sikap tunduk pada
aturan hukum tanpa membedakan kedudukan sosial, ekonomi, dan politik. Keempat,
adanya pemilihan yang bebas dan disertai dengan model perwakilan yang
efektif. Kelima, diberikannya kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi
partai politik peserta pemilihan raya. Keenam, adanya penghormatan terhadap
hak-hak rakyat untuk menyatakan pandangannya betapapun tampak salah dan tidak
popular. Ketujuh, dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoriti dan
perorangan dengan lebih mengutamakan penggunaan cara persuasi dan diskusi
daripada cara-cara koersi dan represi.
Dalam pemilihan kepala daerah secara langsung, rakyat ikut
berpartisipasi didalamnya dan menentukan siapa yang akan jadi pemimpinnya. Sebagaimana diketahui bahwa
sebelum proses pilkada secara langsung, anggota DPRD memonopoli proses pilkada
yang mengklaim sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Akan tetapi pada
kenyataannya sekarang mereka yang menjadi anggota dewan yang terhormat
menyalahgunakan kedaulatan rakyat tersebut. Dengan adanya pilkada langsung diharapkan dapat meminimalisir poltik oligarki tersebut.
Pertama, kilas
balik demokrasi di Indonesia. Kedua, pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara langsung,
melainkan para anggota dewan yang memilih.
Padahal rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi karena Indonesia
menganut sistem demokrasi, tetapi kenapa pemilihan presiden dan wakil presiden
para wakil rakyat yang menentukan bukan rakyat yang menentukan. Ketiga,
pemilihan presiden dan wakil
presiden beserta pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung
karena Indonesia menganut sistem demokrasi. Pilkada yang dilaksanakan secara langsung merupakan wujud
dari demokrasi lokal. Dimana rakyat yang
memilih dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin daerah berikutnya. Warga masyarakat di
daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari warga masyarakat Indonesia
secara keseluruhan, yang mereka juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak
asasi mereka, yang hak tersebut dijamin dalam konstitusi kita Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945. Oleh karena itu, warga masyarakat di daerah,
berdasarkan kedaulatan yang mereka punya, diberikan hak untuk menentukan nasib
daerahnya masing-masing, antara lain dengan memilih Kepala Daerah secara
langsung. Ada
Propinsi atau Kabupaten/Kota dengan mulusnya menyelenggarakan Pilkada,
sementara ada pula yang menemui riak-riak dalam penyelenggaraannya. Paling
memprihatinkan, pelaksanaan Pilkada di sebagian kecil daerah diwarnai praktek
intimidasi bahkan menjurus aksi anarkisme, khususnya saat menyikapi hasil
Pilkada. Banyak aspek muncul dari penyelenggaraan Pilkada yang merupakan
manifestasi politik otonomi daerah. Demokratisasi lokal adalah implikasi dari desentralisasi yang
dijalankan di daerah-daerah sebagai perwujudan dari proses demokrasi di
Indonesia. Konsepnya
mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan untuk rakyat. Demokrasi lokal memuat hal yang mendasar yaitu keikutsertaan
rakyat serta kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama.
Demokrasi lokal terwujud salah satunya dengan adanya Pilkada langsung dengan
kata lain proses ini mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.
Kilas Balik Demokrasi di Indonesia
Jika membahas tentang demokrasi di Indonesia, kita tidak
terlepas dari alur periodisasi sejarah politik di Indonesia. Apa yang disebut sebagai periode pemerintahan
masa revolusi kemerdekaan, pemerintahan parlementer (representative democracy), pemerintahan Demokrasi Terpimpin (guided democacy), dan pemerintahan Orde
Baru (Pancasila Democracy).
Sejak berakhirnya Pemilihan Umum pada tahun 1995,
Presiden Soekarno sudah menunjukan gejala ketidaksenangannya kepada
partai-partai politik. Presiden Soekarno
juga mengungkapkan gagasan, bahwa demokrasi parlementer tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong-royong dan
kekeluargaan. Soekarno kemudian juga
mengusulkan, agar terbentuk pemerintahan yang bersifat gotong-royong, yang
melibatkan semua kekuatan politik yang ada.
Untuk mewujudkan gagasan tersebut, terbentuk kemudian apa yang disebut
sebagai Dewan Nasional yang
melibatkan semua partai politik dan organisasi sosial kemasyarakatan. Penentangan Konsepsi Presiden menyatakan,
bahwa pembentukan Dewan Nasional merupakan pelanggaran yang sangat fundamental
terhadap konstituante negara. Pada saat
yang sama, sejumlah faktor lain muncul hampir bersamaan. Pertama,
hubungan antara pemerintah Pusat dengan pemerintah Daerah semakin memburuk.
Kedua, Dewan Konstituante ternyata
mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan guna merumuskan ideologi
nasional. Agar dapat keluar dari
persoalan politik yang sangat rumit tersebut, dan berhubung situasi keamanan
nasional sudah sangat membahayakan persatuan dan kesatuan nasional, dengan
pertimbangan demi kepentingan negara, Soekarno kemudian pada 5 Juli 1959
mengeluarkan Dekrit Presiden, yang membubarkan konstituante dan menyatakan
kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Apa yang Soekarno lakukan disebut sebagai Demokrasi Terpimpin.[1]
Pemberontakan G-30-S/PKI merupakan puncak dari
pertarungan atau tarik tambang politik antara Soekarno, Angkatan Darat, dan
Partai Komunis Indonesia. Akibat dari
usaha kudeta yang gagal dilakukan oleh PKI membawa akibat yang amat fatal bagi
partai itu sendiri, yakni dengan tersisihnya partai tersebut dari perpolitikan
Indonesia. Demikian juga Soekarno yang
sedikit-demi sedikit kekuasaannya dikurangi.
Bahkan Soekarno tersingkir dari politik nasional, sampai meninggal tahun
1971. Akhirnya, Angkatan Darat muncul sebagai kekuatan
politik yang sangat menentukan dalam proses politik selanjutnya, dengan apa
yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI. Ketika Jendral Soeharto dipilih menjadi
Presiden Republik Indonesia melalui transisi yang singkat pada tahun 1965
sampai 1968 yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru. Kekuasaaan
Kepresidenan pada masa Orde Baru merupakan pusat dari seluruh proses
politik yang berjalan di Indonesia. Rotasi kekuasaan eksekutif boleh
dikatakan hampir tidak pernah terjadi. Kecuali yang terdapat pada jajaran yang
lebih rendah[2],
kalaupun ada perubahan, selama masa Orde Baru
hanya terjadi pada jabatan wakil presiden, sementara pemerintahan secara
esensial masih tetap sama. Demokrasi
mempersyaratkan adanya kemungkinan rotasi kekuasaan. Tetapi, hal itu hampir tidak mungkin terjadi
di Indonesia pada masa Orde Baru.
Menurut kaidah demokrasi yang umum berlaku, partai yang menang dalam
suatu daerah diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi di
Indonesia, karena proses rekruitmen tersebut diatur dengan mekanisme lain. Pemilihan
Umum. Pada saat pemilihan Orde Baru, Pemilihan Umum telah dilangsungkan
sebanyak enam kali, dengan frekuensi yang teratur, yaitu setiap lima tahun
sekali. Pemilihan Umum pada masa Orde
Baru masih jauh dari semangat demokrasi.
Pemilihan Umum di Indonesia sejak 1971 dibuat sedemikian rupa, agar
Golkar memenangkan pemilihan dengan mayoritas muthlak. Karena kompetisi antara Golkar dengan partai
yang lainnya dibuat tidak seimbang, caranya.
Pertama, melalui seperangkat
peraturan pemilihan yang ada, yang memungkinkan Lembaga Pemilihan Umum (LPU)
dan Panitia Pemilihan Umum (PPU) memainkan peranan yang sangat dominan. Kedua,
mekanisme penyelenggaraannya, misalnya nominasi calon anggota wakil rakyat,
pengaturan dan pelaksaan kampanye, pemberian dan perhitungan suara, dan lain
sebagainya.[3] Affan Gaffar berpendapat bahwa Pemilu bukan
sarana untuk meningkatkan kehidupan demokrasi, melainkan merupakan sarana untuk
memperoleh legitimasi guna mendapatkan mandat untuk memerintah selama masa
berikutnya. Basic human right. Apakah
warga masyarakat menikmati hak-hak dasarnya? Persoalan in juga masih merupakan
hal yang sangat rumit. Pertama, masalah kebebasan pers. Kedua,
menyangkut kebebasan menyatakan pendapat.
Dalam implementasi yang lebih spesifik dari basic human right di Indonesia, kita juga menyaksikan
kenyataan-kenyataan yang sangat memprihatinkan, yaitu dengan diberlakukannya
prinsip pencekalan terhadap sejumlah
orang yang dianggap mempunyai posisi yang berbeda secara tegas dengan
pemerintah.
Otonomi Daerah dan Pilkada Langsung
Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia
(yunani) yang berarti keputusan sendiri.
Otonomi dapat diartikan sebagai kondisi atau cara untuk tidak dikontrol
atau diatur oleh pihak lain atau kekuatan luar atau pemerintahan sendiri, yaitu
untuk memerintah dan menentukan nasibnya sendiri. Prinsip dari otonomi daerah adalah pemerintah
daerah diberi wewenang untuk mengelola daerahnya sendiri. Ada beberapa alasan mengapa otonomi daerah
menjadi pilihan, setelah orde lama dan orde baru pola pemerintahan sentralistik
demikian kuatnya, diantaranya:
a.
Pemerintah
sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai “sapi perahan” pemerintah
pusat.
b.
Tradisi
kekuasaan sentralistik melahirkan ketimpangan antara pambangunan di pusat dan
di daerah.
c.
Pola
sentralistik menyebabkan pemerintah pusat sewenang-wenang kepada daerah.
Pilkada
langsung adalah merupakan model melembaga demokarsi lokal, sebagai agenda
penting dan strategis dalam membangun pemerintahan daerah yang akuntabel dan
demokratis. Pemilihan kepala daerah secara
langsung telah membuka ruang bagi masyarakat untuk memilih dan berkehendak
siapa yang akan menjadi pemimpin di daerahnya kelak. Pilkada langsung merupakan perwujudan nyata
asas responsibilitas dan akuntabilitas penyelenggaraan kedaulatan rakyat. Dengan demikian pilkada langsung dinilai
lebih akuntabel dibandingkan para anggota DPRD yang memilih dan
menentukan. Pilkada langsung dapat
diapandang sebagai salah satu pilar penting dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan di daerah untuk mendorong terjadinya suatu tatanan yang
seimbang dan sinergis antar seluruh pelaku pembangunan mulai dari unsur
pemerintahan (eksekutif dan legislatif) dalam kerjasama atau kemitraan dalam
unsur-unsur masyarakat madani. Desentralisasi terwujud karena otonomi daerah. Di mana
Undang-undang Nomer 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengartikan
otonomi daerah sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, setidaknya ada tiga
tujuan pemberian otonomi kepada daerah :
-
meningkatkan
pelayanan dan kesejahteraan rakyat yang semakin baik
-
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan
-
memelihara
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Sementara
Rondinelli dan Chema (1983) menyebut keuntungan otonomi diantaranya :
mempermudah artikulasi dan implementasi kebijakan pembangunan, mengurangi dan
menyederhanakan prosedur birokrasi, memperlancar pelaksanaan koordinasi
kegiatan, meningkatkan efisiensi pemerintah pusat, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan meningkatkan
efisiensi pelayanan kepada masyarakat. Diantara beragam alasan terbitnya UU No. 32 tahun 2004
dikarenakan otonomi daerah selama ini baru taraf memberdayakan sebagian kecil
elit daerah, sebaliknya belum memberdayakan masyarakat keseluruhan. Otonomi daerah
masih mengedepankan politik dalam aras kekuasaan/kewenangan (power oriented) atau berkutat pada
tingkat formulasi kebijakan, belum beranjak pada taraf implementasi/manajerial
(customer oriented). Sehingga
undang-undang baru ini kemudian mengakomodir beberapa hal termasuk ketentuan
mengenai Pilkada langsung. Model
pemilihan yang merupakan makna lain dari otonomi sebagai bentuk demokrasi di
tingkat lokal.
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar 1945. Oleh karena itu pilkada langsung dan otonomi daerah saling
berkaitan satu sama lain.
Pilkada Langsung dan Demokrasi Lokal
Demokratisasi lokal adalah
implikasi dari desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah sebagai
perwujudan dari proses demokrasi di Indonesia. Konsepnya
mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan untuk rakyat. Demokrasi lokal memuat hal yang mendasar yaitu keikutsertaan
rakyat serta kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama.
Demokrasi lokal terwujud salah satunya dengan adanya Pilkada langsung dengan
kata lain proses ini mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.
Indonesia
adalah salah dari negara yang menganut sistem demokrasi. Dalam demokrasi perwakilan atau
demokrasi partisipatoris, rakyat langsung ikut berpartisipasi dan menentukan
pemimpinnya. Sehubungan dengan itu maka
pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan wujud dari demokrasi
partisipatoris atau demokrasi langsung.
Indonesia melaksanakan pemilihan presiden secara langsung pada Juni
2004. Setelah berhasil menyelenggarakan
pemilihan presiden langsung pada tahun 2004. Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk
memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945[4].
Sebelum diberlakukannya undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Namun sejak Juni 2005 Indonesia menganut system pemilihan
Kepala Daerah secara langsung.
Pilkada merupakan suatu tahap pencapaian baru dalam perkembangan
demokrasi di Indonesia. Melalui
pemilihan secara langsung, mulai dari presiden dan wakil presiden sampai dengan
kepala dan wakil kepala daerah maka, sekurang-kurangnya secara prosedural,
kedaulatan politik kini berada di tangan rakyat. Pilkada merupakan
institusi demokrasi lokal yang penting karena dengan Pilkada, Kepala Daerah
yang akan memimpin daerah dalam mencapai tujuan desentralisasi akan terpilih
melalui tangan-tangan masyarakat lokal secara langsung. Warga masyarakat di daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari warga masyarakat Indonesia secara keseluruhan, yang mereka juga berhak
atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka, yang hak tersebut dijamin
dalam konstitusi kita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Oleh
karena itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka
punya, diberikan hak untuk menentukan nasib daerahnya masing-masing, antara
lain dengan memilih Kepala Daerah secara langsung.
Pelaksanaan Pilkada langsung lahir merupakan koreksi terhadap pelaksanaan
Pilkada melalui perwakilan[5],
sebagaimana pernah diamanatkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Lahirnya Undang-Undang baru No. 12 tahun 2008
ini merupakan perkembangan dari hasil dialektis dan masukan pelbagai elemen
masyarakat[6]. Untuk mendukung pelaksanaan Pilkada di
tingkat teknis, pemerintah pusat kemudian melembarkan lembaran negara, berupa:
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2005 tentang Perubahan Pertama atas PP
Nomor 6 tahun 2005, serta (3) Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2007 tentang
Perubahan Kedua atas PP Nomor 6 tahun 2005
Pilkada langsung merupakan wujud dari demokrasi yang ada di Indonesia
karena rakyat yang langsung memilih siapa yang akan menjadi pemimpin. Supaya tidak terjebak dalam
pemilihan kepala daerah secara langsung maka masyarakat harus menjadi pemilih (voter) bukan menjadi pendukung (supporter). Sebagai pemilih rakyat harus
kritis terhadap calon-calon kepala daerah yang ada, bukan hanya pada waktu
memilih saja tetapi juga setelah calon terpilih sebagai kepala daerah. Sebab
bila para pemilih masih tetap bersikap sebagai pendukung, mereka cenderung
tidak akn kritis dan akan mengikuti dan mengiyakan apak kata yang didukung.
Apabila ini terjadi, maka pemilih kepala daerah secara langsung yang diharapkan
akan memperkuat demokrasi secara subtantive masih menjadi tanda tanya.
Penutup
Secara umum dapat didefinisikan bahwa demokrasi merupakan
bentuk pemerintahan dimana kebijakan, secara langsung atau tidak (langsung)
amat ditentukan oleh suara mayoritas warga masyarakat yang memiliki hak suara
melalui wadah pemilihan (Linz and Stepan, 1996; Potter, 1997; Henders,
2004). Demokrasi sebagai ‘kehendak
rakyat dan kebaikan bersama’ seperti apa yang diungkap Schumpeter, harus
dimaknai dalam dua pengertian. Pertama, demokrasi
sebagai kehendak rakyat. Pengertian dari
demokrasi sebagai kehendak rakyat sebenarnya hendak mengatakan dari mana sumber
demokrasi itu berasal, atau lebih tepatnya, dari mana sumber kekuasaan itu
berada. Dalam demokrasi kekuasan berasal
dari rakyat dalam kata lain rakyat adalah pemegang kekuasaan sebenarnya. Kedua, dalam
pemaknaan yang disampaikan oleh Schumpeter, demokrasi adalah sebagai kebaikan
bersama (common good).
Pilkada
yang dilaksanakan secara langsung merupakan wujud dari demokrasi lokal. Dimana rakyat yang memilih dan menentukan
siapa yang akan menjadi pemimpin daerah berikutnya. Warga masyarakat di
daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari warga masyarakat Indonesia
secara keseluruhan, yang mereka juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak
asasi mereka, yang hak tersebut dijamin dalam konstitusi kita Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Oleh karena itu, masyarakat di daerah,
berdasarkan kedaulatan yang mereka punya, diberikan hak untuk menentukan nasib
daerahnya masing-masing, antara lain dengan memilih Kepala Daerah secara
langsung. Sejak pemerintahan Orde Lama sampai ke Orde
Reformasi banyak mengalami perubahan atau transisi pada sistem
pemerintahannya. Pada masa Pemerintahan
Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, Indonesia mengalami persoalan
politik yang sangat rumit tersebut, dan berhubung situasi keamanan nasional
sudah sangat membahayakan persatuan dan kesatuan nasional, dengan pertimbangan
demi kepentingan negara, Soekarno kemudian pada 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit
Presiden, yang membubarkan konstituante dan menyatakan kembali kepada
Undang-Undang Dasar 1945. Apa yang
Soekarno lakukan disebut sebagai Demokrasi
Terpimpin.[7] Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kondisi
atau cara untuk tidak dikontrol atau diatur oleh pihak lain atau kekuatan luar
atau pemerintahan sendiri, yaitu untuk memerintah dan menentukan nasibnya
sendiri. Prinsip dari otonomi daerah
adalah pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengelola daerahnya sendiri. Desentralisasi terwujud karena otonomi
daerah. Di mana Undang-undang Nomer 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah mengartikan otonomi daerah sebagai hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, setidaknya ada tiga tujuan pemberian otonomi kepada daerah :
-
meningkatkan
pelayanan dan kesejahteraan rakyat yang semakin baik
-
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan
-
memelihara
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Sementara
Rondinelli dan Chema (1983) menyebut keuntungan otonomi diantaranya :
mempermudah artikulasi dan implementasi kebijakan pembangunan, mengurangi dan
menyederhanakan prosedur birokrasi, memperlancar pelaksanaan koordinasi
kegiatan, meningkatkan efisiensi pemerintah pusat, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan meningkatkan
efisiensi pelayanan kepada masyarakat. Diantara beragam alasan terbitnya UU No. 32 tahun 2004
dikarenakan otonomi daerah selama ini baru taraf memberdayakan sebagian kecil
elit daerah, sebaliknya belum memberdayakan masyarakat keseluruhan. Otonomi daerah
masih mengedepankan politik dalam aras kekuasaan/kewenangan (power oriented) atau berkutat pada
tingkat formulasi kebijakan, belum beranjak pada taraf implementasi/manajerial
(customer oriented). Sehingga
undang-undang baru ini kemudian mengakomodir beberapa hal termasuk ketentuan
mengenai Pilkada langsung. Model
pemilihan yang merupakan makna lain dari otonomi sebagai bentuk demokrasi di
tingkat lokal.
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar 1945. Oleh karena itu pilkada langsung dan otonomi daerah saling
berkaitan satu sama lain.
Demokratisasi lokal adalah
implikasi dari desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah sebagai
perwujudan dari proses demokrasi di Indonesia. Konsepnya
mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan untuk rakyat. Demokrasi lokal memuat hal yang mendasar yaitu keikutsertaan
rakyat serta kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama.
Demokrasi lokal terwujud salah satunya dengan adanya Pilkada langsung dengan
kata lain proses ini mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.
Kesimpulan dari artikel ini adalah Indonesia yang
menganut sistem pemerintahan yang demokrasi, yang melakukan pilkada langsung
dan otonomi daerah. Indonesia yang
melakukan transisi hingga 3 kali ini yaitu pemerintahan Orde Lama, Pemerintahan
Orde Baru dan yang terakhir yang sekarang digunakan adalah Pemerintahan Orde
Reformasi. Setiap pemerintahan
menggunakan sistem yang berbeda-beda.
Otonomi daerah menjadi pilihan setelah pemerintahan Orde Lama dan Orde
Baru yang berpola pemerintahan yang sentralistik. Dalam pelaksanaan Pilkada secara langsung
rakyat yang memilih siapa yang akan menjadi pemimpin daerah berikutnya itu
salah satu wujud dari demokrasi lokal.
Sarannya adalah perlu ditegaskan lagi bahwa Indonesia adalah negara yang
demokrasi dan memperbaiki sistem pemerintahan yang kurang baik.
Daftar Pustaka
Agustino,
Leo. Tinjauan Demokratisasi di Beberapa Negara dan Demokrasi Lokal di
Indonesia. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2009.
Affan,
Gaffar. Parameter Pemilihan Umum yang Akan Datang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
Abdullah, Rozali. Pelaksanaan
Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2005.
Fatwa, A M. Otonomi Daerah
dan Demokratisasi Bangsa. Jakarta: YARSIF WATAMPONE. 2002
Hardjito, Dydiet. Pemecahan masalah yang Analitik: Otonomi
Daerah dalam Kerangka NKRI. Jakarta: Premada Media. 2003.
[1]
Sampai sekarang, belum ada satu
tulisan pun yang lebih baik dari tulisan Daniel S. Lev, yang menyangkut
transisi menuju Demokrasi Terpimpin. Harap periksa lebih lanjut dalam bukunya, The Transition to Guided Democracy:
Indonesian Politics, 1957-1959 (Monograph Series, Modern Indonesia Project,
Cornel University, Ithaca, 1966).
[2]
Jajaran yang lebih rendah yang
dimaksud seperti: gubernur, bupati/walikota, camat dan kepala desa.
[3]
Uraian yang lebih terperinci
mengenai penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia, harap periksa Afan
Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of
Elections Under a Hegemonic Party System (Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1992).
[4] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pasal
1 ayat 4.
[5]
Perwakilan oleh DPRD.
[6]
Elemen masyarakat dalam hal ini
Organisasi Non-Pemerintah/Lembaga Swadaya Masyarakat.
[7]
Sampai sekarang, belum ada satu
tulisan pun yang lebih baik dari tulisan Daniel S. Lev, yang menyangkut transisi
menuju Demokrasi Terpimpin. Harap periksa lebih lanjut dalam bukunya, The Transition to Guided Democracy:
Indonesian Politics, 1957-1959 (Monograph Series, Modern Indonesia Project,
Cornel University, Ithaca, 1966).
No comments:
Post a Comment