Manusia sebagai makhluk sosial
diciptakan oleh Tuhan untuk saling berpasangan. Seperti yang telah ditakdirkan
bahwa laki-laki diciptakan untuk mendampingi perempuan, dengan kata lain bahwa
ketika seorang laki-laki dan perempuan itu berpasangan dan berada dalam suatu
hubungan intim tertentu entah yang tengah menyandang status pacaran atau bahkan
telah menikah, inilah yang dikatakan sebagai kehidupan yang normal. Normal yang
berarti memang seperti itulah yang selama ini telah terjadi bahwa laki-laki itu
berpacaran dan menikah dengan perempuan dan seakan hal tersebut terjadi dengan
sendirinya tanpa ada seorang pun yang sempat memikirkan alasan kenapa laki-laki
itu pasanganya adalah perempuan dan juga sebaliknya. Akan tetapi, bukan
berarti kehidupan sosial yang ada saat
ini semuanya dapat berjalan dengan normal. Kenyataanya, terjadi sebuah
kekeliruan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman individu dalam memahami
konstruksi sosial yang ada di tengah masyarakat. Salah satunya adalah munculnya
kaum atau kelompok yang terdiri dari individu-individu penyuka sesama jenis
kelamin dalam artian seorang laki-laki yang menyukai laki-laki pula atau yang
biasa dikenal dengan sebutan gay.
Hidup menjadi seorang gay, tentu bukanlah hal yang mudah bagi
mereka. Takut dengan konsekuensi yang akan diterima jika mengakui bahwa dirinya
adalah seorang gay, menjadi alasan
kenapa hingga saat ini kaum gay lebih
banyak terlihat hidup dibalik sorotan mata masyarakat. Diskriminasi itulah yang
kerap kali mereka dapatkan dari orang-orang normal. Menganggap mereka sebagai
kaum yang menyimpang, menjadi sebutan yang hingga kini tidak habisnya
digunjingkan kepada kaum gay. Banyak
kasus diskriminasi yang dilakukan terhadap kaum gay sejak dulu sampai saat ini yang terjadi hampir diseluruh dunia.
Misalnya di New York, Amerika Serikat pada tahun 2011 lalu, Jemey Rodemeyer
seorang gay berumur 14 tahun akhirnya
bunuh diri karena dirinya selalu dibully dan diolok-olok oleh teman sekolahnya
dengan komentar-komentar yang ditulis diblognya. Salah satu komen yang paling jahat
yang pernah diberikan kepadanya adalah: “I wouldn’t care if you died. No one would. So just do it. It would
make everyone WAY more happier!”. Jemey mungkin hanya
menjadi salah satu contoh perlakuan diskriminasi terhadap kaum gay di negara Barat yang tentunya
masih banyak kasus tidak terkuak oleh media massa. Terlepas dari itu, disisi
lain ketika membicarakan dan melihat di Indonesia bukan berarti negara dengan
semboyannya “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti walaupun berbeda-beda tapi satu
juga, tidaklah lagi berlaku jika melihat kenyataan bahwa masih banyak ditemukan
perlakuan diskriminasi terhadap kaum gay yang jelas-jelas masih menjadi bagian bangsa
negara ini, diperlakukan secara tidak adil oleh orang sekitar serta masyarakat
umum. Memiliki perbedaan orientasi seksual yang berbeda menjadi perbedaan pula
dalam perlakuan sosial didalam masyarakat. Diskriminasi itu meliputi berbagai
bidang, contohnya diskriminasi sosial seperti stigmatisasi, cemoohan,
pelecehan, dan pengucilan. Diskriminasi ekonomi, contohnya pelanggaran hak atas
pekerjaan di sektor formal, dan bahkan kekerasan terhadap mereka hingga kini masih
menjadi persoalan yang belum dapat dihilangkan. Kekerasaan itu sendiri, justru
dilakukan oleh orang-orang terdekat dari mereka, misalnya keluarga. Salah satu
kekerasan yang kerap dilakukan adalah kekerasan secara emosional yang berupa
ancaman dari pihak keluarga untuk menyembunyikan orientas seksual atau jati
dirinya yang asli, membatasi pergaulan, memaksa untuk “berobat”, dan bahkan
pengusiran dari lingkungan keluarga sering terjadi.
Gay itulah sebutan yang diberikan kepada laki-laki
yang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis. Definisi gay yakni lelaki yang memiliki orientasi
seksual terhadap sesama lelaki (Duffy & Atwater, 2005). Perlakuan serta
sikap diskriminasi terhadap kaum gay,
memunculkan berdirinya berbagai organisasi-organisasi yang menjadi tempat bagi
mereka yang memiliki satu rasa. Seperti
ketika abad ke-20 sekitar tahun 1920an di kota-kota besar di Hindia-Belanda
bermunculan komunitas gay, yang
kemudian setelah itu tahun 1969 di New York, Amerika di sebuah bar yang bernama
Stonewall para waria dan gay melawan
represi polisi dan peristiwa tersebut menjadi langkah awal bagi mereka untuk
berani mempublikasikan dirinya ke dalam masyarakat. Tahun 1982 hingga sekarang
mulai muncul organisasi-organisasi gay
terbuka yang pertama di Indonesia seperti Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY),
Indonesian Gay Society (IGS), dan GAYa NUSANTARA (GN) di Surabaya yang
didirikan oleh Dede Oetomo pada tahun 1982 yang memiliki cita-cita mendirikan
partai politik khusus kaum gay agar
dapat memperjuangkan apresiasi dan eksistensi mereka. Kemunculan
organisasi-organisasi gay di
Indonesia tersebut, telah cukup membuktikan bahwa saat ini keberadaan kaum gay bukan lagi menjadi penyimpangan
gender yang tidak diketahui oleh masyarakat. Bahkan jumlah gay yang ada di Indonesia tidak dapat dikatakan sedikit.
Data persebaran kaum gay di Indonesia yang diperoleh dari hasil penelitian Forum Group
Discuccion (FGD) yang bernama Mekanika dengan cara FGD. Berdasarkan identitas
provinsi pada tahun 2013 yang menjadi anggota komunitas gay di internet adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Persebaran Kaum Gay di Internet Tahun 2013
No.
|
Provinsi
|
Jumlah
|
Presentase
|
1.
|
DKI
Jakarta
|
33.054
|
43,33
%
|
2.
|
Jawa
Barat
|
11.384
|
14,92
%
|
3.
|
Jawa
Timur
|
7871
|
10,32
%
|
4.
|
Jawa
Tengah
|
3890
|
5,10 %
|
5.
|
Bali
|
3878
|
5,08 %
|
6.
|
Daerah
Istimewa Yogyakarta
|
3538
|
4,64 %
|
7.
|
Sumatera
Utara
|
2897
|
3,80 %
|
8.
|
Riau
|
1613
|
2,11 %
|
9.
|
Sulawesi
Selatan
|
1435
|
1,88 %
|
10.
|
Kalimantan
Timur
|
1141
|
1,49 %
|
11.
|
Sumatera
Selatan
|
767
|
1,00 %
|
12.
|
Lampung
|
672
|
0,88 %
|
13.
|
Sumatera
Barat
|
624
|
0,82 %
|
14.
|
Kalimantan
Selatan
|
509
|
0,67 %
|
15.
|
Kalimantan
Barat
|
435
|
0,57 %
|
16.
|
Sulawesi
Utara
|
347
|
0,45 %
|
17.
|
Kalimantan
Tengah
|
312
|
0,41 %
|
18.
|
Jambi
|
248
|
0,32 %
|
19.
|
Nangroe
Aceh Darussalam
|
243
|
0,32 %
|
20.
|
Nusa
Tenggara Barat
|
229
|
0,30 %
|
21.
|
Kepulauan
Riau
|
174
|
0,23 %
|
22.
|
Nusa
Tenggara Timur
|
159
|
0,21 %
|
23.
|
Banten
|
125
|
0,16 %
|
24.
|
Sulawesi
Tengah
|
122
|
0,16 %
|
25.
|
Bengkulu
|
113
|
0,15 %
|
26.
|
Maluku
|
95
|
0,12 %
|
27.
|
Papua
Barat
|
87
|
0,11 %
|
28.
|
Sulawesi
Tenggara
|
86
|
0, 11
%
|
29.
|
Papua
|
82
|
0, 11
%
|
30.
|
Gorontalo
|
57
|
0,07 %
|
31.
|
Bangka
Belitung
|
54
|
0,07 %
|
32.
|
Maluku
Utaraa
|
34
|
0,04 %
|
33.
|
Sulawesi
Barat
|
13
|
0,02 %
|
|
TOTAL
|
76.288
|
100 %
|
Sumber : Data Hasil Penelitian Mekanika (FGD)
Dari
tabel diatas, dapat dilihat bahwa jumlah kaum gay yang berada di Indonesia tidaklah sedikit, walaupun mereka
hanya berinterkasi dalam dunia maya. Meskipun demikian, dapat disimpulkan bahwa
kaum gay telah banyak yang berani
memunculkan identitas mereka. Keberadaan kaum gay pun, dapat ditemukan di semua provinsi yang ada di Indonesia.
DKI Jakarta, menempati peringkat pertama sebagai wilayah dengan jumlah kaum gay paling banyak. Dengan total 76.288
maka hal tersebut menjadi jumlah yang sangat kecil tentunya, jika dibandingkan
dengan besarnya penduduk negara Indonesia. Apalagi, berdasarkan hasil
penelitian dapat dimungkinkan banyak kaum gay
yang tidak bergabung ke komunitas gay online tersebut.
Meskipun menjadi kelompok
minoritas tidak menutup kemungkinan bahwa keberadaan para gay semakin hari akan banyak diketahui oleh masyarakat dengan
jumlahnya yang semakin meningkat dan persebarannya pun semakin luas. Dari data
tabel satu diatas, di provinsi Jawa Tengah kaum gay yang berintekeraksi di dunia maya berjumlah 3890 yang tentunya
jumlah tersebut merupakan hasil akumulasi dari kota-kota yang berada di wilayah
Jawa Tengah, termasuk Surakarta. Surakarta atau yang lebih akrab disapa dengan
kota Solo ini selain terkenal dengan slogannya “The Spirit of Java” ini, di
dalamnya ternyata juga menyimpan berbagai kisah kehidupan para gay yang sering dianggap tidak normal,
menyimpang, dan bahkan sering disebut sampah oleh masyarakat. Dengan jumlahnya
yang kurang lebih sekitar 700 orang, membuat para gay ini membuat komunitas yang disebut sebagai Yayasan Gerakan
Advokasi Sosial dan Hak Azasi Manusia untuk Gay
(Gessang) lebih tepatnya, bahwa yayasan inilah yang menjadi wadah bagi kaum gay di Kota Surakarta untuk melakukan
berbagai kegiatan serta pertemuan rutin yang di selenggarakan oleh yayasan ini.
Menurut direktur Yayasan Gessang, Slamet Rahardjo, yang telah lama membuka diri
atas status gay-nya tersebut,
menjelaskan bahwa komunitas yang telah berdiri sejak 14 tahun yang lalu ini,
memiliki agenda pertemuan reguler setiap tahun yaitu “September Ceria”. Acara
yang digelar setiap awal bulan September yang bertempat di kawasan atraksi
wisata pegunungan Tawangmangu, Karanganyar ini biasanya dihadiri sekitar 700-an
lebih gay di seluruh Indonesia. Acara
ini bertujuan sebagai pertemuan lintas komunitas gay dan sebagai wadah ekspresi atas eksistensi mereka yang
terpinggirkan dari masyarakat luas.
Selain acara September Ceria,
forum kecil juga kerap di gelar oleh komunitas ini seperti pertemuan kalangan
desainer atau seniman yang sama-sama berorientasi seksual gay. Akan tetapi, eksistensi komunitas gay saat ini agak meredup sejak adanya peristiwa ancaman dari Front
Pembela Islam Surakarta (FPIS) pada bulan September tahun 1999, yang saat itu
Gessang akan mengadakan kegiatan Rapat Kerja Nasional Jaringan Lesbian dan Gay (JLGI). Sejak kejadian itu,
komunitas gay di Kota Surakarta
menjadi agak sulit ditemukan. Hingga saat ini, hanya ada sejumlah lokasi
mangkal kalangan gay di Kota Surakarta.
Lokasi-lokasi tersebut diantaranya adalah kawasan segaran Taman Sriwedari, kawasan Taman Hiburan Rakyat (THR)
Sriwedari, Joglo Sriwedari, depan eksbioskop Solo Theatre, Solo Grand Mall,
lokasi wedangan Sraten, depan Lembaga
Permasyarakatan Solo, kawasan Terminal Tirtonadi, kawasan Gilingan, kafe Warung
Jawi, music room sejumlah hotel,
sejumlah diskotek, dan beberapa lokasi lain. Tidak hanya sekedar ancaman secara
kolektif saja yang diderita oleh komunitas gay
di Surakarta, akan tetapi diskriminasi secara individu yang sangat kejam juga dilakukan
oleh masyarakat umum khususnya orang-orang sekitar dimana mereka tinggal bahkan
oleh keluarganya sendiri. Hal tersebut, seperti kisah yang dialami oleh seorang
gay yang bernama Mathius Sutaryono
yang bertempat tinggal di kawasan Tipes, Solo. Pada pertengahan bulan Maret
2006, dia meninggal akibat penyakit AIDS. Mathius kerap dipanggil Cut Tari oleh
teman-temanya karena dianggap mirip dengan artis Indonesia yang bernama sama
dengan panggilanya tersebut saat berdandan. Saat dia meninggal, baru berusia 24
tahun, dan ketika dirawat di salah satu rumah sakit swasta di Kota Surakarta
tak ada satu saudara atau keluarganya pun yang menjenguk, bahkan ibu kandungnya
tidak mau mengakui Cut Tari sebagai darah dagingnya. Peristiwa peminggiran
bahkan pengeluaran dari keluarga yang dialami kalangan gay di Kota Surakarta memang cukup banyak terjadi. Selain Cut Tari
ada pula seorang gay yang bernama
Ryan (bukan nama sebenarya) diusir dari rumahnya karena salah satu saudara Ryan
melihatnya tengah “bergelut” tanpa busana dengan teman laki-laki di kamarnya. Setelah
peristiwa itu, kemudian Ryan memutuskan untuk bergabung kedalam komunitas gay di Kota Surakarta.
Berbagai kisah kehidupan kaum gay yang terjadi diberbagai wilayah
khususnya di Kota Surakarta sendiri, memang bukan menjadi suatu pemandangan
yang patut untuk terus dinikmati. Artinya, ketika status manusia adalah sebagai
makhluk sosial yang memiliki kewajiban untuk peduli antar sesama peristiwa
inilah yang selayaknya menjadi perhatian khusus dan berbeda disamping
masalah-masalah sosial yang saat ini lebih banyak berbau dan datang dari dunia
politik. Mencari jawaban atas pertanyaan kenapa perlakuan diskriminasi yang
dilakukan oleh masyarakat umum terhadap kaum gay yang hingga saat ini tidak henti-hentinya terjadi tentu menjadi
sebuah keinginan besar bagi peneliti. Akan tetapi, disisi lain muncul suatu
persoalan baru yang berawal dari rasa penasaran yang timbul karena adanya
hubungan peneliti dengan salah satu kaum gay
di Kota Surakarta yang dapat dikatakan sudah cukup lama, maka peneliti ingin
mencoba mencari jawaban atas dasar pertanyaan tentang bagaimanakah konsep diri
yang dibangun oleh kaum gay di Kota
Surakarta tersebut. Selama ini, pandangan yang selalu ada dimata masyarakat
bahwa kaum gay adalah orang-orang
yang menyimpang, dan bahkan tidak sedikit dari sebagian masyarakat umum yang
jijik terhadap mereka khususnya mereka para laki-laki maskulin. Tetapi,
pertanyaan selanjutnya jika para laki-laki normal ditanya kenapa mereka (kaum gay) yang juga juga memiliki kesamaan
jenis kelamin dengannya dapat memiliki orientasi seksual yang berbeda dari
seharusnya, maka disinilah kaitannya dengan apa yang disebut sebagai konsep
diri. Konsep diri terbentuk dari adanya pengalaman individu, seperti misalnya
identitas pribadi seorang individu tergantung pada hubungannya dengan orang
lain (James dalam Wirawan, 1998). Konsepsi diri juga terbentuk karena adanya
interaksi dengan orang-orang yang berada disekitarnya. Apa yang diprepsesikan
seseorang tentangnya akan mempengaruhi penilian terhadap dirinya sendiri
(Ritandiyono & Retnaningsih, 1996). Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep
diri adalah cara melihat diri sendiri yang juga dipengaruhi oleh pengalaman
seorang individu dengan orang lain melalui proses interaksi. Terbentuknya
orientasi seksual yang berbeda dari laki-laki umumnya pada kaum gay merupakan hasil dari pemahaman dan
pemaknaan konsep diri mereka. Oleh karena itu, bagaimana kaum gay melihat diri
mereka sendiri sebelum ataupun setelah terbentuk menjadi seorang gay menjadi
sesuatu hal yang urgen untuk diteliti karena hal tersebut yang nantinya pula
mampu memberikan jawaban dari pertanyaan tentang bagaimana perilaku gay itu
terbentuk khususnya para kaum gay di
Kota Surakarta.
Salam. Halo kak, jika berkenan boleh minta nomor kontak nya? untuk tanya-tanya informasi mengenai gay untuk bahan skripsi. Terimakasih.
ReplyDeleteBisakah perilaku gay bisa kembali ke kehidupan normal
ReplyDelete