Munculnya Megawati ke panggung politik pada akhir era
Orde Baru adalah fenomena khusus. Dia datang sebagai simbol perjuangan melawan
politik represif yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Orang-orang berharap dia
akan menjadi sosok alternatif untuk perubahan politik. Simpati Rakyat kas untuk
era dan partainya. Kontroversi yang menempel kepribadiannya adalah diam dia
dalam beberapa saat-saat yang benar-benar dibutuhkan keberadaannya. Apakah ini
bentuk inferioritas atau feminitas yang menekankan non-kekerasan bertindak di
tengah dominasi budaya Maskulin yang menekankan kekerasan.
Kata kunci: feminitas,
budaya dominasi maskulin, diskursif
Pendahuluan
Melambungnya
popularitas PDI Perjuangan pada pentas Pemilihan Umum (Pemillu) 1999 ini tidak
terlepas dari nama Megawati Soekarnoputri. Bahkan dapat dilakukan identifikasi
yang sedemikian konkrit bahwa PDI Perjuangan adalah sosok Megawati., ataupun
sebaliknya. Kemungkinan inilah personalisasi terhadap institusi perpolitikan
yang seringkali terjadi pada saat perubahan kekuasaan yang sangat revolusioner
berlangsung. Khasrisma seorang tokoh lebih menentukan segala-galanya daripada
program serta nama partai itu sendiri. Tentu saja fenomena ini tidak hanya
terjadi pada Megawati dengan PDI Perjuangan yang dipimpinnya. Gejala yang sama
juga terjadi pada tokoh seperti Amien Rais pada Partai Amanat Nasional (PAN)
serta pada Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Hanya saja yang pantas untuk dipertanyakan kemudian adalah mengapa Megawati
lebih populer dibandingkan dengan Amien Rais atau Gus Dur?
Kesemua
fenomena tersebut tidak dapat terlepas dari sosok Megawati sendiri yang
perempuan. Selama ini, dalam hierarki oposisi-biner, peran perempuan selalu
disubordinasikan. Perempuan selalu diidentikkan sebagai figur yang hanya pantas
menghuni sektor domestik (rumah tangga) yang sama sekali “tidak berharga”.
Bahkan dalam perjalanan historisnya, perempuan yang sesungguhnya mampu berperan
layaknya kalangan lelaki di sektor publik, telah dimitoskan secara sistematis
sebagai sosok yan sangat inferior. Demikian juga dalam kehidupan politik dimana
profil perempuan secara kuantitatif termasuk dalam jumlah yang minoritas.
Sedangkan secara kualitatif, juga tidak mempunyai peran yang cukup determinan
untuk melakukan perubahan terhadap tatanan yang diberlakukan sebuah rezim
kekuasaan.
Kenyataan-kenyataan
semacam itulah yang juga terjadi dalam diri Megawati, Inferioritas masih sangat
kental menghinggapi Megawati menjelang serta turunnya Soeharto dalam gerakan
reformasi yang terjadi pada bulan Mei 1998. Hal ini setidaknya dapat dilacak
dari berbagi peristiwa penting yang melingkupi proses reformasi tersebut,
yaitu: pertama, selama proses
reformasi dan puncaknya adalah penggulingan Soeharto dari kursi kekuasaanya,
Megawati justru sama sekali tidak pernah melontarkan gagasan serta melakukan
aksi-aksi yang mendukung mahasiswa. Kedua, dalam peristiwa Semanggi pada bulan
November 1998 yang bertepatan dengan sidang Istimewa MPR yang diiringi jatuhnya
para korban di pihak masyarakat serta mahasiswa, Megawati juga tidak mengambil
sikap yang menunjukkan sebagai seorang reformis. Bahkan sekalipun Megawati ikut
menandatangani deklarasi Ciganjur[1],
tampaknya, peranannya pun sangat kecil serta terkesan pasif. Ketiga, ketika
para pemimpin partai yang dianggap mempunyai massa yang banyak menciptakan
budaya politik baru serta terlibat secara aktif dalam wujud “debat calon
presiden” menjelang berlangsungnya Pemilu 1999, Megawati justru menampkkan
sikap yang reaksioner. Ini dapat dilihat dari pernyataannya yang mengungkapkan
bahwa perdebatan diantara calon presiden tersebut sebagai “bukan budaya bangsa
kita”. ungkapan tersebut sangat mirip dengan alasan yang selalu dikemukakan para penguasa rezim Orde Baru
untuk menanggapi progresivitas politik yang berkembang di tengah-tengah
masyarakat.
Ketiga
peristiwa politik penting tersebut tidak diikuti Megawati secara aktif.
Megawati hanya lebih banyak menunjukkan sikap bungkam saja tanpa mampu
memberikan reaksi serta antisipasi untuk menjadi pelopor (atau setidaknya pendorong) bagi perubahan
bangsa. namun, kalau dalam pemilu 1999 ini, nama Megawati menjadi semakin
populer serta para pendukungnya mencalonkannya sebagai presiden, pastilah ada
berbagai latar belakang politik yang melingkupinya.
Puncak Krisis
Legitimasi
Pemilu 1997
merupakan suatu prosesi demokrasi yang penuh dengan kerawanan dan kekhawatiran.
Hal ini dibuktikan dengan terjadinya sejumlah kerusuhan yang terjadi pada saat
kampanye dilakukan. Pada saat yang bersamaan muncul fidur alternatif yang
selama ini dijadikan simbol perubahan politik, yaitu Megawati. Bahkan dapat
dikatakan apabila pihak rezim menuai Pemilu 1997 sebagai suatu kejadian politik
yang mencekam, namun bagi Megawati justru pemilu 1997 adalah momentum-momentum
penting bagi eksistensi dirinya. Memang, tidak hanya faktor Megawati saja yang
membuat Orde Baru dalam krisis legitimasi kekuasaannya. Berbagai kondisi dari
tindakan represif rezim Orde Baru[2]
terhadap masyarakat juga mempunya andil besar. Dua peristiwa penting yang
menjadikan Orde Baru tidak populer di kalangan masyarakat adalah pembreidelan
terhadap media cetak Detik, Tempo, serta Editor dan dilaksanakannya konsolidasi
Golongan Karya (Golkar) yang secara meluas ditayangkan oleh seluruh stasiun
televisi. Konsolidasi yang langsung dijalankan oleh ketua umum Golkar pada saat
itu, Harmoko (yang juga merupakan menteri penerangan pada waktu itu),
menjadikan Golkar dianggap telah melakukan kampanye terselubung.
Terlihat
betul betapa Orde Baru menjadi kewalahan untuk menghilangkan sosok Megawati.
Relasi konfliktual antara negara dan masyarakat sipil (civi society) pun muncul dalam wajah yang lebih transparan. Negara
berupaya meniadakan Megawati dalam
panggung politik, sementara masyarakat terus-menerus melakukan upaya mengadakan Megawati. Sebenarnya, dalam
proses dialektis semacam ini, masyarakat telah melakukan suatu gerakan untuk
menunjukkan eksistensi diri.
Mendelegitimasi
Kekuasaan
Pemilu yang
dilaksanakan Orde Baru bukanlah suatu proses demokrasi yang dilakukan untuk
berlangsungnya sirkulasi kekuasaan ataupun pergantian kepemimpinan. Pemilu
hanya dilaksanakan sebagai suatu wujud bahwa Orde Baru ingin membuktikan secara
formal bahwa rezim ini merupakan negara demokratis. Selain itu, Orde Baru
melalui pemilu ini berupaya untuk memberikan pembuktian serta alibi yang kuat
bahwa dirinya mempunya sikap toleran terhadap perbedaan pendapat serta kritik
yang bermunculan secara langsung dari masyarakat. Bukankah dalam setiap
kampanye pemilu selalu saja ada pihak partai politik yang menghujamkan
kritik-kritik yang tajam terhadap pelaksanaan pembangunan? Bahkan tidak hanya
itu, masyarakatpun secara spontan mengeluarkan berbagai caci maki dengan
kata-kata kotor untuk menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan
pengelelolaan politik di bawah rezim Orde Baru. Namun, kesemua itu tetap saja
dibiarkan berlangsung, bahkan muncul suatu kesan bahwa melalui kampanye pemilu
ini masyarakat diberikan saluran resmi untuk mengkritik secara keras terhadap
pelaksanaan jalannya pembangunan. Dapat dikatakan bahwa sekalipun kampanye
pemilu itu brutal dengan massa yang penuh dengan kebencian terhadap rezim,
namun tetap saja dibiarkan serta diakui keberadaannya.
Alasan yang
dapat diterima secara masuk akal, mengapa rezim orde baru membiarkan begitu
saja kesemua perilaku destruktif tersebut, sebagai akibat orde baru menjadikan
pelaksanaan pemilu untuk melegitimasi kekuasaannya. Kekuasaan yang tidak
mempunyai legitimasi secara formal hanya akan dituduh sebagai suatu bentuk
otoriterianisme yang tidak membuka
kemungkinan interaksi antara pihak penguasa dengan yang dikuasai. Dalam negara
yang ingin dianggap menjalankan demokrasi, pemilu yang berlangsung secara
berkala dan bebas merupakan syarat hakiki yang harus dipenuhi. Namun,
sebenarnya keberadaan pemilu itu sendiri hanyalah pada tataran formal. Artinya
adalah suatu negara yang ingin dianggap demokratis harus melaksanakan pemilu
apabila ingin membuktikan pelaksanaan demokrasinya. Kondisi yang demikian belum
mencukupi untuk memuktikan adanya pelaksanaan demokrasi yang subtansial.
Apabila dipahami secara lebih kritis maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan
pemilu pada masa Orde Baru hanya sebatas untuk memberika suatu bukti kuat bahwa
orde baru adalah rezim yang demokratis. Selanjutnya, jika ditelusuri sampai
pada persoalan bagaimana pemilu dilaksanakan serta bagaimana pula kehidupan
partai politik diberikan kebebasan untuk memilih ketua dan
pengurus-pengurusnya, rezim orde baru tampaknya tidak dapat memberikan bukti
nyata bahwa dirinya telah melaksanakan demokrasi secara substansial setidaknya
melalui kasus Megawati digusur dari jabatan sahnya sebagai Ketua Umum Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) memberikan bukti kecil yang nyata tentang hal
tersebut. Bahkan sepanjang Orde Baru selalu saja pihak militer melakukan
intervensi terhadap kehidupan internal partai politik. Hal ini berakibat pada
terpecahnya partai politik ke dalam faksi-faksi serta perolehan suara mereka
dalam pemilu pun mengalami penurunan.
Namun pada
saat Megawati digusur dari kepemimpinannya mempunyai imbas yang tidak mudah
untuk ditanggulangi oleh rezim. Hal ini disebabkan oleh kuatnya dukungan
masyarakat terhadap Megawati. Dukungan yang spontan serta bersifat emosional
ini menjadikan Megawati begitu populer. Inilah saat kejadian memuncaknya
kekuatan arus bawah melawan kekuasaan negara secara terbuka. Tetapi tanggapan
dari pihak kekuasaan justru menunjukkan kecurigaan yang mendalam di mana arus
bawah dikatakan sebagai suatu hasil rekayasa. Cara pandang yang demikian
memperlihatkan bahwa kekuasaan menganggap bahwa kemunculan arus bawah bukanlah
sesuatu yang murni, serta pasti ada pihak ketiga yang menungganginya.
Kecurigaan
penguasa tampaknya tidak menemukan bukti yang memadai. Peristiwa 27 Juli 1996[3]
menunjukkan bahwa sebenarnya pada saat itu telah terjadi perlawanan arus bawah
terhadap kekuasaan rezim (arus atas). Hanya saja karena massa pengikut Megawati
merupakan masyarakat sipil yang lemah serta tidak berdaya menghadapi gempuran
dari massa yang mengaku dari kelompok Suryadi menggunakan cara-cara kekerasan,
terjadilah peristiwa yang mengakibatkan jatuhnya korban dari kelompok Megawati.
Ambisi kelompok Suryadi untuk merebut kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro yang
sudah lama diduduki oleh kelompok Megawati, sebenarnya menjadi suatu gambaran
telah terjadinya pengusiran Megawati dari platform
politik resmi yang dibentuk oleh rezim Orde Baru. Pendudukan kantor DPP PDI
yang diduga melibatkan militer serta para preman, bukanlah persoalan internal
PDI semata, tetapi didalamnya telah terjadi upaya untuk mengeliminasikan
masyarakat sipil dalam mendapatkan hak politik untuk menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap rezim secara terbuka.
Tentu saja
dengan di gesernya Megawati dari kepemimpinannya di PDI menjadikan dirinya
serta para pendukungnya tidak dapat mengartikulasian aspirasi politik sama
sekali. Serta pada saat kampanye pemilu 1997, terlihat bagaimana simpatisan
Megawati yang jumlahnya cukup banyak terus-menerus melakukan aksi agar Megawati
dapat diikutsertakan dalam prosesi pemilu 1997. Kejadian ini dapat dilihat dari
kedatangan lebih dari 10 ribu pendukung massa PDI pro-Megawati yang datang ke
gedung DPR/MPR. Massa menyatakan DPR/MPR mendesak pemerintah untuk
mengembalikan hak-hak politik warga PDI dan kepemimpinan Megawati. Tawaran yang
diajukan massa Megawati ini menjadi semacam petunjuk yang kuat bahwa Megawati
memang benar-benar didukung oleh kalangan masyarakat secara meluas. Bahkan
dapat diduga bahwa mereka mengajukan suatu tuntutan yang bersifat imperatif,
yaitu apabila Megawati tidak dilibatkan dalam pemilu1997, maka keberlangsungan
pemilu itu sendiri menjadi tidak sah.
Tampaknya
berbagai tuntutan dari massa pro-Megawati yang menghendaki eksistensi Megawati
dalam pelaksanaan pemilu 1997 tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari
penguasa rezim. Pada saat kampanye pemilu 1997 dimulai pad atanggal 27 April,
terlihat bagaimana massa pendukung setia Megawati masih dapat menunjukkan
keberadaannya. Dengan mengenakan kaos berwarna putih bergambar Megawati serta
berbagai slogan-slogan lain yang memberikan dukungan sangat kuat terhadapnya,
serta tidka mengakui keabsahan pemilu 1997. Disinilah pemilu yang dijadikan
alat pembenar bagi Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaanya semakin terasa
tumpul dan tidak memadai.
Pada gejala
yang lain juga muncul istilah Mega-Bintang yang merujuk pada massa pengikut
Megawati yang bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kemungkinan
yang dapat dibaca dari fenomena ini adalah keinginan massa pengikut Megawati
yang sudah terlalu lama menunggu instruksi dari Megawati yang juga tidak
kunjung datang. Memang, harus diakui bahwa langkah-langkah politik Megawati
terasa sangat lamban dan penuh keraguan. Inilah yang menjadikan massa
simpatisannya mengalami kebingungan. Maka tidak dapat dihindarkan apabila yang
terjadi adalah suatu bentuk konflik fisik antara massa PDI antara yang
pro-Suryadi serta pro-Megawati. Sedangkan jika bergabung dengan kontestan
pemilu yang lain, tampaknya, mereka juga berat hati. Mengikuti Golkar,
misalnya, jelas merupakan suatu langkah pengkhianatan. Sedangkan mengikuti PPP,
apabila dipahami dari segi kesejarahan ideologi, tampaknya tidak dapat
dipersatukan begitu saja. Bukankah PPP merupakan hasil fusi dari partai-partai
yang berorientasi keagamaan (religius Islam) sedangkan PDI merupakan gabungan
dari partai-partai yang dianggap sekuler serta berhaluan keagamaan Nasrani?
Tentu saja fenomena kemunculan istilah Mega-Bintang ini seakan-akan telah
terjadi koalisi antara dua ideologi yang satu sama lain berbeda. Meskipun
kesemua kekuatan politik di Indonesia sudah mempunyai asas yang sama, yaitu
Pancasila, namun afiliasi politik berdasarkan kepentingan primordialisme serta
ideologi pada masa silam, tidaklah gampang untuk dihilangkan dengan begitu
saja.
Sebagai
suatu gerakan yang berasal dari arus bawah, Mega-Bintang tidak memperoleh
respon yang baik dari penguasa. Bahkan secara tegas Ketua Panitia Pemilu pada
saat itu menyatakan “Segala bentuk penggunaan istilah Mega-Bintang seperti
spanduk, pakaian, topi, selebaran, maupun yel-yel, dilarang. Penggunaan istilah
itu bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku, yang melanggar akan
diberi sanksi”. Tidak demikian halnya dengan sikap Komnas HAM yang menyatakan
bahwa pelarangan terhadap Mega-Bintang sudah merupakan bentuk pelanggaran
terhadap kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi.
Puncak
sikap Megawati yang secara transparan menghapuskan keragu-raguan pengikutnya
terjawab sudah pada tanggal 22 Mei 1997. Menjelang satu hari masa kampanye
berakhir tersebut, Megawati dengan pakaian serba putih menyatakan tidak akan
menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara nanti. Lebih lanjut
Megawati mengatakan bahwa kekuasaan selama ini secara sewenang-wenang telah
bertindak abusif, sehingga peluangnya untuk memperoleh hak untuk dipilih
menjadi tersingkirkan. Dengan demikian, Megawati secara terus terang telah
mengungkapkan untuk melakukan aksi sebagai Golongan Putih (Golput).
Pertarungan
Diskursif Dalam Maskulinisme Negara
Sejumlah
rangkaian peristiwa yang berawal dari dukungan arus bawah terhadap Megawati,
dijatuhkannya Megawati oleh Suryadi dengan bantuan militer dan preman, maraknya
Mega-Bintang yang akhirnya mendapatkan pelarangan, serta puncak dari kesemua
itu adalah pernyataan Megawati untuk Golput, sesungguhnya menjadi suatu
realitas bahwa Megawati telah hanyut dalam suatu prosesi politik yang
digulirkan oleh rezim Orde Baru. Artinya adalah dalam pergerakan menuju
pembentukan masyarakat sipil yang bebas dari intervensi negara, terutama dari
aparat militer, selalu saja tidak pernah mengalami keberhasilan. Memandang orde
baru hanya dijaga secara ketat oleh lapisan militer yang patuh terhadap segala
perintah kekuasaan serta dengan tameng kuat ideologi “stabilisme”, sekadar akan
memberikan suatu pengertian seakan-akan begitu mudahnya orde baru merengkuh
masyarakat untuk patu terhadap segala kehendaknya. Padahal sebenarnya,
didalamnya terdapat berbagai kecamuk kepentingan yang tidak berkesudahan.
Disinilah sebenarnya peran discourse
menjadi sentral dalam berbagai konflik politik. Sebab, melalui discourse ini pula akan diketahui
berbagai perlawanan yang dilontarkan oleh masyarakat. Discourse, dengan demikian, lebih peka dalam mendeteksi berbagai
gejolak dalam masyarakat
Michael
Foucault sendiri menyebut discourse
sebagai suatu pernyataan (statement).
Foucault menempatkan discourse[4] sebagai
suatu strategi yang digunakan oleh kekuasaan untuk mengatur pikiran dan
perbincangan yang terdapat dalam masyarakat. Sehingga Foucault sendiri
menegaskan bahwa produksi discourse
dalam setiap masyarakat dikendalikan, dipilih, diorganisasikan serta
diredistribusikan oleh sejumlah prosedur yang mempunyai peran untuk memberikan
tameng bagi kekuasaan dan bahaya yang mungkin mengancamnya, serta untuk
menguasai sejumlah kejadian yang kemungkinan saja bermunculan. Sebenarnya
apabila diekstensikan dalam realitas, discourse
yang diaplikasikan kekuasaan tidak terlepas dari komponen ideologi dan
kebudayaan yang sedang dikembangkan dalam masyarakat. Kedudukan discourse dalam relasinya dengan
ideologi adalah peranannya sebagai perangkat yang meyakinkan bagi masyarakat
bahwa ideologi yang sedang berlangsung itu baik adanya.
Penjelasan
apa yang dapat diterapkan untuk melihat resistensi yang dilakukan Megawati
terhadap kekuasaan negara yang begitu hegemonik? Landasnr berpikir yang dapat
dikedepankan adalah pada saat Megawati mendapatkan dukungan dari arus bawah
sampai pada akhirnya dijatuhkan kembali. Sebenarnya Megawati telah memasuki
suatu prosesi yang dijalankan oleh Orde Baru untuk membuktikan bahwa orde baru
adalah negara demokratis, yaitu dengan cara menjalankan pemilu. Namun dalam
prosesi itu sendiri, negara telah menetapkan berbagai kualifikasi yang harus
dimiliki oleh seseorang agar boleh berbicara, posisi apa yang boleh ditempati,
serta pernyataan apa yang boleh diucapkan. Tidak semua orang boleh memasuki dan
memiliki akses terhadap prosedur yang demikian ini, karena tidak semua wilayah discourse bersifat terbuka dan dapat
ditembus.
selain itu,
dalam formasi diskursif, yang merupakan suatu rangkaian karakteristi sistem,
struktur, ataupun jaringan yang menentukan kondisi-kondisi bagi kemungkinan
bermunculannya pengetahuan atau pandangan dunia pada masa tertentu yang diterapkan
oleh orde baru, Megawati tidak memenuhi prosedur-prosedur yang telah ditetapkan
oleh rezim ini. Dalam formasi diskursif ini ada berbagai kategori aturan yang
digunakan untuk meregulasikan keberlangsungan discourse yang sedang berjalan, yaitu: persoalan-persoalan apa yang
boleh dibicarakan dan siapa yang diperbolehkan berbicara. Melalui prosedur ini
dapat diketahui bahwa apa serta siapa Megawati apabila dirinya menduduki kursi
ketua umum PDI dikhawatirkan akan membangkitkan Marhaenisme yang pernah
dikonsepsikan Soekarno karena mengandung ajaran-ajaran Marxisme. Selain itu
yang lebih pokok adalah jika mendapatkan dukungan yang kuat dari masyarakat,
Megawati ditakutkan akan mencalonkan diri sebagai presiden. Memang dalam
perhitungan politik, Megawati jelas akan kalah jika dibandingkan dengan
Soeharto yang jelas memiliki jaringan kekuasaan yang cukup kuat dan luas.
Selain itu juga Megawati dikhawatirkan akan memberikan pengetahuan yang berisi
ajaran-ajaran perlawanan terhadap kemapanan. Bukankah semenjak kehadirannya
dalam perpolitikan Megawati telah menjadi simbol bagi perubahan mendasar dalam
perpolitikan? Sehingga tidak aneh apabila praktik
diskursif[5] yang
diterapkan orde baru untuk menggusur Megawati terdapat suatu impresi bahwa
Megawati adalah oposan yang berbahaya. Bahkan dalam kondisi yang menyedihkan
Megawati dapat saja dituduh akan menggagalkan pemilu dengan aksi golput yang dilakukannya.
Sebab, tidak dapat diingkari bahwa mereka yang menyatakan diri golput biasanya
adalah kalangan yang mempunyai pendidikan tinggi serta mempunyai kesadaran
politik yang baik. Inilah kekuatan pemberontakan dari pengetahuan yang ditindas
yang dapat menggugat segala jenis kebenaran yang digulirkan kekuasaan.
Sedangkan
fenomena Mega-Bintang yang pada akhirnya harus mendapatkan pelarangan tidak
lepas dari sosok penyebutan kata “Mega” yang tidak lain berarti adalah
Megawati. Dalam rangakaian kampanye pemilu sendiri juga ada formasi diskursif
yang melandasinya, sehingga kampanye tersebut dapat disebut sebagai telah
menjalankan demokrasi pancasila serta tetap menjaga ketertiban masyarakat.
Dalam kasus segala tindakan yang bernuansakan Mega-Bintang, ada serangkaian enunciative modalities[6] yang
dianggap melanggar ketentuan kampanye. Dengan pernyataan Mega-Bintang muncul
kekhawatiran dalam diri penguasa akan adanya koalisi perlawanan yang semakin
besar pada tingkat arus bawah. Namun keberadaan Mega-Bintang dengan berbagai
artikulasinya menjadi suatu bentuk bagaimana masyarakat mampu mengembangkan
kreativitasnya meskipun dalam kondisi yang serba dibatasi. Masyarakat dengan
gagasan yang cemerlang mampu membangun suatu kesadaran bersama dengan memadukan
simbol-simbol yang diperbolehkan serta yang dilarang oleh negara. “Bintang”
(simbol PPP) merupakan bahasa yang diizinkan hidup dalam panggung politik resmi
Orde Baru. Sedangkan “Mega” (dari nama Megawati) adalah bahasa yang tidak boleh
berkembang dalam platform yang telah disediakan pihak kekuasaan. Namun demikian,
kreativitas bahasa menjadi unsur yang penting pada saat represi politik makin
meningkat.
Penutup
Dalam kondisi
semacam ini bahasa menjadi perangkat yang efektif untuk melakukan ekspresi dan
deskripsi, serta melalui bahasa ini pula artikulasi individualitas dimunculkan.
Pada saat simbol-simbol alternatif tersebut direpresi dari bahasa resmi, maka
terciptalah bahasa privat dimana teknik-teknik kontrol dan manipulasi tidak
dapat dilakukan oleh kekuasaan. Sehingga yang dapat dilakukan kekuasaan untuk menghadapi
spontanitas berbahasa kalangan arus bawah dengan slogan Mega-Bintang ini tidak
lain adalah merepresinya denganalasan ketentuan hukum serta dalih keamanan.
Alasan-alasan semacam ini tidak mempunyai kekuatan diskursif apapun, karena
didalamnya tidak mampu memberikan penjelasan jenis pengetahuan apa yang
sebenarnya dikembangkan kekuasaan. Tidak aneh apabila Komnas HAM,yang merupakan
lembaga resmi bentukan pemerintah, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap
Mega-Bintang. Apabila menang-kalah dilihat berdasarkan antara yang mempunyai
kekuasaan dan yang tidak, jelas Megawati telah mengalami kekalahan beruntun
dengan cara menggusurnya dari panggung politik yang resmi. Namun jika dillihat
dari berbagai pertarungan diskursif yang selalu muncul, terlihat secara jelas
bagaimana Megawati beserta massa pengikut setianya tidak akan mudah untuk
ditaklukan hanya dengan mengandalkan bahasa hukum dan cara-cara kekerasan
politik yang sudah dianggap lazim.
Hal lain
yang dapat dikemukakan dari pertarungan diskursif ini adalah bagaimana rezim
menempatkan posisinya sebagai penguasa dengan mengandalan pada cara-cara
maskulinisme. Ini dapat terlihat dari yang seringkali muncul adalah
bentuk-bentuk wacana yang mengandalkan pada kekerasan untuk menghadapi berbagai
gejolak dalam masyarakat. Maskulinisme kekuasaan orde baru ini sebenarnya tidak
lain adalah implementasi dari dominannya kekuatan militer sebagai elite yang
sedang berkuasa. Dengan hegemoni militer yang sudah terlanjur mapan ini, maka
budaya kekerasan dalam penyelesaian setiap konflik politik dianggap sebagai
sebuah kewajaran. Hadirnya Megawati
dalam panggung perpolitikan yang menunjukkan sikap feminitas dengan menonjolkan
watak sebagai seorang ibu yang menonjolkan kelembutan, defensif, serta wacana
yang anti kekerasan inilah tampaknya semakin mengundang simpati. Meskipun harus
diakui pula bahwa dari segi pemikiran terhadap kemerdekaan perempuan yang
terwujud dalam gerakan feminisme, Megawati sedikitpun tidak menunjukkan
kemerdekaannya.
Referensi
Pratikno, 2007, Governance dan
Krisis Teori Organisasi, Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik, Vol.2
“Struktur
Diskursif Michel Foucault” . http://blog.sunan-ampel.ac.id/zudanrosyidi/2010/10/15/struktur-diskursif/
(accessed september 20, 2010)
“Praktik
Diskursif The Theory of Truth Michel Foucault dalam Konstruksi Simbolisasi
Bahasa di Indonesia”, Moch. Jalal.
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Praktik%20Diskursif.pdf
Reed, Evelyn. “Mitos tentang Inferioritas
perempuan”, Jurnal Prempuan. Februari 10, 1999.
[1] http://m.bangfauzi.com/tokoh.php?id=173&mode=view&page=12
[2]
http://yanuaridho.wordpress.com/2011/12/24/peran-militer-dalam-konflik-masa-orde-baru/
(diakses pada 24 Desember 2011) “Mereka yang berdemonstrasi tidak dianggap
sebagai bagian dari anak-anak bangsa, tetapi dianggap sebagai musuh yang yang
harus diamankan. Doktrin militer “to killed or to be killed” tertanam kuat dalam
kepribadian perwira militer”
[3] http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/2253
[4] “Struktur Diskursif Michel Foucault” http://blog.sunan-ampel.ac.id/zudanrosyidi/2010/10/15/struktur-diskursif/
[5] Praktik diskursif disini dapat diartikan sebagai proses produksi dan
reproduksi wacana-wacana (discourse) yang merupakan suatu hubungan yang
kompleks antara tanda-tanda serta praksis yang pada akhirnya mengatur
keberadaan dan reproduksi sosial. Dalam keadaan yang demikian wacana dapat
dipandang sebagai sesuatu yang memberikan perbedaan secara substansial terhadap
individu-individu sebagai anggota suatu kelompok, kelas sosial, atau
himpunan-himpunan sosial lainnya. Selengkapnya baca Muhammad A.S Hikam,
‘Bahasa, Politik dan Penghampiran “Discursive Practice”: Sebuah Pengantar”,
Driyarkara No.2 Tahun XX 1993/1994, hal. 54-72.
[6] Enunciative modalities berarti hanya subyek-subyek tertentu yang layak
dan boleh berbicara dalam hal-hal tertentu, serta pernyataan-pernyataan
tertentu tidak dapat oleh sembarang orang.
No comments:
Post a Comment