Friday, November 7, 2014

FEMININITAS MEGAWATI DAN PERILAKU DISKURSIF DALAM NEGARA

Munculnya Megawati ke panggung politik pada akhir era Orde Baru adalah fenomena khusus. Dia datang sebagai simbol perjuangan melawan politik represif yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Orang-orang berharap dia akan menjadi sosok alternatif untuk perubahan politik. Simpati Rakyat kas untuk era dan partainya. Kontroversi yang menempel kepribadiannya adalah diam dia dalam beberapa saat-saat yang benar-benar dibutuhkan keberadaannya. Apakah ini bentuk inferioritas atau feminitas yang menekankan non-kekerasan bertindak di tengah dominasi budaya Maskulin yang menekankan kekerasan.
Kata kunci: feminitas, budaya dominasi maskulin, diskursif

Pendahuluan
            Melambungnya popularitas PDI Perjuangan pada pentas Pemilihan Umum (Pemillu) 1999 ini tidak terlepas dari nama Megawati Soekarnoputri. Bahkan dapat dilakukan identifikasi yang sedemikian konkrit bahwa PDI Perjuangan adalah sosok Megawati., ataupun sebaliknya. Kemungkinan inilah personalisasi terhadap institusi perpolitikan yang seringkali terjadi pada saat perubahan kekuasaan yang sangat revolusioner berlangsung. Khasrisma seorang tokoh lebih menentukan segala-galanya daripada program serta nama partai itu sendiri. Tentu saja fenomena ini tidak hanya terjadi pada Megawati dengan PDI Perjuangan yang dipimpinnya. Gejala yang sama juga terjadi pada tokoh seperti Amien Rais pada Partai Amanat Nasional (PAN) serta pada Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hanya saja yang pantas untuk dipertanyakan kemudian adalah mengapa Megawati lebih populer dibandingkan dengan Amien Rais atau Gus Dur?
            Kesemua fenomena tersebut tidak dapat terlepas dari sosok Megawati sendiri yang perempuan. Selama ini, dalam hierarki oposisi-biner, peran perempuan selalu disubordinasikan. Perempuan selalu diidentikkan sebagai figur yang hanya pantas menghuni sektor domestik (rumah tangga) yang sama sekali “tidak berharga”. Bahkan dalam perjalanan historisnya, perempuan yang sesungguhnya mampu berperan layaknya kalangan lelaki di sektor publik, telah dimitoskan secara sistematis sebagai sosok yan sangat inferior. Demikian juga dalam kehidupan politik dimana profil perempuan secara kuantitatif termasuk dalam jumlah yang minoritas. Sedangkan secara kualitatif, juga tidak mempunyai peran yang cukup determinan untuk melakukan perubahan terhadap tatanan yang diberlakukan sebuah rezim kekuasaan.
            Kenyataan-kenyataan semacam itulah yang juga terjadi dalam diri Megawati, Inferioritas masih sangat kental menghinggapi Megawati menjelang serta turunnya Soeharto dalam gerakan reformasi yang terjadi pada bulan Mei 1998. Hal ini setidaknya dapat dilacak dari berbagi peristiwa penting yang melingkupi proses reformasi tersebut, yaitu: pertama, selama proses reformasi dan puncaknya adalah penggulingan Soeharto dari kursi kekuasaanya, Megawati justru sama sekali tidak pernah melontarkan gagasan serta melakukan aksi-aksi yang mendukung mahasiswa. Kedua, dalam peristiwa Semanggi pada bulan November 1998 yang bertepatan dengan sidang Istimewa MPR yang diiringi jatuhnya para korban di pihak masyarakat serta mahasiswa, Megawati juga tidak mengambil sikap yang menunjukkan sebagai seorang reformis. Bahkan sekalipun Megawati ikut menandatangani deklarasi Ciganjur[1], tampaknya, peranannya pun sangat kecil serta terkesan pasif. Ketiga, ketika para pemimpin partai yang dianggap mempunyai massa yang banyak menciptakan budaya politik baru serta terlibat secara aktif dalam wujud “debat calon presiden” menjelang berlangsungnya Pemilu 1999, Megawati justru menampkkan sikap yang reaksioner. Ini dapat dilihat dari pernyataannya yang mengungkapkan bahwa perdebatan diantara calon presiden tersebut sebagai “bukan budaya bangsa kita”. ungkapan tersebut sangat mirip dengan alasan yang selalu  dikemukakan para penguasa rezim Orde Baru untuk menanggapi progresivitas politik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
            Ketiga peristiwa politik penting tersebut tidak diikuti Megawati secara aktif. Megawati hanya lebih banyak menunjukkan sikap bungkam saja tanpa mampu memberikan reaksi serta antisipasi untuk menjadi pelopor  (atau setidaknya pendorong) bagi perubahan bangsa. namun, kalau dalam pemilu 1999 ini, nama Megawati menjadi semakin populer serta para pendukungnya mencalonkannya sebagai presiden, pastilah ada berbagai latar belakang politik yang melingkupinya.
Puncak Krisis Legitimasi
            Pemilu 1997 merupakan suatu prosesi demokrasi yang penuh dengan kerawanan dan kekhawatiran. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya sejumlah kerusuhan yang terjadi pada saat kampanye dilakukan. Pada saat yang bersamaan muncul fidur alternatif yang selama ini dijadikan simbol perubahan politik, yaitu Megawati. Bahkan dapat dikatakan apabila pihak rezim menuai Pemilu 1997 sebagai suatu kejadian politik yang mencekam, namun bagi Megawati justru pemilu 1997 adalah momentum-momentum penting bagi eksistensi dirinya. Memang, tidak hanya faktor Megawati saja yang membuat Orde Baru dalam krisis legitimasi kekuasaannya. Berbagai kondisi dari tindakan represif rezim Orde Baru[2] terhadap masyarakat juga mempunya andil besar. Dua peristiwa penting yang menjadikan Orde Baru tidak populer di kalangan masyarakat adalah pembreidelan terhadap media cetak Detik, Tempo, serta Editor dan dilaksanakannya konsolidasi Golongan Karya (Golkar) yang secara meluas ditayangkan oleh seluruh stasiun televisi. Konsolidasi yang langsung dijalankan oleh ketua umum Golkar pada saat itu, Harmoko (yang juga merupakan menteri penerangan pada waktu itu), menjadikan Golkar dianggap telah melakukan kampanye terselubung.
            Terlihat betul betapa Orde Baru menjadi kewalahan untuk menghilangkan sosok Megawati. Relasi konfliktual antara negara dan masyarakat sipil (civi society) pun muncul dalam wajah yang lebih transparan. Negara berupaya meniadakan Megawati dalam panggung politik, sementara masyarakat terus-menerus melakukan upaya mengadakan Megawati. Sebenarnya, dalam proses dialektis semacam ini, masyarakat telah melakukan suatu gerakan untuk menunjukkan eksistensi diri.
Mendelegitimasi Kekuasaan
            Pemilu yang dilaksanakan Orde Baru bukanlah suatu proses demokrasi yang dilakukan untuk berlangsungnya sirkulasi kekuasaan ataupun pergantian kepemimpinan. Pemilu hanya dilaksanakan sebagai suatu wujud bahwa Orde Baru ingin membuktikan secara formal bahwa rezim ini merupakan negara demokratis. Selain itu, Orde Baru melalui pemilu ini berupaya untuk memberikan pembuktian serta alibi yang kuat bahwa dirinya mempunya sikap toleran terhadap perbedaan pendapat serta kritik yang bermunculan secara langsung dari masyarakat. Bukankah dalam setiap kampanye pemilu selalu saja ada pihak partai politik yang menghujamkan kritik-kritik yang tajam terhadap pelaksanaan pembangunan? Bahkan tidak hanya itu, masyarakatpun secara spontan mengeluarkan berbagai caci maki dengan kata-kata kotor untuk menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan pengelelolaan politik di bawah rezim Orde Baru. Namun, kesemua itu tetap saja dibiarkan berlangsung, bahkan muncul suatu kesan bahwa melalui kampanye pemilu ini masyarakat diberikan saluran resmi untuk mengkritik secara keras terhadap pelaksanaan jalannya pembangunan. Dapat dikatakan bahwa sekalipun kampanye pemilu itu brutal dengan massa yang penuh dengan kebencian terhadap rezim, namun tetap saja dibiarkan serta diakui keberadaannya.
            Alasan yang dapat diterima secara masuk akal, mengapa rezim orde baru membiarkan begitu saja kesemua perilaku destruktif tersebut, sebagai akibat orde baru menjadikan pelaksanaan pemilu untuk melegitimasi kekuasaannya. Kekuasaan yang tidak mempunyai legitimasi secara formal hanya akan dituduh sebagai suatu bentuk otoriterianisme  yang tidak membuka kemungkinan interaksi antara pihak penguasa dengan yang dikuasai. Dalam negara yang ingin dianggap menjalankan demokrasi, pemilu yang berlangsung secara berkala dan bebas merupakan syarat hakiki yang harus dipenuhi. Namun, sebenarnya keberadaan pemilu itu sendiri hanyalah pada tataran formal. Artinya adalah suatu negara yang ingin dianggap demokratis harus melaksanakan pemilu apabila ingin membuktikan pelaksanaan demokrasinya. Kondisi yang demikian belum mencukupi untuk memuktikan adanya pelaksanaan demokrasi yang subtansial. Apabila dipahami secara lebih kritis maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pemilu pada masa Orde Baru hanya sebatas untuk memberika suatu bukti kuat bahwa orde baru adalah rezim yang demokratis. Selanjutnya, jika ditelusuri sampai pada persoalan bagaimana pemilu dilaksanakan serta bagaimana pula kehidupan partai politik diberikan kebebasan untuk memilih ketua dan pengurus-pengurusnya, rezim orde baru tampaknya tidak dapat memberikan bukti nyata bahwa dirinya telah melaksanakan demokrasi secara substansial setidaknya melalui kasus Megawati digusur dari jabatan sahnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) memberikan bukti kecil yang nyata tentang hal tersebut. Bahkan sepanjang Orde Baru selalu saja pihak militer melakukan intervensi terhadap kehidupan internal partai politik. Hal ini berakibat pada terpecahnya partai politik ke dalam faksi-faksi serta perolehan suara mereka dalam pemilu pun mengalami penurunan.
            Namun pada saat Megawati digusur dari kepemimpinannya mempunyai imbas yang tidak mudah untuk ditanggulangi oleh rezim. Hal ini disebabkan oleh kuatnya dukungan masyarakat terhadap Megawati. Dukungan yang spontan serta bersifat emosional ini menjadikan Megawati begitu populer. Inilah saat kejadian memuncaknya kekuatan arus bawah melawan kekuasaan negara secara terbuka. Tetapi tanggapan dari pihak kekuasaan justru menunjukkan kecurigaan yang mendalam di mana arus bawah dikatakan sebagai suatu hasil rekayasa. Cara pandang yang demikian memperlihatkan bahwa kekuasaan menganggap bahwa kemunculan arus bawah bukanlah sesuatu yang murni, serta pasti ada pihak ketiga yang menungganginya.
            Kecurigaan penguasa tampaknya tidak menemukan bukti yang memadai. Peristiwa 27 Juli 1996[3] menunjukkan bahwa sebenarnya pada saat itu telah terjadi perlawanan arus bawah terhadap kekuasaan rezim (arus atas). Hanya saja karena massa pengikut Megawati merupakan masyarakat sipil yang lemah serta tidak berdaya menghadapi gempuran dari massa yang mengaku dari kelompok Suryadi menggunakan cara-cara kekerasan, terjadilah peristiwa yang mengakibatkan jatuhnya korban dari kelompok Megawati. Ambisi kelompok Suryadi untuk merebut kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro yang sudah lama diduduki oleh kelompok Megawati, sebenarnya menjadi suatu gambaran telah terjadinya pengusiran Megawati dari platform politik resmi yang dibentuk oleh rezim Orde Baru. Pendudukan kantor DPP PDI yang diduga melibatkan militer serta para preman, bukanlah persoalan internal PDI semata, tetapi didalamnya telah terjadi upaya untuk mengeliminasikan masyarakat sipil dalam mendapatkan hak politik untuk menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rezim secara terbuka.
            Tentu saja dengan di gesernya Megawati dari kepemimpinannya di PDI menjadikan dirinya serta para pendukungnya tidak dapat mengartikulasian aspirasi politik sama sekali. Serta pada saat kampanye pemilu 1997, terlihat bagaimana simpatisan Megawati yang jumlahnya cukup banyak terus-menerus melakukan aksi agar Megawati dapat diikutsertakan dalam prosesi pemilu 1997. Kejadian ini dapat dilihat dari kedatangan lebih dari 10 ribu pendukung massa PDI pro-Megawati yang datang ke gedung DPR/MPR. Massa menyatakan DPR/MPR mendesak pemerintah untuk mengembalikan hak-hak politik warga PDI dan kepemimpinan Megawati. Tawaran yang diajukan massa Megawati ini menjadi semacam petunjuk yang kuat bahwa Megawati memang benar-benar didukung oleh kalangan masyarakat secara meluas. Bahkan dapat diduga bahwa mereka mengajukan suatu tuntutan yang bersifat imperatif, yaitu apabila Megawati tidak dilibatkan dalam pemilu1997, maka keberlangsungan pemilu itu sendiri menjadi tidak sah.
            Tampaknya berbagai tuntutan dari massa pro-Megawati yang menghendaki eksistensi Megawati dalam pelaksanaan pemilu 1997 tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari penguasa rezim. Pada saat kampanye pemilu 1997 dimulai pad atanggal 27 April, terlihat bagaimana massa pendukung setia Megawati masih dapat menunjukkan keberadaannya. Dengan mengenakan kaos berwarna putih bergambar Megawati serta berbagai slogan-slogan lain yang memberikan dukungan sangat kuat terhadapnya, serta tidka mengakui keabsahan pemilu 1997. Disinilah pemilu yang dijadikan alat pembenar bagi Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaanya semakin terasa tumpul dan tidak memadai.
            Pada gejala yang lain juga muncul istilah Mega-Bintang yang merujuk pada massa pengikut Megawati yang bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kemungkinan yang dapat dibaca dari fenomena ini adalah keinginan massa pengikut Megawati yang sudah terlalu lama menunggu instruksi dari Megawati yang juga tidak kunjung datang. Memang, harus diakui bahwa langkah-langkah politik Megawati terasa sangat lamban dan penuh keraguan. Inilah yang menjadikan massa simpatisannya mengalami kebingungan. Maka tidak dapat dihindarkan apabila yang terjadi adalah suatu bentuk konflik fisik antara massa PDI antara yang pro-Suryadi serta pro-Megawati. Sedangkan jika bergabung dengan kontestan pemilu yang lain, tampaknya, mereka juga berat hati. Mengikuti Golkar, misalnya, jelas merupakan suatu langkah pengkhianatan. Sedangkan mengikuti PPP, apabila dipahami dari segi kesejarahan ideologi, tampaknya tidak dapat dipersatukan begitu saja. Bukankah PPP merupakan hasil fusi dari partai-partai yang berorientasi keagamaan (religius Islam) sedangkan PDI merupakan gabungan dari partai-partai yang dianggap sekuler serta berhaluan keagamaan Nasrani? Tentu saja fenomena kemunculan istilah Mega-Bintang ini seakan-akan telah terjadi koalisi antara dua ideologi yang satu sama lain berbeda. Meskipun kesemua kekuatan politik di Indonesia sudah mempunyai asas yang sama, yaitu Pancasila, namun afiliasi politik berdasarkan kepentingan primordialisme serta ideologi pada masa silam, tidaklah gampang untuk dihilangkan dengan begitu saja.
            Sebagai suatu gerakan yang berasal dari arus bawah, Mega-Bintang tidak memperoleh respon yang baik dari penguasa. Bahkan secara tegas Ketua Panitia Pemilu pada saat itu menyatakan “Segala bentuk penggunaan istilah Mega-Bintang seperti spanduk, pakaian, topi, selebaran, maupun yel-yel, dilarang. Penggunaan istilah itu bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku, yang melanggar akan diberi sanksi”. Tidak demikian halnya dengan sikap Komnas HAM yang menyatakan bahwa pelarangan terhadap Mega-Bintang sudah merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi.
            Puncak sikap Megawati yang secara transparan menghapuskan keragu-raguan pengikutnya terjawab sudah pada tanggal 22 Mei 1997. Menjelang satu hari masa kampanye berakhir tersebut, Megawati dengan pakaian serba putih menyatakan tidak akan menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara nanti. Lebih lanjut Megawati mengatakan bahwa kekuasaan selama ini secara sewenang-wenang telah bertindak abusif, sehingga peluangnya untuk memperoleh hak untuk dipilih menjadi tersingkirkan. Dengan demikian, Megawati secara terus terang telah mengungkapkan untuk melakukan aksi sebagai Golongan Putih (Golput).
Pertarungan Diskursif Dalam Maskulinisme Negara
            Sejumlah rangkaian peristiwa yang berawal dari dukungan arus bawah terhadap Megawati, dijatuhkannya Megawati oleh Suryadi dengan bantuan militer dan preman, maraknya Mega-Bintang yang akhirnya mendapatkan pelarangan, serta puncak dari kesemua itu adalah pernyataan Megawati untuk Golput, sesungguhnya menjadi suatu realitas bahwa Megawati telah hanyut dalam suatu prosesi politik yang digulirkan oleh rezim Orde Baru. Artinya adalah dalam pergerakan menuju pembentukan masyarakat sipil yang bebas dari intervensi negara, terutama dari aparat militer, selalu saja tidak pernah mengalami keberhasilan. Memandang orde baru hanya dijaga secara ketat oleh lapisan militer yang patuh terhadap segala perintah kekuasaan serta dengan tameng kuat ideologi “stabilisme”, sekadar akan memberikan suatu pengertian seakan-akan begitu mudahnya orde baru merengkuh masyarakat untuk patu terhadap segala kehendaknya. Padahal sebenarnya, didalamnya terdapat berbagai kecamuk kepentingan yang tidak berkesudahan. Disinilah sebenarnya peran discourse menjadi sentral dalam berbagai konflik politik. Sebab, melalui discourse ini pula akan diketahui berbagai perlawanan yang dilontarkan oleh masyarakat. Discourse, dengan demikian, lebih peka dalam mendeteksi berbagai gejolak dalam masyarakat
            Michael Foucault sendiri menyebut discourse sebagai suatu pernyataan (statement). Foucault menempatkan discourse[4] sebagai suatu strategi yang digunakan oleh kekuasaan untuk mengatur pikiran dan perbincangan yang terdapat dalam masyarakat. Sehingga Foucault sendiri menegaskan bahwa produksi discourse dalam setiap masyarakat dikendalikan, dipilih, diorganisasikan serta diredistribusikan oleh sejumlah prosedur yang mempunyai peran untuk memberikan tameng bagi kekuasaan dan bahaya yang mungkin mengancamnya, serta untuk menguasai sejumlah kejadian yang kemungkinan saja bermunculan. Sebenarnya apabila diekstensikan dalam realitas, discourse yang diaplikasikan kekuasaan tidak terlepas dari komponen ideologi dan kebudayaan yang sedang dikembangkan dalam masyarakat. Kedudukan discourse dalam relasinya dengan ideologi adalah peranannya sebagai perangkat yang meyakinkan bagi masyarakat bahwa ideologi yang sedang berlangsung itu baik adanya.
            Penjelasan apa yang dapat diterapkan untuk melihat resistensi yang dilakukan Megawati terhadap kekuasaan negara yang begitu hegemonik? Landasnr berpikir yang dapat dikedepankan adalah pada saat Megawati mendapatkan dukungan dari arus bawah sampai pada akhirnya dijatuhkan kembali. Sebenarnya Megawati telah memasuki suatu prosesi yang dijalankan oleh Orde Baru untuk membuktikan bahwa orde baru adalah negara demokratis, yaitu dengan cara menjalankan pemilu. Namun dalam prosesi itu sendiri, negara telah menetapkan berbagai kualifikasi yang harus dimiliki oleh seseorang agar boleh berbicara, posisi apa yang boleh ditempati, serta pernyataan apa yang boleh diucapkan. Tidak semua orang boleh memasuki dan memiliki akses terhadap prosedur yang demikian ini, karena tidak semua wilayah discourse bersifat terbuka dan dapat ditembus.
            selain itu, dalam formasi diskursif, yang merupakan suatu rangkaian karakteristi sistem, struktur, ataupun jaringan yang menentukan kondisi-kondisi bagi kemungkinan bermunculannya pengetahuan atau pandangan dunia pada masa tertentu yang diterapkan oleh orde baru, Megawati tidak memenuhi prosedur-prosedur yang telah ditetapkan oleh rezim ini. Dalam formasi diskursif ini ada berbagai kategori aturan yang digunakan untuk meregulasikan keberlangsungan discourse yang sedang berjalan, yaitu: persoalan-persoalan apa yang boleh dibicarakan dan siapa yang diperbolehkan berbicara. Melalui prosedur ini dapat diketahui bahwa apa serta siapa Megawati apabila dirinya menduduki kursi ketua umum PDI dikhawatirkan akan membangkitkan Marhaenisme yang pernah dikonsepsikan Soekarno karena mengandung ajaran-ajaran Marxisme. Selain itu yang lebih pokok adalah jika mendapatkan dukungan yang kuat dari masyarakat, Megawati ditakutkan akan mencalonkan diri sebagai presiden. Memang dalam perhitungan politik, Megawati jelas akan kalah jika dibandingkan dengan Soeharto yang jelas memiliki jaringan kekuasaan yang cukup kuat dan luas. Selain itu juga Megawati dikhawatirkan akan memberikan pengetahuan yang berisi ajaran-ajaran perlawanan terhadap kemapanan. Bukankah semenjak kehadirannya dalam perpolitikan Megawati telah menjadi simbol bagi perubahan mendasar dalam perpolitikan? Sehingga tidak aneh apabila praktik diskursif[5] yang diterapkan orde baru untuk menggusur Megawati terdapat suatu impresi bahwa Megawati adalah oposan yang berbahaya. Bahkan dalam kondisi yang menyedihkan Megawati dapat saja dituduh akan menggagalkan pemilu dengan aksi golput yang dilakukannya. Sebab, tidak dapat diingkari bahwa mereka yang menyatakan diri golput biasanya adalah kalangan yang mempunyai pendidikan tinggi serta mempunyai kesadaran politik yang baik. Inilah kekuatan pemberontakan dari pengetahuan yang ditindas yang dapat menggugat segala jenis kebenaran yang digulirkan kekuasaan.
            Sedangkan fenomena Mega-Bintang yang pada akhirnya harus mendapatkan pelarangan tidak lepas dari sosok penyebutan kata “Mega” yang tidak lain berarti adalah Megawati. Dalam rangakaian kampanye pemilu sendiri juga ada formasi diskursif yang melandasinya, sehingga kampanye tersebut dapat disebut sebagai telah menjalankan demokrasi pancasila serta tetap menjaga ketertiban masyarakat. Dalam kasus segala tindakan yang bernuansakan Mega-Bintang, ada serangkaian enunciative modalities[6] yang dianggap melanggar ketentuan kampanye. Dengan pernyataan Mega-Bintang muncul kekhawatiran dalam diri penguasa akan adanya koalisi perlawanan yang semakin besar pada tingkat arus bawah. Namun keberadaan Mega-Bintang dengan berbagai artikulasinya menjadi suatu bentuk bagaimana masyarakat mampu mengembangkan kreativitasnya meskipun dalam kondisi yang serba dibatasi. Masyarakat dengan gagasan yang cemerlang mampu membangun suatu kesadaran bersama dengan memadukan simbol-simbol yang diperbolehkan serta yang dilarang oleh negara. “Bintang” (simbol PPP) merupakan bahasa yang diizinkan hidup dalam panggung politik resmi Orde Baru. Sedangkan “Mega” (dari nama Megawati) adalah bahasa yang tidak boleh berkembang dalam platform yang telah disediakan pihak kekuasaan. Namun demikian, kreativitas bahasa menjadi unsur yang penting pada saat represi politik makin meningkat.
Penutup
            Dalam kondisi semacam ini bahasa menjadi perangkat yang efektif untuk melakukan ekspresi dan deskripsi, serta melalui bahasa ini pula artikulasi individualitas dimunculkan. Pada saat simbol-simbol alternatif tersebut direpresi dari bahasa resmi, maka terciptalah bahasa privat dimana teknik-teknik kontrol dan manipulasi tidak dapat dilakukan oleh kekuasaan. Sehingga yang dapat dilakukan kekuasaan untuk menghadapi spontanitas berbahasa kalangan arus bawah dengan slogan Mega-Bintang ini tidak lain adalah merepresinya denganalasan ketentuan hukum serta dalih keamanan. Alasan-alasan semacam ini tidak mempunyai kekuatan diskursif apapun, karena didalamnya tidak mampu memberikan penjelasan jenis pengetahuan apa yang sebenarnya dikembangkan kekuasaan. Tidak aneh apabila Komnas HAM,yang merupakan lembaga resmi bentukan pemerintah, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Mega-Bintang. Apabila menang-kalah dilihat berdasarkan antara yang mempunyai kekuasaan dan yang tidak, jelas Megawati telah mengalami kekalahan beruntun dengan cara menggusurnya dari panggung politik yang resmi. Namun jika dillihat dari berbagai pertarungan diskursif yang selalu muncul, terlihat secara jelas bagaimana Megawati beserta massa pengikut setianya tidak akan mudah untuk ditaklukan hanya dengan mengandalkan bahasa hukum dan cara-cara kekerasan politik yang sudah dianggap lazim.
            Hal lain yang dapat dikemukakan dari pertarungan diskursif ini adalah bagaimana rezim menempatkan posisinya sebagai penguasa dengan mengandalan pada cara-cara maskulinisme. Ini dapat terlihat dari yang seringkali muncul adalah bentuk-bentuk wacana yang mengandalkan pada kekerasan untuk menghadapi berbagai gejolak dalam masyarakat. Maskulinisme kekuasaan orde baru ini sebenarnya tidak lain adalah implementasi dari dominannya kekuatan militer sebagai elite yang sedang berkuasa. Dengan hegemoni militer yang sudah terlanjur mapan ini, maka budaya kekerasan dalam penyelesaian setiap konflik politik dianggap sebagai sebuah kewajaran.  Hadirnya Megawati dalam panggung perpolitikan yang menunjukkan sikap feminitas dengan menonjolkan watak sebagai seorang ibu yang menonjolkan kelembutan, defensif, serta wacana yang anti kekerasan inilah tampaknya semakin mengundang simpati. Meskipun harus diakui pula bahwa dari segi pemikiran terhadap kemerdekaan perempuan yang terwujud dalam gerakan feminisme, Megawati sedikitpun tidak menunjukkan kemerdekaannya.
Referensi
Pratikno, 2007, Governance dan Krisis Teori Organisasi, Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik, Vol.2
“Struktur Diskursif Michel Foucault” . http://blog.sunan-ampel.ac.id/zudanrosyidi/2010/10/15/struktur-diskursif/ (accessed september 20, 2010)
“Praktik Diskursif The Theory of Truth Michel Foucault dalam Konstruksi Simbolisasi Bahasa di Indonesia”, Moch. Jalal. http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Praktik%20Diskursif.pdf
Reed, Evelyn. “Mitos tentang Inferioritas perempuan”, Jurnal Prempuan. Februari 10, 1999.


[1] http://m.bangfauzi.com/tokoh.php?id=173&mode=view&page=12
[2] http://yanuaridho.wordpress.com/2011/12/24/peran-militer-dalam-konflik-masa-orde-baru/ (diakses pada 24 Desember 2011) “Mereka yang berdemonstrasi tidak dianggap sebagai bagian dari anak-anak bangsa, tetapi dianggap sebagai musuh yang yang harus diamankan. Doktrin militer “to killed or to be killed” tertanam kuat dalam kepribadian perwira militer”
[3] http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/2253
[4] “Struktur Diskursif Michel Foucault” http://blog.sunan-ampel.ac.id/zudanrosyidi/2010/10/15/struktur-diskursif/
[5] Praktik diskursif disini dapat diartikan sebagai proses produksi dan reproduksi wacana-wacana (discourse) yang merupakan suatu hubungan yang kompleks antara tanda-tanda serta praksis yang pada akhirnya mengatur keberadaan dan reproduksi sosial. Dalam keadaan yang demikian wacana dapat dipandang sebagai sesuatu yang memberikan perbedaan secara substansial terhadap individu-individu sebagai anggota suatu kelompok, kelas sosial, atau himpunan-himpunan sosial lainnya. Selengkapnya baca Muhammad A.S Hikam, ‘Bahasa, Politik dan Penghampiran “Discursive Practice”: Sebuah Pengantar”, Driyarkara No.2 Tahun XX 1993/1994, hal. 54-72.
[6] Enunciative modalities berarti hanya subyek-subyek tertentu yang layak dan boleh berbicara dalam hal-hal tertentu, serta pernyataan-pernyataan tertentu tidak dapat oleh sembarang orang.

No comments:

Post a Comment