Persatuan
bukanlah suatu hal yang mudah diciptakan, memerlukan komitmen, tekat, dan
optimisme juga dibutuhkan untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Tersedianya
ruang-ruang sosial tempat warga Indonesai mengalami kebebasan dan perbaikan
mutu hidup akan menguatkan komitmen kebangsaan itu. Penerapan pancasila dengan
sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya merupakan kunci untuk menciptaan persatuan
dan kesatuan di Indonesia. Diharapkan masyarakat Indonesia bisa menerapkan
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari serta menjadikan pancasila sebagai
tutunan dlam melakukan segala hal. Adanya toleransi beragama, terpenuhi hak-hak
masyarakat sebagai manusia, keberpihakan pemerintah kepada rakyat, serta keadilan yang seadil-adilnya.
Konflik-konflik sosial yang kini marak tidak seharusnya terjadi apabila kita
memahami fondasi keindonesiaan kita: pluralisme dan multikulturalisme. Makna
multikulturalisme dan pluralisme bisa membantu masyarakat Indonesia menciptakan
rasa kecintaan kepada bangsanya sendiri.
Setelah melalui
proses yang cukup panjang akhirnya bangsa Indonesia menemukan jati diri yang
didalamnya tersimpul ciri khas, sifat dan karakter bangsa yang berbeda dengan
bangsa lain, yang kemudian oleh para pendiri negara kita dirumuskan dalam suatu
rumusan yang sederhana namun mendalam, yang meliputi lima prinsip (lima sila)[1].
Dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 yang membahas rumusan dasar negara
Indonesia yang kemudian beliau menamai istilah dasar negara tersebut dengan
nama Pancasila. Kata Pancasila diambil dari bahasa Sansekerta yang artinya lima
dasar kelakuan yang baik. Didalam nama itu menunjukan bahwa dasar filsafat
Negara kita tersusun atas lima hal yang merupakan suatu bagian dari suatu
keutuhan dan bagian dalam suatu hubungan kesatuan.
Pancasila dijadikan
filsafat negara Republik Indonesia yang secara resmi telah disahkan oleh PPKI
pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi:
“Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pancasila yang
tertulis dalam Pembukaan, bahkan Pembukaan secara keseluruhan merupakan
perjanjian luhur yang mengikat seluruh rakyat dan semua generasi bangsa
Indonesia[2].
Beberapa nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti nilai-nilai adat-istiadat,
kebudayaan serta nilai-nilai religius pada dasarnya bersumber dari bangsa
Indonesia sendiri yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
Nilai-nilai tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara
untuk dijadikan sebagai dasar filsafat negara Indonesia. Jika bangsa Indonesia
bisa melaksanakan Pancasila dengan baik, itu menunjukan bahwa kita setia kepada
bang kita sendiri.
Nilai-nilai
esensial yang terkandung dalam Pancasila ialah: Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan[3].
Sebagai alat pemersatu Pancasila sudah semestinya mengandung persatuan,
kesatuan didalam diri pribadinya sendiri serta mempunyai dasar yang mengandung
persatuan, kesatuan yang kokoh dan kekal supaya persatuan, kesatuan Indonesia
kokoh dan kekal juga[4].
Tetapi pernah ada yang menilai bahwa sila-sila yang terdapat dalam Pancasila
itu terpisah satu dengan yang lainnya serta mengartikan sila-sila itu saling
bertentangan satu sama lainnya. Padahal jika dipahami, Pancasila merupakan
bentuk lain dari cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berideologi[5].
Persatuan Indonesia
adalah proses yang harus terus dilakukan. Mempersatukan Indonesia bukanlah
suatu yang hal yang mudah. Negara kita adalah negara kesatuan yang terdiri dari
pulau-pulau, dari yang kecil sampai yang besar dengan lingkungan alam yang
beragam dan corak aneka macam kebudayaan penduduknya. Tidak ada negara lain
didunia ini yang bisa menyamai keanekaragaman luar biasa yang dimiliki
Indonesia. Mulai dari bahasa, suku, agama, budaya, kepercayaan, kekayaan
alamnya dan masih banyak lagi. Keanekaragaman merupakan kelebihan dari bangsa
ini, tetapi disisi lain, keanekaragaman ini juga dapat menimbulkan bahaya
disintegrasi apabila salah dalam pengaturannya. Adanya unsur-unsur perbedaan
didalam suatu bangsa selain menimbulkan daya positif kearah kerjasama dan
kesatuan, juga dapat menimbulkan kekuatan tolak-menolak, tentang-menentang yang
mungkin mengakibatkan perselisihan, pertikaian dan perpecahan[6].
Kita harus mengantisipasi terjadinya perpecahan sampai ke level yang paling
dasar.
Sadar atau tidak,
Pancasila memilik fungsi integratif yang bisa menjamin kesatuan bangsa
Indonesia yang pluralistik. Jika dasar negara dan kostitusi sudah tidak
dijadikan ukuran dan acuan dalam berpikir serta berperilaku sebagia warga
negara maka aksistensi negara dan bangsa Indonesia yang pluralistik akan
terancam. Bangsa Indonesia akan jauh tertinggal dibelakang jika tidak
membulatkan tekad memacu kemajuan sesuai dengan amanat Pancasila, konstitusi
dan Proklamasi.
Relevansi
Nilai-Nilai Dasar Pancasila
Hakekat Pancasila merupakan nilai, nilai
yang mengandung kualitas tertentu itu merupakan cita-cita dan harapan atau hal
yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia yang akan diwujudkan menjadi kenyataan
kongkrit dalam kehidupannya dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Bangsa Indonesia dalam hal ini adalah pendukung nilai-nilai tersebut.
Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai Ketuhanan, nilai
Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan dan nilai Keadilan. Nilai-nilai
diatas merupakan satu kesatuan, saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan
tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Ketuhanan. Kesadaran akan Ketuhanan menjadi
landasan pula atas akal, sumber kekuasaan manusia untuk kekuatan diri sendiri
memperoleh kenyataan, sehingga kesadaran akan Ketuhanan juga bersifat kesadaran
pikiran[7].
Bangsa Indonesia yang majemuk dan multikultur telah menempatkan keagamaan
sebagai landasan yang terkuat dalam kehidupan ketatanegaraannya. Munculnya
perda-perda syariah bermasalah menyangkut praksis keberagaman, merebaknya
partai-partai politik berdasarkan agama, menunjukan belum tuntasnya hubungan
agama dan negara, yang menyangkut dua hal pokok: pertama, hubungan negara dan
agama dan kedua, implementasi prinsip negara berketuhanan dan konstitusi[8].
Dalam pemaknaan keberagaman, pluralisme dan
multikulturalisme sebagai toleransi dan kerukunan hidup beragama terbentang
tarik ulur. Terjadi gesekan di antara agama yang satu dengan yang lainnya,
bahkan didalam agama-agama itu sendiri. Fanatisme tidak dibenarkan dalam agama
mana pun, apalagi kalau keberagaman diwujudkan dengan cara-cara yang ekstrem
yang menempatkan agama sendiri sebagai kebenaran mutlak satu-satunya[9].
Kecenderungan lebih memuliakan agama daripada Tuhan pun hendak
dikapling-kaplingkan dan kebenarannya juga dikotak-kotakkan menurut agama
masing-masing, seolah Tuhan tidak mampu menciptakan kebenaran yang universal.
Jika sekarang bangsa kita ini makin terpuruk, itu karena faktor “agama” yang
tak lagi menjadi pegangan. Pesan-pesan agama yang menyebarkan kebenaran,
kebaikan, kejujuran, dan kemuliaan, sesungguhnya telah jelas. Namun, banyak
diantara kita yang tidak mangerti atau bahkan menyalah artikan pesan-pesan
tersebut.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Itulah
bunyi sila kedua Pancasila. Dalam sila Kemanusiaan terkandung nilai-nilai bahwa
negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang
beradab. Nilai kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan
sebagai makhluk yang berbudaya bermoral dan beragama. Kemanusiaan adalah bentuk
lain dari semangat menghargai satu sama lain, sosok yang toleran, yang dalam
perilaku sehari-hari didasarkan pada kepentingan bersama sebagai sesama anak
bangsa[10].
Oleh karena itu, dalam kehidupan bersama dalam bernegara harus dijiwai oleh
moral kemanusiaan untuk saling menghargai sekalipun terdapat suatu perbedaan
karena hal itu merupakan bawaan kodrat manusia untuk saling menjaga
keharmonisan dalam kehidupan bersama.
Untuk menunjukan Indonesia yang menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan tidak cukup hanya mengkritik dan berkoar-koar nilai
kemanusiaan di kancah Internasional tetapi harus memberikan contoh bagaimana menjunjung nilai
kemanusiaan. Lihat saja masyarakat Indonesia sekarang ini, ditengah massa yang
marah, nilai-nilai kemanusiaan hanya tinggal sebaris kata-kata. Konflik-konfilk
sosial kerap menghiasi layar televisi, mengisi surat kabar, internet dan radio.
Penyebabnya hanyalah hal yang sepele, seperti kasus kerusuhan di Ambon yang
sekarang sudah merambat dan melas menjadi pertikaian antaretnis.
Sementara itu, melihat keragaman,
pluralitas dan multikultur yang dimiliki Indonesia, maka persatuan bangsa
Indonesia merupaka salah satu tuntunan yang majemuk. Negara harus memberikan
sarana atas tercapainya harkat dan martabat
seluruh warganya dalam segala paham golongan, etnis, suku, ras,
individu, maupun golongan agama. Meskipun telah dirumuskan dan coba diterapkan,
pada dasarnya persatuan masih harus dilihat sebagai hal yang rapuh. Pengalaman
dari era pasca-Reformasi, yang justru mengakibatkan konflik antaretnis di
Sampit, di Ambon dan terakhir merebaknya perilaku agresif ormas yang terlihat
sulit menyatukan perbedaan dan keragaman, meyakinkan kita bahwa persatuan
Indonesia bukanlah hal yang mudah dilakukan.
Bangsa Indonesia terus melangkah meskipun
telah jatuh bangun dalam membangun demokrasi. Presiden, gubernur, walikota, dan
bupati dipilih secara langsung. Namun, mencari dan mengerti definisi demokrasi
dalam konstitusi tidaklah mudah. Sekarang ini kita dihadapkan pada keprihatinan
di mana demokrasi yang terwujud dalam pilkada justru merusak moral masyarakat.
Pancasila sebagai dasar negara juga
menyinggung soal demokrasi dalam sila keempat yang berbunyi : “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. 1 Juni
1945 Sukarno berpidato didepan anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.
“...Dasar
itulah ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara
Indonesia bukan satu egara untuk satu orang, bukan negara untuk satu golongan,
walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara, ‘semua buat semua’, satu
buat semua, semua buat satu. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya
negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan”[11].
Sukarno
berusaha menegaskan pentingnya kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Yang diinginkan Sukarno adalah
demokrasi yang didasari pada prinsip
permusyawaratan untuk mencapai mufakat dan harus dilakukan dengan hikmat dan
kebijaksanaan.
Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sila kelima tersebut terkandung
nilai-nilai yang merupakan tujuan negara sebagai tujuan dalam hidup bersama.
Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan dalam hubungan
manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan
masyarakat, bangsa dan negaranya serta hubungan manusia dengan Tuhannya[12].
Keadilan dalam konteks aturan, kebijakan, tindakan, dan perlakuan pemimpin
terhadap rakyatnya dapat membuat masyarakat lebih leluasa bermusyawarah dan
bermufakat mencari solusi persoalannya.
Sekarang
ini, Keadilan sosial bagi rakyat Indonesia, hanya dianggap sebatas kata magis.
Ketidakadilan amat terasa. Komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan sila kelima
benar-benar diuji di era persaingan bebasb dan globalisasi sekarang ini.
Berbagai perjanjian bilateral dan multilateral dalam kerangka integrasi
perkonomian regional atau global mengikat negara-negara pada kesepakatan dan
aturan-aturan main baru, yang bertabrakan dengan kepentingan nasional[13].
Saat otonomi diterapkan, desentralisasi diharapkan bisa lebih mendekatkan
kebijakan pemerintah dengan kesejahteraan rakyat. Tetapi justru pemerintah
daerah cenderung mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan pemerintah pada era
sentralisasi. Perizinan eksploitasi sumber daya alam untuk pengusaha dipermudah. Padahal, jika pemerintah daerah
mau memperjuangkan nasib rakyat, mereka harus aktif menciptakan atau mendukung
yang berorientasi menyejahterakan masyarakat. Keadilan ekonomi akan menciptakan
masyarakat sosial yang sejahtera. Bagaimanapun, rakyat berhak menikmati hasil
kekayaan alam bumi pertiwi[14].
Kedudukan dan
Fungsi Pancasila
Pancasila sebagai landasan falsafah bangsa
merupakan suatau harmonisasi dari nilai-nilai dan norma-norma utuh yang
terkandung dalam Pancasila, yang bertujuan mendapatkan pokok-pokok
pengertiannya secara mendasar dan menyeluruh agar menjadi landasan filsafat
yang sesuai dengan kepribadian dan cita-cita bangsa. Sebagai falsafah bangsa,
Pancasila merupakan karya besar Indonesia dan merupakan lambang ideologi bangsa
Indonesia serta dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Indonesia dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara[15]
a.
Pancasila
Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Bangsa Indonesia dalam hidup bernegara
telah memiliki suatu pandangan hidup bersama yang bersumber pada budayanya dan
nilai-nilai religius. Pancasila sering disebut-sebut sebagai pandangan hidup
bangsa Indonesia. Dalam hal ini, Pancasila dijadikan petunjuk arah dalam setiap
kegiatan atau aktifitas hidup di segala bidang. Didalam Pancasila terdapat
nilai yang mendukung tata kehidupan sosial dan kerohanian yang mencirikan
masyarakat Indonesia. Sikap dan perilaku masyarakat Indonesia haruslah selalu dijiwai oleh nilai-nilai luhur
Pancasila. Hal ini penting karena dianggap dapat membantu mewujudkan
keharmonisan masyarakat Indonesia. Selain itu, masyarakat Indonesia juga harus
saling berhubungan dengan masyarakat lainnya dan tidak boleh hidup secara
individual, karena pada hakekatnya manusia itu adalah makhluk sosial. Dengan
pandangan yang diyakini bangsa Indonesia akan mampu memandang dan memecahkan
segala masalah secara tepat di semua bidang.
b.
Pancasila
Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila
dalam kedudukannya sebagai dasar negara republik Indonesia merupakan suatu
dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara atau penyelenggaraan
negara. Ini berarti seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara terutama
segala perundang-undangan termasuk proses reformasi dalam segala bidang modern ini. Maka Pancasila merupakan sumber
dari segala sumber hukum, Pancasila merupakan sumber kaidah hukum negara yang
secra konstitusional mengatur negara Republik Indonesia beserta seluruh
unsur-unsurnya yaitu rakyat, wilayah, serta pemerintahan negara. Dalam
kedudukannya sebagai dasar negara, Pancasila mepunyai kekuatan mengikat secara
hukum. Selain itu, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang meliputi
suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai,
norma serta kaidah, baik moral maupun hukum negara dan mengenai hukum dasar
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis[16].
Dalam
sejarah Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia, Pancasila
sudah mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi sesuai dengan
kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung kepada
legitimasi ideologi negara Pancasila. Kedudukan Pancasila tidak lagi diletakkan
sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia
melainkan direduksi, dibatasi, dan dimanipulasi demi kepentingan politik
penguasa pada saat itu. Contohnya, pada saat rezim Soeharto Pancasila digunakan
sebagai alat pembenaran atas rezim otoritarian yang ia terapkan di Indonesia.
Selain itu, kemiskinan, pengangguran, kesehatan serta ketidakadilan juga masih
terbengkalai. Padahal jika kita bisa menerapkan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila mungkin saja bisa teratasi.
c.
Pancasila
Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia
Menurut
Antoine Destut de Tracy (1836) Ideologi merupakan ilmu tentang terjadinya
cita-cita atau gagasan, cita-cita yang mendasari suatu program untuk mengubah
dan membaharui masyaarakat. Pancasila sebagai Ideologi bangsa dan negara
Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa, bukannya mengangkat
atau mengambil ideologi dari bangsa lain. Pancasila juga bukanlah merupakan
ide-ide atau perenungan seorang saja, yang hanya mengutamakan kepentingan
kelompok atau golongan tertentu, tetapi Pancasila berasal dari nilai-nilai yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia sehingga pada hakikatnya untuk seluruh lapisan
serta unsur-unsur bangsa secara komprehensif[17].
Modern ini,
Pancasila sebagai ideologi negara seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh
elemen bangsa Indonesia khususnya para negarawan, para politisi dan para pelaku
ekonomi serta masyarakat, dalam partisipasi dalam membangun negara, justru
menjadi buram dan terpinggirkan. Bukan karena ideologi tidak penting, mungkin
masalahnya kerana tidak ada integritas yang memadai dari pemimpin nasional
untuk merumuskan tantangan yang tepat dan mengembangkan ideologi yang
menyatukan arah bangsa.
Pelaksanaan Pancasila
Dalam Hidup Kenegaraan
Pelaksanaan Pancasila dapat dianggap
sempurna apabila telah meresap didalam hati, jiwa serta mendarah daging dan
kita jadi mempunyai kepribadian Pancasila atau kepribadian kebangsan Indonesia.
Dengan keadaan yang seperti itu, dapat dikatakan bangsa Indonesia sudah
mendapatkan kepribadiannya sendiri dan telah mampu menerapkannya di kehidupan,
tingkah laku, cara dan perbuatan hidup sebagai gambaran pribadi yang sejati
yang sesuai dengan tuntutan jaman. Kita harus menerapkan hal-hal dan
nilai-nilai yang sesuai dengan Pancasila. Mulai dari pokok-pokok kenegaraan
sampai hal-hal mengenai penyelenggaraan negara. Kekuasaan negara yang berbentuk
kedulatan rakyat, kekuasaan negara untuk memelihara, membangun, mengembangkan,
kesejahteraan, kedamaian, kesatuan dan kebahagiaan[18].
Inilah yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Kapankah pelaksanaan Pancasila
seperti itu dapat kita wujudkan ? Semua itu tergantung kepada kita sendiri.
Jika kita bercermin dengan keadaan bangsa kita sekarang mungkin itu semua
memerlukan waktu yang sangat lama dan sulit untuk direalisasikan.
Kedaulatan rakyat atau demokrasi, semenjak
runtuhnya rezom orde baru, kehidupan demokrasi di Indonesia seperti mendapatkan
angin segar. Jaminan kebebasan berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat
yang diatur dalam konstitusi diwujudkan dengan terbitnya UU No 2/1999 tentang
partai politik. Aturan itu pun disambut rakyat dengan gegap gempita. Tetapi
tuntutan penegakan hak politik rakyat tidak berhenti sampai disitu. Pemilihan
presiden dan wakil presidenyang sebelumnya dilakukan dengan sistem perwakilan
diubah dengan sistem pemilihan langsung. Anggota legislatif, mulai dari DPR,
DRRD Provinsi, hingga DPRD kabupaten/kota juga dipilih secara langsung. Hasil
pemilihan langsung oleh rakyat bisa dibilang lebih sah dibanding pemilihan
melalui perwakilan. Namun apakah dengan itu semua Indonesia sudah bisa dibilang
demoktaris ?
Selang 14 tahun setelah reformasi,
demokrasi di Indonesia masih tergolong semu, masih ada beberapa indikator yang
belum terpenuhi. Salah satunya pemilu yang bebas dan jujur sebab, pemilu
langsung justru melahirkan politik uang, kekerasan dan kecurangan lain. Suara
rakyat mejadi sesuatu yang dapat diperjualbelikan, terutama dalam pilkada.
Selain itu, pembuatan kebijakanjuga belum melibatkan rakyat. Suara rakyat hanya
dipergunakan sebatas alat hitung untuk mendapatkan kekuasaan atau jabatan
tertentu. Kebijakan yang diambil hanya didasari hanya didasari pada kepentingan
elite, bukan kepentingan dan keinginan rakyat. Demokrasi yang berjalan pun
belum mampu menciptakan kesejahteraan rakyat, seperti amanah sila keempat
Pancasila[19].
Kebijakan pemerintah pada masa lalu sering
kali dinilai dan dirasakan diskriminatif. Tidak ada persatuan, kedamaian, dan
kemakmuran yang merata tanpa keadilan. Ketidakadilan memicu manusia berkonflik,
berperilaku anarki menggilas perikamanusiaan. Hukum yang tidak adil bahkan
merusak logikadan rasa keadilan manakala koruptor kelas kakap yang merampas
kemanusiaan yang adil dan beradab bisa melenggang bebas. Bagaimana negara bisa
mengatakan sudah berlaku adil dikala orang suku Dayak tak punya lahan sejengkal
pun, sementara hutan dan lahan beserta seisi perut bumi Kalimantan telah
dikapling pemodal sampai jutaan jutaan hektar luasnya kerana kolusi dan korupsi[20].
Sejarah mencatat, bangsa ini cukup banyak
mengalami masa jatuh bangun. Pencapaian memang ada, tetapi jumlahnya kalah
banyak dengan realita keterpurukan. Kebijakan-kebijakan pemerintah sejak Orde
Baru sampai saat ini nyatanya menempatkan Indonesia dalam jeratan gurita baru,
yaitu imperialisme ekonomi yang mengatasnamakan globalisasi.
Perbaikan menyelurh menjadi suatu hal yang
wajib dilakukan jika kita menginginkan Indonesia seperti apayang dicita-citakan
Pancasila. Demokrasi, sekali lagi menjadi jalan keluar yang dianggap paling
baik kerana bisa menjamin kebebasan individu. Dengan sistem ini diharapkan
muncul kepemimpinan yang handal. Pemimpin yang wibawanya mampu menggerakkan
seluruh elemen dari pusat sampai ke unit terkecil di daerah untuk berkomitmen
demi kemajuan bangsa. Apapun kebijakan yang diambil, kebutuhan rakyat tetap
harus jadi prioritas.
Mutikultiralisme
dan Pluralisme di Indonesia
Mutikulturalisme adalah filosofi yang juga
terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari
berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama
dalam masyarakat modern. Budaya dalam hal ini harus dipahami sebagai semua
bagian masyarakat dalam kehidupannya yang kemudian melahirkan banyak corak
seperti, bahasa, sejarah, agama, budaya dan lain-lain. Multikulturalisme bertujuan
untuk menciptakan kebersamaan, kesederajatan, dan mengapresiasikan dalam dunia
yang kian komples dan tidak monokultur lagi. Pluralisme diartikan sebagai paham
yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan
lain-lain[21].
Negara kita adalah negara kesatuan yang
terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil dengan lingkungan alam yang beraneka
ragam. Lingkungan alam yang berupa iklim, flora dan fauna, tanah, air dan
sebagainya, terlihat juga pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Pengaruh
lingkungan alam itu, tidak selalu menimbulkan akibat yang seragam terhadap
kebudayaan. Selain itu, pengaruh kebudayaan asing yang tidak merata, faktor
isolasi wilayah yang didiami, membuat suku-bangsa itu mengembangkan corak kebudayaannya
masing-masing[22].
Indonesia selama ini disebut-sebut sebagai
bangsa yang ramah-tamah dan memiliki toleransi serta budayanya yang tinggi.
Suku-suku bangsa dengan kebudayaannya yang berbeda-beda di Indonesia mempunyai
nilai potensil. Nilai-nilai tersebut berupa jiwa gotong-royong dan
kekeluargaan. Lalu muncul pertanyaan, benarkah kita bangsa yang ramah-tamah
serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi ?
Melihat kekerasan yang dilakukan terhadap
kelompok Ahmadiyah serta perusakan gereja dan kekerasan terhadap jemaatnya
membuat kita sulit menerima pernyataan bahwa kita bangsa yang ramah-tamah dan
memiliki toleransi serta budaya yang tinggi. Tantangan yang dihadari sangat
beragam, mulai dari tantangan tradisional (yang terkait sulitnya bersatu karena
sangat beragam) dan tantangan modern (yang dipicu oleh globalisasi yang
mempengaruhi gaya hidup dan pemikiran).
Pluralisme dan multikulturalisme sering
salah ditafsirkan secara sempit dalam pengakuan keyakinan beragama. Bahkan
muncul isu mayoritas-minoritas atau superioritas-inferioritas yang pada
akhirnya gampang meyulut pertikaian. Sifat eksklusivisme kelompok kian
menonjol, ketimpangan sosial dan diskriminasi sosial makin melebar. Contoh,
dibentuknya rintisan sekolah bertaraf Internasional (RSBI) secara tidak
langsung mengakibatkan diskriminasi. Hanya keluarga kaya saja yang bisa
menikmati pendidikan bermutu karena mahalnya biaya pendidikan.
Melalaikan multikulturalisme dan pluralisme
Indonesia sebagai berkah dan kekayaan yang harus ditempatkan sebagai fondasi
berarti negara membiarkan segala bentuk kebebasan terancam. Komitmen kebangsaan
akan makin kuat kalau dari dalam komunitas bisa mendapatkan kebebasab yang
membuka ruang bagi kesejahteraan bangsa. Negara kita memiliki segala sesuatu
yang dibutuhkan untuk menjadi negara maju. Sumber daya Indonesia tidaklah
kalah, bahkan kemajemukan dan keanekaragaman buday yang kita miliki jauh lebih
kaya dengan keunggulan masing-masing yang tidak dimilik oleh bangsa lain.
Beragam atau homogen, setiap bangsa membutuhkan persatuan agar bangsa ini tetap
eksis dan berjaya[23].
Setelah pembahasan diatas kita bisa
menyimpulkan bahwa untuk menciptakan persatuan dan kesatuan kuncinya hanyalah
satu. Persatuan buakan suatu hal yang mudah di capai. Penerapan Pancasila
dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Kita tidak perlu bingung lagi harus
bagaimana memecahkan masalah yang ada. Karena Pancasila sudah mencakup semua,
mulai dari nilai-nilai, cita-cita, norma, serta cara untuk mencapai cita-cita dan
harapan bangsa Indonesia. Kita perlu menanamkan nilai-nilai Pancasila di hati
dan jiwa kita sehingga mendarah daging. Selain itu ada beberapa hal yang harus
dilakukan agar persatuan ini benar-benar tercipta yaitu, memajukan kesetaraan
sosial, keberpihakan pemerintah kepada rakyat dan menjamin hak dasar sosial :
hak untuk bekerja, hak untuk menerima upah yang mencukupi kehidupan sekeluarga,
hak mendapatpenghasilan yang layak, hak untuk beristirahat dan masih banyak
lagi. Adanya toleransi beragama, terpenuhi hak-hak masyarakat sebagai manusia,
keberpihakan pemerintah kepada rakyat,
serta keadilan yang seadil-adilnya. Tersedianya ruang-ruang sosial
tempat warga Indonesia mengalami kebebasan dan juga perbaikan mutu hidupnya
akan menjadi pilar yang menguatkan komitmen kebangsaan. Konflik-konflik sosial
yang kini marak tidak seharusnya terjadi apabila kita memahami fondasi
keindonesiaan kita: pluralisme dan multikulturalisme. Melakukan pemanfaatan
sumber daya alam dengan bijaksana, dan memberi kesempatan orang pribumi untuk
mengelola dan menyicipi hasil bumi sendiri. Hal terpenting dari semua ini
adalah, komitmen dan tekat kita semua sebagai bangsa Indonesiabaik unutk
memajukan dan membuat Indonesia menjadi lebih . Kita harus membangun watak baru
yang memihak bangsa sendiri, berakar budaya yang berorientasi progresif agar
mampu bergabung di kancah Internasional dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain.
Optimislah tidak lama lagi itu akan terealisasi dan jangan pernah letih
mencintai Indonesia.
REFERENSI
Achmad
Aprianto Blog, http://achmad-aprianto.blogspot.com/.
Budi Susilo
Soepandji Blog, http://budisusilosoepandji.wordpress.com/.
Filsuf Gaul
Blog, http://filsufgaul.wordpress.com/.
Kaelan. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:
Paradigma, 2010.
Laboratorium
Pancasila IKIP Malang. Pokok-Pokok
Pembahasan Pancasila. Surabaya:
Usaha Nasional, 1979.
Notonegoro.
Pancasila Secara Ilmiah Populer.
Yogyakarta: Pantjuran Tudjuh, 1975.
Nusantara,
Merajut. Rindu Pancasila. Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2010.
[1] Kaelan, Pendidikan Pancasila
(Yogyakarta: Paradigma, 2010), 12.
[2] Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Pokok-Pokok Pembahasan Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional, 1979),
17.
[3] Kaelan, Pendidikan Pancasila
(Yogyakarta: Paradigma, 2010), 28.
[4] Notonegoro, Pancasila Secara
Ilmiah Populer (Yogyakarta: Pantjuran Tudjuh, 1975), 13.
[5] Ibid, 16.
[6] Ibid, 105.
[7] Notonegoro, Pancasila Secara
Ilmiah Populer (Yogyakarta: Pantjuran Tudjuh, 1975), 74.
[8] Merajut Nusantara, Rindu
Pancasila (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), 6.
[9] Ibid, 6.
[10] Merajut Nusantara, Rindu
Pancasila (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), 39.
[11] Soekarno, Tjamkan Pantja Sila!:
Pancasila Dasar Falsafah Negara, ed. Amin Arjoso (Jakarta: Panitia
Peringatan Lahirnya Pancasila, 2002), 25.
[12] Kaelan, Pendidikan Pancasila
(Yogyakarta: Paradigma, 2010), 83.
[13] Merajut Nusantara, Rindu
Pancasila (Jakarta: Kompas Media Nisantara, 2010), 168.
[14] Ibid, 198.
[15] Achmad Aprianto, mengomentari “Relevansi Pancasila sebagai Filsafat
Hidup Berbangsa dan Bernegara.” Achmad Aprianto Blog, diposting 29 April, 2012,
http://achmad-aprianto.blogspot.com/2012/04/relevansi-pancasila-sebagai-filsafat.html
(diakses 9 Januari 2012).
[16] Kaelan, Pendidika Pancasila
(Yogyakarta: Paradigma, 2010), 107-110.
[17] Ibid, 112.
[18] Notonegoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer
(Yogyakarta: Pantjuran Tudjuh, 1975), 172.
[19] Merajut Nusantara, Rindu
Pancasila (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), 129-134.
[20] Ibid, 157-161.
[21] Filsuf Gaul, mengomentari “Implementasi Konsep Multikulturisme dan
Pluralisme di Indonesia,” Filsuf Gaul’s Blog, diposting 7 Maret, 2012, http://filsufgaul.wordpress.com/2012/03/07/implementasi-konsep-multikulturalisme-dan-pluralisme-di-indonesia/
(diakses 10 Januari 2012).
[22] Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Pokok-Pokok Pembahasan Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional, 1979),
75-80.
[23] Merajut Nusantara, Merajut Nusantara, Rindu Pancasila (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010).
Situs Judi Slot Online Pragmatic Play Slot Online Mudah Menang 2021
ReplyDeleteProvider Slot Online Mudah 용인 출장샵 Menang 2021. Bisa di Pragmatic Play, Situs Slot Pragmatic 김포 출장샵 Play, 창원 출장마사지 Slot Joker123, Slot QQSlot. Game Slot Online 삼척 출장안마 Gacor, Pragmatic 논산 출장마사지 Play, Joker123, Slot