Permasalahan tentang relevansi Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang pornografi terhadap masyarakat multikultural banyak mengundang
perdebatan dan menimbulkan konflik sosial. Hal ini terjadi karena masyarakat
multikultural masih ada yang belum memahami RUU pornografi ini secara penuh.
Sekitar dua ratus ragam budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia di
berbagai daerah menjadi suatu permasalahan dalam penentuan kebijakan politik,
seperti pembuatan peraturan maupun rancangan undang-undang pornografi di
Indonesia. RUU yang dirancang oleh pemerintah mengalami beberapa hambatan dalam
prosesnya. Penyebabnya adalah karena RUU ini masih belum relevan
dengan kondisi rakyat Indonesia yang memiliki banyak perbedaan kebudayaan.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk meninjau kebijakan yang dibuat pemerintah
untuk membuat undang-undang ini, sebab pemerintah seakan-akan belum bisa
memahami secara sosiologis keberadaan masyarakat dengan sejumlah perbedaan
suku, budaya, agama, dan sosial. Pasalnya, dalam konteks penentuan kebijakan
politik seperti membuat Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan pornoaksi
perlu adanya kajian lebih dalam lagi menyangkut keberagaman kebudayaan di
Indonesia. Selain itu potensi konflik dari perbedaan-perbedaan dari setiap
kebudayaan, perlu menjadi pertimbangan dalam penetapan kebijakan ini.
Kata Kunci: RUU, pornoaksi, pornografi, multikulturalisme,
konflik sosial, kebijakan politik
Pendahuluan
Koentjaraningrat menjabarkan definisi masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang
berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat berkelanjutan dan terikat oleh suatu rasa
identitas yang sama. Meskipun
secara mudah bisa
diartikan bahwa masyarakat itu berarti warga namun pada dasarnya konsep
masyarakat itu sendiri sangatlah abstrak dan sulit ditangkap. Istilah
masyarakat berasal dari kata musyarak
yang berasal dari Bahasa Arab yang memiliki arti ikut serta atau
berpartisipasi, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut Society. Sehingga bisa dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan
manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial. Mereka mempunyai
kesamaan budaya, wilayah, dan identitas. Tidak dipungkiri bahwa Indonesia
negara dengan kultur beraneka ragam. Bahkan, Indonesia dimasukkan ke dalam
kategori plural society atau
masyarakat majemuk dengan sejumlah dimensi negatifnya. Kultur yang beraneka ragam
(multikultur) oleh kolonial Belanda direkayasa sedemikian rupa (ironisnya
dilanjutkan oleh elit-elit politik lokal dan nasional) guna menjamin posisi
kekuasaan. Masyarakat dibelah menurut kategori suku, agama, ras, dan golongan:
Jadilah masyarakat majemuk. Pembelahan dilakukan dengan cara melakukan
permanensi atas perbedaan lalu membenturkan satu sama lain. Hingga kini, efek
pembelahan masih terasa bahkan banyak meledak dalam rentetan panjang konflik horizontal
di Indonesia. Sejumlah ilmuwan sosial menawarkan gagasan lebih bijaksana dalam
mengatasi perbedaan tajam antarkomunitas dalam masyarakat. Gagasan baru
tersebut guna menggantikan gagasan usang masyarakat majemuk yaitu multiculturalism. Multikulturalisme
dapat disebut paradigma sebab merupakan cara berpikir tandingan dalam metode
hubungan antarsuku, agama, ras, dan antargolongan dalam sebuah kesatuan
politik. Multikulturalisme adalah gagasan politik yang hendak mengubah gagasan
masyarakat majemuk yang konfliktual ke arah gagasan masyarakat multikultural
yang konsensual. Masyarakat multikultural adalah
adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya
dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia,
suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta
kebiasaan.
Masyarakat
multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam
komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi
mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah,
adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes
several cultural communities with their overlapping but none the less distinc
conception of the world, system of [meaning, values, forms of social
organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip
dari Azra, 2007) Multikulturalisme
adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang
ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang
penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural)
yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya,
kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Dengan
demikian, yang dimaksud dengan perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan
seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. Ramlan Surbakti ( 1992 : 131 )[1], mengemukakan bahwa perilaku
politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan
keputusan politik. Perilaku politik merupakan salah unsur atau aspek perilaku
secara umum. Disamping perilaku politik, masih terdapat perilaku-perilaku lain
seperti perilaku organisasi, perilaku budaya, perilaku konsumen/ekonomi,
perilaku keagamaan dan lain sebagainya.
Perilaku
politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi dan
keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi
dan sebagainya. Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek
tertentu, baik mengenai keterangan, informasi dari sesuatu hal, maupun gambaran
tentang obyek atau situasi politik dengan cara tertentu ( Fadillah Putra, 2003
: 200 )[2] Sedangkan sikap politik
adalah merupakan hubungan atau pertalian diantara keyakinan yang telah melekat
dan mendorong seseorang untuk menanggapi suatu obyek atau situasi politik
dengan cara tertentu. Sikap dan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh proses dan
peristiwa historis masa lalu dan merupakan kesinambungan yang dinamis.
Peristiwa atau kejadian politik secara umum maupun yang menimpa pada individu atau
kelompok masyarakat, baik yang menyangkut sistem politik atau ketidakstabilan
politik, janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang tidak
pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku politik masyarakat.
Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi)
adalah suatu produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai
pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). Undang-Undang (UU) ini disahkan
menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008. Selama
pembahasannya dan setelah diundangkan, UU ini maraknya mendapatkan penolakan
dari masyarakat. Masyarakat Bali berniat akan membawa UU ini ke Mahkamah
Konstitusi. Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama Ketua DPRD Bali Ida Bagus
Wesnawa dengan tegas menyatakan menolak Undang-Undang Pornografi ini. Ketua
DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie mendesak pemerintah
untuk membatalkan Undang-Undang Pornografi yang telah disahkan dalam rapat
paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan memisahkan diri dari Indonesia.
Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak pengesahan dan pemberlakuan UU
Pornografi. Pembahasan akan RUU APP ini sudah dimulai sejak tahun 1997 di DPR.
Dalam perjalanannya draft RUU APP
pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal.
Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam
media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang
mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi
adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di
muka umum". Dalam draft yang
dikirimkan oleh DPR kepada presiden pada 24
Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP
pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi
dihapuskan. Pada September 2008, presiden
menugaskan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU
ini bersama Panitia Khusus DPR. Dalam draft
final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, RUU
Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal. Pada RUU Pornografi,
defisini pornografi disebutkan dalam pasal 1: "Pornografi adalah materi
seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi,
foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai
bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat
membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam
masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU
APP sebelumnya, dengan memasukkan "gerak tubuh" kedalam definisi
pornografi. Rancangan terakhir RUU ini masih menimbulkan kontroversi, banyak
elemen masyarakat dari berbagai daerah (seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara,
Sumatera Utara, dan Papua), LSM perempuan yang masih menolak RUU ini. Definisi
pornografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: penggambaran tingkah
laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu-berahi;
bahan bacaan yang dengan sengaja dan
semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu-berahi dalam seks.
Pertentangan RUU Pornografi dan Pornoaksi terhadap
Kebudayaan
Setiap suku di
Indonesia memiliki karakteristik budaya yang sangat berbeda dalam tari dan berbusana.
Dalam penerapannya, Undang-undang Pornografi dikhawatirkan akan berbenturan
dengan budaya lokal. Indonesia memiliki beragam budaya, yang menjadi permasalahan adalah dengan keragaman budaya yang
dimiliki oleh Indonesia menimbulkan beberapa
perdebatan. Perdebatan yang muncul ialah seperti ketentuan yang benar akan
pengertian dari pornografi dan pornoaksi itu senidri. Seperti misalnya dalam
budaya Jawa, yang dalam masyarakat jawa itu sendiri dalam upacara-upacara adat tertentu
wanita mengharuskan menggunakan kain “kemben”
dalam hal ini apakah itu termasuk kedalam pornografi dan pornoaksi? Disinilah
pemerintah seharusnya dapat bertindak tegas dalam mengambil keputusan tidak
sembarangan dan semena-mena. Sebab itu termasuk dari keragaman budaya yang dimiliki
oleh Indonesia, dan itu tidak termasuk dari
tindakan pornografi ataupun pornoaksi. Dalam budaya masyarakat Papua misalnya,
sebagian masyarakat Papua dalam masih banyak
yang menggunakan “Koteka” atau bahkan mereka belum mengenal yang namanya
pakaian, apakah itu semua termasuk kedalam pornografi? Jadi pada intinya
pornografi itu harus didefinisikan dengan jelas. Apakah yang dimaskud dengan pornografi dan pornoaksi tersebut
yang seperti apa? Ataukah seseorang atau badan yang dengan sengaja
memepertontonkan, memperlihatkan diri atau auratnya, merekam lalu
menyebarluaskannya dengan tujuan konsumsi orang lain (lawan jenis) dan yang
mengakibatkannya orang lain dapat terpengaruh untuk melakukan kejahatan seksual
maupun kejahatan sosial lainnya. Dengan demikian tidak semua kegiatan atau perilaku
memperlihatkan bagian tubuh tertentu dapat dijerat dengan undang-undang
pornografi, terlebih apabila itu menyangkut dengan budaya. Oleh karena itu
materi undang-undang pornografi masih perlu untuk diperbincangkan dan disempurnakan
agar dalam penggunaanya tidak mengundang kontervensi.
Banyak pihak
menilai jika RUU APP disahkan maka masyarakat Papua
yang biasa memakai koteka, para wanita Jawa yang biasa pakai “kemben”, para wanita Bali yang biasa berpakaian terbuka, dan lain-lain
dikhawatirkan akan dilarang. Untuk menjawab argumen ini tentu kita harus
sepakat terlebih dulu, kebudayaan seperti apa yang harus dipertahankan dan
harus dilestarikan. Kebudayaan yang harus dilestarikan tentu haruslah
kebudayaan yang mencerminkan ketinggian martabat manusia dan selaras dengan
nilai-nilai yang telah digariskan Sang Pencipta.
Kebudayaan tidak sesuai dengan martabat dan nilai-nilai yang digariskan Sang Pencipta jelas tidak perlu dilestarikan.
Kebudayaan yang mengumbar aurat atau mengeksploitasi perempuan demi memuaskan
hasrat seksual laki-laki, misalnya, jelas tidak perlu dilestarikan hanya karena
alasan seni, menjaga tradisi leluhur, memelihara kearifan lokal, dan lain-lain.
Bukankah lebih baik, misalnya, orang-orang Papua
yang terbiasa memakai koteka mulai kita ajari berpakaian yang ‘benar’ dan lebih
‘beradab’, yakni dengan pakaian yang menutup aurat.
Gagasan
pembuatan Undang-Undang Pornografi ini dianggap sebagai pemaksaan kehendak kaum
mayoritas terhadap kaum minoritas. Juga tidak sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi persatuan atas keberagaman suku,
bahasa, agama, adat-istiadat selama 63 tahun Indonesia merdeka hanya bersifat
semu. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pornografi di DPR RI itu terlihat
jelas para anggota dewan dari berbagai partai politik tidak sepaham. Ada yang
mendukung, ada yang menolak. Setelah voting, anggota DPR dari golongan minoritas
kalah suara. Akhirnya, suara mayoritaslah yang diteruskan. Hingga kini RUU
Pornografi tinggal disahkan menjadi undang-undang. Anggota DPR itu juga sulit
membedakan mana urusan negara, dan mana yang urusan agama. Sama seperti
definisi pornografi dalam rancangan undang-undang itu juga sulit mereka
terangkan. Ketua Majelis Muslim Papua, Haji Ahmad Arobi Aittuarauw yang ditemui
Adolvina Rumbewas dari tabloid Suara Perempuan Papua di ruang kerjanya di
Kantor Majelis Rakyat Papua pekan lalu mengatakan walau undang-undang tersebut
akan ditetapkan, tapi akan berbenturan dengan
budaya lokal. Khusus di Papua, Undang-undang Pornografi ini bisa berbenturan
dengan adat dan budaya orang asli Papua, dalam hal berbusana. “Soal porno dan
tidak, itu tergantung dari sudut pandang mana? Secara budaya, mengenakan
koteka, (busana tradisional), di tempat terbuka itu tidak bisa langsung
dikatakan dia melakukan pornoaksi. Sedangkan seorang wanita cantik berpakaian
mini secara tidak langsung memperlihatkan bagian tubuhnya, langsung dicap
pornoaksi,” ujar Arobi memberi contoh[3]. Budaya-budaya Indonesia yang seharusnya kita dapat
jaga dan kita lestarikan keberadannya kini malah jadi perdebatan yang tidak
jelas karena RUU Pornografi, jika budaya seperti itu dianggap tindakan
pornografi atau bahkan pornoaksi maka dengan tidak langsung sama saja kita
menghilangkan budaya yang ada. Bukankah kita sebagai warga negara yang baik
seharusnya melestarikan aset budaya bangsa kita seperti pakaian-pakaian daerah
yang dikenakan orang-orang Papua misalnya.
Beberapa masyarakat didaerah yang sudah terbiasa
dengan menggunakan pakaian seperti orang-orang Bali
yang memperlihatkan bahunya tentu saja mengganggap bahwa RUU tidak memikirkan
keadilan, bagaimana bisa keseharian mereka dengan mengenakan paka tersebut tiba-tiba
saja dianggap melanggar aturan pornografi dan pornoaksi. Padahal mereka menganggap
bahwa itu adalah hal yang biasa saja, bahkan sudah menjadi tradisi di
masyarakat Bali.
Sistem Hukum dalam RUU Pornografi dan Pornoaksi
Hukum adalah
alat untuk mengadakan perubahan dalam masyarakat “Law as a tool of social
engineering”. Dengan fungsi dan peran yang demikian, maka hukum telah
ditempatkan sebagai variable penting dari setiap program pembangunan
dan fungsi control pelaksanaan pembangunan.[4] Dengan di
sahkannya Undang-Undang Pornografi menjadi pilar untuk membangun manusia
Indonesia yang sehat jasmani maupun rohani dari setiap budaya yang bisa merusak
tata nilai kehidupan ditengah masyarakat. Namun didalam implementasinya di
berbagai daerah mendapat penolakan dengan alasan tidak sesuai dengan agama
maupun budaya mereka. Indonesia mengalami krisis
hegemonis nilai-nilai, karena sebagian masyarakat yang mayoritas muslim
maka nilai-nilai islami terpatri secara lansung maupun tidak lansung kedalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, yang mana nilai-nilai Islami
tersebut secara otomatis diterapkan juga bagi semua warga negara yang
non-muslim. Ternyata materi dalam RUU tersebut banyak mengandung
kelemahan (misalnya menyangkut batasan pornografi pada Pasal 1 ayat 1), rancu
(antara pornografi yang dilarang dan yang dibolehkan pada Pasal 13 ayat 1),
bahkan beberapa bagiannya (Pasal 13 ayat 2) bisa dianggap memberi jalan bagi
berkembangnya pornografi itu sendiri. Dari sisi substansi, penghapusan kata
”Anti ” pada judul RUU, yang semula RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, memberi
kesan, bahwa RUU ini hanya akan mengatur bukan menghapus pornografi. Jadi,
alih-alih pornografi akan lenyap, dengan terbitnya RUU Pornografi ini, malah
mungkin pornografi dan pornoaksi akan berkembang dengan berlindung pada diktum
”kebolehan pornografi di tempat dan cara khusus” atau atas nama seni dan budaya
(Pasal 14). Salah satu masalah yang mencuat mengenai benturan budaya ialah
dengan adanya pro dan kontra terhadap di sahkannya Undang-Undang Pornografi.
Banyak kalangan yang menolak dengan kehadiran UUP ini, motivasi melakukan
penolakan ini bermacam-macam, seperti alasan budaya dan adat istiadat serta
alasan kebebasan berekspresi bagi seniman dan dunia perfiliman. Dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan
terhadap kepentingan-kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara
membatasi kepentingan dipihak lain.[5] Di Bali yang sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu menolak
disahkannya UUP tersebut hal ini ditandai dengan maraknya aksi demonstrasi yang
dilakukan, penolakan masyarakat Bali juga
dilakukan dalam bentuk pengajuan judicial review UU Pornografi ke
Mahkamah Konstitusi, ribuan masyarakat yang tergabung dalam Komponen Rakyat
Bali (KRB) turun ke jalan sebagai bentuk penolakan terhadap UUP. Masyarakat
menganggap UU tersebut bertentangan dengan keragaman pandangan sosio-kultural
maupun dasar religi di Indonesia.
Maraknya
penolakan terhadap UPP ini menjadi masalah sosial yang perlu dikaji yang mana
apabila tidak dieliminir sedemikian rupa maka konflik-konflik horizontal akan
terjadi, padahal pornografi merupakan sebuah kegiatan yang dapat merusak moral
anak bangsa dan tidak sesuai dengan martabat manusia sebagai makluk yang
beradab. RUU ini mencoba
mengatur masalah pornografi untuk seluruh masyarakat Indonesia yang pada
faktanya mememeluk ragam agama. Padahal masalah pornografi dalam beberapa
bagian atau seluruhnya, seperti menyangkut masalah pakaian, sangat terkait
dengan keyakinan seseorang. Misalnya, pakaian seorang Muslim tentu berbeda
dengan pakaian seorang Hindu. Dengan demikian aspek pornografitasnya pun juga
mestinya berbeda. Ketelanjangan bahu bagi seorang perempuan Hindu mungkin tidak
masalah karena memang demikianlah ketentuan peribadatan di dalam pura mereka,
tapi tidak demikian halnya dengan seorang Muslimah. Karena tidakjelasnya basis
teologis yang digunakan, definisi tentang pornografi dalam RUU ini juga menjadi
kabur. Bila dikatakan pornografi adalah materi seksualitas yang melanggar
nilai-nilai kesusilaan masyarakat, pertanyaannya, masyarakat yang mana? Bila
sejak definisi pornografi sudah kabur, maka tentu pengaturan berikutnya juga
menjadi tidak jelas. Ketidakjelasan seperti inilah yang mengundsng reaksi,
khususnya dari komunitas non-Muslim di Bali maupun daerah lain. Mereka khawatir
RUU ini akan mengeliminir sebagian keyakinan mereka. Akan berbeda halnya bila RUU semacam ini dibuat
berdasarkan ketentuan syariah. Maka definisi tentang pornografi dengan mudah
dibuat. Dan pasti tidak akan menyinggung agama lain, karena masalah-masalah
yang terkait dengan keyakinan dikembalikan kepada agama masing-masing. Baik
yang berkaitan dengan tataperibadatan maupun berpakaian. Di sinilah pentingnya
penerapan syariah di tengah masyarakat. Syariah akan memberikan pengaturan
tentang berbagai hal secara jelas, tegas dan konsisten untuk seluruh masyarakat.
Tapi sekaligus tetap menghargai adanya perbedaan akibat perbedaan keyakinan
agama. Dengan cara itu, kerahmatan yang dijanjikan dari penerapan syariah itu
bisa diwujudkan. Ketegasan hukum di indonesia akan kasus pornografi dan
pornoaksi ini masih belum jelas tentu saja masih racu antara pasal-pasalnya.
Masyarakat indonesia tentu butuh kejelasan dan ketegasan tentang pasal ini.
Sebab kerancuan terhadap RUU pornografi ini malah dapat bisa disalahgunakan
oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab. Selanjutnya
pemerintahpun kurang aktif menjelaskan pada khalayak umum mengenai nilai-nilai
yang terkandung dalam undang-undang pornografi juga akan pentinganya
undang-undang pornografi untuk mencegah peurunan moral yang diakibatkan dari
pornografi kemudian sebagai buffer akan kebudayaan asing yang akan masuk ke
Indonesia. Lepas dari itu semua akankah undang-undang ini akan efektif
diterapkan pada masyarakat pada umumnya,karena yang ditakutkan undang-undang
ini akan mengalir begitu saja.bukan menjadi solusi malah menambah permasalahan
baru. Butuh proses dan kerjakeras yang panjang antara pemerintah dengan
masyarakat akan terciptanya ketentraman dan ketertiban dimasyarakat.
Konflik Sosial dalam RUU Pornografi dan Pornoaksi
Terjadinya benturan budaya akibat tidak ada ketegasan dari pemerintah
tentang kebijakan RUU pornografi ini dapat menimbulkan perpecahan antar bangsa.
Konflik antar budaya yang bersumber dari perbedaan
kepercayaan dapat menjadi sumber konflik yang dapat memecah persatuan dan
kesatuan bangsa. Benturan-benturan budaya yang berujung kepada konflik
horizontal dan konflik vertikal ini sedini mungkin harus dielimenir dengan
mengedepankan nilai-nilai toleransi. Konflik budaya terjadi apabila ada
benturan aturan pada batas daerah budaya yang berdampingan. Pertemuan tersebut
mengakibatkan terjadinya kontak budaya diantara mereka baik dalam kaitan agama,
orientasi kerja, budaya dan lain-lain yang dapat memperlemah budaya kedua belah
pihak. Konflik budaya dapat juga terjadi apabila satu budaya memperluas daerah
berlakunya budaya tersebut terhadap
budaya lain. Hal ini terjadi biasanya dengan menggunakan norma hukum di mana
undang-undang dari suatu kelompok budaya diperlakukan untuk daerah lain.
Sesungguhnya,
penolakan masyarakat terhadap RUUP ini lebih dikarenakan kurangnya sosialisasi
dari pemerintah terhadap RUUP tersebut, sehingga masyarakat tidak banyak
mengetahui isi dari pasal-pasal yang terdapat dalam RUUP tersebut. Hal ini
menyebabkan banyak masyarakat yang menolak RUU tersebut karena menganggap bahwa
RUUP ini dapat menyebabkan perpecahan (disintegrasi) bangsa, serta mengancam
kelangsungan tradisi dan budaya masyarakat di beberapa daerah. Ini dikarenakan
ketidaktahuan mereka tentang isi dari pasal-pasal yang terdapat dalam RUUP ini.
Seharusnya, apabila pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan
melakukan koordinasi dengan tokoh agama serta para kepala adat di berbagai
daerah, tentu penolakan tersebut tidak sampai terjadi seperti ini. Karena
masyarakat akan mengetahui bahwa tentang tradisi, kebudayaan ataupun yang
berhubungan dengan kesenian masyarakat di atur dalam pasal khusus (pasal 14)
dalam RUUP ini, sehingga mereka tidak perlu takut akan adanya RUUP ini. Aliansi
Bhinneka Tunggal Ika mendesak Dewan Perwakilan Daerah untuk memperjuangkan
substansi materi Rancangan Undang-undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi agar
tidak mengingkari sendi-sendi bangsa, yakni Pancasila dan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika. RUU APP dinilai tidak mengakui keberagaman suku bangsa, agama,
bahasa, adat istiadat, busana, kesenian, dan kebiasaan. Karena itu, upaya-upaya
meniadakan keberagaman atau penyeragaman melalui RUU tersebut berarti tidak
mengakui kebhinnekaan masyarakat dan kebudayaan Indonesia, serta tidak
melindungi kaum perempuan. Jelas akan mengundang perpecahan bangsa, karena
perbedaan konsep mengenai pornografi dan pornoaksi antara penganut agama satu
dengan yang lainnya. RUU APP ini juga jelas akan menempatkan wanita sebagai
terdakwa karena dianggap biang pelaku pornoaksi, sesopan apapun cara dia
berpakaian. Sedang pria dianggap tidak bersalah karena dia hanya "terangsang"
oleh "pornoaksi yang dilakukan wanita", sekalipun wanita tidak
bermaksud merangsang lawan jenisnya. Tengoklah kasus-kasus pemerkosaan TKW kita
oleh pria-pria di Arab, bukankah mereka sudah menutup seluruh tubuhnya dengan
pakaian jilbab, tapi tetap saja dianggap "merangsang"”.[6] Logikanya bisa dipertanyakan, apakah
pornografi akan mempersatukan bangsa ini? Ancaman ini justru harus dikritisi. Atau
ini provokasi negara asing yang punya kepentingan agar bangsa ini pecah, dan
berkolaborasi dengan antek-anteknya, kelompok yang memang tidak inginkan
kesatuan NKRI. RUU ini dinyatakan dapat merusak kebhinekaan karena menerapkan
standar moral dari kelompok tertentu yang menilai sebuah peristiwa atau seseorang
melakukan tindakan porno. Dalam RUU itu yang disebut pornografi sangat luas dan
mempengaruhi berbagai bidang. Disebutkan pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia
dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan
komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan
di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar
nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Menyikapi RUU Pornografi yang akan
segera disahkan maka Komponen Rakyat Bali (KRB) dengan ini menyatakan dengan
tegas menolak RUU Pornografi. Pertimbangannya adalah dalam proses pembahasan
RUU Pornografi, DPR tidak transparan dan tidak partisipatif, sehingga secara
hukum pembahasan RUU tersebut cacat hukum karena telah melanggar
prinsip-prinsip asas-asas umum tata pemerintahan yang baik (Good Governance) RUU Pornografi
tidak perlu, karena selama ini Indonesia telah memiliki peraturan
perundang-undangan yang sudah mengatur tentang kesusilaan dan pornografi, yaitu
KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Penyiaran, UU Pers, dan lain-lain. Hak atas
tubuh adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun, oleh
karenanya siapapun juga tak terkecuali negara harus melindungi, menghormati dan
memenuhi hak asasi manusia. RUU Pornografi sangat berbahaya, karena tidak
mencerminkan kebhinekaan bangsa, mengintervensi persoalan private warga negara tentang tubuh
dan moralitas, khususnya tubuh perempuan. Memasung kebebasan berekspresi
sebagai hak dasar manusia, rentan terhadap disintegrasi bangsa, dan multi-tafsir
sehingga dapat dijadikan alat untuk mengkriminalisasikan setiap orang oleh
orang atau kelompok tertentu. DPR memunculkan RUU pornografi yang menyebabkan
perpecahan dan disintegrasi di negeri ini. RUU ini juga melanggar HAM karena
mengintervensi moral yang merupakan ruang privat warga negara. Selain itu, RUU
yang memaksakan standar moral ini akan memecah belah Bangsa
Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama dan budaya.
Seperti yang diketahui bahwa Indonesia adalah Negara yang terdiri dari beraneka
ragam suku, agama dan kebudayaan. Negara ini didirikan dengan mengakomodasi
seluruh perbedaan itu dan merangkainya dalam Bhineka
Tunggal Ika (berbeda tetapi tetap satu). Dengan memaksakan standar moral
kepada warga Negara, maka hal ini akan memicu reaksi dari berbagai unsur suku,
agama dan kebudayaan dalam bangsa ini. Hal ini bisa mengakibatkan terjadinya
disintegrasi dan mengancam persatuan dan kesatuan Indonesia yang selama ini
dibangun atas dasar penghormatan dan mengakomodasi segala perbedaan yang ada di
bangsa ini.
Pemicu–pemicu
perpecahan antar bangsa bisa saja terjadi
seperti misalnya adanya kecemburuan sosial diantara masyarakat. Jika saja
masyarakat Bali menggugat
bahwa tindakan mereka tidak termasuk kedalam pornografi dan pemerintah bisa
saja mempertimbangkan itu, maka masyarakat dari suku lain memberontak dan
menuntut keadilan, dimana letak keadilan bangsa ini? Disinilah pemicu
perpecahan bangsa dapat terjadi.
Kesimpulan
Rancangan
Undang Undang Pornografi yang belum relevan ini menimbulkan banyak konflik,
terlebih pada masyarakat multikultural yang masih belum mengerti sesungguhnya
tentang definisi pornografi dan pornoaksi. Permasalahan ini malah menimbulkan
banyak konflik didaerah daerah, seperti misalnya di Bali, Papua dan daerah
lainnya yang menolak akan RUU pornografi ini karena mereka menganggap
pemerintah belum tegas dalam menyikapi masalah ini.
Konflik
sosial yang terjadi dalam pertentangan RUU Pornografi merupakan konflik yang
berakar pada perbedaan budaya yang bersumber dari perbedaan keyakinan dan adat-istiadat.
Pihak minoritas menganggap telah terjadi hegemoni budaya besar terhadap budaya
yang kecil sehingga budaya besar berupaya untuk menerapkan budayanya kepada
kaum-kaum minoritas, sehingga terjadilah pertentangan-pertentangan yang bisa berujung
kepada konflik. Berdasarkan asumsi tersebut konflik benturan budaya yang terjadi merupakan konflik primer,
sebab terjadinya pertentangan dua budaya yang saling berlawanan.
Referensi:
"Pengertian dan Definisi Masyarakat
Menurut Para Ahli." Cara Apa Aja Ada
- CARApedia. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013 dalam http://carapedia.com/pengertian_definisi_masyarakat_menurut_para_ahli_info488.html
"Undang-Undang pornografi." Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi
"Undang-Undang pornografi ." Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi#Kontroversi
"Multikulturalisme - Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas." Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013
dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme
Kusmayadi, Edi. "Perilaku
politik/pemilih." Edi Kusmayadi. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013 dalam
http://edikusmayadi.blogspot.com/2011/04/perilaku-politikpemilih.html
"Pengertian Masyarakat." Media Pembelajaran. Diakses pada tanggal
7 Januari 2013 dalam
http://wawan-junaidi.blogspot.com/2012/03/pengertian-masyarakat.html
"Aliansi Bhinneka Tunggal Ika desak
DPD kawal RUU APP." Suara Merdeka Cyber news. Diakses pada tanggal 8 Januari 2013 dalam http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0605/10/nas16.htm
"Indonesia diujung perpecahan." kompas forum. Diakses pada tanggal 8 Januari 2013
Http://forum.kompas.com/nasional/20764-indonesia-di-ujung-perpecahan.html
Keagop, Paskalis , and Adolvina Rubewas. "ruu versus budaya." Suara Perempuan Papua. Diakses pada
tanggal 9 Januari 2013 dalam http://suaraperempuanpapua.wordpress.com/2008/11/18/ruup-versus-budaya/
Kusmayadi, Edi . "Seri Kajian :
Politik Lokal dan Kebijakan Publik - Laboratorium Ilmu Politik
Universitas Siliwangi Tasikmalaya." Lab Unsil. Diakses 7 Januari 2013 dalam http://labpolunsil.blogspot.com/2011/02/seri-kajian-politik-lokal-dan-kebijakan.html
"Manusia-Indonesia ." ihti room. Diakses pada tanggal 9 Januari
2013 pada http://ihtiroom.staff.uns.ac.id/files/2011/08/manusia-indonesia.pdf
Raharjo, satipto. ilmu hukum.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996.
Saleh, andi ayyub. "Tamasya Perenungan Hukum ." In Law in Book
and Law in Action menuju penemuan Hukum. Jakarta: Yarsif Watampone, 2006.
72.
Suriyani, Luh De. "Aksi Budaya Tolak RUU Pornografi." bale
bengong.net. Diakses pada tanggal 8 Januari 2013 dalam http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2008/09/17/aksi-budaya-tolak-ruu-pornografi.html
"Telaah Penolakan RUU Pornografi dan Porno Aksi. “FAKULTAS AGAMA
ISLAM.". Diakses pada tanggal 10 Januari 2013 dalam
http://fakagamauisu.wordpress.com/artikel/telaah-penolakan-ruu-pornografi-dan-porno-aksi/
"UU PORNOGRAFI: SEBUAH PRODUK HUKUM YANG (AKAN) GAGAL DAN TERJEBAKNYA
ORMAS ISLAM." Sumbawa News.
Diakses pada tanggal 10 Januari 2013 dalam http://www.sumbawanews.com/node/1604
[1] Edi Kusmayadi, “perilaku
politik/pemilih”, Edy Kusmayadi Blog, diakses pada 7 Januari 2013,
pada http://edikusmayadi.blogspot.com/2011/04/perilaku-politikpemilih.html
[2]Edi Kusmayadi, “kajian
politik lokal” , Lab Politik Unsil, diakses
pada 7 Januari 2013, pada http://labpolunsil.blogspot.com/2011/02/seri-kajian-politik-lokal-dan-kebijakan.html
[3] Paskalis Keagop dan Adolvina Rubewas, “RUU Versus Budaya” , diakses pada
tanggal 9 Januari 2013 pada, http://suaraperempuanpapua.wordpress.com/2008/11/18/ruup-versus-budaya/
[4] Andi Abu Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam Law in Book and Law in Action menuju
penemuan Hukum, Jakarta: Yarsif Watampone,, 2006, Hal. 72
.com/question/index?qid=20080921040944AAQrzRD
No comments:
Post a Comment