Wednesday, November 12, 2014

Relevansi Rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi terhadap Kemajemukan Masyarakat di Indonesia Pada Tahun 2006

Permasalahan tentang relevansi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pornografi terhadap masyarakat multikultural banyak mengundang perdebatan dan menimbulkan konflik sosial. Hal ini terjadi karena masyarakat multikultural masih ada yang belum memahami RUU pornografi ini secara penuh. Sekitar dua ratus ragam budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia di berbagai daerah menjadi suatu permasalahan dalam penentuan kebijakan politik, seperti pembuatan peraturan maupun rancangan undang-undang pornografi di Indonesia. RUU yang dirancang oleh pemerintah mengalami beberapa hambatan dalam prosesnya. Penyebabnya adalah karena RUU ini masih belum relevan dengan kondisi rakyat Indonesia yang memiliki banyak perbedaan kebudayaan. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk meninjau kebijakan yang dibuat pemerintah untuk membuat undang-undang ini, sebab pemerintah seakan-akan belum bisa memahami secara sosiologis keberadaan masyarakat dengan sejumlah perbedaan suku, budaya, agama, dan sosial. Pasalnya, dalam konteks penentuan kebijakan politik seperti membuat Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan pornoaksi perlu adanya kajian lebih dalam lagi menyangkut keberagaman kebudayaan di Indonesia. Selain itu potensi konflik dari perbedaan-perbedaan dari setiap kebudayaan, perlu menjadi pertimbangan dalam penetapan kebijakan ini.
Kata Kunci: RUU, pornoaksi, pornografi, multikulturalisme, konflik sosial, kebijakan politik

Pendahuluan
Koentjaraningrat menjabarkan definisi masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat  berkelanjutan dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama. Meskipun secara mudah bisa diartikan bahwa masyarakat itu berarti warga namun pada dasarnya konsep masyarakat itu sendiri sangatlah abstrak dan sulit ditangkap. Istilah masyarakat berasal dari kata musyarak yang berasal dari Bahasa Arab yang memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut Society. Sehingga bisa dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial. Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan identitas. Tidak dipungkiri bahwa Indonesia negara dengan kultur beraneka ragam. Bahkan, Indonesia dimasukkan ke dalam kategori plural society atau masyarakat majemuk dengan sejumlah dimensi negatifnya. Kultur yang beraneka ragam (multikultur) oleh kolonial Belanda direkayasa sedemikian rupa (ironisnya dilanjutkan oleh elit-elit politik lokal dan nasional) guna menjamin posisi kekuasaan. Masyarakat dibelah menurut kategori suku, agama, ras, dan golongan: Jadilah masyarakat majemuk. Pembelahan dilakukan dengan cara melakukan permanensi atas perbedaan lalu membenturkan satu sama lain. Hingga kini, efek pembelahan masih terasa bahkan banyak meledak dalam rentetan panjang konflik horizontal di Indonesia. Sejumlah ilmuwan sosial menawarkan gagasan lebih bijaksana dalam mengatasi perbedaan tajam antarkomunitas dalam masyarakat. Gagasan baru tersebut guna menggantikan gagasan usang masyarakat majemuk yaitu multiculturalism. Multikulturalisme dapat disebut paradigma sebab merupakan cara berpikir tandingan dalam metode hubungan antarsuku, agama, ras, dan antargolongan dalam sebuah kesatuan politik. Multikulturalisme adalah gagasan politik yang hendak mengubah gagasan masyarakat majemuk yang konfliktual ke arah gagasan masyarakat multikultural yang konsensual. Masyarakat multikultural adalah adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan.
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007) Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. Ramlan Surbakti ( 1992 : 131 )[1], mengemukakan bahwa perilaku politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan politik. Perilaku politik merupakan salah unsur atau aspek perilaku secara umum. Disamping perilaku politik, masih terdapat perilaku-perilaku lain seperti perilaku organisasi, perilaku budaya, perilaku konsumen/ekonomi, perilaku keagamaan dan lain sebagainya.
Perilaku politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi dan sebagainya. Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik mengenai keterangan, informasi dari sesuatu hal, maupun gambaran tentang obyek atau situasi politik dengan cara tertentu ( Fadillah Putra, 2003 : 200 )[2] Sedangkan sikap politik adalah merupakan hubungan atau pertalian diantara keyakinan yang telah melekat dan mendorong seseorang untuk menanggapi suatu obyek atau situasi politik dengan cara tertentu. Sikap dan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh proses dan peristiwa historis masa lalu dan merupakan kesinambungan yang dinamis. Peristiwa atau kejadian politik secara umum maupun yang menimpa pada individu atau kelompok masyarakat, baik yang menyangkut sistem politik atau ketidakstabilan politik, janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang tidak pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku politik masyarakat.
Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). Undang-Undang (UU) ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008. Selama pembahasannya dan setelah diundangkan, UU ini maraknya mendapatkan penolakan dari masyarakat. Masyarakat Bali berniat akan membawa UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama Ketua DPRD Bali Ida Bagus Wesnawa dengan tegas menyatakan menolak Undang-Undang Pornografi ini. Ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie mendesak pemerintah untuk membatalkan Undang-Undang Pornografi yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan memisahkan diri dari Indonesia. Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak pengesahan dan pemberlakuan UU Pornografi. Pembahasan akan RUU APP ini sudah dimulai sejak tahun 1997 di DPR. Dalam perjalanannya draft RUU APP pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal. Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum". Dalam draft yang dikirimkan oleh DPR kepada presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008, presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR. Dalam draft final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, RUU Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal. Pada RUU Pornografi, defisini pornografi disebutkan dalam pasal 1: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP sebelumnya, dengan memasukkan "gerak tubuh" kedalam definisi pornografi. Rancangan terakhir RUU ini masih menimbulkan kontroversi, banyak elemen masyarakat dari berbagai daerah (seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, dan Papua), LSM perempuan yang masih menolak RUU ini. Definisi pornografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu-berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu-berahi dalam seks.

Pertentangan RUU Pornografi dan Pornoaksi terhadap Kebudayaan
Setiap suku di Indonesia memiliki karakteristik budaya yang sangat berbeda dalam tari dan berbusana. Dalam penerapannya, Undang-undang Pornografi dikhawatirkan akan berbenturan dengan budaya lokal. Indonesia memiliki beragam budaya, yang menjadi permasalahan adalah dengan keragaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia menimbulkan beberapa perdebatan. Perdebatan yang muncul ialah seperti ketentuan yang benar akan pengertian dari pornografi dan pornoaksi itu senidri. Seperti misalnya dalam budaya Jawa, yang dalam masyarakat jawa itu sendiri dalam upacara-upacara adat tertentu wanita mengharuskan menggunakan kain “kemben” dalam hal ini apakah itu termasuk kedalam pornografi dan pornoaksi? Disinilah pemerintah seharusnya dapat bertindak tegas dalam mengambil keputusan tidak sembarangan dan semena-mena. Sebab itu termasuk dari keragaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia, dan itu tidak termasuk dari tindakan pornografi ataupun pornoaksi. Dalam budaya masyarakat Papua misalnya, sebagian masyarakat Papua dalam masih banyak yang menggunakan “Koteka” atau bahkan mereka belum mengenal yang namanya pakaian, apakah itu semua termasuk kedalam pornografi? Jadi pada intinya pornografi itu harus didefinisikan dengan jelas. Apakah yang dimaskud dengan pornografi dan pornoaksi tersebut yang seperti apa? Ataukah seseorang atau badan yang dengan sengaja memepertontonkan, memperlihatkan diri atau auratnya, merekam lalu menyebarluaskannya dengan tujuan konsumsi orang lain (lawan jenis) dan yang mengakibatkannya orang lain dapat terpengaruh untuk melakukan kejahatan seksual maupun kejahatan sosial lainnya. Dengan demikian tidak semua kegiatan atau perilaku memperlihatkan bagian tubuh tertentu dapat dijerat dengan undang-undang pornografi, terlebih apabila itu menyangkut dengan budaya. Oleh karena itu materi undang-undang pornografi masih perlu untuk diperbincangkan dan disempurnakan agar dalam penggunaanya tidak mengundang kontervensi.
Banyak pihak menilai jika RUU APP disahkan maka masyarakat Papua  yang biasa memakai koteka, para wanita Jawa yang biasa pakai “kemben”, para wanita Bali yang biasa berpakaian terbuka, dan lain-lain dikhawatirkan akan dilarang. Untuk menjawab argumen ini tentu kita harus sepakat terlebih dulu, kebudayaan seperti apa yang harus dipertahankan dan harus dilestarikan. Kebudayaan yang harus dilestarikan tentu haruslah kebudayaan yang mencerminkan ketinggian martabat manusia dan selaras dengan nilai-nilai yang telah digariskan Sang Pencipta. Kebudayaan tidak sesuai dengan martabat dan nilai-nilai yang digariskan Sang Pencipta jelas tidak perlu dilestarikan. Kebudayaan yang mengumbar aurat atau mengeksploitasi perempuan demi memuaskan hasrat seksual laki-laki, misalnya, jelas tidak perlu dilestarikan hanya karena alasan seni, menjaga tradisi leluhur, memelihara kearifan lokal, dan lain-lain. Bukankah lebih baik, misalnya, orang-orang Papua yang terbiasa memakai koteka mulai kita ajari berpakaian yang ‘benar’ dan lebih ‘beradab’, yakni dengan pakaian yang menutup aurat.
Gagasan pembuatan Undang-Undang Pornografi ini dianggap sebagai pemaksaan kehendak kaum mayoritas terhadap kaum minoritas. Juga tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi persatuan atas keberagaman suku, bahasa, agama, adat-istiadat selama 63 tahun Indonesia merdeka hanya bersifat semu. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pornografi di DPR RI itu terlihat jelas para anggota dewan dari berbagai partai politik tidak sepaham. Ada yang mendukung, ada yang menolak. Setelah  voting, anggota DPR dari golongan minoritas kalah suara. Akhirnya, suara mayoritaslah yang diteruskan. Hingga kini RUU Pornografi tinggal disahkan menjadi undang-undang. Anggota DPR itu juga sulit membedakan mana urusan negara, dan mana yang urusan agama. Sama seperti definisi pornografi dalam rancangan undang-undang itu juga sulit mereka terangkan. Ketua Majelis Muslim Papua, Haji Ahmad Arobi Aittuarauw yang ditemui Adolvina Rumbewas dari tabloid Suara Perempuan Papua di ruang kerjanya di Kantor Majelis Rakyat Papua pekan lalu mengatakan walau undang-undang tersebut akan ditetapkan, tapi akan berbenturan dengan budaya lokal. Khusus di Papua, Undang-undang Pornografi ini bisa berbenturan dengan adat dan budaya orang asli Papua, dalam hal berbusana. “Soal porno dan tidak, itu tergantung dari sudut pandang mana? Secara budaya, mengenakan koteka, (busana tradisional), di tempat terbuka itu tidak bisa langsung dikatakan dia melakukan pornoaksi. Sedangkan seorang wanita cantik berpakaian mini secara tidak langsung memperlihatkan bagian tubuhnya, langsung dicap pornoaksi,” ujar Arobi memberi contoh[3]. Budaya-budaya Indonesia yang seharusnya kita dapat jaga dan kita lestarikan keberadannya kini malah jadi perdebatan yang tidak jelas karena RUU Pornografi, jika budaya seperti itu dianggap tindakan pornografi atau bahkan pornoaksi maka dengan tidak langsung sama saja kita menghilangkan budaya yang ada. Bukankah kita sebagai warga negara yang baik seharusnya melestarikan aset budaya bangsa kita seperti pakaian-pakaian daerah yang dikenakan orang-orang Papua misalnya. Beberapa masyarakat didaerah yang sudah terbiasa dengan menggunakan pakaian seperti orang-orang Bali yang memperlihatkan bahunya tentu saja mengganggap bahwa RUU tidak memikirkan keadilan, bagaimana bisa keseharian mereka dengan mengenakan paka tersebut tiba-tiba saja dianggap melanggar aturan pornografi dan pornoaksi. Padahal mereka menganggap bahwa itu adalah hal yang biasa saja, bahkan sudah menjadi tradisi di masyarakat Bali.

Sistem Hukum dalam RUU Pornografi dan Pornoaksi
Hukum adalah alat untuk mengadakan perubahan dalam masyarakat “Law as a tool of social engineering”. Dengan fungsi dan peran yang demikian, maka hukum telah ditempatkan sebagai variable penting dari setiap program pembangunan dan fungsi control pelaksanaan pembangunan.[4]  Dengan di sahkannya Undang-Undang Pornografi menjadi pilar untuk membangun manusia Indonesia yang sehat jasmani maupun rohani dari setiap budaya yang bisa merusak tata nilai kehidupan ditengah masyarakat. Namun didalam implementasinya di berbagai daerah mendapat penolakan dengan alasan tidak sesuai dengan agama maupun budaya mereka. Indonesia mengalami krisis hegemonis  nilai-nilai, karena  sebagian masyarakat yang mayoritas muslim maka nilai-nilai islami terpatri secara lansung maupun tidak lansung kedalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, yang mana nilai-nilai Islami tersebut secara otomatis diterapkan juga bagi semua warga negara yang non-muslim. Ternyata materi dalam RUU tersebut banyak mengandung kelemahan (misalnya menyangkut batasan pornografi pada Pasal 1 ayat 1), rancu (antara pornografi yang dilarang dan yang dibolehkan pada Pasal 13 ayat 1), bahkan beberapa bagiannya (Pasal 13 ayat 2) bisa dianggap memberi jalan bagi berkembangnya pornografi itu sendiri. Dari sisi substansi, penghapusan kata ”Anti ” pada judul RUU, yang semula RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, memberi kesan, bahwa RUU ini hanya akan mengatur bukan menghapus pornografi. Jadi, alih-alih pornografi akan lenyap, dengan terbitnya RUU Pornografi ini, malah mungkin pornografi dan pornoaksi akan berkembang dengan berlindung pada diktum ”kebolehan pornografi di tempat dan cara khusus” atau atas nama seni dan budaya (Pasal 14). Salah satu masalah yang mencuat mengenai benturan budaya ialah dengan adanya pro dan kontra terhadap di sahkannya Undang-Undang Pornografi. Banyak kalangan yang menolak dengan kehadiran UUP ini, motivasi melakukan penolakan ini bermacam-macam, seperti alasan budaya dan adat istiadat serta alasan kebebasan berekspresi bagi seniman dan dunia perfiliman. Dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan dipihak lain.[5]  Di Bali yang sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu menolak disahkannya UUP tersebut hal ini ditandai dengan maraknya aksi demonstrasi yang dilakukan, penolakan masyarakat Bali juga dilakukan dalam bentuk  pengajuan judicial review UU Pornografi ke Mahkamah Konstitusi, ribuan masyarakat yang tergabung dalam Komponen Rakyat Bali (KRB) turun ke jalan sebagai bentuk penolakan terhadap UUP. Masyarakat menganggap UU tersebut bertentangan dengan keragaman pandangan sosio-kultural maupun dasar religi di Indonesia.
Maraknya penolakan terhadap UPP ini menjadi masalah sosial yang perlu dikaji yang mana apabila tidak dieliminir sedemikian rupa maka konflik-konflik horizontal akan terjadi, padahal pornografi merupakan sebuah kegiatan yang dapat merusak moral anak bangsa dan tidak sesuai dengan martabat manusia sebagai makluk yang beradab. RUU ini mencoba mengatur masalah pornografi untuk seluruh masyarakat Indonesia yang pada faktanya mememeluk ragam agama. Padahal masalah pornografi dalam beberapa bagian atau seluruhnya, seperti menyangkut masalah pakaian, sangat terkait dengan keyakinan seseorang. Misalnya, pakaian seorang Muslim tentu berbeda dengan pakaian seorang Hindu. Dengan demikian aspek pornografitasnya pun juga mestinya berbeda. Ketelanjangan bahu bagi seorang perempuan Hindu mungkin tidak masalah karena memang demikianlah ketentuan peribadatan di dalam pura mereka, tapi tidak demikian halnya dengan seorang Muslimah. Karena tidakjelasnya basis teologis yang digunakan, definisi tentang pornografi dalam RUU ini juga menjadi kabur. Bila dikatakan pornografi adalah materi seksualitas yang melanggar nilai-nilai kesusilaan masyarakat, pertanyaannya, masyarakat yang mana? Bila sejak definisi pornografi sudah kabur, maka tentu pengaturan berikutnya juga menjadi tidak jelas. Ketidakjelasan seperti inilah yang mengundsng reaksi, khususnya dari komunitas non-Muslim di Bali maupun daerah lain. Mereka khawatir RUU ini akan mengeliminir sebagian keyakinan mereka.               Akan berbeda halnya bila RUU semacam ini dibuat berdasarkan ketentuan syariah. Maka definisi tentang pornografi dengan mudah dibuat. Dan pasti tidak akan menyinggung agama lain, karena masalah-masalah yang terkait dengan keyakinan dikembalikan kepada agama masing-masing. Baik yang berkaitan dengan tataperibadatan maupun berpakaian. Di sinilah pentingnya penerapan syariah di tengah masyarakat. Syariah akan memberikan pengaturan tentang berbagai hal secara jelas, tegas dan konsisten untuk seluruh masyarakat. Tapi sekaligus tetap menghargai adanya perbedaan akibat perbedaan keyakinan agama. Dengan cara itu, kerahmatan yang dijanjikan dari penerapan syariah itu bisa diwujudkan. Ketegasan hukum di indonesia akan kasus pornografi dan pornoaksi ini masih belum jelas tentu saja masih racu antara pasal-pasalnya. Masyarakat indonesia tentu butuh kejelasan dan ketegasan tentang pasal ini. Sebab kerancuan terhadap RUU pornografi ini malah dapat bisa disalahgunakan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab. Selanjutnya pemerintahpun kurang aktif menjelaskan pada khalayak umum mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam undang-undang pornografi juga akan pentinganya undang-undang pornografi untuk mencegah peurunan moral yang diakibatkan dari pornografi kemudian sebagai buffer akan kebudayaan asing yang akan masuk ke Indonesia. Lepas dari itu semua akankah undang-undang ini akan efektif diterapkan pada masyarakat pada umumnya,karena yang ditakutkan undang-undang ini akan mengalir begitu saja.bukan menjadi solusi malah menambah permasalahan baru. Butuh proses dan kerjakeras yang panjang antara pemerintah dengan masyarakat akan terciptanya ketentraman dan ketertiban dimasyarakat.

Konflik Sosial dalam RUU Pornografi dan Pornoaksi
          Terjadinya benturan budaya akibat tidak ada ketegasan dari pemerintah tentang kebijakan RUU pornografi ini dapat menimbulkan perpecahan antar bangsa. Konflik antar budaya yang bersumber dari perbedaan kepercayaan dapat menjadi sumber konflik yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Benturan-benturan budaya yang berujung kepada konflik horizontal dan konflik vertikal ini sedini mungkin harus dielimenir dengan mengedepankan nilai-nilai toleransi. Konflik budaya terjadi apabila ada benturan aturan pada batas daerah budaya yang berdampingan. Pertemuan tersebut mengakibatkan terjadinya kontak budaya diantara mereka baik dalam kaitan agama, orientasi kerja, budaya dan lain-lain yang dapat memperlemah budaya kedua belah pihak. Konflik budaya dapat juga terjadi apabila satu budaya memperluas daerah berlakunya budaya tersebut  terhadap budaya lain. Hal ini terjadi biasanya dengan menggunakan norma hukum di mana undang-undang dari suatu kelompok budaya diperlakukan untuk daerah lain.
Sesungguhnya, penolakan masyarakat terhadap RUUP ini lebih dikarenakan kurangnya sosialisasi dari pemerintah terhadap RUUP tersebut, sehingga masyarakat tidak banyak mengetahui isi dari pasal-pasal yang terdapat dalam RUUP tersebut. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang menolak RUU tersebut karena menganggap bahwa RUUP ini dapat menyebabkan perpecahan (disintegrasi) bangsa, serta mengancam kelangsungan tradisi dan budaya masyarakat di beberapa daerah. Ini dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang isi dari pasal-pasal yang terdapat dalam RUUP ini. Seharusnya, apabila pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan melakukan koordinasi dengan tokoh agama serta para kepala adat di berbagai daerah, tentu penolakan tersebut tidak sampai terjadi seperti ini. Karena masyarakat akan mengetahui bahwa tentang tradisi, kebudayaan ataupun yang berhubungan dengan kesenian masyarakat di atur dalam pasal khusus (pasal 14) dalam RUUP ini, sehingga mereka tidak perlu takut akan adanya RUUP ini. Aliansi Bhinneka Tunggal Ika mendesak Dewan Perwakilan Daerah untuk memperjuangkan substansi materi Rancangan Undang-undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi agar tidak mengingkari sendi-sendi bangsa, yakni Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. RUU APP dinilai tidak mengakui keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, busana, kesenian, dan kebiasaan. Karena itu, upaya-upaya meniadakan keberagaman atau penyeragaman melalui RUU tersebut berarti tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat dan kebudayaan Indonesia, serta tidak melindungi kaum perempuan. Jelas akan mengundang perpecahan bangsa, karena perbedaan konsep mengenai pornografi dan pornoaksi antara penganut agama satu dengan yang lainnya. RUU APP ini juga jelas akan menempatkan wanita sebagai terdakwa karena dianggap biang pelaku pornoaksi, sesopan apapun cara dia berpakaian. Sedang pria dianggap tidak bersalah karena dia hanya "terangsang" oleh "pornoaksi yang dilakukan wanita", sekalipun wanita tidak bermaksud merangsang lawan jenisnya. Tengoklah kasus-kasus pemerkosaan TKW kita oleh pria-pria di Arab, bukankah mereka sudah menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian jilbab, tapi tetap saja dianggap "merangsang"”.[6] Logikanya bisa dipertanyakan, apakah pornografi akan mempersatukan bangsa ini? Ancaman ini justru harus dikritisi. Atau ini provokasi negara asing yang punya kepentingan agar bangsa ini pecah, dan berkolaborasi dengan antek-anteknya, kelompok yang memang tidak inginkan kesatuan NKRI. RUU ini dinyatakan dapat merusak kebhinekaan karena menerapkan standar moral dari kelompok tertentu yang menilai sebuah peristiwa atau seseorang melakukan tindakan porno. Dalam RUU itu yang disebut pornografi sangat luas dan mempengaruhi berbagai bidang. Disebutkan pornografi adalah  materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Menyikapi RUU Pornografi yang akan segera disahkan maka Komponen Rakyat Bali (KRB) dengan ini menyatakan dengan tegas menolak RUU Pornografi. Pertimbangannya adalah dalam proses pembahasan RUU Pornografi, DPR tidak transparan dan tidak partisipatif, sehingga secara hukum pembahasan RUU tersebut cacat hukum karena telah melanggar prinsip-prinsip asas-asas umum tata pemerintahan yang baik (Good Governance) RUU Pornografi tidak perlu, karena selama ini Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang sudah mengatur tentang kesusilaan dan pornografi, yaitu KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Penyiaran, UU Pers, dan lain-lain. Hak atas tubuh adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun, oleh karenanya siapapun juga tak terkecuali negara harus melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi manusia. RUU Pornografi sangat berbahaya, karena tidak mencerminkan kebhinekaan bangsa, mengintervensi persoalan private warga negara tentang tubuh dan moralitas, khususnya tubuh perempuan. Memasung kebebasan berekspresi sebagai hak dasar manusia, rentan terhadap disintegrasi bangsa, dan multi-tafsir sehingga dapat dijadikan alat untuk mengkriminalisasikan setiap orang oleh orang atau kelompok tertentu. DPR memunculkan RUU pornografi yang menyebabkan perpecahan dan disintegrasi di negeri ini. RUU ini juga melanggar HAM karena mengintervensi moral yang merupakan ruang privat warga negara. Selain itu, RUU yang memaksakan standar moral ini akan memecah belah Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama dan budaya. Seperti yang diketahui bahwa Indonesia adalah Negara yang terdiri dari beraneka ragam suku, agama dan kebudayaan. Negara ini didirikan dengan mengakomodasi seluruh perbedaan itu dan merangkainya dalam Bhineka Tunggal Ika (berbeda tetapi tetap satu). Dengan memaksakan standar moral kepada warga Negara, maka hal ini akan memicu reaksi dari berbagai unsur suku, agama dan kebudayaan dalam bangsa ini. Hal ini bisa mengakibatkan terjadinya disintegrasi dan mengancam persatuan dan kesatuan Indonesia yang selama ini dibangun atas dasar penghormatan dan mengakomodasi segala perbedaan yang ada di bangsa ini.
Pemicu–pemicu perpecahan antar bangsa bisa saja terjadi seperti misalnya adanya kecemburuan sosial diantara masyarakat. Jika saja masyarakat Bali menggugat bahwa tindakan mereka tidak termasuk kedalam pornografi dan pemerintah bisa saja mempertimbangkan itu, maka masyarakat dari suku lain memberontak dan menuntut keadilan, dimana letak keadilan bangsa ini? Disinilah pemicu perpecahan bangsa dapat terjadi.

Kesimpulan
Rancangan Undang Undang Pornografi yang belum relevan ini menimbulkan banyak konflik, terlebih pada masyarakat multikultural yang masih belum mengerti sesungguhnya tentang definisi pornografi dan pornoaksi. Permasalahan ini malah menimbulkan banyak konflik didaerah daerah, seperti misalnya di Bali, Papua dan daerah lainnya yang menolak akan RUU pornografi ini karena mereka menganggap pemerintah belum tegas dalam menyikapi masalah ini.
Konflik sosial yang terjadi dalam pertentangan RUU Pornografi merupakan konflik yang berakar pada perbedaan budaya yang bersumber dari perbedaan keyakinan dan adat-istiadat. Pihak minoritas menganggap telah terjadi hegemoni budaya besar terhadap budaya yang kecil sehingga budaya besar berupaya untuk menerapkan budayanya kepada kaum-kaum minoritas, sehingga terjadilah pertentangan-pertentangan yang bisa berujung kepada konflik. Berdasarkan asumsi tersebut konflik benturan budaya yang terjadi merupakan konflik primer, sebab terjadinya pertentangan dua budaya yang saling berlawanan.


Referensi:
"Pengertian dan Definisi Masyarakat Menurut Para Ahli." Cara Apa Aja Ada - CARApedia. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013 dalam http://carapedia.com/pengertian_definisi_masyarakat_menurut_para_ahli_info488.html
"Undang-Undang pornografi." Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi 
"Undang-Undang pornografi ." Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi#Kontroversi
"Multikulturalisme - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas." Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013 dalam  http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme
Kusmayadi, Edi. "Perilaku politik/pemilih." Edi Kusmayadi. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013 dalam http://edikusmayadi.blogspot.com/2011/04/perilaku-politikpemilih.html 
"Pengertian Masyarakat." Media Pembelajaran. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013 dalam  http://wawan-junaidi.blogspot.com/2012/03/pengertian-masyarakat.html 
"Aliansi Bhinneka Tunggal Ika desak DPD kawal RUU APP." Suara Merdeka Cyber news. Diakses pada tanggal 8 Januari 2013 dalam http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0605/10/nas16.htm 
"Indonesia diujung perpecahan." kompas forum. Diakses pada tanggal 8 Januari 2013 Http://forum.kompas.com/nasional/20764-indonesia-di-ujung-perpecahan.html 
Keagop, Paskalis , and Adolvina Rubewas. "ruu versus budaya." Suara Perempuan Papua. Diakses pada tanggal 9 Januari 2013 dalam http://suaraperempuanpapua.wordpress.com/2008/11/18/ruup-versus-budaya/ 
Kusmayadi, Edi . "Seri Kajian : Politik Lokal dan Kebijakan Publik - Laboratorium Ilmu Politik Universitas Siliwangi Tasikmalaya." Lab Unsil. Diakses 7 Januari 2013 dalam http://labpolunsil.blogspot.com/2011/02/seri-kajian-politik-lokal-dan-kebijakan.html 
"Manusia-Indonesia ." ihti room. Diakses pada tanggal 9 Januari 2013 pada http://ihtiroom.staff.uns.ac.id/files/2011/08/manusia-indonesia.pdf 
Raharjo, satipto. ilmu hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996. 
Saleh, andi ayyub. "Tamasya Perenungan Hukum ." In Law in Book and Law in Action menuju penemuan Hukum. Jakarta: Yarsif Watampone, 2006. 72. 
Suriyani, Luh De. "Aksi Budaya Tolak RUU Pornografi." bale bengong.net. Diakses pada tanggal 8 Januari 2013 dalam http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2008/09/17/aksi-budaya-tolak-ruu-pornografi.html 
"Telaah Penolakan RUU Pornografi dan Porno Aksi. “FAKULTAS AGAMA ISLAM.". Diakses pada tanggal 10 Januari 2013 dalam http://fakagamauisu.wordpress.com/artikel/telaah-penolakan-ruu-pornografi-dan-porno-aksi/
"UU PORNOGRAFI: SEBUAH PRODUK HUKUM YANG (AKAN) GAGAL DAN TERJEBAKNYA ORMAS ISLAM." Sumbawa News. Diakses pada tanggal 10 Januari 2013 dalam http://www.sumbawanews.com/node/1604



[1] Edi Kusmayadi, “perilaku politik/pemilih”, Edy Kusmayadi Blog, diakses pada 7 Januari 2013, pada  http://edikusmayadi.blogspot.com/2011/04/perilaku-politikpemilih.html
[2]Edi Kusmayadi, “kajian politik lokal” , Lab Politik Unsil, diakses pada 7 Januari 2013, pada http://labpolunsil.blogspot.com/2011/02/seri-kajian-politik-lokal-dan-kebijakan.html
[3] Paskalis Keagop dan Adolvina Rubewas, “RUU Versus Budaya” , diakses pada tanggal  9 Januari 2013 pada, http://suaraperempuanpapua.wordpress.com/2008/11/18/ruup-versus-budaya/
[4] Andi Abu Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam Law in Book and Law in Action menuju penemuan Hukum, Jakarta: Yarsif Watampone,, 2006, Hal. 72
[5] Satipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, Hal. 53
[6] Irwan, “RUU awal perpecahan bangsa”, diakses pada 9 Januari 2013, pada http://id.answers.yahoo
.com/question/index?qid=20080921040944AAQrzRD

No comments:

Post a Comment