Studi ini menganalisis
tentang keterwakilan perempuan di parlemen, peran perempuan di dunia politik,
dan juga hambatan apa saja yang akan dihadapi untuk menuju dunia perpolitikan
Indonesia. Dengan dikeluarkannya UU No.12 Tahun 2003, dan UU No.10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum yang berisi tentang kewajiban setiap partai politik
untuk mencalonkan 30% keterwakilan di Parlemen. Penetapan target keterwakilan
sebesar 30% bagi perempuan dalam pencalonan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada Pemilihan Umun tahun 2004 dan
2009 merupakan suatu keharusan yang harus dipenuhi oleh setiap partai politik
peserta Pemilihan Umum. Di era golbalisasi seperti sekarang ini seharusnya
sudah tidak ada lagi ketimpangan dan ketidakadilan gender antara laki-laki dan
perempuan, yang ada adalah kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Kebijakan ini berusaha dipenuhi, walaupun perhatian dan orientasi politik
perempuan terutama di daerah masih bisa dianggap kurang. Memang yang dalam
pelaksanaanya menuai berbagai kendala seperti kendala kultural, kendala sosial,
kendala ekonomi, dan juga kendala politik. Hambatan ini bisa dilalui bila ada
usaha dan kemauan untuk mengatasinnya. Ada upaya strategis untuk mengankat
keberadaan perempuan di dunia politik, salah satunya dengan cara menempatkan
perempuan pada posisi strategis yaitu kawasan trias politika (Eksekutif,
Legislatif, dan Yudikatif). Dengan demikian perempuan akan terlibat aktif dalam
pengambilan keputusan, termasuk memberikan pertimbangan-pertimbangan yang mengedepankan
kepentingan perempuan. Inilah waktunya bagi perempuan untuk masuk dan
memperbaiki tatanan masyarakat yang rusak melalui kekuatan nurani perempuan
yang akan menjadi kekuatan penyeimbang dari tatanan birokrasi yang kacau maupun
tata kelola pemerintahan yang jauh dari nilai demokrasi.
Kata
kunci: Gender,
Parlemen, Kuota 30% Perempuan dalam Pemilihan Umum
Pendahuluan
Indonesia adalah negara berkembang yang menganut sistem
demokrasi. Jargon demokrasi sangat sering menyuarakan hak-hak setiap individu
sebagai warga negara, salah satunya adalah hak untuk berpolitik. Namun yang
terjadi saat ini politik menjadi suatu hal yang sulit didapatkan oleh sebagian
masyarakat Indonesia yang notabennya adalah perempuan. Ada fenomena klasik yang
terjadi di masyarakat, dimana perempuan selalu di marjinalkan dari dunia
pilitik karena dianggap tidak mampu.
Perempuan di Indonesia mempunyai hak untuk memilih dan
dipilih sebagai anggota parlemen sejak pertama kali diadakanya pemilu pada tahun
1955. Situasi politik ini memberikan kesempatan yang besar bagi perempuan
Indonesia untuk berpartisipasi dalam dunia politik. Namun, persentase perempuan
di parlemen tidak pernah lebih dari 20% (1976-1992) hingga saat ini.
Pada tahun 2003 dikeluarkan UU No. 12 Tahun 2003. UU ini
mengatur penjaminan 30% kuota perempuan dalam daftar calon yang diajukan partai
dalam pemilu 2004. Pada pasal 65 ayat 1 diterangkan bahwa setiap partai politik
dalam mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provonsi, dan DPR Kabupaten/Kota harus
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.[1]
Kata yang harus dicermati dalam UU tersebut adalah kata “memperhatikan” tidak
menjadi aturan tegas bagi partai untuk mengikutsertakan perempuan dalam daftar
calon anggota Parlemen.
Pada tahun 2008 keluarlah UU No. 10 Tahun 2008 sebagai
pembaruan dari UU No. 12 tahun 2004 yang dianggap masih kurang memperhatikan
kaum perempuan. Pada pasal 8 huruf (D) pada UU tersebut partai politik
diwajibkan menyertakan minimal 30% perempuan dalam kepengurusan tingkat pusat.
Lebih dari itu, pasal 53 mensyaratkan bawasannya daftar bakal calon memuat
paling sedikit 30% keterwakilan perempuan didalamnya. Dan masih diperkuat
dengan pasal 55 ayat 2 yang mensyaratkan bahwa didalam daftar calon untuk
setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 bakal calon anggota Parlemen
berjenis kelamin perempuan.[2]
Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk
meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Dari beberapa tindakan yang
dilakukan pada hasil pemilu 2004, keterwakilan perempuan sebagai anggota DPR
hanya sebesar 11,5%. Sedangkan hasil pemilu 2009 terdapat sedikit peningkatan,
hasil pemilu 2009 menempatkan 18% jumlah anggota perempuan dari seluruh anggota
DPR.[3]
Jumlah itu masih jauh dari kuota anggota legislatif perempuan yang minimal
mencapai 30%.
Sebenarnya tujuan perjuangan untuk meningkatkan
persentase perempuan di Parlemen mengurangi masalah perempuan di Indonesia.
Harapan kesempatan perempuan untuk memberikan kontribusi di sektor politik
semakin besar. Meskipun persentase perempuan di Parlemen umumnya meningkat
dalam 11 periode pemilu, masalah perempuan di Indonesia belum sepenuhnya
menurun. Tingkat kemiskinan, kekerasan seksual, dan pemerkosaan masih sangat
tinggi. Selain itu, fasilitas kesehatan masih sangat rendah.
Tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui sejauh
mana peran kaum perempuan di dalam dunia politik Indonesia dan untuk mengetahui
bagaimana ketidakadilan terhadap perempuan di Parlemen bisa terjadi, setra apa
yang melatarbelakanginya. Dalam penulisan artikel ini metode yang digunakan
adalah deskriptif-analisis, yakni
bermaksud untuk memahami fenomena berdasarkan fakta dan realitas yang ada,
serta bertujuan untuk memberikan gambaran dan melakukan analisa mengenai
keterwakilan perempuan di Parlemen.
Perempuan
dalam Gender
1.
Gender
Membicarakan persoalan memang tidak akan pernah ada
habisnya. Teramat banyak kajian-kajian atau penelitian tentang gender. Dalam
kyalayak banyak perbincangan tentang gender sudah semakin merebak, namun dalam
realitanya masih sering terjadi kesalahpahaman tentang konsep gender.
Kesalahpahaman
akan gender tidak hanya terjadi di kalangan awam saja, tetapi terjadi juga di
kalangan yang terpelajar. Istilah gender sering dikaitkan dengan jenis kelamin,
bahkan yang lebih parah lagi istilah gender sering dikaitkan dengan jenis
kelamin perempuan. Pemahaman semacam ini tentunya sangat salah. Begitu
mendengar kata gender, yang terbayang dalam kepala adalah manusia yang berjenis
kelamin perempuan. Padahal istilah gender bukan hanya menyangkut jenis kelamin
perempuan saja, melainkan juga jenis kelamin laki-laki.
Penting
sekali memahami perbedaan antara jenis kelamin dan gender. Yang dimaksud jenis
kelamin adalah perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, misalnya laki-laki
memiliki penis, jakun, dan sperma, sedangkan perempuan memiliki vagina,
payudara, ovum, dan rahim. Laki-aki dan perempuan secara biologis tentu sangat
berbeda, masing-masing tentunya memiliki kelebihan dan keterbatasan biologis.
Misalnya, perempuan bisa mengandung, melahirkan, dan menyusui, sementara
laki-laki memproduksi sperma. Perbedaan secara biologis tersebut bersifat
kodrati atau pemberian Tuhan.
Adapun
yang dimaksud dengan gender adalah seperangkap sikap, peran, tanggung jawab,
fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan di
dalam budaya dan lingkungan tempat manusia itu dibesarkan. Laki-laki sering
digambarkan sebagai manusia yang kuat, perkasa, berani, rasional. Sebaliknya,
perempuan digambarkan sebagai sosok yang halus, penakut, lemah, emosional, dan
lemah-gemulai. Artinya, perbedaan sifat, sikap dan perilaku dianggap memiliki
kekhasan masing-masing. Jadi kesimpulannya, gender adalah sifat yang dilekatkan
kepada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara social dan kultural.
Artinya, tidak bersifat universal, berbeda antartempat, antar waktu, dan
antarkelas.
2.
Ketidakadilan
Gender Terhadap Perempuan
Didalam
kehidupan bermasyarakat tentunya dikenal dengan pembagian kerja antara
laki-laki dan perempuan, sehingga dikenal perbedaan peran gender antara
laki-laki dan perempuan. Pembagian kerja ini ada yang diterapkan secara ketat,
dan adapula yang menerapkan secara longga, tergantung dilingkungan mana kita
hidup. Misalnya, perempuan memiliki organ reproduksi untuk hamil, melahirkan,
dan juga menyusui. Berkembanglah bahwa peran gender utama perempuan adalah
merawat dan mendidik anak. Konsesnsus dari peranan tersebut bahwa pekerjaan
rumah tangga merupakan tugas dan kewajiban pokok perempuan. Pandangan yang
seperti ini yang menimbulkan berbagai masalah dan ketidakadilan terhadap
perempuan.
Ketidakadilan
gender yang terjadi di masyarakat tidak menjadi suatu permasalahan sepanjang
perbedaan tersebut tidak menimbulkan diskriminasi atau ketidakadilan. Akan
tetapi, kenyataan yang terjadi di masyarakat menunjukan bahwa perbedaan gender
telah melahirkan berbagai bentuk ketidakaadilan, baik bagi piha laki-laki dan
terutama terhadap pihak perempuan. Ketidak adilan gender ini terwujud dalam
bentuk pemberian beban yang lebih panjang dan lebih berat terhadap perempuan,
terutama untuk perempuan yang bekerta di sektor publik. Perempuan selain
dituntut untuk menyelesaikan tugas rumah tangga, juga dituntut menunjukan
kinerja yang baik di tempat bekerja. Beban lebih berat ini biasanya dialami
para pekerja pembantu rumah tangga dan pada umumnya adalah perempuan.
Bentuk
lain dari ketidakadilan gender adalah perlakuan kekerasan. Kekerasan terhadap
kaum perempuan meliputi kekerasan domestik (di rumah tangga)dan kekerasan
publik (di luar rumah tangga). Kekerasan domestik bisa berwujud penganiayaan, baik fisik maupun psikis,
pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga, pelecehan, ataupun suami
berselingkuh. Tentunya sudah dapat di pastikan bahwa data yang ada dengan
realitas yang terjadi di masyarakat sangat berbeda. Sebab, tidak semua
perempuan mau melaporkan kekerasan yang di alami.
Bentuk
lain lagi dari ketidakadilan gender terhadap perempuan adalah marjinalisasi dan
pemiskinan perempuan di bidang ekonomi. Proses pemiskinan ini disebabkan
kemampuan kerja perempuan dianggap lebih rendah dari pekerjaan laki-laki.
Ketidakadilan gender juga dapat mengambil bentuk subodinasi, yakni anggapan
bahwa perempuan tidak penting, melainkan hanya pelengkap bagi kehidupan
laki-laki saja.
Subordinasi
terhadap perempuan juga terjadi di sektor publik dan politik. Di dunia politik
perempuan dianggap tidak rasional, idak dapat mengambil keputusan, dan lebih
banyak menggunakan emosinya saja, sehingga perempuan tidak bisa tampil sebagai
pemimpin di dunia politik.
Perempuan
dalam Dunia Politik
Ketika
kita berbicara tentang perempuan tentu tidak lepas dari sejarah masa lalu.
Ketika para perempuan pada zaman itu sulit untuk mendapatkan hak-hak mereka.
Pada zaman itu perempuan tidak boleh sekolah dan hanya berperan di rumah. Namun
hingga akhirnya muncul sosok Kartini yang mulai menggalakkan emansipasi wanita,
hingga pada akhirnya wanita mendapatkan hak-haknya dalam pendidikan atau peran
di sektor publik seperti politik.
Dunia
politik kini tengah menjadi agenda utama dalam wacana masyarakat, telah
memberikan warna tersendiri terhadap tatanan pemerintahan. Hal ini menjadi daya
tarik bagi sekelompok orang termasuk kaum perempuan yang ingin berkiprah di
dunia politik. Perempuan sekarang telah dapat membuktikan kemampuannya dalam
seluruh kegiatan politik dan pemerintahan. Ketertarikan dan keterlibatan
perempuan dalam bidang politik saat ini sepertinya telah menjadi suatu
keharusan, sebab partisipasi perempuan dalam berbagai tindakan maupun
pengambilan keputusan merupakan salah satu hak asasi manusia. Hal ini tidak
dapat dipungkiri, keterwakilan perempuan dalamproses pesta demokrasi di
Indonesia telah mendapat kedudukan yang cukup tinggi, meskipun posisi perempuan
di dunia politik masih minoritas.
Keterlibatan
perempuan di dunia politik di Indonesia boleh dikatakan memang terlambat.
Dilihat dari kaca mata gender, hal ini tidak terlepas dari stereo type[4]
perempuan dan politik. Anggapan bahwa perempuan lebih cocok pada sektor
domestik sering dianggap sebagai salah satu sebab terlambat dan sedikitnya
perempuan yang berkecimpung di dunia politik. Sedangkan dunia politik identik
dengan dunia yang keras, penuh persaingan, membutuhkan pemikiran yang
rasionalisme dan bukan emos.
Pada
era reformasi seperti sekarang ini, peran, fungsi dan kedudukan perempuan,
mendapatkan peluang yang besar untuk dapat berkarya dalam segal aspek
kehibupan, seperti yang tertuang dalam Pasal 27 Ayat 1 dan Ayat 2 UUD 1945.[5]
Walaupun hambatan-hambatan struktural maupun non-struktural, masih sering
dijumpai, tetapi pada hakekatnya kesempatan untuk dapat mengaktualisasikan diri
secara maksimal semakin terbuka lebar. Berbagai bentuk Perundang-undangan mulai
diakomodir sebagai sebuah bentuk perlindungan kepada kaum perempuan.
Setelah
keluarnya UU No. 12 Tahun 2004 dan UU No. 10 Tahun 2008, yang mempertegas
kedudukan perempuan di dalam dunia politik semakin diperhitungkan keberadaanya.
Sebagai mana yang diketahui, sejak pemilu pertama tahun 1955 hingga pemilu 2009
grafik keberadaan perempuan di Parlemen selalu meningkat. Tinggal bagai mana
kaum perempuan menyikapi dan memanfaatkan peluang ini untuk berkiprah di dunia
politik.
Kiprah
Perempuan di Parlemen Indonesia
Indonesia
telah merdeka selama 67 tahun, akan tetapi dalam sejarah perpolitikan di
Indonesia dan negara berkembang pada umumnya, perempuan memang dipandang
terlambat dalam keterlibatannya dalam dunia politik. Anggapan bahwa perempuan
selalu dalam posisi domestik dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan
terlambat memulai dalam berkiprah di dunia politik. Kenyataan menunjukan bahwa
jumlah perempuan yang duduk di parlemen dan pembuatan keputusan politik di
Indonesia sangat sedikit. Padahal jumlah penduduk Indonesia menurut BPS[6]
sekitar 57% dari jumlah penduduk Indonesia. Pada setiap
pemilu perempuan yang terpilih berkisar8% sampai 20%. Pendaftaran dari
pencalonan masing-masing partai politik wajib mencalonkan 30% calon perempuan,
tetapi dalam kenyataanya yang terpilih tidak lebih dari 20% saja. Pada tabel
berikut kita akan melihat proporsi jumlah perempuan di Parlemen selama ini:
Tabel
1
Jumlah
Perempuan di DPR
Jenis
Kelamin
|
Perempuan
|
Laki-laki
|
||
Periode
|
jumlah
|
%
|
Jumlah
|
%
|
1955-1960
|
17
|
6,3
|
272
|
93,7
|
Konstituante
1956-1959
|
25
|
5,1
|
488
|
94,9
|
1971-1977
|
36
|
7,8
|
460
|
92,2
|
1977-1982
|
29
|
6,3
|
460
|
93,7
|
1982-1987
|
39
|
8,5
|
460
|
91,5
|
1987-1992
|
65
|
13,0
|
500
|
87,0
|
1992-1997
|
65
|
12,5
|
500
|
87,5
|
1997-1999
|
54
|
10,8
|
500
|
89,2
|
1999-2004
|
45
|
9,0
|
500
|
91,0
|
2004-2009
|
61
|
11,9
|
489
|
88,1
|
2004-2014
|
101
|
18,04
|
459
|
81,96
|
Sumber: Sekertariat
Jendral DPR, KPU
Tabel 2
Jumlah
Perempuan di Legislatif
Hasil
Pemilu 2004
DPR
|
DPD
|
DPRD
Tingkat 1
|
11,9%
|
21%
|
9%
|
550
|
128
|
1.849
|
Sumber: Sekertariat
Jendral DPR, KPU
Dari data yang tertuang diatas, keterlibatan perempuan
dalam Parlemen belum dirasakan berimbang. Keputusan-keputusan yang di buat
Pemerintah kurang berspektif gender, sehingga keputusan yang sihasilkan
seringkali bias gender. Yakni tidak memperhatikan kepentingan kaum perempuan,
tidak membuat perempuan semakin berkembang. Walaupun secara kuantitas perempuan
yang ada di Parlemen belum tentu menjamin peningkatan taraf hidup perempuan.
Kenyataan
di lapangan banyak kebijakan membuat perempuan tenggela pada sektor-sektor yang
sangat strategis, hal ini mengakibatkan posisis perempuan senantiasa berada
pada posisi marjinal. Perlu upaya strategis untuk mengangkat keberadaan
perempuan di dunia politik. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
menempatkan perempuan pada posisi strategis yaitu kawasan trias politika.[7]
Dengan demikian perempuan akan terlibat aktif dalam pengambilan keputusan,
termasuk memberikan pertimbangan-pertimbangan yang mengedepankan kepentingan
perempuan.
Hambatan
Perempuan Di dunia politik
Paradigm lama bawha kaum perempuan adalah kaum yang
lemah, dan terbatas hanya sebagai pelengkap kaum laki-laki, masih dominan
menghinggapi pemikiran kebanyakan masyarakat. Di era globalisasi saat ini
seharusnya perempuan tidak lagi diposisikan sebagai manusia kelas dua, tetapi
diposisikan sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat yang sama.
Dunia politik sekarang ini lebih berat dan memerlukan
persaingan yang berat ini, harus dihadapi perempuan bila mau terjun ke dunia
politik. Tidak hanya kemampuan akademik yang mempuni, pengalaman, sikap
rasional, dan tegas sangatlah diperlukan untuk terjun ke dunia politik.
Tidaklah mudah untuk berkiprah di dunia politik, berikut adalah beberapa
hambatan yang harus dihadapi kaum perempuan.
1.
Hambatan
Kultural
Hambatan
kultural merupakan hambatan yang cukup fundamental karena kultur dan budaya
akan membentuk persepsi, dan persepsi pada akhirnya akan bermuara pada pola perilaku
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban bersama
untuk meluruskan cara pandang budaya yang kurang tepat dalam memahami dan
memandang kaum perempuan, sehingga kaum perempuan dapat memainkan peran dan
fungsi lebih maksimal lagi.
2.
Hambatan
Sosial
Struktur
social masyarakat yang cenderung menempatkan perempuan sebagai warga negara
nomor dua di bawah kaum laki-laki. Pandangan ini telah member dampak tersendiri
bagi keberadaan perempuan di tengah-tengah masyarakat. Perempuan masih sering
diposisikan sebagai pihak yang harus bersikap menerima tanpa perlawanan,
sehingga pada akhirnya kaum perempuan lebih dilihat sebagai objek daripada
sebagai subjek yang menjadi mitra kaum laki-laki.
3.
Hambatan
Ekonomi
Dalam
masalah karir, perempuan juga masih mengalami diskriminasi berbagai hal
sehingga kaum perempuan tidak jarang diberlakukan kurang adil dan tidak
proposional. Dalam kasus PHK misalnya, kaum perempuan akan menjadi pihak yang
mempunyai resiko lebih besar disbanding kaum laki-laki. Begitu pula dalam
penetapan standar gaji, tidak jarang kaum perempuan tidak mendapat haknya
secara proposional.
4.
Hambatan
Politik
Hambatan
politik merupakan salah satu hambatan yang cukup besar yang dihadapi kaum
perempuan di Indonesia. Hal ini tidak tercermin dalam produk Perundang-undanganmaupun
Peraturan Pemerintah yang cenderung bersifat maskulin,[8]
dimana segala sesuatu pokok masalah lebih dilihat dari kacamata kepentingan
kaum laki-laki, tetapi menyangkut pula masih terbatasnya ruang yang tersedia
bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam posisi jabatan publik. Walaupun
akhir-akhir ini sudah mulai terlihat adanya keberpihakan dan pengakuan akan
perlunya peranan kaum perempuan dalam politik. Namun kebijakan-kebijakan
tersebut masih diberlakukan setengah-setengah dan belum maksimal. Tidaklah
mengherankan apabila jumlah perempuan yang berkiprah dalam dunia politik yang
selali di identikan dengan dunia laki-laki ini, masih sangat terbatas. Begitu
pula jumlah perempuan yang dapat mencapai posisi puncak dalam jenjang birokrasi
di pemerintahan, masih jauh dari harapan apabila melihat komposisi jenis
kelamin warga negara Indonesia tidak kurang dari 57% adalah kaum perempuan.
Kesimpulan
Sejak negara ini
terbentuk, hingga saat ini kaum perempuan telah malang-melintang di dunia
perpolitikan untuk memperjuangkan nasib rakyat. Walaupun keterwakilannya
tidaklah banyak. Peran perempuan telah tampak bahkan sebelum Indonesia
menyatakan diri sebagai negara, bahkan sampai saat ini masih ada perempuan yang
masih memperjuangkan nasib rakyat, meskipun posisinya adalah minoritas di
Parlemen.
Di era
globalisasi ini adalah momentum yang sangat baik bagi kaum perempuan untuk
berekspresi di sektor publik. Saat ini kaum laki-laki dan kaum perempuan
berperan secara sejajar, baik dalam konteks hak asasi manusia, demokratisasi,
maupun kesamaan gender.
Memang
harus diakui bahwa kaum perempuan yang akan berkiprah di dalam dunia tidaklah
mudah, tentunya menemui berbagai rintangan dan hambatan. Hambatan kultural,
hambatan social, hambatan ekonomi, dan hambatan politik merupakan sedikit dari
banyak hambatan yang akan dilalui oleh kaum wanita di dalam kehidupan, termasuk
kehidupan politik.
Saat
ini telah banyak Perundang-undangan maupun Peraturan Pemerintah lainnya yang
mendorong kaum perempuan agar dapat berkiprah secara luas di berbagai sektor
kehidupan, termasuk dalam konteks kehidupan berpolitik. UU No.12 Tahun 2003 dan
UU No.10 Tahun 2008 yang menjamin kedudukan perempuan di dunia politik.
Tentunya ini merupakan angin segar bagi kaum perempuan yang sedang ataupun
berniat berkiprah di dunia politik.
Politik
yang dikatakan kebanyakan orang kejam dan kotor, tidak boleh menghambat kaum
perempuan untuk ragu masuk dan terlibat didalamnya. Bahkan inilah waktunya bagi
perempuan untuk masuk dan memperbaiki tatanan masyarakat yang rusak melalui
kekuatan nurani perempuan yang akan menjadi kekuatan penyeimbang dari tatanan
birokrasi yang kacau maupun tata kelola pemerintahan yang jauh dari nilai
demokrasi.
Peran dan kedudukan
perempuan dalam Parlemen selama ini secara kuantitatif bertambah, namun secara
kualitatif tidak banyak yang memberikan kontribusi nyata terhadap kondisi
ketertindasan dan marjilaisasi peempuan yang diwakilinya. Diperlukan sebuah
kesadaran dalam diri perempuan sebagai individu uuntuk berusaha membebaskan
diri untuk melakukan komunikasi dalam rangka konsensus adanya perubahan.
Daftar Pustaka
The
Chicago Manual of Style sixteenth Edition. Chicago: The University
of Chicago Press, 2010.
Prayitno,
Ujianto Singgih. Wanita Dalam Pembangunan.
Jakarta: Sekertariat Jendral dan
Pelayanan Informasi DPR RI, 1996.
Handayani
Trisakti, Sugiarti. Konsep dan Teknik
Penelitian Gender. Malang: Pusat Studi
Wanita dan Kemasyarakatan Universitas Muhhamadiyah Malang, 2001.
Sastriyani,
Siti Hariti. Women In Public Sector
(Perempuan di Sektor Publik). Yogyakarta:
Penerbit Tiara Wacana, 2008.
Fayumi,
Badriyah, and Thahir, Mursyah. Keadilan
dan Kesetaraan Gender (Persfektif Islam). Jakarta: Tim Pemberdayaan
Perempuan Bidang Agama Departemen
Agama RI, 2001.
Sasono,
Agung. Meningkatkan Keterwakilan Perempuan. Jakarta: Kemitraan Pembaruan Bagi Tata Pemerintahan, 2010.
Rosidawati,
Imas. "KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT." 2007: 2-6.
“Jumlah Anggota DPR Perempuan Masih Minim” Pikiran Rakyat Online. November 10, 2011. http://www.pikiran-rakyat.com/node/165103 (Diakses 13 Desember 2012)
Satya, Dwi, “Peran Wanita di
Sektor Politik” KOMPASIANA. April 21,
2012 http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2012/04/21/emansipasi-wanita-457025.html (Diakses 3 Januari 2013)
“Kebijakan Peningkatan Keterwakilan Perempuan
Pemilu 2004 dan 2009” PUSKAPOL, Oktober 9,2011, www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_conten&view=articel&id=97%3Akebijakan (Diakses 13 Desember 2012)
“Bentuk Bentuk
Ketidakadilan Gender” APLIKASI DATA &
INFORMASI PP DAN KPA Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. Agust 26, 2010.
http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_content&view=category
&layout=blog&id=52&Itemid=117 (Diakses 13 Desember
2012)
Undang-undang Nomor 12
Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum
Undang-undang Nomor 10
Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
UUD 1945 Pasal 27 Ayat
(1) dan Ayat (2)
[1] Undang-Udang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan
Umun
[2] Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan
Umum
[3] “PUSKAPOL” Kebijakan
Peningkatan Keterwakilan Perempuan Pemilu 2004 dan 2009, Oktober 9,2011, www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_conten&view=articel&id=97%3Akebijakan (Diakses 13 desember 2012)
[4]
Stereo Type adalah penilaian terhadap
seseorang berdasarkan persepsi kelompok atau lingkungan dimana orang tersebut
tinggal.
[5]
UUD 1945 Pasal 27 Ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannyadi dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak
ada kecualinya. UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2): Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan.
[6]
Badan Pusat Statistik adalah lembaga
sensus kependudukan Indonesia
[7]
Trias Politika adalah pembagian
kekuasaan menjadi tiga bagian, Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif
[8] Maskulin adalah pandangan sifat yang
kelaki-lakian.
Tidaklah
cukup kalau hanya dengan dua model yang disarankan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melindungi hak-hak dari
pekerja/buruh. Pemerintah sebagai lembaga resmi yang mengatur sistem ketenagakerjaan
haruslah membuat suatu kebijakan yang dapat melindungi hak-hak pekerja/buruh,
baik pekerja/buruh tetap dan pekerja/buruh outsourcing.
Pemerintah haruslah lebih ketat dalam pengawasan perusahaan yang
mempekerjakan pekerja/buruh outsourcing dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh outsourcing.
Daftar Pustaka
Tjandraningsih, Indrasari, dan Rina Herawati, dan Suhadmadi. Diskriminatif dan Eksploitatif Praktek Kerja
Kontrak dan Outsourcing di Sektor Industri Metal di Indonesia. Bandung:
AKATIGA-FSPMI-FS, 2010.
Simanjuntak, Payaman J. Manajemen
Hubungan Industrial. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2011.
Djumialdji, F.X. Perjanjian Kerja. Jakarta:
Sinar Grafika, 2008.
The Chicago Manual of Style Sexteenth Edition.
Chicago: The Universitas of
Chicago Press, 2010.
Mohamad Faiz, Pan. ”OUTSOURCING
(ALIH DAYA) DAN PENGELOLAAN TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN: (Tinjauan Yuridis
terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).” Jurnalhukum.blogspot.com. May 20, 2007.
http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing-dan-tenaga-kerja.html.
Wijayanti, Asri. “Hukum Ketenagakejaan Pasca Reformasi.” Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
Sutedi, Adrian. “Hukum Perburuhan.” Jakarta: Sinara Grafika, 2009.
Maulana,
Prawira. “Inilah Putusan MK Soal Penghapusan ‘Outsourcing’!.” Kompas.com. 21
Januari 2012. http://nasional.kompas.com/read/2012/01/21/22270675/Inilah.Putusan.MK.Soal.Penghapusan.Outsourcing.
“Outsourcing,
Ada Sejak Zaman Romawi.” Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan
Provinsi Jawa Timur. Diakses 25 Desember 2012, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/majalah-sdm-plus/64-edisi-133-januari-2012/623-outsourcing-ada-sejak-zaman-romawi.
Indrasari
Tjandraningsih, “Serikat Buruh atau Serikat Pekerja di Indonesia.” Serikat Pekerja Perkebunan. Diakses 25
Desember 2012, http://www.pn8.co.id/spbunpn8/index.php?option=com_content&view=article&id=50%3Aserikat-buruh-serikat-pekerja-di-indonesia&Itemid=50.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
KEP.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa
Pekerja/Buruh
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011
[1] International
Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional yang bertanggungjawab
dalam mengatur jalannya sistem finansial global dan menyediakan pinjaman bagi
negara-negara anggotanya. World Bank adalah
lembaga keuangan internasional yang menyediakan pinjaman bagi negara-negara
berkembang di seluruh dunia. Tujuan utama World
Bank adalah menuntaskan kemiskinan di seluruh dunia. International Labor Organization adalah lembaga Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang mewadahi isu-isu dan masalah-masalah buruh di seluruh dunia.
[2] Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasal 1 ayat 3.
[3]
Indrasari Tjandraningsih, “Serikat Buruh atau Serikat Pekerja di Indonesia,” Serikat Pekerja Perkebunan, diakses 25
Desember 2012, http://www.pn8.co.id/spbunpn8/index.php?option=com_content&view=article&id=50%3Aserikat-buruh-serikat-pekerja-di-indonesia&Itemid=50.
[4] Washingrin
Consensus merupakan sebutan bagi sepuluh kebijakan ekonomi oleh John
Wiliamson pada tahun 1989.
[5]
“Outsourcing, Ada Sejak Zaman Romawi,” Dinas
Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependududkan Provinsi Jawa Timur, diakses
25 Desember 2012, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/majalah-sdm-plus/64-edisi-133-januari-2012/623-outsourcing-ada-sejak-zaman-romawi.
terimakasih, sangat bermanfaat :-)
ReplyDeleteAlhamdulillah, semoga membantu dan bermanfaat. Terima kasih telah berkunjung pada tulisan ini.
Delete