Friday, November 7, 2014

Gender dan Politik: Ketidakadilan Gender dalam Proporsi Keterwakilan Perempuan di Parlemen

Studi ini menganalisis tentang keterwakilan perempuan di parlemen, peran perempuan di dunia politik, dan juga hambatan apa saja yang akan dihadapi untuk menuju dunia perpolitikan Indonesia. Dengan dikeluarkannya UU No.12 Tahun 2003, dan UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum yang berisi tentang kewajiban setiap partai politik untuk mencalonkan 30% keterwakilan di Parlemen. Penetapan target keterwakilan sebesar 30% bagi perempuan dalam pencalonan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada Pemilihan Umun tahun 2004 dan 2009 merupakan suatu keharusan yang harus dipenuhi oleh setiap partai politik peserta Pemilihan Umum. Di era golbalisasi seperti sekarang ini seharusnya sudah tidak ada lagi ketimpangan dan ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan, yang ada adalah kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Kebijakan ini berusaha dipenuhi, walaupun perhatian dan orientasi politik perempuan terutama di daerah masih bisa dianggap kurang. Memang yang dalam pelaksanaanya menuai berbagai kendala seperti kendala kultural, kendala sosial, kendala ekonomi, dan juga kendala politik. Hambatan ini bisa dilalui bila ada usaha dan kemauan untuk mengatasinnya. Ada upaya strategis untuk mengankat keberadaan perempuan di dunia politik, salah satunya dengan cara menempatkan perempuan pada posisi strategis yaitu kawasan trias politika (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif). Dengan demikian perempuan akan terlibat aktif dalam pengambilan keputusan, termasuk memberikan pertimbangan-pertimbangan yang mengedepankan kepentingan perempuan. Inilah waktunya bagi perempuan untuk masuk dan memperbaiki tatanan masyarakat yang rusak melalui kekuatan nurani perempuan yang akan menjadi kekuatan penyeimbang dari tatanan birokrasi yang kacau maupun tata kelola pemerintahan yang jauh dari nilai demokrasi.
Kata kunci: Gender, Parlemen, Kuota 30% Perempuan dalam Pemilihan Umum

Pendahuluan
            Indonesia adalah negara berkembang yang menganut sistem demokrasi. Jargon demokrasi sangat sering menyuarakan hak-hak setiap individu sebagai warga negara, salah satunya adalah hak untuk berpolitik. Namun yang terjadi saat ini politik menjadi suatu hal yang sulit didapatkan oleh sebagian masyarakat Indonesia yang notabennya adalah perempuan. Ada fenomena klasik yang terjadi di masyarakat, dimana perempuan selalu di marjinalkan dari dunia pilitik karena dianggap tidak mampu.
            Perempuan di Indonesia mempunyai hak untuk memilih dan dipilih sebagai anggota parlemen sejak pertama kali diadakanya pemilu pada tahun 1955. Situasi politik ini memberikan kesempatan yang besar bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam dunia politik. Namun, persentase perempuan di parlemen tidak pernah lebih dari 20% (1976-1992) hingga saat ini.
            Pada tahun 2003 dikeluarkan UU No. 12 Tahun 2003. UU ini mengatur penjaminan 30% kuota perempuan dalam daftar calon yang diajukan partai dalam pemilu 2004. Pada pasal 65 ayat 1 diterangkan bahwa setiap partai politik dalam mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provonsi, dan DPR Kabupaten/Kota harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.[1] Kata yang harus dicermati dalam UU tersebut adalah kata “memperhatikan” tidak menjadi aturan tegas bagi partai untuk mengikutsertakan perempuan dalam daftar calon anggota Parlemen.
            Pada tahun 2008 keluarlah UU No. 10 Tahun 2008 sebagai pembaruan dari UU No. 12 tahun 2004 yang dianggap masih kurang memperhatikan kaum perempuan. Pada pasal 8 huruf (D) pada UU tersebut partai politik diwajibkan menyertakan minimal 30% perempuan dalam kepengurusan tingkat pusat. Lebih dari itu, pasal 53 mensyaratkan bawasannya daftar bakal calon memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan didalamnya. Dan masih diperkuat dengan pasal 55 ayat 2 yang mensyaratkan bahwa didalam daftar calon untuk setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 bakal calon anggota Parlemen berjenis kelamin perempuan.[2]
            Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Dari beberapa tindakan yang dilakukan pada hasil pemilu 2004, keterwakilan perempuan sebagai anggota DPR hanya sebesar 11,5%. Sedangkan hasil pemilu 2009 terdapat sedikit peningkatan, hasil pemilu 2009 menempatkan 18% jumlah anggota perempuan dari seluruh anggota DPR.[3] Jumlah itu masih jauh dari kuota anggota legislatif perempuan yang minimal mencapai 30%.
            Sebenarnya tujuan perjuangan untuk meningkatkan persentase perempuan di Parlemen mengurangi masalah perempuan di Indonesia. Harapan kesempatan perempuan untuk memberikan kontribusi di sektor politik semakin besar. Meskipun persentase perempuan di Parlemen umumnya meningkat dalam 11 periode pemilu, masalah perempuan di Indonesia belum sepenuhnya menurun. Tingkat kemiskinan, kekerasan seksual, dan pemerkosaan masih sangat tinggi. Selain itu, fasilitas kesehatan masih sangat rendah.
            Tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana peran kaum perempuan di dalam dunia politik Indonesia dan untuk mengetahui bagaimana ketidakadilan terhadap perempuan di Parlemen bisa terjadi, setra apa yang melatarbelakanginya. Dalam penulisan artikel ini metode yang digunakan adalah deskriptif-analisis, yakni bermaksud untuk memahami fenomena berdasarkan fakta dan realitas yang ada, serta bertujuan untuk memberikan gambaran dan melakukan analisa mengenai keterwakilan perempuan di Parlemen.

Perempuan dalam Gender
    1.     Gender
            Membicarakan persoalan memang tidak akan pernah ada habisnya. Teramat banyak kajian-kajian atau penelitian tentang gender. Dalam kyalayak banyak perbincangan tentang gender sudah semakin merebak, namun dalam realitanya masih sering terjadi kesalahpahaman tentang konsep gender.
Kesalahpahaman akan gender tidak hanya terjadi di kalangan awam saja, tetapi terjadi juga di kalangan yang terpelajar. Istilah gender sering dikaitkan dengan jenis kelamin, bahkan yang lebih parah lagi istilah gender sering dikaitkan dengan jenis kelamin perempuan. Pemahaman semacam ini tentunya sangat salah. Begitu mendengar kata gender, yang terbayang dalam kepala adalah manusia yang berjenis kelamin perempuan. Padahal istilah gender bukan hanya menyangkut jenis kelamin perempuan saja, melainkan juga jenis kelamin laki-laki.
Penting sekali memahami perbedaan antara jenis kelamin dan gender. Yang dimaksud jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, misalnya laki-laki memiliki penis, jakun, dan sperma, sedangkan perempuan memiliki vagina, payudara, ovum, dan rahim. Laki-aki dan perempuan secara biologis tentu sangat berbeda, masing-masing tentunya memiliki kelebihan dan keterbatasan biologis. Misalnya, perempuan bisa mengandung, melahirkan, dan menyusui, sementara laki-laki memproduksi sperma. Perbedaan secara biologis tersebut bersifat kodrati atau pemberian Tuhan.
Adapun yang dimaksud dengan gender adalah seperangkap sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan di dalam budaya dan lingkungan tempat manusia itu dibesarkan. Laki-laki sering digambarkan sebagai manusia yang kuat, perkasa, berani, rasional. Sebaliknya, perempuan digambarkan sebagai sosok yang halus, penakut, lemah, emosional, dan lemah-gemulai. Artinya, perbedaan sifat, sikap dan perilaku dianggap memiliki kekhasan masing-masing. Jadi kesimpulannya, gender adalah sifat yang dilekatkan kepada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara social dan kultural. Artinya, tidak bersifat universal, berbeda antartempat, antar waktu, dan antarkelas.
     2.     Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan
Didalam kehidupan bermasyarakat tentunya dikenal dengan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, sehingga dikenal perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan. Pembagian kerja ini ada yang diterapkan secara ketat, dan adapula yang menerapkan secara longga, tergantung dilingkungan mana kita hidup. Misalnya, perempuan memiliki organ reproduksi untuk hamil, melahirkan, dan juga menyusui. Berkembanglah bahwa peran gender utama perempuan adalah merawat dan mendidik anak. Konsesnsus dari peranan tersebut bahwa pekerjaan rumah tangga merupakan tugas dan kewajiban pokok perempuan. Pandangan yang seperti ini yang menimbulkan berbagai masalah dan ketidakadilan terhadap perempuan.
Ketidakadilan gender yang terjadi di masyarakat tidak menjadi suatu permasalahan sepanjang perbedaan tersebut tidak menimbulkan diskriminasi atau ketidakadilan. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi di masyarakat menunjukan bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai bentuk ketidakaadilan, baik bagi piha laki-laki dan terutama terhadap pihak perempuan. Ketidak adilan gender ini terwujud dalam bentuk pemberian beban yang lebih panjang dan lebih berat terhadap perempuan, terutama untuk perempuan yang bekerta di sektor publik. Perempuan selain dituntut untuk menyelesaikan tugas rumah tangga, juga dituntut menunjukan kinerja yang baik di tempat bekerja. Beban lebih berat ini biasanya dialami para pekerja pembantu rumah tangga dan pada umumnya adalah perempuan.
Bentuk lain dari ketidakadilan gender adalah perlakuan kekerasan. Kekerasan terhadap kaum perempuan meliputi kekerasan domestik (di rumah tangga)dan kekerasan publik (di luar rumah tangga). Kekerasan domestik bisa berwujud  penganiayaan, baik fisik maupun psikis, pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga, pelecehan, ataupun suami berselingkuh. Tentunya sudah dapat di pastikan bahwa data yang ada dengan realitas yang terjadi di masyarakat sangat berbeda. Sebab, tidak semua perempuan mau melaporkan kekerasan yang di alami.
Bentuk lain lagi dari ketidakadilan gender terhadap perempuan adalah marjinalisasi dan pemiskinan perempuan di bidang ekonomi. Proses pemiskinan ini disebabkan kemampuan kerja perempuan dianggap lebih rendah dari pekerjaan laki-laki. Ketidakadilan gender juga dapat mengambil bentuk subodinasi, yakni anggapan bahwa perempuan tidak penting, melainkan hanya pelengkap bagi kehidupan laki-laki saja.
Subordinasi terhadap perempuan juga terjadi di sektor publik dan politik. Di dunia politik perempuan dianggap tidak rasional, idak dapat mengambil keputusan, dan lebih banyak menggunakan emosinya saja, sehingga perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin di dunia politik.

Perempuan dalam Dunia Politik
Ketika kita berbicara tentang perempuan tentu tidak lepas dari sejarah masa lalu. Ketika para perempuan pada zaman itu sulit untuk mendapatkan hak-hak mereka. Pada zaman itu perempuan tidak boleh sekolah dan hanya berperan di rumah. Namun hingga akhirnya muncul sosok Kartini yang mulai menggalakkan emansipasi wanita, hingga pada akhirnya wanita mendapatkan hak-haknya dalam pendidikan atau peran di sektor publik seperti politik.
Dunia politik kini tengah menjadi agenda utama dalam wacana masyarakat, telah memberikan warna tersendiri terhadap tatanan pemerintahan. Hal ini menjadi daya tarik bagi sekelompok orang termasuk kaum perempuan yang ingin berkiprah di dunia politik. Perempuan sekarang telah dapat membuktikan kemampuannya dalam seluruh kegiatan politik dan pemerintahan. Ketertarikan dan keterlibatan perempuan dalam bidang politik saat ini sepertinya telah menjadi suatu keharusan, sebab partisipasi perempuan dalam berbagai tindakan maupun pengambilan keputusan merupakan salah satu hak asasi manusia. Hal ini tidak dapat dipungkiri, keterwakilan perempuan dalamproses pesta demokrasi di Indonesia telah mendapat kedudukan yang cukup tinggi, meskipun posisi perempuan di dunia politik masih minoritas.
Keterlibatan perempuan di dunia politik di Indonesia boleh dikatakan memang terlambat. Dilihat dari kaca mata gender, hal ini tidak terlepas dari stereo type[4] perempuan dan politik. Anggapan bahwa perempuan lebih cocok pada sektor domestik sering dianggap sebagai salah satu sebab terlambat dan sedikitnya perempuan yang berkecimpung di dunia politik. Sedangkan dunia politik identik dengan dunia yang keras, penuh persaingan, membutuhkan pemikiran yang rasionalisme dan bukan emos.
Pada era reformasi seperti sekarang ini, peran, fungsi dan kedudukan perempuan, mendapatkan peluang yang besar untuk dapat berkarya dalam segal aspek kehibupan, seperti yang tertuang dalam Pasal 27 Ayat 1 dan Ayat 2 UUD 1945.[5] Walaupun hambatan-hambatan struktural maupun non-struktural, masih sering dijumpai, tetapi pada hakekatnya kesempatan untuk dapat mengaktualisasikan diri secara maksimal semakin terbuka lebar. Berbagai bentuk Perundang-undangan mulai diakomodir sebagai sebuah bentuk perlindungan kepada kaum perempuan.
Setelah keluarnya UU No. 12 Tahun 2004 dan UU No. 10 Tahun 2008, yang mempertegas kedudukan perempuan di dalam dunia politik semakin diperhitungkan keberadaanya. Sebagai mana yang diketahui, sejak pemilu pertama tahun 1955 hingga pemilu 2009 grafik keberadaan perempuan di Parlemen selalu meningkat. Tinggal bagai mana kaum perempuan menyikapi dan memanfaatkan peluang ini untuk berkiprah di dunia politik.

Kiprah Perempuan di Parlemen Indonesia
          Indonesia telah merdeka selama 67 tahun, akan tetapi dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya, perempuan memang dipandang terlambat dalam keterlibatannya dalam dunia politik. Anggapan bahwa perempuan selalu dalam posisi domestik dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan terlambat memulai dalam berkiprah di dunia politik. Kenyataan menunjukan bahwa jumlah perempuan yang duduk di parlemen dan pembuatan keputusan politik di Indonesia sangat sedikit. Padahal jumlah penduduk Indonesia menurut BPS[6] sekitar 57% dari jumlah penduduk Indonesia. Pada setiap pemilu perempuan yang terpilih berkisar8% sampai 20%. Pendaftaran dari pencalonan masing-masing partai politik wajib mencalonkan 30% calon perempuan, tetapi dalam kenyataanya yang terpilih tidak lebih dari 20% saja. Pada tabel berikut kita akan melihat proporsi jumlah perempuan di Parlemen selama ini: 

Tabel 1
Jumlah Perempuan di DPR
Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
Periode
jumlah
%
Jumlah
%
1955-1960
17
6,3
272
93,7
Konstituante
1956-1959
25
5,1
488
94,9
1971-1977
36
7,8
460
92,2
1977-1982
29
6,3
460
93,7
1982-1987
39
8,5
460
91,5
1987-1992
65
13,0
500
87,0
1992-1997
65
12,5
500
87,5
1997-1999
54
10,8
500
89,2
1999-2004
45
9,0
500
91,0
2004-2009
61
11,9
489
88,1
2004-2014
101
18,04
459
81,96
Sumber: Sekertariat Jendral DPR, KPU


Tabel 2
Jumlah Perempuan di Legislatif
Hasil Pemilu 2004
DPR
DPD
DPRD Tingkat 1
11,9%
21%
9%
550
128
1.849
Sumber: Sekertariat Jendral DPR, KPU

            Dari data yang tertuang diatas, keterlibatan perempuan dalam Parlemen belum dirasakan berimbang. Keputusan-keputusan yang di buat Pemerintah kurang berspektif gender, sehingga keputusan yang sihasilkan seringkali bias gender. Yakni tidak memperhatikan kepentingan kaum perempuan, tidak membuat perempuan semakin berkembang. Walaupun secara kuantitas perempuan yang ada di Parlemen belum tentu menjamin peningkatan taraf hidup perempuan.
Kenyataan di lapangan banyak kebijakan membuat perempuan tenggela pada sektor-sektor yang sangat strategis, hal ini mengakibatkan posisis perempuan senantiasa berada pada posisi marjinal. Perlu upaya strategis untuk mengangkat keberadaan perempuan di dunia politik. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menempatkan perempuan pada posisi strategis yaitu kawasan trias politika.[7] Dengan demikian perempuan akan terlibat aktif dalam pengambilan keputusan, termasuk memberikan pertimbangan-pertimbangan yang mengedepankan kepentingan perempuan.

Hambatan Perempuan Di dunia politik
            Paradigm lama bawha kaum perempuan adalah kaum yang lemah, dan terbatas hanya sebagai pelengkap kaum laki-laki, masih dominan menghinggapi pemikiran kebanyakan masyarakat. Di era globalisasi saat ini seharusnya perempuan tidak lagi diposisikan sebagai manusia kelas dua, tetapi diposisikan sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat yang sama.
            Dunia politik sekarang ini lebih berat dan memerlukan persaingan yang berat ini, harus dihadapi perempuan bila mau terjun ke dunia politik. Tidak hanya kemampuan akademik yang mempuni, pengalaman, sikap rasional, dan tegas sangatlah diperlukan untuk terjun ke dunia politik. Tidaklah mudah untuk berkiprah di dunia politik, berikut adalah beberapa hambatan yang harus dihadapi kaum perempuan.
1.      Hambatan Kultural
Hambatan kultural merupakan hambatan yang cukup fundamental karena kultur dan budaya akan membentuk persepsi, dan persepsi pada akhirnya akan bermuara pada pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban bersama untuk meluruskan cara pandang budaya yang kurang tepat dalam memahami dan memandang kaum perempuan, sehingga kaum perempuan dapat memainkan peran dan fungsi lebih maksimal lagi.
2.      Hambatan Sosial
Struktur social masyarakat yang cenderung menempatkan perempuan sebagai warga negara nomor dua di bawah kaum laki-laki. Pandangan ini telah member dampak tersendiri bagi keberadaan perempuan di tengah-tengah masyarakat. Perempuan masih sering diposisikan sebagai pihak yang harus bersikap menerima tanpa perlawanan, sehingga pada akhirnya kaum perempuan lebih dilihat sebagai objek daripada sebagai subjek yang menjadi mitra kaum laki-laki.
3.      Hambatan Ekonomi
Dalam masalah karir, perempuan juga masih mengalami diskriminasi berbagai hal sehingga kaum perempuan tidak jarang diberlakukan kurang adil dan tidak proposional. Dalam kasus PHK misalnya, kaum perempuan akan menjadi pihak yang mempunyai resiko lebih besar disbanding kaum laki-laki. Begitu pula dalam penetapan standar gaji, tidak jarang kaum perempuan tidak mendapat haknya secara proposional.
4.      Hambatan Politik
Hambatan politik merupakan salah satu hambatan yang cukup besar yang dihadapi kaum perempuan di Indonesia. Hal ini tidak tercermin dalam produk Perundang-undanganmaupun Peraturan Pemerintah yang cenderung bersifat maskulin,[8] dimana segala sesuatu pokok masalah lebih dilihat dari kacamata kepentingan kaum laki-laki, tetapi menyangkut pula masih terbatasnya ruang yang tersedia bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam posisi jabatan publik. Walaupun akhir-akhir ini sudah mulai terlihat adanya keberpihakan dan pengakuan akan perlunya peranan kaum perempuan dalam politik. Namun kebijakan-kebijakan tersebut masih diberlakukan setengah-setengah dan belum maksimal. Tidaklah mengherankan apabila jumlah perempuan yang berkiprah dalam dunia politik yang selali di identikan dengan dunia laki-laki ini, masih sangat terbatas. Begitu pula jumlah perempuan yang dapat mencapai posisi puncak dalam jenjang birokrasi di pemerintahan, masih jauh dari harapan apabila melihat komposisi jenis kelamin warga negara Indonesia tidak kurang dari 57% adalah kaum perempuan.

Kesimpulan
            Sejak negara ini terbentuk, hingga saat ini kaum perempuan telah malang-melintang di dunia perpolitikan untuk memperjuangkan nasib rakyat. Walaupun keterwakilannya tidaklah banyak. Peran perempuan telah tampak bahkan sebelum Indonesia menyatakan diri sebagai negara, bahkan sampai saat ini masih ada perempuan yang masih memperjuangkan nasib rakyat, meskipun posisinya adalah minoritas di Parlemen.
Di era globalisasi ini adalah momentum yang sangat baik bagi kaum perempuan untuk berekspresi di sektor publik. Saat ini kaum laki-laki dan kaum perempuan berperan secara sejajar, baik dalam konteks hak asasi manusia, demokratisasi, maupun kesamaan gender.
Memang harus diakui bahwa kaum perempuan yang akan berkiprah di dalam dunia tidaklah mudah, tentunya menemui berbagai rintangan dan hambatan. Hambatan kultural, hambatan social, hambatan ekonomi, dan hambatan politik merupakan sedikit dari banyak hambatan yang akan dilalui oleh kaum wanita di dalam kehidupan, termasuk kehidupan politik.
Saat ini telah banyak Perundang-undangan maupun Peraturan Pemerintah lainnya yang mendorong kaum perempuan agar dapat berkiprah secara luas di berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam konteks kehidupan berpolitik. UU No.12 Tahun 2003 dan UU No.10 Tahun 2008 yang menjamin kedudukan perempuan di dunia politik. Tentunya ini merupakan angin segar bagi kaum perempuan yang sedang ataupun berniat berkiprah di dunia politik.
Politik yang dikatakan kebanyakan orang kejam dan kotor, tidak boleh menghambat kaum perempuan untuk ragu masuk dan terlibat didalamnya. Bahkan inilah waktunya bagi perempuan untuk masuk dan memperbaiki tatanan masyarakat yang rusak melalui kekuatan nurani perempuan yang akan menjadi kekuatan penyeimbang dari tatanan birokrasi yang kacau maupun tata kelola pemerintahan yang jauh dari nilai demokrasi.
            Peran dan kedudukan perempuan dalam Parlemen selama ini secara kuantitatif bertambah, namun secara kualitatif tidak banyak yang memberikan kontribusi nyata terhadap kondisi ketertindasan dan marjilaisasi peempuan yang diwakilinya. Diperlukan sebuah kesadaran dalam diri perempuan sebagai individu uuntuk berusaha membebaskan diri untuk melakukan komunikasi dalam rangka konsensus adanya perubahan.


Daftar Pustaka
The Chicago Manual of Style sixteenth Edition. Chicago: The University of Chicago Press, 2010.
Prayitno, Ujianto Singgih. Wanita Dalam Pembangunan. Jakarta: Sekertariat Jendral dan Pelayanan Informasi DPR RI, 1996.
Handayani Trisakti, Sugiarti. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: Pusat    Studi Wanita dan Kemasyarakatan Universitas Muhhamadiyah Malang, 2001.
Sastriyani, Siti Hariti. Women In Public Sector (Perempuan di Sektor Publik).           Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana, 2008.
Fayumi, Badriyah, and Thahir, Mursyah. Keadilan dan Kesetaraan Gender    (Persfektif       Islam). Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama        Departemen Agama RI, 2001.
Sasono, Agung. Meningkatkan Keterwakilan Perempuan. Jakarta: Kemitraan    Pembaruan Bagi Tata Pemerintahan, 2010.
Rosidawati, Imas. "KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DEWAN PERWAKILAN            RAKYAT." 2007: 2-6.
 “Jumlah Anggota DPR Perempuan Masih Minim” Pikiran Rakyat Online. November             10, 2011. http://www.pikiran-rakyat.com/node/165103 (Diakses 13 Desember     2012)
Satya, Dwi, “Peran Wanita di Sektor Politik” KOMPASIANA. April 21, 2012             http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2012/04/21/emansipasi-wanita-457025.html (Diakses 3 Januari 2013)
 “Kebijakan Peningkatan Keterwakilan Perempuan Pemilu 2004 dan 2009”          PUSKAPOL, Oktober 9,2011,             www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_conten&view=articel&id=97%3Akebijakan (Diakses 13 Desember 2012)
“Bentuk Bentuk Ketidakadilan Gender” APLIKASI DATA & INFORMASI PP DAN   KPA Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI.         Agust 26, 2010.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
UUD 1945 Pasal 27 Ayat (1) dan Ayat (2)


[1] Undang-Udang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umun
[2] Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
[3] “PUSKAPOL” Kebijakan Peningkatan Keterwakilan Perempuan Pemilu 2004 dan 2009, Oktober 9,2011, www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_conten&view=articel&id=97%3Akebijakan (Diakses 13 desember 2012)
[4] Stereo Type adalah penilaian terhadap seseorang berdasarkan persepsi kelompok atau lingkungan dimana orang tersebut tinggal.
[5] UUD 1945 Pasal 27 Ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannyadi dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya. UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2): Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan.

[6] Badan Pusat Statistik adalah lembaga sensus kependudukan Indonesia
[7] Trias Politika adalah pembagian kekuasaan menjadi tiga bagian, Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif
[8] Maskulin adalah pandangan sifat yang kelaki-lakian.
g!&�3m n 0W 0t agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.

Tidaklah cukup kalau hanya dengan dua model yang disarankan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melindungi hak-hak dari pekerja/buruh. Pemerintah sebagai lembaga resmi yang mengatur sistem ketenagakerjaan haruslah membuat suatu kebijakan yang dapat melindungi hak-hak pekerja/buruh, baik pekerja/buruh tetap dan pekerja/buruh outsourcing. Pemerintah haruslah lebih ketat dalam pengawasan perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh outsourcing dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh outsourcing.

Daftar Pustaka
Tjandraningsih, Indrasari, dan Rina Herawati, dan Suhadmadi. Diskriminatif dan Eksploitatif Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing di Sektor Industri Metal di Indonesia. Bandung: AKATIGA-FSPMI-FS, 2010.
Simanjuntak, Payaman J. Manajemen Hubungan Industrial. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2011.
Djumialdji, F.X. Perjanjian Kerja. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
The Chicago Manual of Style Sexteenth Edition. Chicago: The Universitas of Chicago Press, 2010.
Mohamad Faiz, Pan. ”OUTSOURCING (ALIH DAYA) DAN PENGELOLAAN TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN: (Tinjauan Yuridis terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).” Jurnalhukum.blogspot.com. May 20, 2007. http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing-dan-tenaga-kerja.html.
Wijayanti, Asri. “Hukum Ketenagakejaan Pasca Reformasi.” Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Sutedi, Adrian. “Hukum Perburuhan.” Jakarta: Sinara Grafika, 2009.
Maulana, Prawira. “Inilah Putusan MK Soal Penghapusan ‘Outsourcing’!.” Kompas.com. 21 Januari 2012. http://nasional.kompas.com/read/2012/01/21/22270675/Inilah.Putusan.MK.Soal.Penghapusan.Outsourcing.
“Outsourcing, Ada Sejak Zaman Romawi.” Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur. Diakses 25 Desember 2012, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/majalah-sdm-plus/64-edisi-133-januari-2012/623-outsourcing-ada-sejak-zaman-romawi.
Indrasari Tjandraningsih, “Serikat Buruh atau Serikat Pekerja di Indonesia.” Serikat Pekerja Perkebunan. Diakses 25 Desember 2012, http://www.pn8.co.id/spbunpn8/index.php?option=com_content&view=article&id=50%3Aserikat-buruh-serikat-pekerja-di-indonesia&Itemid=50.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011



[1] International Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional yang bertanggungjawab dalam mengatur jalannya sistem finansial global dan menyediakan pinjaman bagi negara-negara anggotanya. World Bank adalah lembaga keuangan internasional yang menyediakan pinjaman bagi negara-negara berkembang di seluruh dunia. Tujuan utama World Bank adalah menuntaskan kemiskinan di seluruh dunia. International Labor Organization adalah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mewadahi isu-isu dan masalah-masalah buruh di seluruh dunia.
[2] Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 ayat 3.
[3] Indrasari Tjandraningsih, “Serikat Buruh atau Serikat Pekerja di Indonesia,” Serikat Pekerja Perkebunan, diakses 25 Desember 2012, http://www.pn8.co.id/spbunpn8/index.php?option=com_content&view=article&id=50%3Aserikat-buruh-serikat-pekerja-di-indonesia&Itemid=50.
[4] Washingrin Consensus merupakan sebutan bagi sepuluh kebijakan ekonomi oleh John Wiliamson pada tahun 1989.
[5] “Outsourcing, Ada Sejak Zaman Romawi,” Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependududkan Provinsi Jawa Timur, diakses 25 Desember 2012, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/majalah-sdm-plus/64-edisi-133-januari-2012/623-outsourcing-ada-sejak-zaman-romawi.

2 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah, semoga membantu dan bermanfaat. Terima kasih telah berkunjung pada tulisan ini.

      Delete