Ketahan
pribadi dan ketahanan keluarga perlu ditempa Jati Diri dan harus ditanamkan di
hati individu sejak dini demi terciptanya generasi mendatang yang lebih baik. Untuk
itu, seyogyanya dilakukan penegasan kembali pembangunan watak dan pembangunan
berbangsa (character and nation building),
serta pencanangan visi tentang kebangkitan masyarakat Indonesia .
Perlu digarisbawahi bahwa pencanangan harus disampaikan dengan tulus sehingga
tidak mengesankan sekedar sebuah program, namun sebagai arahan kokoh dari
kebijaksanaan implementasi konsepsi ketahanan nasional. Dalam kenyataan sehari
– hari sering kita melihat betapa sulitnya menemukan sosok pemimpin atau
panutan. Untuk tidak menyulitkan diri sendiri karena gagal menemukan sosok yang
kita cari jauh lebih mudah bila kita mulai berlatih untuk dapat menjadi panutan paling tidak bagi diri sendiri,
keluarga terdekat dan setiap bawahan yang dipercayakan kepada kita. Hakikat
konsepsi ketahanan nasional adalah pengaturan dan penyelenggaraan segenap aspek
kehidupan nasional (Astagatra), dengan menggunakan pendekatan atas ke bawah (top down approach). Maksudnya,
pendekatan berorientasi pada perumusan kebijaksanaan yang bersifat makro yang
perlu diwujudkan dengan suatu langkah pelaksanaan, yaitu pembangunan nasional.
Pemikiran yang ingin dikembangkan ini bergerak dari arah berbeda, yaitu
pendekatan dari bawah ke atas (bottom up
approach). Pendekatan ini dimulai dari segi pembinaan pelakunya, yaitu
manusia sebagai pribadi yang bersifat mikro. Pemikiran ini berlandaskan
kenyakinan tentang eratnya hubungan antara ketahanan pribadi, ketahanan
keluarga dan ketahanan nasional. Pribadi manusia pada hakekatnya bertumpuk pada
kehidupan keluarga. Secara bertahap pribadi – pribadi ini mengembangkan
ketahanan lingkungan desa sebagai lingkungan hidup atau kantor / organisasi
sebagai lingkungan kerja, ketahanan daerah dan selanjutnya untuk mewujudkan
ketahanan nasional. Sebagai sistem dan subsistem perpaduan dari kedua
pendekatan tersebut akan saling mengisi baik dalam proses pemahaman,
penghayatan maupun pelaksanaan konsepsi ketahanan nasional. Makna dari hasil
perpaduan tersebut menunjukan peran pribadi sebagai individu dalam konteks
saham dan peran sertanya secara nyata terhadap eksistensi dan upaya menuju
kejayaan bangsa dan negara dengan memanfaatkan konsepsi yang kita miliki.
Pada awal tahun 1995, Indonesia
menempatkan diri dalam posisi yang baik untuk melakukan konsolidasi diri. Arah
yang telah baik dapat dilanjutkan tanpa menimbulkan dampak negatif (averechts = memberikan hasil yang
sebaliknya). Suatu kondisi yang tentunya akan menyulitkan apabila kita berniat
untuk memperbaikinya.
Pengalaman-pengalaman
dalam bidang ekonomi khususnya, menunjukkan perlunya pemantapan pada arah
pembangunan nasional. Kendati pencapaian pembangunan nasional sudah memadai,
hasil yang didapat harus dapat digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan
program selanjutnya. Kegiatan internasional misalnya, sejumlah penghargaan
internasional dan juga keberhasilan lain dalam bidang kepemimpinan di arena
dunia berkembang, mengingatkan kita pada posisi yang pernah ditempai Indonesia
pada tahun 50-an.
Pada
saat itu, ketahanan nasional semakin banyak digunakan, baik secara formal
maupun secara informal, yang memiliki inti menggarisbawahi agar suatu bangsa
tetap ulet dan tangguh dalam melanjutkan pembangunan. Pemahaman ketahanan
nasional juga disampaikan lewat pendidikan di lingkungan pegawai negeri, TNI
dan Polri, serta di perguruan tinggi dalam bentuk matakuliah bidang Kewiraan.
Sebagai mata ajaran, ketahanan nasional yang diberikan di Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhannas) merupakan benang merah, baik dalam kurikulum pendidikan kursus
regular (KRA) bagi pegawai negeri senior terpilih sipil, militer, dan swasta
yang dapat digolongkan sebagai kader pimpinan nasonal. Lemhannas sebagai
lembaga pengkajian dan pendidikan nasional mempunyai tugas mengkaji dan
memantau kondisi ketahanan nasional secara terus-menerus sehingga kondisi itu
dapat digunakan untuk menerapkan kebijaksanaan pembangunan dari periode ke
periode dengan baik sesuai dengan konsepsi ketahanan nasional.[1]
Secara
informal istilah dan pengertian ketahanan nasional juga digunakan oleh media
cetak dan elektronika, begitu juga dalam berbagai pembahasan umum yang
berkaitan dengan tahan tidaknya suatu aktivis untuk berlanjut. Seperti yang
telah diutarakan sebelumnnya, hakekat konsepsi ketahanan nasional adalah
pengaturan dan penyelenggaraan seluruh aspek kehidupan berdasarkan Pancasila,
UUD 1945, dan Wawasan Nusantara dari berbagai cara pandang bangsa.[2]
Konsepsi tersebut dikenal mulai tahun 60-an dan mulai muncul gagasan tentang
ketahanan nasional merupakan perwujudan dari rasa syukur dan bangga, karena
Indonesia dengan segalam keterbatasan mampu membuktikan kemapuannya mengatasi
segala bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG), baik internal
ataupun ekstenal.
Banyak
pihak beranggapan bahwa pemikiran tentang ketahanan nasional lahir di SESKOAD
(Sekolah Komando Angkatan Darat) Bandung, dan selanjutnya secara formal
dikembangkan di Lemhannas Jakarta, konsepsi tersebut adalah konsepsi militer
semata. Kata ketahanan ditafsirkan sebagai represif, namun ketahanan di sini
diartikan ulet dan tangguh. Dalam kenyataannya konsepsi itu merupakan konsepsi
nasional yang diharapkan bisa menjadi acuan dalam mengatur dan menyelenggarakan
seluruh system nasional, baik yang menyangkut segi kesejahteraan maupun
keamanan dalam arti luas (bukan sekedar keamanan fisik), menyeluruh, terpadu,
komprehensif dan integral berdasarkan wawasan nasional yang kita kenal dengan
sebutan Wawasan Nusantara dan telah mencakup wawasan kebangsaan yang mengacu
pada Pancasila dan UUD 1945.[3]
Awal tahun 1995, Indonesia berada
dalam posisi mantap namun penuh dengan tantangan dan sangat menentukan
kelangsungan dan kejayaan Indonesia pada masa depan. Berbagai faktor internal
dan eksternal dengan segala indikasinya perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan
hal buruk yang tidak diharapkan. Selama kurun waktu 1995-1997, berbagai
peristiwa banyak terjadi di Indonesia, diantaranya di Situbondo, Tasikmalaya,
Pontianak, Karawang, dan Tanah Abang Jakarta.[4]
Jika istilah back to basic dalam pengelolaan konsepsi ketahanan nasional
diterapkan, berarti Indonesia harus menumpukan harapan pada kepemimpinan
pribadi dari masyarakat Indonesia yang benar-benar mampu terealisasikan secara
nyata.[5]
Konsepsi ketahanan nasional secara pribadi mampu menghayati dan membuat konsep
ketahanan pribadi kuat yang berlandaskan Pancasila, paling tidak mengharapkan
kualitas pribadi yang merupakan esensi ketahan pribadi berikut [6]:
·
Beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan
·
Memiliki
kepercayaan diri dan memegang teguh prinsip
·
Mandiri/independent
·
Berjiwa
dinamis, kreatif, dan pantang menyerah
· Memiliki
visi pribadi yang mengedepankan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi
Manusia yang memiliki ketahanan
pribadi yang kuat, pasti akan tumbuh dan berkembang dengan baik, dan tidak akan
menemui kesulitan dalam berinteraksi dengan keluarga, lingkungan rumah,
lingkungan daerah ataupun lingkungan nasional maupun internasional. Jika
ketahanan nasional dapat semakin mantap dan tangguh, tentu kita dapat mengatasi
ATHG tersebut dengan baik yang bersumber dari dalam ataupun dari luar.
Tantangan Dari Luar
Pada saat tahapan Pembangunan
Nasional Indonesia memasuki fase Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II, di
tingkat internasional telah terjadi sejumlah perubahan mendasar yang menyangkut
tata hubungan ekonomi antar negara, seperti diberlakukannya GATT/WTO, APEC, dan
AFTA. Persaingan antarnegara dalam perdagangan Internasional menjadi sangat
ketat dan terbuka, membuat Indonesia tidak lagi mempunyai pilihan kecuali
menyesuaikan orientasi kebijaksanaan ekonominya, dari yang semula hanya
mengincar pasar domestic kini diarahkan ke pasar internasional. Pada masa
mendatang, setiap pelaku ekonomi harus meningkatkan kemampuan dalam bersaing
jika ingin menunjukkan peran di bidangnya.
Perkembangan teknologi komunikasi
membuka peluang untuk masuknya berbagai informasi dari berbagai bentuk. Melalui
media massa, informasi dapat masuk melewati batas-batas wilayah dan budaya
suatu negara. Berbagai peristiwa yang terjadi di belahan dunia manapun, lebih
cepat diketahui dan disaksikan dari belahan dunia lain. Dalam hal ini, perlu kewaspadaan
dan persiapan untuk menerima masuk pengaruh dari luar, agar tidak memberi
dampak negatif bagi perkembangan bangsa.
Beberapa tahun terakhir, banyak
krisis yang telah mengguncang dan merusak tata nilai yang ada dalam masyarakat,
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Krisis yang dimaksud yakni
·
Krisis
Politik
·
Krisis
Ekonomi
·
Krisis
Hukum
·
Krisis
Kepercayaan
·
Krisis
Moral
Adalah suatu kenyataan yang
memprihatinkan, krisis tersebut mampu mengguncangkan hamper seluruh aspek
kehidupan nasional yang pada hakekatnya bersumber dari krisis identitas.
Masalah identitas sebenarnya bukanlah masalah urgent, tetapi tergolong important,
yang penanganannya dimana kita berada. Dengan demikian, penting dilakukan
sebuah tindakan khusus. Jika sikap dan sifat manusia tidak berubah, hasil yang
akan dicapai tentu akan seperti semula. Tidak ada perubahan, adanya kita
melangkah mundur bukan melangkah maju.
System Nilai Yang
Dianut
Proses globalisasi mengandung satu
implikasi mendasar, aktivitas yang semula terjangkau sekarang ini hampir tanpa
batas. Secara revolusioner, globalisasi juga memberikan implikasi pada tatanan
nilai yang mendukung pada seluruh aspek kehidupan. Khusus dalam bidang sosial
budaya, globalisasi memberikan dampak terhadap masuk dan munculnya nilai-nilai
baru dalam tata kehidupan umum, dan menjadi acuan perilaku serta corak
kehidupan masyarakat. Integritas bangsa merupakan perpaduan dari integritas
pribadi sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai sosial dan budaya. Identitas
akan terlihat dari kepribadian bangsa, tercermin dari rangkaian kepribadian
individu bangsanya.
Suatu bangsa memerlukan dasar
normative, yakni suatu system nilai dan pandangan dasar sebuah kebijaksanaan. Namun,
system nilai tersebut tidak hanya dibuat oleh individu atau kelompok yang
sedang berkuasa, tetapi juga harus diambil dan digali dari kehidupan
masyarakat. Pada akhirnya kita juga kembali pada Pancasila, yang diakui sebagai
satu-satunya azas bangsa Indonesia. Pancasila tidak digariskan dari atas, namun
dibuat dari nilai-nilai dasar dan pandangan hidup masyarakat Indonesia.
Pancasila bukanlah agama, namun kandungan nilainya menyangkut tatanan perilaku
manusia dan wajar apabila Pancasila diyakini sebagai tuntunan dan tujuan hidup
bangsa Indonesia. Jika kita hayati, selain menjelaskan apa, mengapa dan ke mana
sebenarnya tujuan hidup kita, setiap sila dari Pancasila juga memberikan
pengembangan dan pemantapan kepribadian. Visi yang menyangkut pandangan hidup
dan tertuang dalam Pancasila, semua dapat diwujudkan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Manusia dan Faktor
Tingkah Lakunya
Berbicara tentang manusia bukan hal
yang mudah, banyak permasalahan yang ada di dalamnya.Bahkan manusia itu sendiri
merupakan masalah. Manusia itu pribadi, yang artinya ia mandiri dalam
menunjukkan kehendaknya dalam menentukan sendiri setiap perbuatannya. Manusia
bukan benda mati, ia mampu, ia berdaya dan berkekuatan. Karena itu, manusia
selalu dan tak akan pernah berhenti berkembang, terutama mengembangkan
kebutuhannya. Teori tentang hirarki kebutuhan yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan
akan rasa aman, kebutuhan menjadi anggota kelompok, kebutuhan ego, serta
kebutuhan untuk beraktualisasi.[7]
Sebagai makhluk berjiwa rohani dan
berbadan jasmani, manusia terpanggil untuk mengembangkan diri, mengadakan
dialog, dan saling berinteraksi. Dalam sila pertama Pancasila, harus kita akui
bahwa keberadaan manusia adalah kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Kita juga perlu
ketahui lagi, kehadiran manusia mengungkapkan kebersamaan sesama dan manusia
tidak bisa hidup tanpa ada bantuan dari manusia lain. Pada hakekatnya manusia
merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan lainnya.
Manusia juga tidak akan lepas dari salah satu factor tingkah lakunya yakni
Interaksi. Berbagai cara dilakukan manusia untuk berinteraksi, yakni :
·
Interaksi
Manusia dengan Manusia
·
Interaksi
Manusia dengan Masyarakat
·
Interaksi
Manusia dengan Negara
Ajaran agama islam misalnya
menyadarkan umatnya lewat kata – kata, Hablul Minaullah, hablum minannas;
selain harus menyembah Allah manusia harus
dapat melakukan silaturrahmi dengan sesamanya.[8]
Ada sebuah teori yang disebut Continuum Maturity Process yaitu proses
pendewasaan berkelanjutan yang melewati sejumlah tahap yakni tahap bergantung (dependent), tahap mandiri (independent) dan tahap saling bergantung
(interdependent).[9]
Manusia yang memiliki Intelligence
Quotient (IQ) tinggi, namun Emotional Intelligence (EQ) rendah berpeluang
menemui kegagalan, sebaliknya seseorang yang ber-EQ tinggi meski hanya memiliki
tingkat kecerdasan rata – rata berpeluang menikmati keberhasilan.[10]
Kecerdasan emosional terutama
berkaitan dengan kemampuan dalam pengendalian diri. Khususnya dalam pergaulan, mampu mengendalikan diri
juga berarti mampu mengelola emosi. Artinya
kita dapat memahami perasaan orang lain, menerima sudut pandang mereka,
menghargai perbedaan dalam cara berperasaan terhadap berbagai hal janga pula abaikan kemampuan untuk menjadi
pendengar dan penanya yang baik, kemampuan membedakan antara yang dikatakan
ataupun dilakukan seseorang lewat suatu reaksi dan penilaian tertentu.[11]
Manusia dan Faktor
Kepemimpinannya
Kepemimpinan adalah perpaduan antara
ilmu dan seni memimpin, yang pada hakekatnya merupakan kemampuan untuk
mempengaruhi dan memotivasi seseorang atau kelompok sehingga mereka bersedia
dan berkemampuan mencapai sasaran yang diharapkan.[12]
Seorang pemimpin diharapkan mampu menduduki jabatan yang dipercayakan
kepadanya. Artinya, ia harus mampu menumbuhkembangkan kompetensinya melalui
pendidikan formal atau informal.
Pendidikan dan pembinaan karakter
yaitu suatu proses berkelanjutan yang tidak ada hentinya (a never endiing process). Karakter dan integritas pertama muncul
dalam lingkungan keluarga. Di lingkungan keluarga itulah seseorang mulai
mengenal dan belajar tentang berbagai tata nilai. Melalui pendidikan yang
diberikan, tata nilai tersebut mulai dikembangkan agar bisa memasuki dunia
nyata di luar lingkungan keluarga. Secara konseptual, tata nilai bersumber dari
agama yang dianut. Tanpa landasan yang kokoh, agama hanya sekedar dipahami secara harafiah. Akibatnya agama tidak akan
terlihat, terasakan dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk melaksanakan tugas dengan
baik, di samping orientasi ke masa depan, seorang pemimpin harus memiliki
kompetensi dan karakter. Dalam ilmu kepemimpinan tingkat menengah ke atas
dikenal istilah Visionary Leadership
(Kepemimpinan yang berdasar pada visi/pandangan ke depan). Maksudnya, semakin
rendah tingkat kepemimpinan seseorang, maka tantangan kedepannya semakin
terbatas. Pandangan ke depan seseorang tergantung pada tingkat kepemimpinan
seseorang.[13]
Ketahanan Pribadi
Tingkah laku manusia dipengaruhi
oleh banyak factor, baik yang datang dari luar ataupun dari dalam. Sebagai
pribadi, manusia perlu mengembangkan diri agar di kemudian hari ia dapat tampil
total yang mantap dan harmonis. Dalam mengembangkan diri, manusia harus
menggunakan akal, perasaan, budaya, kehendak pribadi dalam kata lain mampu
memanfaatkan seluruh jasmani dan rohaninya demi mencapai tingkatan yang stabil
dan tidak tergoyahkan dalam kondisi apapun. Kepribadian yang utuh dan kuat
dapat dimiliki seseorang apabila ia sebaga warga suatu bangsa, menganut nilai yang diambil dari
keyakinan dan pandangan hidup bangsa.
Setiap kali berbicara tentang
manusia Indonesia, yang menjadi pembicaraan adalah manusia yang memiliki
pandangan hidup, berideologi, bercita-cita dan berperilaku Pancasila. Manusia Indonesia
menerima Pancasila sebagai ideology yang bersumber pada pandangan hidup dan
kristalisasi dari berbagai nilai yang diterima dan menjadi pedoman bangsa dan
masyarakat. Kepribadian yang mengacu pada system nilai Pancasila harus dapat
terlihat secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kepribadian berlandaskan
Pancasila harus selalu tercermin dalam sikap manusia Indonesia.
Situasi memprihatinkan yang mulai
terjadi akhir-akhir ini di dalam masyarakat Indonesia mengisyaratkan perlunya
upaya penegasan kembali apa yang disebut pembangunan karakter dan pembangunan
berbangsa (character and nation building).
Dewasa ini, suasana keterbukaan yang sedang kita nikmati sering kali
disalahgunakan sebagai kesempatan untuk
melontarkan kritik dan mencari kesalahan orang lain. Hal ini yang mengakibatkan
banyaknya pendapat dan kritik miring tentang manusia lain, tanpa menyadari apa
yang telah diperbuat selama ini.[14]
Ketahanan Keluarga
Tidak seorang pun menyangkal bahwa,
manusia adalah makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat. Sejak kecil hingga
akhir hayatnya, manusia tidak akan pernah mau hidup seorang diri. Dengan kata
lain, manusia itu selalu berada dalam lingkungan sosial. Lingkungan tersebut yang
akan membentuk orientasi sikap serta tindakan dalam membentuk pola
sosialisasinya. Lingkungan sosial terdekat adalah keluarga. Menurut para ahli,
keluarga adalah satuan sosial terkecil yaitu instansi pertama yang memberikan
pengaruh sosialisasi setiap anggota keluarga, yang akan membentuk kepribadian.
Dalam keadaan normal, seorang anak akan dibentuk dan dipengaruhi oleh sikap dan
tindakan orang tuanya.
Dalam kehidupan nyata, seorang anak
dapat menjadi orang dibesarkan oleh keluarga yang berkecukupan dari segi
materi. Seorang anak tidak hanya membutuhkan dukungan materi, namun juga
pendidikan terbaik. Perlu kita ketahui, kondisi house tidak berpengaruh secara langsung atau menentukan terciptanya
home (house lebih dikaitkan pada bangunan tempat tinggal, home (lebih dikaitkan dengan
suasana).Istilah broken home
mengisyaratkan macetnya estafet system nilai, kendati jumlah pengecualian
menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga broken home berhasil menjadi orang.[15]
Pembinaan dan penempaan tentunya
hanya dapat dilakukan dengan baik apabila keluarga memiliki ketahanan keluarga
yang kuat. Dari ketahanan keluarga akan tercermin sejumlah tata nilai utama
keluarga yang secara khusus akan mempengaruhi kehidupan beragama anak. Seperti
yang tercantum dalam Pancasila, setiap orang Indonesia berhak memahami,
menghayati, dan mengamalkan agama yang dianutnya. Semua orang tahu bahwa setiap
agama mengajarkan kebaikan dan dari agama yang mana pun kita dapat memetik
system nilai untuk menjalani kehidupan. Kehidupan beragama harus diawali dari
rumah, bukan ditumpukan pada tempat ibadah agama tersebut. Dari agama yang
dianut, kita dapat menemukan system nilai yang nantinya dapat diterapkan bagi
diri sendiri dan bagi keluarga.
Dalam rangka pengembangan kemampuan
diri setiap anggota keluarga, pendidikan adalah factor utama entah itu
pendidikan formal ataupun informal. Apabila pendidikan lebih difokuskan pada
pengingkatan kemampuan manusia dalam bidang keterampilan dan ilmu pengetahuan,
maka pendidikan informal lebih berorientasi pada pendidikan mental dan
spiritual. Untuk memperoleh pendidikan formal, seseorang dapat mengikutinya secara bertahap melalui lembaga pendidikan
resmi. Di samping keteladanan, pendidikan informal yang diberikan oleh kepala
keluarga dapat diwujudkan dalam bentuk norma positif secara turun-temurun.
Dengan terciptanya komunikasi dua arah, akan tercipta pula keterbukaan dan
keakraban di antara masing-masing pihak, yang dilandasi dengan perhatian dan
kasih sayang yang tulus.
Ketahanan pribadi yang kuat dan
bersumber pada ketahanan keluarga akan menghasilkan kemampuan dalam
berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan sekaligus membantu
individu menjaga jati dirinya. Pengecualian dapat muncul dari keluarga yang
tidak harmonis dapat membuat kepribadian yang rapuh namun ada juga yang berasal
dari keluarga yang tidak harmonis, namun memiliki kepribadian yang kokoh. Walau
bagaimanapun, jauh lebih baik jika setiap orang berusaha menciptakan
keharmonisan dalam keluarga.
Ketahanan Lingkungan
Terdapat beberapa jenis ketahanan
yang berkaitan dengan lingkungan antara lain :
·
Ketahanan
Domisili (Ketahanan Lingkungan Tempat Tinggal)
Ketahanan domisili adalah ketahanan yang dapat diwujudkan di daerah
tempat tinggal kita.Ketahanan domisili merupakan kondisi dinamis yang
ditampilkan sekelompok orang yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan
tertentu. Kebersamaan yang ditampilkan mencerminkan keuletan dan ketangguhan
kelompok tersebut guna mengahadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan,
baik yang dating dari luar ataupun dari dalam yang bisa membahayakan
integritas, identitas, kelangsungan hidup, keamanan dan kesejahteraan hidup
tempat kita tinggal.
·
Ketahanan
Organisasi (Ketahanan Lingkungan Berkarya)
Sebagai pribadi, seseorang dapat bergabung dalam organisasi baik sosial,
kemasyarakatan, politik, dan lain sebagainya. Dalam organisasi setidaknya
terdapat empat komponen yang saling terkait, yaitu Lingkungan, Struktur
Organisasi, Kelompok dalam organisasi, dan Individu atau badan pengambil
keputusan organisasi. Untuk mengukur ketahanan organisasi, diperlukan adanya
keseimbangan antara organisasi dan lingkungannya, antara kekuatan dan
kualitasnya. Sebuah organisasi harus menjalin keakraban dengan organisasi lain,
masyarakat, pemerintah maupun lingkungan yang mempengaruhi kehidupan organisasi
itu sendiri.
·
Ketahanan
Usaha (Ketahanan Lingkungan Dunia Usaha)
Organisasi manapun, termasuk oranisasi politik membutuhkan ketahanan
usaha. Berapa pun besarnya pengaruh dari luar (eksternal), maupun pengaruh dari
dalam (internal), yang paling menentukan adalah factor manusia.
Ketahanan Daerah
Ketahanan setingkat kabupaten dan
provinsi dapat dikategorikan dalam ketahan daerah. Seperti yang kita ketahui,
konsepsi ketahanan nasional mencakup ketahanan ideology, politik, ekonomi,
sosial dan budaya, dan pertahanan dan keamanan (hankam). Dalam konsepsi
ketahanan nasional (tannas), kondisi ketahanan nasional buka merupakan
penjumlahan dari sejumlah kondisi ketahanan, melainkan konfigurasi kesatuan
atau resultante dari kondisi ketahanan. Pembahasan ketahanan daerah akan
difokuskan pada gagasan yang mengatakan bahwa setiap daerah diharapkan mampu
mengupayakan tingkat ketahanan yang baik agar dapat memberi sumbangan terhadap
kondisi ketahanan nasional.[16]
Hubungan timbal balik antara
pembangunan nasional dan kondisi ketahanan daerah/ nasional dalam
pelaksanaannya, ketahanan nasional akan terwujud melalui pembangunan nasional.
Jika pembangunan nasional berhasil, kondisi ketahanan nasional akan semakin
kokoh. Konsepsi ketahanan nasional mengindikasikan perlunya pananganan secara
komprehensif dan integral dari ketahanan ideology, ketahanan politik, ketahanan
ekonomi, ketahanan sosial budaya, dan ketahanan hankam. Adalah benar bahwa
politik dan ekonomi membutuhkan penanganan segera dan medesak, sedangkan
masalah sosial dan budaya tergolong penting namun, penanganannya tepat waktu
dan cepat.
Penyemaian Jati Diri
Jati diri seseorang akan membedakan
dirinya dengan orang lain. Demikian pula dengan jati diri bangsa akan
membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lainnya. Berbagai factor
eksternal-internal, ekonomi, dan sebagainya dianggap menjadi terpuruknya
Indonesia. Apabila dicermati, penyebab utamanya adalah ulah pribadi manusia
Indonesia sendiri.Upaya memperkaya konsepsi ketahanan nasional yang menggunakan
pendekatan top down sudah sangar
mendesak untuk dilakukan.[17]
Kita semua tahu, moral dan akhlak
merupakan inti perwujudan penampilan jati diri. Ada tiga komponen utama yang
mewarnai jati diri kita, yaitu system nilai (value system), sikap pandang
(attitude), dan perilaku (behavior). Memburuknya jati diri bangsa, berkaitan
erat dengan sikap meremehkan dan melupakan. Sebagai bangsa kita diharapkan untuk
dapat menyatukan rasa (nilai), cipta (sikap), dan karsa (perilaku). Masalah
jati diri sesungguhnya lebih hakiki dan memiliki makna kultural yang luhur,
yaitu perwujudan akidah dalam bentuk rasa dan daya gerak kehidupan itu sendiri.
Jati diri bukan hanya sekedar membedakan seseorang atau bangsa secara fisik,
tetapi lebih yang tersurat dan tersirat secaran spiritual dan kultural.
Pembangunan Watak
Kemerosotan moral seperti yang
tengah kita hadapi menunjukkan hilangnya factor-faktor mendasar. Sebagian
masyarakat menyebut keterpurukan negara kita adalah akibat factor eksternal,
dengan selalu menimpakan kesalahan sendiri kepada orang lain dan kita tidak
memberi bantuan untuk memecahkan kesalahan tersebut. Dengan demikian, watak
atau karakter yang baik hanya akan didapat bila dibina, dibangun, dan ditempa
dengan kebiasaan baik secara berkelanjutan, dan dijadikan suatu runtunan perubahan tanpa henti. Agar segera
terbebas dari krisis identitas, kita harus berani mengisi reformasi total
dengan melakukan hal yang terbaik.
Caranya adalah dengan melakukan
suatu upaya, yang bertujuan membangun watak dalam rangka menemukan dan
membangun jati diri. Dan proses upaya tersebut dalam rangka pembangunan watak
harus dapat memberikan perubahan terutama pada diri sendiri dengan tahapan
berikut ini :
·
Mengggugah
untuk menemukan diri sendiri
·
Menemukan
dimana, kemana dan bagaimana akan pergi (cita-cita)
·
Menunjukan
sikap yang tulus dan ikhlas dengan
meninggalkan segala yang bersifat semu, agar selanjutnya dapat menghayati dan
menikmati “kenyataan”.
·
Memiliki
kemantapan hati untuk melangkah ke depan, dengan demikian dapat menjadi sosok
yang disegani, dihormati, dan disenangi, karena dapat diandalkan.
·
Memadukan
dengan serasi kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional; karena dengan
cara itu dapat tampil sebagai pribadi yang memiliki integritas, berkompetensi
dan menumbuhkembangkan kebersamaan.
Kelima klasifikasi diatas diharapkan
sebagai suatu hasil dari melakukan suatu upaya dalam rangka pembangunan watak.
“Yang akan bersosialisasi dengan
lingkungannya secara baik, tanpa kehilangan jati dirinya selalu kembali kepada
keasliannya.[18]
1.
Ketatnya
arus globalisasi dan persaingan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir
menjelang millennium baru, membuat situasi dan kondisi Indonesia dilanda krisis
politik, ekonomi, sosial dan budaya, hukun, kepercayaan, kepemimpinan, moral,
intergritas dan sebagainya.
Krisis-krisis tersebut pada hakekatnya bersumber dari krisis
identitas.Itu menunjukkan betapa mendasarnya permasalahan yang tengah kita
hadapi. Permasalahan yang mulanya tergolong penting (important), akhirnya
menjadi sangat mendesak (urgent) untuk ditangani dan diatasi secara tepat arah
dan tepat waktu.
2.
Kerasnya
persaingan dan tantangan menuntut diterapkannya konsepsi pengaturan dan
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Lewat konsepsi ketahanan
nasional berlandaskan Pancasila, UUD 1945, dan wawasan nusantara, Indonesia
telah membuktikan kemampuan mengatasi berbagai ancaman, tantangan, hambatan,
dan gangguan (ATHG). Konsepsi ini perlu dibudayakan, dihayati, dan diterapkan
secara konsisten, dan dilaksanakan dengan penyempurnaan-penyempurnaan yang
diperlukan.
3.
Penyempurnaan
dengan menggunakan pendekatan bottom up,
merupakan kelengkapan dari konsepsi ketahanan nasional yang menggunakan
pendekatan top down. Pendekatan bottom upakan memberikan penekanan pada
pembinaan tingkat ketahanan yang diawali dari para pelaku sebagai individu,
selanjutnya pada tingkat keluarga, lingkungan dan wilayah. Semua ketahanan ini
pada hakekatnya diharapkan dapat mempermantap kondisi ketahanan nasional.
4.
Manusia
itu pribadi yang mandiri dan memiliki akal budi, dan diharapkan menyadari
tujuan serta alasan perbuatannya. Sebagai pribadi, ia mandiri dalam menegakkan
kehendaknya, dan menentukan sendiri setiap perbuatannya.
Berbagai krisis yang menimpa bangsa Indonesia erat kaitannya dengan
factor manusia/pelakunya. Dengan demikian manusia sebagai individu, sebagai
pribadi, sangat penting untuk dicermati, disiapkan, dan dibina agar lebih mampu
melaksanakan amanah hidupnya. Pancasila menyadarkan manusia sebagai makhluk
individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan.
5.
Manusia
perlu mengembangkan diri agar dapat tampil sebagai totalitas yang mantap dan
harmonis. Ia juga diharapkan memiliki kepribadian yang utuh dan kuat. Seorang
pribadi harus menganut nilai-nilai yang diambil dari keyakinan dan pandangan
hidup bangsanya.
6.
Tata
nilai keluarga perlu diestafetkan. Hal ini baru dapat dilaksanakan oleh
kehidupan pribadi anggota keluarganya. Dari sini pula terbentuknya ketahanan
pribadi dan ketahanan keluarga
Ketahanan keluarga akan mencerminkan :
·
Perilaku
kehidupan beragama yang secara nyata melahirkan tata nilai keluarga.
·
Pelaksanaan
fungsi sosial dalam kehidupan berkeluarga sehari-hari.
7.
Ketahanan
lingkungan baik di tempat tinggal (domisili), di tempat berkarya (organisasi),
maupun di tempat bekerja dan berusaha (kantor dan dunia usaha) harus merupakan
mata rantai yang kokoh dalam mewujudkan ketahanan daerah dan nasional, di mana
kepentingan daerah tetap perlu diakomodasikan, tetapi tetap menunjang
mewujudkan ketahanan nasional yang kokoh.
8.
Penyemaian
jati diri harus merupakan upaya pembangunan watak dalam rangka menemukan dan
membangun jati diri. Ketahanan pribadi tidak mungkin terwujud jika tidak
diupayakan melalui system penyemaian benih pilihan. Artinya, sejak usia dini
jati diri anak-anak harus disemai dan dijadikan bibit unggul untuk selanjutnya
ditumbuhkembangkan menjadi pribadi-pribadi dengan ketahanan yang kuat dan
kokoh. Agar dapat tampil sebagai pribadi yang efektif, sejak dini jadi diri
perlu dibina, disemai, dan dimantapkan. Efektivitas ini hanya dapat dicapai
bila yang bersangkutan mampu menunjukkan kompetensi (what be can) dan karakter (who
be is) sebagai kesatuan
Karakter itu sendiri perlu selalu dibina dan dibangun secara
berkelanjutan atau sejak usia sedini mungkin sampai dengan selama hayat
dikandung badan.
Seorang pemimpin baru dapat disebut baik (khalifah) bila ia dapat
menampilkan diri sebagai panutan. Daripada kecewa mencari panutan, jauh lebih
baik bila kita berani melatih dan menampilkan diri sebagai panutan, baik bagi
diri sendiri, keluarga, maupun bagi setiap bahawan yang dipercaya kepada kita.
Referensi
Dr. MA, Quraish
Shihab. Wawasan Al Qur'an . Bandung : Penerbit Mizan, n.d.
Goleman, Daniel. Emotional
Intellegence . Jakarta : PT Gramedia Utama , 1998.
Ken Blachard, Michael
O'Connor & Jim Ballard. Managing By Value. San Francisco, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1997.
LEMHANNAS. "Bahan
Ajaraan dan khususnya Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional." n.d.
Maslow, Abraham H. Motivasi
dan Kepribadian . Jakarta : LPPM dan PT Pustaka Binaman Pressiud edisi 4,
1997.
Ph.D. Jeane Segal. Meningkatkan
Kecerdasan Emosional . PT Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Prof. Dr. Wan Usman,
MA. Ketahanan Nasional dan Catastrophe Theory. n.d.
R., Covey Stepen. The
Seven Habits of Highly Effective Family. n.d.
—. The Seven Habits
of Highly Effective People . New York: by Simon & Schuster, 1975.
Soedarsono, Soemarno. Menepis
Krisi Identitas. Jakarta: PT ELEK KOMPUTINDO Kelompok Gramedia, 1990.
Warren Bennis &
Burt Nanus. LEADERS. New York: Harper & Row Pubisher, 1985.
[1]
Bahan Ajaran LEMHANNAS dan khususnya Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
[2]
Bahan Ajaran LEMHANNAS dan khususnya Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
[3]
Bahan Ajaran Pancasila dan UUD 1945
[4]
Sumarno Sudarsono, Menepis Krisis
Identitas, Jakarta, PT ELEK KOMPUTINDO Kelompok Gramedia
[5]
Sumarno Sudarsono, Menepis Krisis
Identitas, Jakarta, PT ELEK KOMPUTINDO Kelompok Gramedia
[6]
Ken Blanchard. Michael O’Connor & Jim Ballard, 1997, Managing By Value, San
Francisco, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama
[7]
Abraham Maslow, 1997, Motivasi dan
Kepribadian, Jakarta, LPPM dan PT Pustaka Binaman Pressiud edisi 4
[8]
Quraish Shihab, Dr. MA, 1996, Wawasan Al
Qur’an, Bandung, Penerbit Mizan
[9]
Stepen R. Covey: The Seven Habits of
Highly Effective People
[10]
Daniel Goleman, 1995, Emotional
Intellegence, Penerbit PT Gramedia Utama, Jakarta
[11]
Jeanne Segal, Ph.D., 1997, Meningkatan
Kecerdasan Emosional, PT Citra Aksara
[12]
Sumarno Sudarsono, Menepis Krisis
Identitas, Jakarta, PT ELEK KOMPUTINDO Kelompok Gramedia
[13]
Warren Bennis & Burt Nanus, 1985, LEADERS,
New York, Harpers & Row Publisher
[14]
Prof. Dr. Wan Usman, MA, Ketahanan
Nasional dan Catastrophe Theory.
[15]
Stepen R. Covey: The Seven Habits of Highly
Effective Family
[16]
Prof. Dr. Wan Usman, MA, Ketahanan
Nasional dan Catastrophe Theory.
[17]
Sumarno Sudarsono, Menepis Krisis
Identitas, Jakarta, PT ELEK KOMPUTINDO Kelompok Gramedia
[18]
Anton Soeparwoto dan Herman Joseph Oey, Istilah
Walet.
No comments:
Post a Comment