Studi
ini akan menganalisis tentang implementasi UU No 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang Otonomi daerah serta problematika yang terjadi dalam pemilihan kepala
daerah Banten yang sarat akan kecurangan. Indonesia yang menganut sistem
desentralisasi kekuasaan yaitu pemerintah
pusat menyerahkan sebagian kewenangan dan hak kepada masyarakat daerah untuk
mengatur serta mengurus urusan permasalahan daerah secara mandiri. Kewenangan
dan hak pemerintah daerah digunakan untuk mengatasi masalah masyarakat setempat
guna meningkatkan penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap
masyarakat dan pembangunan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemlilihan kepala daerah dalam hal ini adalah merupakan bentuk implementasi dari pelaksanaan
otonomi daerah tersebut. Namun dalam pelaksanaanya pemilihan umum kepala
daerah tidak akan terlepas dari dilema
dan problematika yang berkaitan dengan proses pemilihan kepala daerah. Banyak
persoalan menghinggapi setiap kali
pemilukada, salah satu persoalan yang selalu ada setiap kali pemilukada adalah praktek money
politik, serta ketidak adilan dan kejujuran. Praktek kecurangan tersebut merupakan
pelanggaran dalam pemilu, yang tidak sesuai dengan peraturan UU No 32 Tahun 2004 terutama pasal 56 ayat 1. Salah satu daerah yang diindikasikan
melakukan pelanggaran tersebut adalah provinsi Banten yang telah melakukan
pemilukada tanggal 22 oktober 2011. Pemilukada yang dilaksanakan di Banten mencerminkan
adanya indikasi kegagalan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang sarat
akan kecurangan. Bukan hanya di daerah Banten namun, di daerah-daerah lain juga
terkena permasalahan klasik yang menyangkut proses pelaksanaan pilkada yang
bermasalah. Mendambakan adanya demokrasi yang berorientasikan pada asas-asas
dalam pemilu serasa baru angan-angan yang belum dapat terlihat implementasinya.
Rakyat hanya sebagai objek pembodohan dan bukan sebagai aktor dalam mencapai
demokratisasi di Indonesia.
Kata
kunci: uu
no 32 tahun 2004 pasal 56 ayat 1, otonomi daerah, pilkada banten, asas jujur
dan adil
Pendahuluan
Landasan hukum pemilihan umum kepala daerah adalah
pancasila, undang-undang dasar 1945 dan peraturan spesifiknya tertuang dalam UU
No 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah. Yang dimaksud dengan otonomi daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi. Pemerintah daerah adalah terdiri dari Gubernur, Bupati,
Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan
daerah. otonomi daerah mempunyai hak,
wewenang, dan kewajiban terhadap daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat. Didalam otonomi daerah
terkenal dengan namanya prinsip desentralisasi, prinsip desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan sistem Dekonsentrasi yaitu berupa pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan kepada instansi di wilayah tertentu.
Dengan kewenangan yang dilandasi PP No
1 Tahun 2009 maka pemerintahan daerah wajib menyelenggarakan pemilihan umum
kepala daerah. Kewenangan inilah yang memberikan kesempatan bagi masyarakat
daerah untuk dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik yaitu memilih
secara langsung masing-masing pemimpin
atau kepala daerah. Tujuan dengan diadakanya pemilihan kepala daerah adalah
untuk mencapai efisiensi dan efektifitas dalam hal penyelenggaraan dan
pelaksanaan kebijakan daerah yang sangat perlu di tingkatkan. Tujuan tersebut
tidak terlepas dari peran pemerintah pusat yang tetap menjadi pemegang
kekuasaan utama. Pemerintah daerah di berikan kewenangan oleh pemerintah pusat
agar mampu menggali potensi dan keanekaragaman daerah guna menghadapi tantangan
global. Pemilihan umum yang dilaksanakan di daerah merupakan sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dilandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil dalam negara kesatuan republik Indonesia.
Namun dalam
implementasi pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah masih banyak permasalahan-permasalahan
yang berkaitan dengan sistem aturan yang terkesan tidak mencerminkan rasa
keadilan dan kejujuran. Banyak kecurangan terjadi selama proses penyelenggaraan
pemilihan umum baik di tingkat pusat ataupun daerah. Salah satu pelanggaran
atau kecurangan yang selalu ada dalam pemilihan umum adalah praktek money politik. indikasi adanya
kecurangan money politik sudah jelas
menodai Undang-undang terutama UU No 32 Tahun 2004 pasal 56 ayat 1 yang
menyebutkan Kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil[1].
Indikasi
adanya kecurangan money politik
terjadi pada pemilihan umum daerah provinsi Banten. Pada pemilihan umum kepala
daerah tersebut terdengar isu yang menyatakan ada salah satu calon Gubernur dan
wakil gubernur provinsi Banten yang melakukan money politik. Pilkada yang diselenggarakan di Banten tersebut
memang sarat kecurangan dan dinilai paling buruk dalam sistem pemilihan umum
daerah. Praktek-praktek kecurangan tersebut banyak melibatkan para tim sukses
masing-masing calon Gubernur. Tulisan ini mencoba mengkritisi implementasi UU
No 32 Tahun 2004 khusunya pasal 56 ayat 1 tentang otonomi daerah yang pada
kenyataanya belum mampu dilaksanakan dengan baik dan benar terutama dalam
pemilihan umum daerah Banten yang sarat akan kecurangan dan money politik.[2]
Money politik yang terjadi di daerah
Banten ataupun di daerah lain merupakan cerminan kegagalan pemerintah dalam
menjalankan sistem otonomi daerah, karena masih banyaknya kasus-kasus
pelanggaran yang terjadi dalam pemilukada ataupun pemilu pada umumnya. Bentuk
kebijakan pemerintah yang dikeluarkan melalui UU No 32 Tahun 2004 Pasal 56 ayat
1 pada kenyataanya menyimpang dari undang-undang dan cenderung dibiarkan oleh
pemerintah. Padahal kebijakan diadakanya otonomi daerah tersebut untuk
menciptakan semangat demokrasi bangsa Indonesia yang pada masa orde baru hilang
dan tidak dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia. Maka dari itu fokus tulisan
ini adalah membahas bagaimana implementasi UU No 32 Tahun 2004 terutama pasal
56 ayat 1 tentang otonomi daerah dan asas dalam pemilu serta bentuk pelanggaran
yang di lakukan dalam pemilukada Banten yang merefleksikan kegagalan dalam
sistem pemilihan kepala daerah.
Diberlakukanya uu no 32 tahun 2004
Mulai tahun 2000
otonomi daerah menggaung luas dan dipraktikkan secara massif. Setelah berjalan
1 dasawarsa terakhir, disadari otonomi daerah telah mengubah wajah politik
Indonesia menjadi sangat berbeda dari yang pernah ada dalam sejarah sebelumnya.
Semangat awalnya bermaksud menciptakan pemerintahan yang baik (good
governance) di tingkat lokal. Kehadirannya disokong lembaga multinasional
seperti World Bank dan International Monetary Fund (IMF). World Bank menyatakan
bahwa desentralisasi atau otonomi daerah adalah “the big bang” (dentuman
besar) dalam politik Indonesia
Dengan diberlakukanya otonomi dan desentralisasi pada tahun
2000
telah memberikan perubahan yang sangat
berarti bagi setiap daerah untuk bersentuhan langsung dengan demokrasi dan
secara penuh dapat dijamin oleh
undang-undang. Perjalanan otonomi dan kebebasan daerah untuk mendapatkan
perlakuan yang lebih demokratis mulai mendapatkan respon dari pemerintah. Pada
mulanya undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah yaitu UU No 5 Tahun
1974 sudah diberlakukan dalam bentuk pemilihan kepala daerah, namun karena
besarnya intervensi pemerintah pusat maka undang-undang tersebut dirasa tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Setelah kegagalan UU No 5 Tahun 1974 maka
dikeluarkanlah undang-undang baru yaitu UU No 22 Tahun 1999 yaitu mengenai
otonomi-desentralisasi yang justru
memunculkan banyak konflik [3].
Pada ahkirnya UU No
32 Tahun 2004 muncul sebagai solusi dari berbagai latar belakang masalah yang
berkaitan dengan otonomi daerah dan sebagai penyempurna undang-undang
sebelumnya. Dengan diberlakukanya undang-undang baru tersebut di harapkam mampu
membalikan hak-hak masyarakat dalam alam demokrasi yang secara nyata berhak
atas memilih-dipilih. Dikeluarkanya UU No 32
Tahun 2004 memberikan corak baru dalam sistem pemilihan umum terutama pemilihan
umum kepala darah yang diberikan hak yang sama yaitu dipilih secara langsung.
Sistem pemerintahan pada waktu orde baru yang bersifat sentralistik berganti
dengan sistem desentralistik dan menghapus sekat antara pemerintah dan rakyat.
Bentuk kewenangan yang diberikan kepada daerah menjadi impian karena sistem
pemerintahan yang sentralistik pada jaman orde baru lebih menempatkan posisi
daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting dan dipinggirkan.
Dalam
perkembangan sistem perpolitikan di indonesia yang ditandai dengan reformasi
semakin membuka lebar sistem demokrasi dan kebebasan yang seluas-luasnya. Hal
itu ditandai dengan munculnya reformasi yang melahirkan berbagai macam aturan
baru perundang-undangan yang mampu memperhatikan semangat kebebasan. Akan
tetapi apakah di tengah-tengah optimisme dan semangat reformasi tersebut
terbesit kekhawatiran akan ketidakmampuan daerah terutama dalam menjalankan
sistem pemerintahan daerahnya sendiri dalam hal pemilihan kepala daerah. Praktek politik dalam konteks otonomi daerah banyak
menguntungkan elit politik dan elit ekonomi lokal. Mereka diibaratkan sebagai
raja-raja kecil di daerah. Dalam kurun waktu dasawarasa otonomi yang telah
diberikan justru memunculkan persoalan baru yang dirasa cenderung mengarah pada
kebangkrutan negara. Tumbuhnya politik identitas dan bosisme menggeser
praktek korupsi ke daerah, booming politik uang dan pemekaran wilayah
serta kelalaian gubernur dalam mengendalikan kinerja kepala daerah kabupaten.
Belum lagi dengan asas-asas dalam pemilu daerah yang ternyata masih banyak
sekali pelanggaranya.
Dibuatnya UU No 32 Tahun 2004 tentang otonomi
daerah terutama yang tertuang dalam pasal 56 ayat 1 berkaitan dengan asas dan
penyelenggaran pemilihan kepala daerah saat ini ternyata belum dapat
dilaksanakan secara baik, dibuatnya undang-undang tersebut ternyata hanya
dianggap sebuah formalitas belaka. Sulitnya menegakan asas pemilihan umum
jujur dan adil adalah hal yang patut
diperhatikan karena dimanakah letak sisi demokratis suatu bangsa jika bangsanya
sendiri tidak jujur dan tidak adil. Banyak orang beranggapan bahwa sistem
demokrasi representative-prosedural yang dipakai indonesia saat ini menjadi
penyebab begitu sulinya menegakan nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Karena
rakyat dalam memilih belum mampu bersifat rasional memilih pemimpin daerahnya.
Proses pemilihan umum kepala daerah seharusnya merupakan suatu cara bagi
pemerintah agar dapat menciptakan suatu
kondisi demokratis suatu negara. Tetapi kini indonesia dihadapkan pada proses
demokratisasi yang tersendat oleh perilaku politik sekalalangan orang yang
tidak mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan keadilan.
UU
No 32 Tahun 2004 memunculkan praktek ketidakjujuran dalam bentuk money politik
Dengan disyahkanya UU No 32 Tahun 2004 berarti rakyat
indonesia tengah menabuh genderang kebebasan atas otonomi dan desentralisasi
kekuasaan yang pada undang-undang sebelumnya belum mampu diimplementasikan
secara murni. UU No 32 Tahun 2004 itu
sendiri mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung untuk memberikan
pemahaman dan pendidikan politik kepada masyarakat melalui partisipasi politik
masyarakat. Namun persoalan mendasar
pada UU No 22 Tahun 1999 dibawa kembali dan masalah-masalah itu
berpindah pada UU No 32 Tahun 2004. Undang-undang tersebut melimpahkan
kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur
yang lebih banyak bermakna politis dibandingkan adsminitratif. Persoalan yang dibawa kembali adalah praktek
politik uang dalam bentuk memberikan uang kepada setiap pemilih. Pemilihan
kepala daerah sudah tidak seharusnya menggunakan uang dalam pencapain kekuasaan
namun lebih menekankan pada kejujuran, keadilan serta tanggungjawab akan tugas
yang diemban dalam mensejahterakan masyarakat. Reformasi yang telah bergulir
dan sistem demokrasi yang tengah dijalankan ternyata diiringi dengan persoalan
klasik yang tetap menjadi akar permasalahan dari setiap pemilu yaitu adanya
praktek money politik. UU No 32 Tahun
2004 yang dibuat untuk menyempurnakan undang-undang sebelumnya ternyata
melahirkan masalah baru yang justru semakin menenggelamkan indonesia kedalam
demokrasi ketidakjujuran. Pemilihan umum daerah yang mengacu pada UU No 32
Tahun 2004 pada hakikatnya menjadi parameter demokratis tidaknya suatu negara. Pemilu baik itu ditingkat pusat ataupun
daerah memfasilitasi sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dengan yang
lainnya, maupun pergantian dari kelas elit yang lebih rendah yang kemudian naik
ke kelas elit yang lebih tinggi, sikulasi ini akan berjalan dengan sukses dan
tanpa kekerasan jika pemilihan umum diadakan dengan jujur, adil dan demokratis[4].
Pemilu
yang demokratis merupakan idaman bagi negara-negara yang menganut sistem
demokrasi, dimana rakyat dapat berpartisipasi secara langsung tanpa adanya
intervensi negara dalam melakukan kegiatan politik. Namun bagaimana
demokratisasi dapat dicapai jika dalam proses pemilihan umum khususnya di
daerah masih banyak terdapat kecurangan dan pelanggaran, bagaimanakah fungsi
dari UU No 32 Tahun 2004 khususnya pasal 56 ayat 1 yang sampai saat ini belum
diwujudkan secara nyata. Kekecewaan di masyarakat mengenai pemilihan kepala
daerah dapat memunculkan arogansi yang merasa tidak terima dari hasil pilkada
yang telah dicampuri dengan politik uang dan memanfaatkan mereka sebagai cara
memperoleh legitimasi kekuasaan. Problematika dan masalah-masalah yang timbul
pada pelaksanaan pemilu/pilkada di akibatkan peraturan pemerintah yang kurang tegas, baik secara
teknis maupun sistem aturan yang mengakibatkan timbulnya berbagai kasus
pelanggaran pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah di beberapa daerah. UU
No 32 Tahun 2004 masih banyak terdapat kelemahan-kelemahan dan kekuranganya
karena, undang-undang tersebut belum efektif berjalan dengan baik, masih
terlihat kendala secara teknis, maupun pengaturan sistem perundang-undangan
tersebut. Dengan kelemahan dan kekurangan UU No 32 Tahun 2004 justru dimanfaatkan
oleh para aktor politik hanya demi kepentingan mereka sendiri khususnya
kepentingan partai politik. Semua itu tentu saja berdampak pada tertundanya
kembali konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi tidak hanya tercipta pada
saat pemilihan umum secara prosedural
namun, yang seharusnya menjadi perhatian adalah melembaganya komitmen
demokrasi pada pemimpin daerah, partai-partai dan parlemen yang dihasilkan. Hal
itu pulalah yang menimbulkan tarik menarik antara kepentingan pribadi, kelompok
dan partai yang cenderung mengarah ke status quo politik ketimbang menuju sistem demokrasi yang lebih baik serta
pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
Berbagai dilema yang
menggelayuti wajah proses pemilihan umum kepala daerah di indonesia seharusnya
mampu sebagai penguat desentralisasi serta otonomi daerah dan dapat di
minimalisir guna meraih optimalisasi kebijakan dikeluarkanya UU No 32 Tahun
2004. Otonomi daerah yang ditafsirkan secara bebas oleh masing-masing daerah
memunculakan berbagai macam kepentingan hitam yang tidak lagi berprioritaskan
pada kepentingan untuk rakyat[5].
Masih banyak ditemui indikasi politik uang dan ketidaktaatan pada peraturan
yang hingga maraknya black campaign yang
semakin merusak tatanan pemilu di indonesia, dengan berbagai indikasi
kecurangan tersebut bukankah
UU No 32 Tahun 2004 yang berasaskan LUBER-JURDIL hanya sekedar formalitas
belaka?.
Money
politik dalam pemilukada
Pada dasarnya pemilihan umum kepala
daerah sangat menentukan sukses atau gagalnya otonomi di daerah tersebut.
Setiap penyelenggaran pemilihan kepala daerah mengemban tanggung jawab misi
desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah-daerah. Pemilihan jabatan
eksekutif berada dalam suatu wadah demokrasi lokal dalam lingkup asas pemerintahan-desentralisasi dan
didasarkan pada aturan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun
realitasnya tidak menunjukan gambaran yang demikian, kekuasaan di tingkat tokal
atau daerah justru banyak terjadi penyelewengan dalam pemilukada, seperti yang
kita semua ketahui indonesia beberapa kali menyelenggarakan pemilihan umum
kepala daerah langsung tetapi masih banyak persoalan di sana-sini terkait
dengan pemilukada.
Praktek pilkada langsung justu
menimbulkan banyak sekali mudarat dibanding manfaat. demokrasi seakan tidak
dapat menjamin kefektifitas, perbaikan sistem belum mengarah ke arah efektifitas
dan efisien selain itu pilkada di tingkat kabupaten kota cenderung
menghamburkan uang. banyak indikator yang memunculkan kegagalan pemilihan
kepala daerah secara langsung. Hal itu dapat di ukur dengan masih tingginya
tingkat praktek money politik dalam pemilikada. Masih banyaknya indikasi
kecurangan dalam bentuk pemberian uang secara cuma-cuma oleh pasangan calon
agar dapat memenangkan pilkada. Istilah yang sering digunakan adalah “serangan
fajar” yang semakin menimbulkan konflik ditengah-tengah masyarakat. Hampir di
setiap daerah pada saat pemilihan kepala daerah pasti akan tercium adanya
indikasi kecurangan dalam bentuk money
politik. fenomena politik uang pemilihan kepala daerah baik untuk mengisi
jabatan gubernur/wakil gubernur, jabatan bupati dan wakil bupati serta jabatan
walikota dan wakil walikota terdapat beberapa hal yang mungkin tidak diketahui
oleh masyarakat umum. Praktek politik uang ini sangat tertutup hanya diketahui
oleh para calon atau orang-orang yang berada pada “ring dalam” para calon saja.
Dalam permainan politik uang seorang calon kepala daerah beserta tim suksesnya
harus menguasai benar kondisi lapangan. Pertimbangan kehati-hatian ini
dilakukan oleh para calon agar uang yang mereka gelontorkan tepat sasaran[6].
berikut ini adalah beberapa contoh daerah yang di indikasikan terjadi money politik
Tabel
Indikasi
kecurangan money politik di beberapa
daerah
No
|
Daerah
|
Indikasi kecurangan
|
1
|
Kabupaten
Lombok Timut
|
Terjadi
pemaksaan dan pengancaman terhadap pemilih apabila tidak memilih Pasangan Nomor 2 tidak
diizinkan mengikuti kegiatan
kampus, hal ini melanggar asas dari PILKADA yang bersifat LUBER
|
2
|
Kabupaten Lombok Tengah
|
Bahwa lebih dari 1000 orang
warga Puyung dibayar untuk memilih dan
mencoblos Pasangan Nomor 2 ini berarti terjadi pembelian suara melanggar asas dari PILKADA yang bersitat
langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (LUBER)
|
3
|
Kota Mataram
|
Bahwa
lebih dari 1000 orang Warga Mataram dibayar untuk memilih dan mencoblos Pasangan Nomor 2 ini berarti terjadi
pembelian suara melanggar asas dari PILKADA yang bersifat langsung, Umum,
Bebas dan Rahasia (LUBER)
|
4
|
Lombok Barat
|
Bahwa
terjadi pencoblosan dengan mempergunakan 2 kartu suara (Ganda) terdapat
sekitar kurang lebih 3000 orang pemilih dengan memberikan suara menjadi 6000 suara
|
Sumber: kompasiana.com 30/1/2012
Dari contoh tabel indikasi kecurangan money politik di beberapa daerah yang
telah dipaparkan menunjukan adanya
implikasi yang amat sangat jelas bahwa uang sangat berperan dalam proses
pemilihan kepala daerah. Dengan mengatas namakan kepentingan rakyat, contoh
daerah-daerah lain yang juga melakukan money politik pada saat pilkada dan
masih banyak lagi berbagai motif yang berbeda-beda tentang
kecurangan-kecurangan saat pilkada. Tapi ada satu kesamaan mengapa setiap
daerah melakukan money politik yaitu
demi memperoleh suara banyak serta legitimasi kekuasaan di daerah. Dengan
demikian sudah dapat diperkirakan kualitas pemilihan kepala daerah seperti
apakah jika dalam proses pemilihan menggunakan cara-cara yang kotor dan tidak
jujur seperti money politik.
Indonesia
kini dihapkan pada situasi yang dilematis yaitu di satu sisi harus menjalankan
demokrasi secara menyeluruh demi mencapai demokratisasi dan kesejahteraan
rakyat tapi di sisi yang lain demokrasi prosedural yang kini dilaksanakan
menimbulkan ancaman bagi keberlangsungan moral bangsa yang terus dibohongi dan
dipermainkan dengan adanya money politik
tersebut. Dengan kondisi yang demikian kita harusnya kembali kepada aturan
perundang-undangan, yaitu dimanakah fungsi serta peran UU No 32 Tahun 2004
khususnya pasal 56 ayat 1 yang menjadi pegangan dalam menjalankan pemilihan
kepala daerah berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Pilkada Banten banyak di selimuti kecurangan
Dari
berbagai masalah ketidak mampuan UU No 32 Tahun 2004 dalam menjawab persoalan money politik maka yang terjadi adalah
kasus politik uang yang semakin melebar dan mengakar sampai keranah pemilihan
umum kepala daerah khususnya di banten. Pilkada banten dinilai sarat akan money politik dan dinilai terburuk
se-indonesia. Sosialisasi secara langsung kepada masyarakat banten agar dapat
memilih secara rasional nyatanya belum dapat terlaksana secara baik masih
banyak ditemui kasus-kasus money politik
yang dilakukan di banten dengan berbagai modus
seperti pemberian “door prise”, hadiah-hadiah ataupun pemberian uang dan
barang dalam bentuk lainya. Pemberian dalam bentuk uang ataupun barang yang
dilakukan oleh pasangan calon gubernur dilakukan secara terbuka maupun
tertutup. Dan dalam melakukan tindakan tersebut dilakukan secara terstruktur
dan terencana secara matang agar mengenai secara tepat dalam masyarakat.
Pada
proses pemilihan kepala daerah banten seakan-akan mengindahkan adanya UU No 32
Tahun 2004 terutama pasal 56 ayat 1 dan lebih didominasi kepentingan hitam para
elit parpol. Contoh nyatanya adalah seorang bakal calon gubernur banten yaitu
H.Suhaimi menyatakan mengundurkan diri dari pilkada banten 2011 karena tidak sanggup membayar partai politik
yang akan mendukungnya dalam perebutan kursi gubernur banten dan dia menyatakan
disuruh membayar 1 milyar per kursi di DPRD banten[7]. Pilkada
yang dilaksanakan banten dapat berdampak pada gugatan ke Mahkamah Konstitusi
karena sepanjang bukti-bukti yang ada dapat menguatkan adanya indikasi
kecurangan maka akan sangat dimungkinkan untuk di proses ke mahkamah
konstitusi. Kasus-kasus seperti warga yang tidak mendapatkan hak pilih,
penggelembungan suara, pemberian uang sogokan pada warga, sampai hal yang
paling krusial sistem komputer KPU dalam merekapitulasi penghitungan suara.
Panwaslu
juga menerima berbagai laporan pelanggaran dalam proses pemilihan kepala
daerah. Ada sekitar 6 laporan terkait pelanggaran, menurut Ketua Divisi
Pengawasan dan Humas Panwaslu Banten Sabihis mengatakan ada beberapa calon yang
memberikan sejumlah uang ataupun barang kepada masyarakat. Salah satu calon
yang paling mendapatkan sorotan adalah Ratu atut-Rano karno yang diindikasikan
menyelewengkan uang sekitar 380 milyar untuk pilkada. Walaupun pasangan
tersebut dinyatakan menang namun mereka belum bisa tenang karena mereka harus
mendapatkan berbagai macam gugatan yang ditayangkan kepada mereka.
Penyelewengan dana tersebut digunakan untuk pemilihan kepala daearah banten,
dan digunakan untuk memenangkan pasangan incumbent ini. Indonesia corruption
watch(ICW) dan Komisi Pembrantasan Korupsi(KPK) juga pernah memeriksa Atut
sehubungan dengan penyelewengan dana APBN sebesar Rp 340 milyar untuk dana
hibah, dan 51 milyar untuk dana bantuan sosial yang dialokasikan pada tahun 2011. Banyak orang yang yakin dana ini melebar
menjadi praktek kampanye hitam dan permainan politik uang agar dapat memenangi
kembali perebutan kursi banten 1.
Money
politik jelas terjadi pada kasus pemilihan gubernur banten, peredaran dalam
jumlah yang besar dapat dirasakan pada H-1 dan pagi hari sebelum pencoblosan.
Menurut patra salah seorang warga banten pembagian uang terjadi di beberapa
wilayah dengan kisaran uang Rp 5000- Rp 150.000 Contohnya di Kelurahan
Pedurenan Kecamatan Karang Tengah, Kota Tangerang, lanjutnya, terjadi pembagian
uang sebesar Rp 30.000 kepada warga agar mencoblos pasangan dengan nomor urut
satu. Begitu pula yang terjadi di Kampung Baruan, Desa Sindan Sari, Kecamatan
Pabuaran, Kabupaten Serang, tim sukses pasangan dengan nomor urut satu diduga
membagikan uang sebesar Rp 150.000 kepada warga.
dari berbagai pelanggaran tersebut
dapat dikatakan bahwa banten dalam melaksanakan proses pemilihan kepala daerah
belum mampu menyelenggarakan sebuah pemilu yang benar-benar mampu menciptakan
proses demokratisasi di indonesia, pasal 56 ayat 1 UU No 32 Tahun 2004 seakan
hanya formalitas belaka yang merupakan produk Undang-undang yang semestinya
mampu menciptakan kultur budaya partisipan di masyarakat belum mampu diwujudkan
dalam pilkada banten. Indonesia dan daerah semestinya mampu memperbaiki dan
meningkatkan kapasitas undang-undang tersebut dan memaksimalkan agar dapat
dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Asas jujur dan adil harus tetap
menjadi acuan dalam menyelenggarakan pemilihan umum baik di tingkat pusat
maupun daerah, dengan mengacu pada asas jujur dan adil proses pemilihan kepala
daerah dimanapun akan berjalan dengan baik dan indonesia yang
demokratis akan terwujud.
Memimpikan pesta demokrasi
yang jujur dan adil sesuai asas dalam pemilu
Problematika dan masalah-masalah yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah saat ini memang masih di penuhi dengan
pelanggaran baik secara langsung ataupun tidak langsung. Mendambakan sebuah
demokrasi yang jujur dan adil rasanya belum mampu dicapai selama dalam proses
penyelenggaraan pemilu belum berjalan dengan baik. Undang-undang yang
semestinya mampu berfungsipun masih belum dirasakan
keberadaanya,
karena sifatnya saat ini hanya sebagai formalitas saja. masyarakat dan
pemerintah seakan tidak mampu meresapi apa arti sebuah kejujuran dan keadilan dalam
menegakan demokrasi di indonesia. Sistem demokrasi yang memungkinkan siapa saja dapat
menjadi pemimpin dirasakan justru digunakan sebagai ajang perebutan kursi dan cara
mendapatkan legitimasi kekuasaan dengan jalan apapun tanpa memperhatikan
kepentingan rakyat. Sistem demokrasi yang baik adalah sistem demokrasi yang
tetap memperhatikan asas-asas dalam penyelenggaraan pemilu seperti jujur dan
adil. Jika asas jujur dan adil masih tetap tidak diperhatikan dalam setiap
penyelenggaraan pemilu maka hanya akan memunculkan dampak yang cukup besar
untuk kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kelanjutanya.
Terlepas dari berbagai persoalan
yang senantiasa timbul dalam proses pilkada seperti money politik, black campaign,
dan tindakan-tindakan lain yang jauh dari kata jujur dan adil, maka pilkada
akan tetap dihayati sebagai ruang untuk kembali memulihkan harapan demi
kehidupan bersama yang lebih baik dan menuju ke proses demokratisasi yang maju.
Sebuah kondisi yang wajar ketika proses carut-marut pemilihan pemimpin baik di
tingkat pusat ataupun daerah menjadi indikator demokrasi sedang berjalan
walaupun dihadang dengan masalah-masalah. Yang terpenting jangan sampai dalam mencapai
demokratisasi tersebut membuat orang merasa anti politik dan partisipasi serta
hikmat kebijaksanaan yang sebagai landasan kepemimpinan dalam sistem demokrasi
pancasila yang kita anut kini.
Tanpa adanya dengan dukungan semua pihak atau seluh
stick holder demokrasi yang jujur dan adil tidak bisa tercapai. Oleh karena itu
untuk menciptakanya di butuhkan kesadaran dalam diri terlebih dahulu dalam
menciptakan demokratisasi. Selain itu untuk menumbuhkan kesadaran akan
pentingnya niali-nilai dalam demokrasi perlu adanya pemegang otorita tinggi
atau dalam hal ini adalah gubernur untuk mampu memberikan pemahaman akan pentingnya niali-niali tersebut sehingga
rakyat bisa menilai sekaligus mengawasijalanya demokras dan pemerintahan agar
terhindar dari penyelahgunaan wewenang dan kekuasaan yang berbau politik.
Pemerintahan lokal dalam hal ini adalah otonomi daerah dan pemilukada akan
berjalan lebih demokratis jika mampu membangun sebuah akuntabilitas dari para
wakil pimpinan daerah yang terpilih tersebut
.
Penutup
Sebagai produk hukum seharusnya UU No 32 Tahun 2004
khususnya pasal 56 ayat 1 seharunya bukan hanya dijadikan sebagai formalitas
belaka, namun bagaimana pemerintah baik pusat dan khususnya pemerintah daerah
mampu membangun sebuah kontruksi bangunan demokrasi yang mengarah kepada
asas-asas tersebut diatas. Penyelenggaraan pilkada harusnya dijadikan sebuah
momentum bagi pemerintah dan rakyat agar dapat mengembangkan demokrasi yang
lebih baik yaitu berlandaskan pancasila dan UUD 45. Problematika yang menyertai
proses pilkada harus dijadikan titik perbaikan dalam pelaksanaan pilkada yang
baik dan untuk mencapai semua itu dibutuhkan sebuah langkah perbaikan dalam
sistem dan pelaksanaanya.
Lalu bagaimanakah perbaikan yang seharusnya dilakukan
oleh pemerintah pusat ataupun daerah dalam melaksanakan pemilihan umum guna menciptakan sistem demokrasi yang jujur
dan adil. Dalam menangani masalah pemilu yang banyak menimbulkan masalah baru
terkait dengan dikeluarkanya UU No 32 Tahun 2004 maka pemerintah harus mengkaji
kembali apakah dengan otonomi seluas-luasnya kepada daerah merupakan
satu-satunya jalan menciptakan demokratisasi. Jika pemilihan kepala daerah
hanya dilaksanakan pada tingkat provinsi saja mungkin biaya penyelenggaraan
pemilukada bisa ditekan seminimal mungkin. Selain itu proses pemilihan di
tingkat kabupaten kota di pilih oleh DPRD dengan tetap memperhatikan aspirasi
rakyat. Dengan begitu jalanya pemilihan umum daerah yang diselimuti kecurangan
bisa dikurangi dengan menekan biaya dan serta mobilitas politik di daerah.
Bibliografi
Amzulian, Rifai.
2003. Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala
Daerah.
Jakarta: Ghalia press.
Gie,
The Liang. Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik
Indonesia , Jilid 1. Yogyakarta: Liberti, 1993.
Manan, bagir.
2004. Menyongsong fajar otonomi daerah. Yogyakarta:
penerbit pusat studi hukum (PSH) FH UII.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Otonomi daerah dan pasal 56 ayat 1 tentang asas-asas dalam penyelenggaraan
pemilu.
Muhtadi, Burhanudin. 2011. Pilkada Banten dinilai Terburuk se-Indonesia. Jurnal tuddopoli, 28
oktober 2011 http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2011/10/28/pilkada-banten-dinilai-terburuk-se-indonesia/ (di akses pada tanggal 26 november
2012)
Nugroho, Nunung Dwi. 2011. Dilema Pemilihan Umum Kepala Daerah Sebagai Instrumen Penguatan
Desentralisasi dan Otonomi Daerah. kompasiana.com. 26 mei 2011 http://politik.kompasiana.com/2011/05/26/dilema-pemilihan-umum-kepala-daerah-sebagai-instrumen-penguatan-desentralisasi-dan-otonomi-daerah-367417.html ( di akses pada tanggal 26 november
2012)
Suryana, Djohan. Tarif
Calon Gubernur Banten. kompasiana.com,
26 juli 2012, dalam http://politik.kompasiana.com/2011/07/26/tarif-calon-gubernur-banten/( di akses pada tanggal 26 November
2012)
Mustafa, Walid. Pemilu
dan Proses Demokratisasi di Indonesia. Kompasiana.com, 29 juni 2012, dalam http://politik.kompasiana.com/2012/06/29/pemilu-dan-proses-demokratisasi-di-indonesia/( di akses pada tanggal 26 november
2012)
[1] UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 56 ayat (1) merupakan undang-undang yang berisikan tentang asas-asas pemilihan
umum yang harus dijalankan dan dilaksanakan sesuai atuaran pemilihan umum dan
tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
[2] Burhanudin Muhtadi,
“Pilkada Banten dinilai Terburuk se-Indonesia”, jurnal tuddopoli, 28 oktober
2011 dalam http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2011/10/28/pilkada-banten-dinilai-terburuk-se-indonesia/(diakses 26 november 2012)
[3] Lahirnya UU No 22 Tahun
1999 menunjukan adanya pergerakan konflik antara pusat-daerah. Kebijakan
desentralisasi memunculkan problematika terutama aspek penyelenggaraan
pemerintahan, kewenangan keuangan dan pemilihan kepala daerah. Dengan adanya
kecenderungan permasalahan tersebut maka seiring dengan perkembangan
globalisasi dan UU 1945 yang telah di amandemen maka munculah UU No 32 Tahun
2004 yang telah disesuaikan dengan amandemen I, II, III, dan IV yang diharapkan
mampu mengimplementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah secara lebih
baik.
Manan, bagir,
“Menyongsong fajar otonomi daerah”, penerbit pusat studi hukum (PSH) FH UII,
Yogyakarta, 2004.
[4] Walid mustafa, “Pemilu
dan Proses Demokratisasi di Indonesia”, Kompasiana.com, 29 juni 2012, dalam http://politik.kompasiana.com/2012/06/29/pemilu-dan-proses-demokratisasi-di-indonesia/(diakses 26 november 2012)
[5] Nunung
dwi nugroho, “Dilema
Pemilihan Umum Kepala Daerah Sebagai Instrumen Penguatan Desentralisasi dan
Otonomi Daerah”, kompasiana.com, 26 mei
2011, http://politik.kompasiana.com/2011/05/26/dilema-pemilihan-umum-kepala-daerah-sebagai-instrumen-penguatan-desentralisasi-dan-otonomi-daerah-367417.html(diakses 26 november 2012)
[7] Djohan suryana, “Tarif
Calon Gubernur Banten”, kompasiana.com, 26 juli 2012, http://politik.kompasiana.com/2011/07/26/tarif-calon-gubernur-banten/(diakses 26 november 2012)
Simanjuntak, Payaman J. Manajemen
Hubungan Industrial. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2011.
Djumialdji, F.X. Perjanjian Kerja. Jakarta:
Sinar Grafika, 2008.
The Chicago Manual of Style Sexteenth Edition.
Chicago: The Universitas of
Chicago Press, 2010.
Mohamad Faiz, Pan. ”OUTSOURCING
(ALIH DAYA) DAN PENGELOLAAN TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN: (Tinjauan Yuridis
terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).” Jurnalhukum.blogspot.com. May 20, 2007.
http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing-dan-tenaga-kerja.html.
Wijayanti, Asri. “Hukum Ketenagakejaan Pasca Reformasi.” Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
Sutedi, Adrian. “Hukum Perburuhan.” Jakarta: Sinara Grafika, 2009.
Maulana,
Prawira. “Inilah Putusan MK Soal Penghapusan ‘Outsourcing’!.” Kompas.com. 21
Januari 2012. http://nasional.kompas.com/read/2012/01/21/22270675/Inilah.Putusan.MK.Soal.Penghapusan.Outsourcing.
“Outsourcing,
Ada Sejak Zaman Romawi.” Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan
Provinsi Jawa Timur. Diakses 25 Desember 2012, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/majalah-sdm-plus/64-edisi-133-januari-2012/623-outsourcing-ada-sejak-zaman-romawi.
Indrasari
Tjandraningsih, “Serikat Buruh atau Serikat Pekerja di Indonesia.” Serikat Pekerja Perkebunan. Diakses 25
Desember 2012, http://www.pn8.co.id/spbunpn8/index.php?option=com_content&view=article&id=50%3Aserikat-buruh-serikat-pekerja-di-indonesia&Itemid=50.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
KEP.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa
Pekerja/Buruh
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011
[1] International
Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional yang bertanggungjawab
dalam mengatur jalannya sistem finansial global dan menyediakan pinjaman bagi
negara-negara anggotanya. World Bank adalah
lembaga keuangan internasional yang menyediakan pinjaman bagi negara-negara
berkembang di seluruh dunia. Tujuan utama World
Bank adalah menuntaskan kemiskinan di seluruh dunia. International Labor Organization adalah lembaga Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang mewadahi isu-isu dan masalah-masalah buruh di seluruh dunia.
[2] Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasal 1 ayat 3.
[3]
Indrasari Tjandraningsih, “Serikat Buruh atau Serikat Pekerja di Indonesia,” Serikat Pekerja Perkebunan, diakses 25
Desember 2012, http://www.pn8.co.id/spbunpn8/index.php?option=com_content&view=article&id=50%3Aserikat-buruh-serikat-pekerja-di-indonesia&Itemid=50.
[4] Washingrin
Consensus merupakan sebutan bagi sepuluh kebijakan ekonomi oleh John
Wiliamson pada tahun 1989.
[5]
“Outsourcing, Ada Sejak Zaman Romawi,” Dinas
Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependududkan Provinsi Jawa Timur, diakses
25 Desember 2012, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/majalah-sdm-plus/64-edisi-133-januari-2012/623-outsourcing-ada-sejak-zaman-romawi.
No comments:
Post a Comment