Friday, November 7, 2014

Implementasi UU No 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah dalam Pilkada Banten: Mendamba Pesta Demokrasi Yang Jujur dan Adil

Studi ini akan menganalisis tentang implementasi UU No 32 Tahun 2004  yang mengatur tentang Otonomi daerah serta problematika yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah Banten yang sarat akan kecurangan. Indonesia yang menganut sistem desentralisasi kekuasaan yaitu pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan dan hak kepada masyarakat daerah untuk mengatur serta mengurus urusan permasalahan daerah secara mandiri. Kewenangan dan hak pemerintah daerah digunakan untuk mengatasi masalah masyarakat setempat guna meningkatkan penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pembangunan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemlilihan kepala daerah dalam hal ini adalah merupakan bentuk implementasi dari pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Namun dalam pelaksanaanya pemilihan umum kepala daerah  tidak akan terlepas dari dilema dan problematika yang berkaitan dengan proses pemilihan kepala daerah. Banyak persoalan  menghinggapi setiap kali pemilukada, salah satu persoalan yang selalu ada setiap kali pemilukada adalah praktek money politik, serta ketidak adilan dan kejujuran. Praktek kecurangan tersebut merupakan pelanggaran dalam pemilu, yang tidak sesuai dengan peraturan  UU No 32 Tahun 2004 terutama pasal 56 ayat 1. Salah satu daerah yang diindikasikan melakukan pelanggaran tersebut adalah provinsi Banten yang telah melakukan pemilukada tanggal 22 oktober 2011. Pemilukada yang dilaksanakan di Banten mencerminkan adanya indikasi kegagalan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang sarat akan kecurangan. Bukan hanya di daerah Banten namun, di daerah-daerah lain juga terkena permasalahan klasik yang menyangkut proses pelaksanaan pilkada yang bermasalah. Mendambakan adanya demokrasi yang berorientasikan pada asas-asas dalam pemilu serasa baru angan-angan yang belum dapat terlihat implementasinya. Rakyat hanya sebagai objek pembodohan dan bukan sebagai aktor dalam mencapai demokratisasi di Indonesia.
Kata kunci: uu no 32 tahun 2004 pasal 56 ayat 1, otonomi daerah, pilkada banten, asas jujur dan adil

Pendahuluan
Landasan hukum pemilihan umum kepala daerah adalah pancasila, undang-undang dasar 1945 dan peraturan spesifiknya tertuang dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah. Yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi. Pemerintah daerah adalah terdiri dari Gubernur, Bupati, Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. otonomi daerah mempunyai hak, wewenang, dan kewajiban terhadap daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat. Didalam otonomi daerah terkenal dengan namanya prinsip desentralisasi, prinsip desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan sistem Dekonsentrasi yaitu berupa pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan kepada instansi di wilayah tertentu.
Dengan kewenangan yang dilandasi PP No 1 Tahun 2009 maka pemerintahan daerah wajib menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah. Kewenangan inilah yang memberikan kesempatan bagi masyarakat daerah untuk dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik yaitu memilih secara langsung  masing-masing pemimpin atau kepala daerah. Tujuan dengan diadakanya pemilihan kepala daerah adalah untuk mencapai efisiensi dan efektifitas dalam hal penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang sangat perlu di tingkatkan. Tujuan tersebut tidak terlepas dari peran pemerintah pusat yang tetap menjadi pemegang kekuasaan utama. Pemerintah daerah di berikan kewenangan oleh pemerintah pusat agar mampu menggali potensi dan keanekaragaman daerah guna menghadapi tantangan global. Pemilihan umum yang dilaksanakan di daerah merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam negara kesatuan republik Indonesia.
          Namun dalam implementasi pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah masih banyak permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan sistem aturan yang terkesan tidak mencerminkan rasa keadilan dan kejujuran. Banyak kecurangan terjadi selama proses penyelenggaraan pemilihan umum baik di tingkat pusat ataupun daerah. Salah satu pelanggaran atau kecurangan yang selalu ada dalam pemilihan umum adalah praktek money politik. indikasi adanya kecurangan money politik sudah jelas menodai Undang-undang terutama UU No 32 Tahun 2004 pasal 56 ayat 1 yang menyebutkan Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil[1].
            Indikasi adanya kecurangan money politik terjadi pada pemilihan umum daerah provinsi Banten. Pada pemilihan umum kepala daerah tersebut terdengar isu yang menyatakan ada salah satu calon Gubernur dan wakil gubernur provinsi Banten yang melakukan money politik. Pilkada yang diselenggarakan di Banten tersebut memang sarat kecurangan dan dinilai paling buruk dalam sistem pemilihan umum daerah. Praktek-praktek kecurangan tersebut banyak melibatkan para tim sukses masing-masing calon Gubernur. Tulisan ini mencoba mengkritisi implementasi UU No 32 Tahun 2004 khusunya pasal 56 ayat 1 tentang otonomi daerah yang pada kenyataanya belum mampu dilaksanakan dengan baik dan benar terutama dalam pemilihan umum daerah Banten yang sarat akan kecurangan dan money politik.[2]
            Money politik yang terjadi di daerah Banten ataupun di daerah lain merupakan cerminan kegagalan pemerintah dalam menjalankan sistem otonomi daerah, karena masih banyaknya kasus-kasus pelanggaran yang terjadi dalam pemilukada ataupun pemilu pada umumnya. Bentuk kebijakan pemerintah yang dikeluarkan melalui UU No 32 Tahun 2004 Pasal 56 ayat 1 pada kenyataanya menyimpang dari undang-undang dan cenderung dibiarkan oleh pemerintah. Padahal kebijakan diadakanya otonomi daerah tersebut untuk menciptakan semangat demokrasi bangsa Indonesia yang pada masa orde baru hilang dan tidak dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia. Maka dari itu fokus tulisan ini adalah membahas bagaimana implementasi UU No 32 Tahun 2004 terutama pasal 56 ayat 1 tentang otonomi daerah dan asas dalam pemilu serta bentuk pelanggaran yang di lakukan dalam pemilukada Banten yang merefleksikan kegagalan dalam sistem pemilihan kepala daerah.



 Diberlakukanya uu no 32 tahun 2004
Mulai tahun 2000 otonomi daerah menggaung luas dan dipraktikkan secara massif. Setelah berjalan 1 dasawarsa terakhir, disadari otonomi daerah telah mengubah wajah politik Indonesia menjadi sangat berbeda dari yang pernah ada dalam sejarah sebelumnya. Semangat awalnya bermaksud menciptakan pemerintahan yang baik (good governance) di tingkat lokal. Kehadirannya disokong lembaga multinasional seperti World Bank dan International Monetary Fund (IMF). World Bank menyatakan bahwa desentralisasi atau otonomi daerah adalah “the big bang” (dentuman besar) dalam politik Indonesia
Dengan diberlakukanya otonomi dan desentralisasi pada tahun 2000 telah  memberikan perubahan yang sangat berarti bagi setiap daerah untuk bersentuhan langsung dengan demokrasi dan secara penuh  dapat dijamin oleh undang-undang. Perjalanan otonomi dan kebebasan daerah untuk mendapatkan perlakuan yang lebih demokratis mulai mendapatkan respon dari pemerintah. Pada mulanya undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah yaitu UU No 5 Tahun 1974 sudah diberlakukan dalam bentuk pemilihan kepala daerah, namun karena besarnya intervensi pemerintah pusat maka undang-undang tersebut dirasa tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Setelah kegagalan UU No 5 Tahun 1974 maka dikeluarkanlah undang-undang baru yaitu UU No 22 Tahun 1999 yaitu mengenai otonomi-desentralisasi yang justru  memunculkan banyak konflik [3].
Pada ahkirnya  UU No 32 Tahun 2004 muncul sebagai solusi dari berbagai latar belakang masalah yang berkaitan dengan otonomi daerah dan sebagai penyempurna undang-undang sebelumnya. Dengan diberlakukanya undang-undang baru tersebut di harapkam mampu membalikan hak-hak masyarakat dalam alam demokrasi yang secara nyata berhak atas memilih-dipilih. Dikeluarkanya UU No 32 Tahun 2004 memberikan corak baru dalam sistem pemilihan umum terutama pemilihan umum kepala darah yang diberikan hak yang sama yaitu dipilih secara langsung. Sistem pemerintahan pada waktu orde baru yang bersifat sentralistik berganti dengan sistem desentralistik dan menghapus sekat antara pemerintah dan rakyat. Bentuk kewenangan yang diberikan kepada daerah menjadi impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik pada jaman orde baru lebih menempatkan posisi daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting dan dipinggirkan.
            Dalam perkembangan sistem perpolitikan di indonesia yang ditandai dengan reformasi semakin membuka lebar sistem demokrasi dan kebebasan yang seluas-luasnya. Hal itu ditandai dengan munculnya reformasi yang melahirkan berbagai macam aturan baru perundang-undangan yang mampu memperhatikan semangat kebebasan. Akan tetapi apakah di tengah-tengah optimisme dan semangat reformasi tersebut terbesit kekhawatiran akan ketidakmampuan daerah terutama dalam menjalankan sistem pemerintahan daerahnya sendiri dalam hal pemilihan kepala daerah. Praktek politik dalam konteks otonomi daerah banyak menguntungkan elit politik dan elit ekonomi lokal. Mereka diibaratkan sebagai raja-raja kecil di daerah. Dalam kurun waktu dasawarasa otonomi yang telah diberikan justru memunculkan persoalan baru yang dirasa cenderung mengarah pada kebangkrutan negara. Tumbuhnya politik identitas dan bosisme menggeser praktek korupsi ke daerah, booming politik uang dan pemekaran wilayah serta kelalaian gubernur dalam mengendalikan kinerja kepala daerah kabupaten. Belum lagi dengan asas-asas dalam pemilu daerah yang ternyata masih banyak sekali pelanggaranya.
 Dibuatnya UU No 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah terutama yang tertuang dalam pasal 56 ayat 1 berkaitan dengan asas dan penyelenggaran pemilihan kepala daerah saat ini ternyata belum dapat dilaksanakan secara baik, dibuatnya undang-undang tersebut ternyata hanya dianggap sebuah formalitas belaka. Sulitnya menegakan asas pemilihan umum jujur  dan adil adalah hal yang patut diperhatikan karena dimanakah letak sisi demokratis suatu bangsa jika bangsanya sendiri tidak jujur dan tidak adil. Banyak orang beranggapan bahwa sistem demokrasi representative-prosedural yang dipakai indonesia saat ini menjadi penyebab begitu sulinya menegakan nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Karena rakyat dalam memilih belum mampu bersifat rasional memilih pemimpin daerahnya. Proses pemilihan umum kepala daerah seharusnya merupakan suatu cara bagi pemerintah agar dapat  menciptakan suatu kondisi demokratis suatu negara. Tetapi kini indonesia dihadapkan pada proses demokratisasi yang tersendat oleh perilaku politik sekalalangan orang yang tidak mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan keadilan.

UU No 32 Tahun 2004 memunculkan praktek ketidakjujuran dalam bentuk money politik
Dengan disyahkanya UU No 32 Tahun 2004 berarti rakyat indonesia tengah menabuh genderang kebebasan atas otonomi dan desentralisasi kekuasaan yang pada undang-undang sebelumnya belum mampu diimplementasikan secara murni. UU No 32 Tahun 2004  itu sendiri mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung untuk memberikan pemahaman dan pendidikan politik kepada masyarakat melalui partisipasi politik masyarakat. Namun persoalan mendasar  pada UU No 22 Tahun 1999 dibawa kembali dan masalah-masalah itu berpindah pada UU No 32 Tahun 2004. Undang-undang tersebut melimpahkan kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur  yang lebih banyak bermakna politis dibandingkan adsminitratif.  Persoalan yang dibawa kembali adalah praktek politik uang dalam bentuk memberikan uang kepada setiap pemilih. Pemilihan kepala daerah sudah tidak seharusnya menggunakan uang dalam pencapain kekuasaan namun lebih menekankan pada kejujuran, keadilan serta tanggungjawab akan tugas yang diemban dalam mensejahterakan masyarakat. Reformasi yang telah bergulir dan sistem demokrasi yang tengah dijalankan ternyata diiringi dengan persoalan klasik yang tetap menjadi akar permasalahan dari setiap pemilu yaitu adanya praktek money politik. UU No 32 Tahun 2004 yang dibuat untuk menyempurnakan undang-undang sebelumnya ternyata melahirkan masalah baru yang justru semakin menenggelamkan indonesia kedalam demokrasi ketidakjujuran. Pemilihan umum daerah yang mengacu pada UU No 32 Tahun 2004 pada hakikatnya menjadi parameter demokratis tidaknya suatu negara. Pemilu baik itu ditingkat pusat ataupun daerah memfasilitasi sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dengan yang lainnya, maupun pergantian dari kelas elit yang lebih rendah yang kemudian naik ke kelas elit yang lebih tinggi, sikulasi ini akan berjalan dengan sukses dan tanpa kekerasan jika pemilihan umum diadakan dengan jujur,  adil dan demokratis[4].
            Pemilu yang demokratis merupakan idaman bagi negara-negara yang menganut sistem demokrasi, dimana rakyat dapat berpartisipasi secara langsung tanpa adanya intervensi negara dalam melakukan kegiatan politik. Namun bagaimana demokratisasi dapat dicapai jika dalam proses pemilihan umum khususnya di daerah masih banyak terdapat kecurangan dan pelanggaran, bagaimanakah fungsi dari UU No 32 Tahun 2004 khususnya pasal 56 ayat 1 yang sampai saat ini belum diwujudkan secara nyata. Kekecewaan di masyarakat mengenai pemilihan kepala daerah dapat memunculkan arogansi yang merasa tidak terima dari hasil pilkada yang telah dicampuri dengan politik uang dan memanfaatkan mereka sebagai cara memperoleh legitimasi kekuasaan. Problematika dan masalah-masalah yang timbul pada pelaksanaan pemilu/pilkada di akibatkan peraturan pemerintah yang kurang tegas, baik secara teknis maupun sistem aturan yang mengakibatkan timbulnya berbagai kasus pelanggaran pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah di beberapa daerah. UU No 32 Tahun 2004 masih banyak terdapat kelemahan-kelemahan dan kekuranganya karena, undang-undang tersebut belum efektif berjalan dengan baik, masih terlihat kendala secara teknis, maupun pengaturan sistem perundang-undangan tersebut. Dengan kelemahan dan kekurangan UU No 32 Tahun 2004 justru dimanfaatkan oleh para aktor politik hanya demi kepentingan mereka sendiri khususnya kepentingan partai politik. Semua itu tentu saja berdampak pada tertundanya kembali konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi tidak hanya tercipta pada saat pemilihan umum secara prosedural  namun, yang seharusnya menjadi perhatian adalah melembaganya komitmen demokrasi pada pemimpin daerah, partai-partai dan parlemen yang dihasilkan. Hal itu pulalah yang menimbulkan tarik menarik antara kepentingan pribadi, kelompok dan partai yang cenderung mengarah ke status quo politik ketimbang menuju sistem demokrasi yang lebih baik serta pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
Berbagai dilema yang menggelayuti wajah proses pemilihan umum kepala daerah di indonesia seharusnya mampu sebagai penguat desentralisasi serta otonomi daerah dan dapat di minimalisir guna meraih optimalisasi kebijakan dikeluarkanya UU No 32 Tahun 2004. Otonomi daerah yang ditafsirkan secara bebas oleh masing-masing daerah memunculakan berbagai macam kepentingan hitam yang tidak lagi berprioritaskan pada kepentingan untuk rakyat[5]. Masih banyak ditemui indikasi politik uang dan ketidaktaatan pada peraturan yang hingga maraknya black campaign yang semakin merusak tatanan pemilu di indonesia, dengan berbagai indikasi kecurangan tersebut bukankah UU No 32 Tahun 2004 yang berasaskan LUBER-JURDIL hanya sekedar formalitas belaka?.

Money politik dalam pemilukada
            Pada dasarnya pemilihan umum kepala daerah sangat menentukan sukses atau gagalnya otonomi di daerah tersebut. Setiap penyelenggaran pemilihan kepala daerah mengemban tanggung jawab misi desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah-daerah. Pemilihan jabatan eksekutif berada dalam suatu wadah demokrasi lokal dalam lingkup asas pemerintahan-desentralisasi dan didasarkan pada aturan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun realitasnya tidak menunjukan gambaran yang demikian, kekuasaan di tingkat tokal atau daerah justru banyak terjadi penyelewengan dalam pemilukada, seperti yang kita semua ketahui indonesia beberapa kali menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah langsung tetapi masih banyak persoalan di sana-sini terkait dengan pemilukada.
Praktek pilkada langsung justu menimbulkan banyak sekali mudarat dibanding manfaat. demokrasi seakan tidak dapat menjamin kefektifitas, perbaikan sistem belum mengarah ke arah efektifitas dan efisien selain itu pilkada di tingkat kabupaten kota cenderung menghamburkan uang. banyak indikator yang memunculkan kegagalan pemilihan kepala daerah secara langsung. Hal itu dapat di ukur dengan masih tingginya tingkat praktek money politik dalam pemilikada. Masih banyaknya indikasi kecurangan dalam bentuk pemberian uang secara cuma-cuma oleh pasangan calon agar dapat memenangkan pilkada. Istilah yang sering digunakan adalah “serangan fajar” yang semakin menimbulkan konflik ditengah-tengah masyarakat. Hampir di setiap daerah pada saat pemilihan kepala daerah pasti akan tercium adanya indikasi kecurangan dalam bentuk money politik. fenomena politik uang pemilihan kepala daerah baik untuk mengisi jabatan gubernur/wakil gubernur, jabatan bupati dan wakil bupati serta jabatan walikota dan wakil walikota terdapat beberapa hal yang mungkin tidak diketahui oleh masyarakat umum. Praktek politik uang ini sangat tertutup hanya diketahui oleh para calon atau orang-orang yang berada pada “ring dalam” para calon saja. Dalam permainan politik uang seorang calon kepala daerah beserta tim suksesnya harus menguasai benar kondisi lapangan. Pertimbangan kehati-hatian ini dilakukan oleh para calon agar uang yang mereka gelontorkan tepat sasaran[6]. berikut ini adalah beberapa contoh daerah yang di indikasikan terjadi money politik
 Tabel
Indikasi kecurangan money politik di beberapa daerah
No
         Daerah
                  Indikasi kecurangan

1

Kabupaten
Lombok Timut
Terjadi pemaksaan dan pengancaman terhadap pemilih apabila tidak memilih Pasangan Nomor 2 tidak diizinkan mengikuti kegiatan kampus, hal ini melanggar asas dari PILKADA yang bersifat LUBER

2

Kabupaten Lombok Tengah
Bahwa lebih dari 1000 orang warga Puyung dibayar untuk memilih dan mencoblos Pasangan Nomor 2 ini berarti terjadi pembelian suara melanggar asas dari PILKADA yang bersitat langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (LUBER)

3

Kota Mataram
Bahwa lebih dari 1000 orang Warga Mataram dibayar untuk memilih dan mencoblos Pasangan Nomor 2 ini berarti terjadi pembelian suara melanggar asas dari PILKADA yang bersifat langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (LUBER)

4

Lombok Barat
Bahwa terjadi pencoblosan dengan mempergunakan 2 kartu suara (Ganda) terdapat sekitar kurang lebih 3000 orang pemilih dengan memberikan suara menjadi 6000 suara
Sumber: kompasiana.com  30/1/2012
Dari contoh tabel indikasi kecurangan money politik di beberapa daerah yang telah  dipaparkan menunjukan adanya implikasi yang amat sangat jelas bahwa uang sangat berperan dalam proses pemilihan kepala daerah. Dengan mengatas namakan kepentingan rakyat, contoh daerah-daerah lain yang juga melakukan money politik pada saat pilkada dan masih banyak lagi berbagai motif yang berbeda-beda tentang kecurangan-kecurangan saat pilkada. Tapi ada satu kesamaan mengapa setiap daerah melakukan money politik yaitu demi memperoleh suara banyak serta legitimasi kekuasaan di daerah. Dengan demikian sudah dapat diperkirakan kualitas pemilihan kepala daerah seperti apakah jika dalam proses pemilihan menggunakan cara-cara yang kotor dan tidak jujur seperti money politik.
            Indonesia kini dihapkan pada situasi yang dilematis yaitu di satu sisi harus menjalankan demokrasi secara menyeluruh demi mencapai demokratisasi dan kesejahteraan rakyat tapi di sisi yang lain demokrasi prosedural yang kini dilaksanakan menimbulkan ancaman bagi keberlangsungan moral bangsa yang terus dibohongi dan dipermainkan dengan adanya money politik tersebut. Dengan kondisi yang demikian kita harusnya kembali kepada aturan perundang-undangan, yaitu dimanakah fungsi serta peran UU No 32 Tahun 2004 khususnya pasal 56 ayat 1 yang menjadi pegangan dalam menjalankan pemilihan kepala daerah berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Pilkada Banten banyak di selimuti kecurangan
            Dari berbagai masalah ketidak mampuan UU No 32 Tahun 2004 dalam menjawab persoalan money politik maka yang terjadi adalah kasus politik uang yang semakin melebar dan mengakar sampai keranah pemilihan umum kepala daerah khususnya di banten. Pilkada banten dinilai sarat akan money politik dan dinilai terburuk se-indonesia. Sosialisasi secara langsung kepada masyarakat banten agar dapat memilih secara rasional nyatanya belum dapat terlaksana secara baik masih banyak ditemui kasus-kasus money politik yang dilakukan di banten dengan berbagai modus  seperti pemberian “door prise”, hadiah-hadiah ataupun pemberian uang dan barang dalam bentuk lainya. Pemberian dalam bentuk uang ataupun barang yang dilakukan oleh pasangan calon gubernur dilakukan secara terbuka maupun tertutup. Dan dalam melakukan tindakan tersebut dilakukan secara terstruktur dan terencana secara matang agar mengenai secara tepat dalam masyarakat.
            Pada proses pemilihan kepala daerah banten seakan-akan mengindahkan adanya UU No 32 Tahun 2004 terutama pasal 56 ayat 1 dan lebih didominasi kepentingan hitam para elit parpol. Contoh nyatanya adalah seorang bakal calon gubernur banten yaitu H.Suhaimi menyatakan mengundurkan diri dari pilkada banten 2011  karena tidak sanggup membayar partai politik yang akan mendukungnya dalam perebutan kursi gubernur banten dan dia menyatakan disuruh membayar 1 milyar per kursi di DPRD banten[7]. Pilkada yang dilaksanakan banten dapat berdampak pada gugatan ke Mahkamah Konstitusi karena sepanjang bukti-bukti yang ada dapat menguatkan adanya indikasi kecurangan maka akan sangat dimungkinkan untuk di proses ke mahkamah konstitusi. Kasus-kasus seperti warga yang tidak mendapatkan hak pilih, penggelembungan suara, pemberian uang sogokan pada warga, sampai hal yang paling krusial sistem komputer KPU dalam merekapitulasi penghitungan suara.
            Panwaslu juga menerima berbagai laporan pelanggaran dalam proses pemilihan kepala daerah. Ada sekitar 6 laporan terkait pelanggaran, menurut Ketua Divisi Pengawasan dan Humas Panwaslu Banten Sabihis mengatakan ada beberapa calon yang memberikan sejumlah uang ataupun barang kepada masyarakat. Salah satu calon yang paling mendapatkan sorotan adalah Ratu atut-Rano karno yang diindikasikan menyelewengkan uang sekitar 380 milyar untuk pilkada. Walaupun pasangan tersebut dinyatakan menang namun mereka belum bisa tenang karena mereka harus mendapatkan berbagai macam gugatan yang ditayangkan kepada mereka. Penyelewengan dana tersebut digunakan untuk pemilihan kepala daearah banten, dan digunakan untuk memenangkan pasangan incumbent ini. Indonesia corruption watch(ICW) dan Komisi Pembrantasan Korupsi(KPK) juga pernah memeriksa Atut sehubungan dengan penyelewengan dana APBN sebesar Rp 340 milyar untuk dana hibah, dan 51 milyar untuk dana bantuan sosial yang dialokasikan pada tahun 2011.  Banyak orang yang yakin dana ini melebar menjadi praktek kampanye hitam dan permainan politik uang agar dapat memenangi kembali perebutan kursi banten 1.
            Money politik jelas terjadi pada kasus pemilihan gubernur banten, peredaran dalam jumlah yang besar dapat dirasakan pada H-1 dan pagi hari sebelum pencoblosan. Menurut patra salah seorang warga banten pembagian uang terjadi di beberapa wilayah dengan kisaran uang Rp 5000- Rp 150.000 Contohnya di Kelurahan Pedurenan Kecamatan Karang Tengah, Kota Tangerang, lanjutnya, terjadi pembagian uang sebesar Rp 30.000 kepada warga agar mencoblos pasangan dengan nomor urut satu. Begitu pula yang terjadi di Kampung Baruan, Desa Sindan Sari, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang, tim sukses pasangan dengan nomor urut satu diduga membagikan uang sebesar Rp 150.000 kepada warga.
            dari berbagai pelanggaran tersebut dapat dikatakan bahwa banten dalam melaksanakan proses pemilihan kepala daerah belum mampu menyelenggarakan sebuah pemilu yang benar-benar mampu menciptakan proses demokratisasi di indonesia, pasal 56 ayat 1 UU No 32 Tahun 2004 seakan hanya formalitas belaka yang merupakan produk Undang-undang yang semestinya mampu menciptakan kultur budaya partisipan di masyarakat belum mampu diwujudkan dalam pilkada banten. Indonesia dan daerah semestinya mampu memperbaiki dan meningkatkan kapasitas undang-undang tersebut dan memaksimalkan agar dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Asas jujur dan adil harus tetap menjadi acuan dalam menyelenggarakan pemilihan umum baik di tingkat pusat maupun daerah, dengan mengacu pada asas jujur dan adil proses pemilihan kepala daerah dimanapun akan berjalan dengan baik dan indonesia yang demokratis akan terwujud.

 Memimpikan pesta demokrasi yang jujur dan adil sesuai asas dalam pemilu
Problematika dan masalah-masalah yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah saat ini memang masih di penuhi dengan pelanggaran baik secara langsung ataupun tidak langsung. Mendambakan sebuah demokrasi yang jujur dan adil rasanya belum mampu dicapai selama dalam proses penyelenggaraan pemilu belum berjalan dengan baik. Undang-undang yang semestinya mampu berfungsipun masih belum dirasakan keberadaanya, karena sifatnya saat ini hanya sebagai formalitas saja. masyarakat dan pemerintah seakan tidak mampu meresapi apa arti sebuah kejujuran dan keadilan dalam menegakan demokrasi di indonesia. Sistem demokrasi yang memungkinkan siapa saja dapat menjadi pemimpin dirasakan justru digunakan sebagai ajang perebutan kursi dan cara mendapatkan legitimasi kekuasaan dengan jalan apapun tanpa memperhatikan kepentingan rakyat. Sistem demokrasi yang baik adalah sistem demokrasi yang tetap memperhatikan asas-asas dalam penyelenggaraan pemilu seperti jujur dan adil. Jika asas jujur dan adil masih tetap tidak diperhatikan dalam setiap penyelenggaraan pemilu maka hanya akan memunculkan dampak yang cukup besar untuk kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kelanjutanya.
            Terlepas dari berbagai persoalan yang senantiasa timbul dalam proses pilkada seperti money politik, black campaign, dan tindakan-tindakan lain yang jauh dari kata jujur dan adil, maka pilkada akan tetap dihayati sebagai ruang untuk kembali memulihkan harapan demi kehidupan bersama yang lebih baik dan menuju ke proses demokratisasi yang maju. Sebuah kondisi yang wajar ketika proses carut-marut pemilihan pemimpin baik di tingkat pusat ataupun daerah menjadi indikator demokrasi sedang berjalan walaupun dihadang dengan masalah-masalah. Yang terpenting jangan sampai dalam mencapai demokratisasi tersebut membuat orang merasa anti politik dan partisipasi serta hikmat kebijaksanaan yang sebagai landasan kepemimpinan dalam sistem demokrasi pancasila yang kita anut kini.
Tanpa adanya dengan dukungan semua pihak atau seluh stick holder demokrasi yang jujur dan adil tidak bisa tercapai. Oleh karena itu untuk menciptakanya di butuhkan kesadaran dalam diri terlebih dahulu dalam menciptakan demokratisasi. Selain itu untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya niali-nilai dalam demokrasi perlu adanya pemegang otorita tinggi atau dalam hal ini adalah gubernur untuk mampu memberikan pemahaman  akan pentingnya niali-niali tersebut sehingga rakyat bisa menilai sekaligus mengawasijalanya demokras dan pemerintahan agar terhindar dari penyelahgunaan wewenang dan kekuasaan yang berbau politik. Pemerintahan lokal dalam hal ini adalah otonomi daerah dan pemilukada akan berjalan lebih demokratis jika mampu membangun sebuah akuntabilitas dari para wakil pimpinan daerah yang terpilih tersebut
.
Penutup
Sebagai produk hukum seharusnya UU No 32 Tahun 2004 khususnya pasal 56 ayat 1 seharunya bukan hanya dijadikan sebagai formalitas belaka, namun bagaimana pemerintah baik pusat dan khususnya pemerintah daerah mampu membangun sebuah kontruksi bangunan demokrasi yang mengarah kepada asas-asas tersebut diatas. Penyelenggaraan pilkada harusnya dijadikan sebuah momentum bagi pemerintah dan rakyat agar dapat mengembangkan demokrasi yang lebih baik yaitu berlandaskan pancasila dan UUD 45. Problematika yang menyertai proses pilkada harus dijadikan titik perbaikan dalam pelaksanaan pilkada yang baik dan untuk mencapai semua itu dibutuhkan sebuah langkah perbaikan dalam sistem dan pelaksanaanya.
Lalu bagaimanakah perbaikan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah pusat ataupun daerah dalam melaksanakan pemilihan umum  guna menciptakan sistem demokrasi yang jujur dan adil. Dalam menangani masalah pemilu yang banyak menimbulkan masalah baru terkait dengan dikeluarkanya UU No 32 Tahun 2004 maka pemerintah harus mengkaji kembali apakah dengan otonomi seluas-luasnya kepada daerah merupakan satu-satunya jalan menciptakan demokratisasi. Jika pemilihan kepala daerah hanya dilaksanakan pada tingkat provinsi saja mungkin biaya penyelenggaraan pemilukada bisa ditekan seminimal mungkin. Selain itu proses pemilihan di tingkat kabupaten kota di pilih oleh DPRD dengan tetap memperhatikan aspirasi rakyat. Dengan begitu jalanya pemilihan umum daerah yang diselimuti kecurangan bisa dikurangi dengan menekan biaya dan serta mobilitas politik di daerah.

Bibliografi
Amzulian, Rifai. 2003. Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah.
                  Jakarta: Ghalia press.

Gie, The Liang. Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik     
                 Indonesia , Jilid 1. Yogyakarta: Liberti, 1993.

Manan, bagir. 2004. Menyongsong fajar otonomi daerah. Yogyakarta:     
                 penerbit pusat studi hukum (PSH) FH UII.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi daerah dan pasal 56 ayat 1 tentang asas-asas dalam penyelenggaraan pemilu.
Muhtadi, Burhanudin. 2011. Pilkada Banten dinilai Terburuk se-Indonesia. Jurnal tuddopoli, 28 oktober 2011 http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2011/10/28/pilkada-banten-dinilai-terburuk-se-indonesia/ (di akses pada tanggal 26 november 2012)
Nugroho, Nunung Dwi. 2011. Dilema Pemilihan Umum Kepala Daerah Sebagai Instrumen Penguatan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. kompasiana.com.  26 mei 2011 http://politik.kompasiana.com/2011/05/26/dilema-pemilihan-umum-kepala-daerah-sebagai-instrumen-penguatan-desentralisasi-dan-otonomi-daerah-367417.html ( di akses pada tanggal 26 november 2012)
Suryana, Djohan. Tarif Calon Gubernur Banten. kompasiana.com,  26 juli 2012, dalam http://politik.kompasiana.com/2011/07/26/tarif-calon-gubernur-banten/( di akses pada tanggal 26 November 2012)
Mustafa, Walid. Pemilu dan Proses Demokratisasi di Indonesia. Kompasiana.com,  29 juni 2012, dalam http://politik.kompasiana.com/2012/06/29/pemilu-dan-proses-demokratisasi-di-indonesia/( di akses pada tanggal 26 november 2012)


[1] UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 56 ayat (1) merupakan undang-undang yang berisikan tentang asas-asas pemilihan umum yang harus dijalankan dan dilaksanakan sesuai atuaran pemilihan umum dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
[2] Burhanudin Muhtadi, “Pilkada Banten dinilai Terburuk se-Indonesia”, jurnal tuddopoli, 28 oktober 2011 dalam http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2011/10/28/pilkada-banten-dinilai-terburuk-se-indonesia/(diakses 26 november 2012)
[3] Lahirnya UU No 22 Tahun 1999 menunjukan adanya pergerakan konflik antara pusat-daerah. Kebijakan desentralisasi memunculkan problematika terutama aspek penyelenggaraan pemerintahan, kewenangan keuangan dan pemilihan kepala daerah. Dengan adanya kecenderungan permasalahan tersebut maka seiring dengan perkembangan globalisasi dan UU 1945 yang telah di amandemen maka munculah UU No 32 Tahun 2004 yang telah disesuaikan dengan amandemen I, II, III, dan IV yang diharapkan mampu mengimplementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah secara lebih baik.
Manan, bagir, “Menyongsong fajar otonomi daerah”, penerbit pusat studi hukum (PSH) FH UII, Yogyakarta, 2004.
[4] Walid mustafa, “Pemilu dan Proses Demokratisasi di Indonesia”, Kompasiana.com, 29 juni 2012, dalam http://politik.kompasiana.com/2012/06/29/pemilu-dan-proses-demokratisasi-di-indonesia/(diakses 26 november 2012)
[5] Nunung dwi nugroho, “Dilema Pemilihan Umum Kepala Daerah Sebagai Instrumen Penguatan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, kompasiana.com, 26 mei 2011, http://politik.kompasiana.com/2011/05/26/dilema-pemilihan-umum-kepala-daerah-sebagai-instrumen-penguatan-desentralisasi-dan-otonomi-daerah-367417.html(diakses 26 november 2012)
[6] Rifai amzulian, Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Jakarta:”Ghalia”,2003), 61.

[7] Djohan suryana, “Tarif Calon Gubernur Banten”, kompasiana.com, 26 juli 2012, http://politik.kompasiana.com/2011/07/26/tarif-calon-gubernur-banten/(diakses 26 november 2012)
pt; l�$&5h i 0W 0t font-family:"Times New Roman";color:black;mso-ansi-language: IN'>Tjandraningsih, Indrasari, dan Rina Herawati, dan Suhadmadi. Diskriminatif dan Eksploitatif Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing di Sektor Industri Metal di Indonesia. Bandung: AKATIGA-FSPMI-FS, 2010.

Simanjuntak, Payaman J. Manajemen Hubungan Industrial. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2011.
Djumialdji, F.X. Perjanjian Kerja. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
The Chicago Manual of Style Sexteenth Edition. Chicago: The Universitas of Chicago Press, 2010.
Mohamad Faiz, Pan. ”OUTSOURCING (ALIH DAYA) DAN PENGELOLAAN TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN: (Tinjauan Yuridis terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).” Jurnalhukum.blogspot.com. May 20, 2007. http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing-dan-tenaga-kerja.html.
Wijayanti, Asri. “Hukum Ketenagakejaan Pasca Reformasi.” Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Sutedi, Adrian. “Hukum Perburuhan.” Jakarta: Sinara Grafika, 2009.
Maulana, Prawira. “Inilah Putusan MK Soal Penghapusan ‘Outsourcing’!.” Kompas.com. 21 Januari 2012. http://nasional.kompas.com/read/2012/01/21/22270675/Inilah.Putusan.MK.Soal.Penghapusan.Outsourcing.
“Outsourcing, Ada Sejak Zaman Romawi.” Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur. Diakses 25 Desember 2012, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/majalah-sdm-plus/64-edisi-133-januari-2012/623-outsourcing-ada-sejak-zaman-romawi.
Indrasari Tjandraningsih, “Serikat Buruh atau Serikat Pekerja di Indonesia.” Serikat Pekerja Perkebunan. Diakses 25 Desember 2012, http://www.pn8.co.id/spbunpn8/index.php?option=com_content&view=article&id=50%3Aserikat-buruh-serikat-pekerja-di-indonesia&Itemid=50.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011



[1] International Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional yang bertanggungjawab dalam mengatur jalannya sistem finansial global dan menyediakan pinjaman bagi negara-negara anggotanya. World Bank adalah lembaga keuangan internasional yang menyediakan pinjaman bagi negara-negara berkembang di seluruh dunia. Tujuan utama World Bank adalah menuntaskan kemiskinan di seluruh dunia. International Labor Organization adalah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mewadahi isu-isu dan masalah-masalah buruh di seluruh dunia.
[2] Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 ayat 3.
[3] Indrasari Tjandraningsih, “Serikat Buruh atau Serikat Pekerja di Indonesia,” Serikat Pekerja Perkebunan, diakses 25 Desember 2012, http://www.pn8.co.id/spbunpn8/index.php?option=com_content&view=article&id=50%3Aserikat-buruh-serikat-pekerja-di-indonesia&Itemid=50.
[4] Washingrin Consensus merupakan sebutan bagi sepuluh kebijakan ekonomi oleh John Wiliamson pada tahun 1989.
[5] “Outsourcing, Ada Sejak Zaman Romawi,” Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependududkan Provinsi Jawa Timur, diakses 25 Desember 2012, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/majalah-sdm-plus/64-edisi-133-januari-2012/623-outsourcing-ada-sejak-zaman-romawi.

No comments:

Post a Comment