Pada tulisan ini akan membahas seluk beluk partai-partai
politik di Indonesia dengan kebijakan penyederhanaan atau pembubaran partai
politik. Kebijakan penyederhanaan atau pembubaran partai politik menjadi topik
yang menarik untuk dibahas lebih dalam dengan memperhatikan sejarah kehidupan
partai-partai politik di Indonesia. Hubungan antara kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah melalui Undang-Undang tentang pemilu juga akan menjadi pembahasan,
karena didalam Undang-Undang tersebut mengindikasikan adanya unsur
penyederhanaan partai secara tersembunyi.
Dalam artikel ini konsep-konsep yang akan dibahas antara
lain: (1) Sejarah partai politik di Indonesia, baik masa sebelum kemerdekaan,
awal kemerdekaan atau orde lama, orde baru, serta reformasi. (2) Pembubaran
partai politik, lebih khusus pada pembubaran partai politik pada masa orde lama
karena pada masa orde baru yang ada hanya penyempitan partai politik. (3)
Ketentuan pembubaran partai politik, dalam bagian ini akan membahas hubungannya
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dan juga Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 beserta revisinya.
Sejarah awal berdirinya partai politik dimasa kolonial
Belanda dan Jepang, masa awal kemerdekaan hingga berakhirnya masa jabatan
Presiden Soekarno, dilanjutkan dengan masa pemerintahan Presiden Soeharto, dan
terakhir ketika masa reformasi, yang sebagian besar diisi dengan kehidupan
politik yang berbeda-beda menjadi pembahasan mendasar untuk artikel ini. Kemudian
juga tentang proses pembubaran pada masa orde lama atau pemerintahan Presiden
Soekarno. Dan yang terakhir pembahasan mengenai korelasi antara Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1999 dan 2008 mengenai partai politik. Dalam undang-undang
tersebut juga terdapat pasal yang memberatkan para calon pendiri partai, bisa
diartikan juga sebagai penyederhanaan partai secara laten. Dari ketiga konsep
tersebut, mempunyai andil yang besar dalam penulisan ini.
Kata Kunci : partai politik, sejarah partai
politik, undang-undang nomor 2 tahun 1999 dan 2008, penyederhanaan partai
politik
Pendahuluan
Keberadaan partai politik pada hakikatnya merupakan sebuah gambaran
implementasi dari sebuah nilai-nilai demokrasi yang sudah banyak diterapkan di
seluruh dunia khususnya Indonesia. Partai politik merupakan sebuah wahana untuk
mencerdaskan masyarakat dalam politik sekaligus sebagai wadah untuk
mempersiapkan generasi penerus bangsa. Partai politik juga menjadi alat bagi
negara untuk menjalankan fungsi-fungsi kekuasaannya agar tercapai tujuan dari
negara itu sendiri. Disamping itu, partai politik juga sebagai bagian dari
penegakan HAM. Jaminan dalam HAM yaitu membebaskan seluruh warga negara untuk
berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun
tertulis. Di dalam konstitusi negara Republik Indonesia juga telah tercantum
hal ini, yaitu pada UUD 1945 pasal 28 yang isinya menjamin “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang –
undang.” Dengan demikian, pendirian sebuah perkumpulan, khususnya partai
politik telah diakomodasi oleh konstitusi kita sehingga setiap warga negara
berhak dengan hal tersebut.
Ketika
kebebasan berserikat sudah diakomodasi oleh konstitusi, secara langsung seluruh
warga negara bebas untuk mendirikan partai politik. Namun, keberadaan partai
politik di masa orde baru yang dibatasi hanya tiga partai politik saja
memunculkan sebuah pertanyaan yang sangat besar, dimana kebebasan warga negara
untuk berserikat sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah runtuhnya
rezim orde baru , partai politik mulai muncul dan berkembang. Berbagai partai
dengan ideologi yang berbeda-beda berlomba-lomba untuk mencari simpati kepada rakyat Indonesia. Tepatnya pada pemilu
1999, pendirian partai politik dipermudah dengan dikeluarkannya Undang-Undang
nomor 2 tahun 1999 tentang syarat pendirian yaitu cukup dengan melibatkan
minimal 50 (lima puluh) orang yang berusia minimal diatas 21 tahun yang
mencatatkan pendirian partai pada notaris. Kebebasan dalam membuat partai
politik baru itu hanya bertahan hingga tahun 2001 yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang nomor 31 tahun
2001. Pada tahun 2008 pemerintah kembali melakukan revisi dengan dikeluarkannya
Undang-Undang nomor 2 tahun 2008 dengan revisi kembali pada tahun 2010. Dengan
revisi terakhir tersebut membuat masyarakat semakin berat untuk mendirikan
partai politik.
Kebijakan
memperketat aturan pendirian partai politik memberrikan tanda bahwa kebijakan
itu dapat diartikan sebagai upaya untuk memperketat partai politik yang ada di
Indonesia. Dalam artikel ini akan dibahas hubungan antara UU Nomor 2 Tahun 1999
dan Undang Nomor 2 tahun 2008 dengan pembubaran atau penyempitan partai politik
dimasa kini.
Sejarah Partai Politik Indonesia
Pada masa sebelum
kemerdekaan
Partai politik sudah ada sejak sebelum merdeka, tepatnya pada masa
penjajahan Belanda yaitu pada tahun 1908 dengan berdirinya organisasi
pergerakan nasional “Boedi Oetomo”. Puncaknya
yaitu pada tahun 1921-1931 dengan berdirinya berbagai organisasi pergerakan
nasional, diantaranya yaitu Indische Partij (Desember 1912), ISDV (Indische
Sosial Democratishe Vereninging, Mei 1914), Indische Katholike Partij (November
1918), PKI (Mei 1920), PNI (Juli 1924), Partai Indonesia (April 1931), Partai
Rakyat Indonesia (September 1930), Parindra (Januari 1931), dan Gerindo (Mei
1937).
Organisasi
politik pada masa itu bermacam-macam ideologinya misal islam, sekuler,
nasionalis, dan bahkan ada yang berasaskan komunis. Pada 1939 dibentuk dewan
rakyat (Volksraad) yang merupakan badan seperti DPR yang dibentuk oleh Belanda.
Organisasi/partai politik pada saat itu ikut bergabung di dewan rakyat, dan di
dalamnya juga terdapat berbagai macam fraksi yang merupakan koalisi beberapa
partai seperti fraksi nasional dibawah pimpinan M. Husni Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) dibawah
pimpinan Prawoto, dan Indonesische Nationale Groep dibawah pimpinan Muhammad
Yamin. Diluar dewan rakyat juga terdapat gabungan antar partai seperti halnya
GAPI, MIAI, dan MRI.
Berbeda halnya ketika Jepang mulai
menjajah nusantara. Organisasi/partai politik banyak yang dilarang melakukan
aktivitas politik. Pemerintah pendudukan Jepang melarang keras bagi organisasi
politik yang melakukan kegiatan politik seperti halnya rapat yang membicarakan
organisasi dan struktur pemerintahan. Organisasi/partai politik yang diperbolehkan untuk beraktifitas
hanyalah organisasi yang berbasis agama, terutama dari kalangan umat muslim. Pada
saat itu, lebih tepat September 1942 Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) diaktifkan kembali, dan pada tanggal 24
oktober 1943 berganti nama menjadi Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi). [1] Pada masa pendudukan Jepang,
partai politik sebagai organisasi tidak diakui keberadaannya, namun para
tokohnya berperan besar dalam
usaha-usaha mencapai kemerdekaan Indonesia.
Partai-partai politik yang
keberadaannya berkembang pada masa sebelum kemerdekaan rata-rata dikategorikan
sebagai partai yang bersifat ideologis. Keberadaan partai-partai politik pada
saat itu mempunyai fungsi dan progam
utama yang sama yaitu mewujudkan kemerdekaan bagi Indonesia.[2] Partai-partai berfungsi
menyalurkan aspirasi ideologi dari rakyat untuk mewujudkan cita-cita rakyat
Indonesia mencapai kemerdekaan. Selain itu, partai juga mempunyai fungsi rekruitmen
politik sehingga bisa anggota di Dewan Rakyat (Volksraad)
Pada orde lama
Pada saat kemerdekaan telah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta,telah bebas
pula Indonesia dari cengkeraman para penjajah. Pada masa ini, terbesit gagasan
partai tunggal yaitu cukup Partai Nasional Indonesia (PNI) saja yang bisa
menjadi pelopor bagi bangsa Indonesia. Namun, gagasan partai tunggal itu
ditolak pihak Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Atas
usulan dari BP KNIP tersebut, pemerintah mengeluarkan maklumat yang
ditandatangani oleh wakil presiden Mohammad Hatta pada tanggal 3 Nopember 1945.
Setelah
diterbitkannya maklumat pemerintah mengenai pendirian partai politik, banyak
organisasi/partai politik yang sebelum kemerdekaan atau lebih tepatnya pada
masa pendudukan Jepang nonaktif akhirnya bisa bangkit kembali. Partai seperti
Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi),
Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai
Komunis Indonesia (PKI), Partai Katolik dan Pergerakan Tarbiyah Islamiah
(Perti). Partai-partai tersebut merupakan partai yang sebelum masa pendudukan
Jepang telah berdiri dan berkembang.
Pada awal kemerdekaan belum bisa melaksanakan
pemilihan umum hingga tahun 1955, namun partai politik telah mewarnai kehidupan
politik nasional. Pada tahun 1955 Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilihan
umum untuk pertama kalinya. Peserta pemilihan umum pada saat itu berjumlah 118
partai politik, organisasi, golongan, dan perorangan. Partai tersebut antara
lain Partai Nasional Indonesia (PNI), Masjumi, Nahdlatul Ulama, Partai Sarikat
Islam Indonesia (PSII), Partai Katholik, Partai Murba, Partai Sosialis
Indonesia (PSI), Gerakan Pembela Pancasila, Partai Buruh dan masih banyak lagi.[3] Hasil dari pemilihan umum pada tahun 1955 yaitu Partai
Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Nahdlatul Ulama
menjadi partai yang paling besar presentasinya yang dipilih oleh rakyat
Indonesia. PKI yang pada saat itu menjadi partai besar yang ikut berpengaruh dalam kehidupan politik
Indonesia dari sebelum kemerdekaan. Namun, setelah
G/30/S/PKI, PKI dicap sebagai partai terlarang, karena mencoba mengambil alih
pemerintahan. Namun kudeta yang dilakukan PKI, berhasil ditumpas
Soeharto yang pada waktu itu mendapat mandat supersemar untuk membersihkan PKI
dan kroni-kroninya.
Pada orde baru
Setelah Soeharto menjadi presiden menggeser Soekarno, maka rezim orde baru
mulai berkuasa. Pada masa orde baru memunculkan satu organisasi non partai yang
bisa ikut dalam pemilihan umum yaitu Golongan Karya (Golkar). Setelah presiden
Soeharto menjabat presiden baru mulai diadakan kembali pemilihan umum pada tahun
1971. Pemilihan umum kedua di Indonesia ini peserta pemilihan umum berkurang
drastis dari pemilihan umum sebelumnya yaitu berjumlah 9 partai politik dan
satu Golongan Karya. Partai politik yang mengikuti pemilu tahun 1971 antara
lain: Partai Katolik, Partai Serikat Islam Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama,
Partai Muslimin Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Murba, Partai
Nasional Indonesia, Partai Islam Perti, Partai IPKI (Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia). [4] Peroleh suara terbanyak adalah Golongan Karya, diikuti
dengan Partai Nahdlatul Ulama dan Partai Nasional Indonesia.
Pada
pemilihan umum selanjutnya, lebih tepatnya tahun 1977 yang menjadi peserta
pemilu hanya dua partai politik dan satu Golongan Karya. Kebijakan
penyederhanaan dengan melakukan fusi partai politik dilakukan berdasarkan
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
hasil sidang MPR tahun 1973. Dalam ketetapan tersebut menyatakan bahwa peserta
pemilu tahun 1977 hanya diikuti oleh tiga peserta yaitu dua Partai Politik dan
satu Golongan Karya. Dua partai yaitu Partai Demokrasi Indonesia yang berisi
partai-partai nasionalis, sedangkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
berisikan partai-partai yang sebelumnya berlandaskan spiritual.
Pemilu
tahun 1977 yang hanya diikuti oleh Golongan Karya, Partai Persatuan
Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia menempatkan Golongan Karya sebagai
pemenangnya. Pemilihan umum selanjutnya pun masih tetap diikuti oleh ketiga
kontestan yang sama. Baik dari pemilihan umum tahun 1982 h ingga pemilihan umum
terakhir pada masa orde baru pada tahun 1997 pesertanya masih tetap. Pemilihan
umum pada tahun 1982,1987, 1992 dan 1997 Golongan Karya selalu mendapatkan
suara terbanyak. Namun sistem yang hanya memperbolehkan tiga peserta pemilihan
umum hanya bertahan hingga tahun 1998 ketika perlawanan masyarakat yang
menginginkan reformasi.
Reformasi hingga sekarang
Ketika Presiden Soeharto mengumumkan pernyataan berhenti sebagai Presiden
pada tanggal 21 Mei 1998, kemudian digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie.
Perubahan yang sangat besar dilakukan oleh Presiden B.J. Habibie, dari
dilarangnya pegawai negeri dan ABRI masuk dalam perpolitikan serta mengakhiri
kebijakan pembatasan partai politik. Pada pemilihan umum tahun 1999 terdapat 48
partai politik yang ikut bersaing dalam memperebutkan kursi di DPR.
Pada
tahun 2004 Indonesia melaksanakan pemilihan umum lagi, namun pada pemilihan
umum tahun 2004 berbeda dari sebelumnya. Pemilihan umum ini tidak hanya untuk
memilih anggota DPR namun juga untuk memilih presiden dan wakil presiden. Peserta
pemilu 2004 ada 24 partai, namun hanya
10 partai yang hanya memperoleh kursi di DPR yang lebih dari 10 kursi yaitu
Partai Golkar, PDIP, PPP, PD, PAN, PKB, PKS, PBR, PDS, dan PBB.[5] Pada pemilihan presiden dan wakil presiden, Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang diajukan dari Partai Demokrat muncul sebagai
pemenang sehingga menjadi presiden dan wakil presiden pertama yang dipilih oleh
rakyat.
Setelah
berhasil melaksanakan pemilihan umum pada tahun 2004, Indonesia kembali
melaksanakan pemilihan umum pada tahun 2009. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, menyatakan bahwa
partai politik yang mengikuti pemilihan umum berikutnya (2009) adalah yang
memperoleh sekurang-kurangnya 3% dari jumlah kursi DPR atau 4% dari jumlah
kursi DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ jumlah provinsi
atau kabupaten/kota. [6] Namun, ketentuan tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 yang didalamnya mengubah electoraltreshold
menjadi parliamentary threshold.
Pembubaran Partai Politik Orde Lama dan Reformasi
Partai politik mempunyai dua arti yaitu arti secara luas dan arti secara
sempit. Arti secara luas, partai merupkan pengelompokan masyarakat dalam
organisasi secara umum yang bebas, tidak hanya dalam organisasi politik. Sedangkan
arti secara sempit, partai adalah organisasi masyarakat yang bergerak dibidang
politik.[7] Partai politik pada mempunyai dua cara pembentukan yaitu (1)
partai yang terbentuk di dalam parlemen (intra parlemen) merupakan partai yang
berkembang sesuai dengan nilai-nilai, dan (2) partai yang terbentuk di luar
parlemen (ekstra parlemen) merupakan partai yang independen serta tidak
memperoleh nilai baru seperti intra parlemen.[8] Partai-partai yang berdiri pada masa kolonial bisa
dikategorikan sebagai partai yang terbentuk di luar parlemen (ekstra parlemen)
karena pembentukannya atas dasar keinginan bersama untuk mencapai kemerdekaan.
Pada
masa kolonial Belanda banyak partai-partai yang telah berdiri, namun karena
ketakutan dari pemerintahan kolonial partai-partai yang dirasa dapat
membahayakan pemerintah dan kestabilan politik dibubarkan seperti IP, PKI, dan
PNI. PKI dibubarkan karena melakukan pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Sumatera Barat. Sedangkan PNI dibubarkan karena sikap
konfrontatif yang dilakukannya, khususnya oleh Soekarno. Dilanjutkan kembali ketika masa pendudukan Jepang yaitu dengan melarang
total segala aktifitas organisasi politik. Namun, Jepang masih memperbolehkan
organisasi yang berlandaskan agama, khususnya islam.
Pada
awal kemerdekaan gagasan partai tunggal yang diusulkan Soekarno karena pada
saat itu banyak pemberontakan di berbagai wilayah. Selain itu, presiden
Soekarno beranggapan bahwa untuk sistem multi partai tidak tepat di Indonesia
karena justru meningkatkan konflik sosial. [9] Pada saat awal kemerdekaan pula, banyak terjadi konflik antarpartai
politik sehingga membuat kestabilan politik nasional menjadi terganggu. Sistem
multi partai yang digunakan mengalami banyak kekacauan antara lain partai
politik kecil yang memiliki pengaruh besar terhadap pemerintahan. Namun, di sisi lain partai-partai besar tidak terlibat dalam pemerintahan. Permasalahan
tersebut bertambah ketika berlakunya sistem parlementer tanpa adanya partai
politik yang memiliki kekuasaan terhadap parlemen dan pemerintahan. Sistem
parlementer banyak dijatuhkan oleh kekuatan ekstra parlementer,[10] Karena banyaknya partai politik pada masa perlementer inilah, kabinet
berjalan tidak mulus. Pembangunan yang gagal dan kabinet yang sering
berganti-ganti mengakibatkan pada 5 Juli 1959, presiden mengeluarkan dekrit
yang mengakhiri masa parlementer di Indonesia.
Selepas Dekrit, Presiden Soekarno mulai
mengambil langkah-langkah penting ke arah penataan partai politik. Pada tahun
1959 dikeluarkan Perpres No. 7 yang mengatur mengenai syarat-syarat dan
penyederhanaan kepartaian. Kemudian diikuti dengan Perpres No. 13 yang mengatur
pengakuan, pengawasan dan pembubaran beberapa partai. PSI dan Masjumi
dibubarkan karena keterlibatan sejumlah tokoh utamanya dalam pemberontakan
PRRI/Permesta dibubarkan melalui Kepres 128/61.[11] Pada saat itu pula hanya tersisa
10 partai politik yang diakui pemerintah, yaitu PNI, PKI, NU, PSII, PERTI,
Parkindo, Partai Katolik, Partindo, IPKI , dan Murba.[12] Perubahan parlemen
terpenting terjadi ketika Bung Karno membubarkan parlemen pada 5 Maret 1960
karena adanya penolakan parlemen atas rencana anggaran yang dajukan pemerintah.
Hal ini diikuti oleh rencana pendirian DPR-GR yang sesuai dengan konstruksi UUD
45 dimana sebagian anggotanya adalah golongan fungsional. DPR-GR akhirnya
dibentuk pada Juli 1960 terlepas dari adanya penentangan sejumlah parpol dan
tokoh yang membentuk “liga demokrasi”. Liga ini terdiri dari partai Katolik,
Masyumi, PSI dan IPKI yang mendapatkan dukungan dari TNI AD, Bung Hatta, dan
sejumlah tokoh NU dan PNI. DPR-GR beranggotakan 263 orang dimana 132nya berasal
dari golongan fungsional (7 wakil AD, 7 wakil AU dan AL, 5 polisi dan
selebihnya dari organisasi seperti Sobsi, Gerwani, BTI, Sarpubri, Pemuda
rakyat, dan sebagainya). Berakhirnya masa parlementer di Indonesia, juga
berarti dimulainya system baru di negara ini, yaitu masa demokrasi terpimpin. Masa
ini adalah masa dimana kekuatan presiden sangat kuat, terbukti dengan slogan
NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunis), Soekarno memperkuat tiga partai
sebagai inti dari slogan tersebut. Partai itu adalah NU, PNI dan PKI. Pada 5 Januari 1964 Presiden Soekarno
membekukan partai Murba. Pembekuan tersebut karena bagian konflik antarpartai
politik, terutama antara PKI dengan partai-partai yang menolak keberadaan dan
praktik politik PKI.
Sedangkan, Partai politik ketika masa reformasi sama halnya dengan kejadian
seperti diawal kemerdekan. Sebabnya, sebelum kemerdekaan partai politik
dilarang total oleh pemerintahan Jepang dan pada masa sebelum reformasi
Indonesia juga mengalami penyederhanaan partai yang dilakukan oleh rezim orde
baru. Pembebasan partai politik dibuka dengan keluarnya Ketetapan MPR RI Nomor
XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan
atas Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum. Salah satu
yang diubah adalah pasal 3 ayat 1 yang awalnya mengatakan bahwa pemilihan umum
diikuti oleh tiga organisasi politik, yaitu Golongan Karya, PPP, dan PDI,
menjadi sebagai berikut.[13]
Pemilihan Umum yang
dimaksud dalam Ketetapan ini diikuti oleh partai-partai politik yang telah
memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
serta memounyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
Selain
itu, Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang
Partai Politik. Diberlakukannya Undang-Undang tersebut membuat bermunculnya
berbagai politik baru. Terdapat 141 partai politik yang mendapat pengesahan
sebagai badan hukum dari Departemen Hukum dan HAM. Namun,hanya 48 Partai
Politik yang berhasil lolos verifikasi untuk menjadi peserta Pemilihan Umum
tahun 1999.
Ketentuan Pembubaran Partai Politik
Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1999
Pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang memiliki wewenang mengawasi dan
membubarkan partai politik adalah Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dapat membekukan atau
membubarkan partai politik. Membekukan adalah menghentikan sementara kepengurusan
serta kegiatan partai politik. Sedangkan
membubarkan adalah mencabut hak hidup dan keberadaan partai politik di seluruh wilayah Indonesia.[14] Alasan pembekuan dan pembubaran partai politik adalah
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 16
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999.
Pasal
2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 adalah mengatur tentang syarat-syarat
pembentukan partai politik. Pasal 3 menyatakan bahwa pembentukan partai politik
tidak boleh membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Pasal 5 mengatur
tentang tujuan partai politik, tujuan yang umum adalah mewujudkan cita-cita
nasional Bangsa Indonesia dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan
pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1999 mengatur tentang kewajiban partai politik,diantaranya berasaskan
pancasila, menjaga keutuhan NKRI, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa,
menyukseskan pembangunan nasional serta pemilihan umum. Sedangkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999
mengatur tentang larangan terhadap partai politik antara lain tidak boleh
berlandaskan Komunisme, menerima bantuan asing, memberikan apapun ke pihak
asing, dan melakukan kegiatan yang bertentangan dengan pemerintah.
Alasan yang terkandung
dalam pembubaran partai politik sangat
luas dan umum, sehingga sulit untuk menjadikan tolok ukur pelanggarannya. Terkait
dengan tujuan khusus partai politik
yaitu memperjuangkan cita-cita anggotanya, sehingga pendirian partai
politik itu harus didasarkan pula pada cita-cita anggotanya.
Berdasarkan
Pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 menyebutkan
bahwa partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Agung berdasarkan putusan
yang memiliki kekuatan hukum yang tetap setelah mempertimbangkan keterangan
dari pengurus pusat partai yang bersangkutan. Selain itu, juga bisa melalui
pengadilan jika terjadi pelanggaran yang menjadi dasar pembubaran partai
politik.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
Pembatasan partai politik tentunya tidak cukup hanya
dengan menimbang alasan subyektif mengapa rencana tersebut harus dibatalkan
atau mengapa rencana tersebut justru harus segera dilaksanakan. Kita perlu
meninjau hal tersebut secara obyektif sehingga dapat dengan pasti disadari
rencana tersebut sudah tepat atau keliru.
Dari sisi undang –
undang, kehadiran Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2008 tampak syarat – syarat pembentukan partai
politik lebih ketat dari pada undang – undang sebelumnya yaitu UU Parpol tahun
2008. Hal ini tampak pada perubahan pasal 3.
UU Nomor 2 Tahun 2008 (Sebelum Perubahan), berbunyi:
Pasal 3
1.
Partai Politik harus didaftarkan ke
Departemen untuk menjadi badan hukum.
2.
Untuk menjadi badan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai:
a.
akta notaris pendirian Partai
Politik;
b.
nama, lambang, atau tanda gambar
yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama,
lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik
lain sesuai dengan peraturan perundang – undangan;
c.
kantor tetap;
d.
kepengurusan paling sedikit 60%
(enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua
puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada
daerah yang bersangkutan; dan
e.
memiliki rekening atas nama Partai Politik.
UU Nomor 2 Tahun 2011(Setelah Perubahan), berbunyi :
Pasal 3
1.
Partai Politik harus didaftarkan ke
Kementerian untuk menjadi badan hukum.
2.
Untuk menjadi badan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai:
a.
akta notaris pendirian Partai
Politik;
b.
nama, lambang, atau tanda gambar
yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama,
lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c.
kepengurusan pada setiap provinsi
dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota
pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus)
dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan;
d.
kantor tetap pada tingkatan pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum; dan
e.
rekening atas nama Partai Politik.
Dalam perubahan ini
menunjukan bahwa partai politik semakin diperketat dengan direvisinya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Kebijakan ini menunjukkan keseriusan
pemerintah untuk menyederhanakan partai-partai politik seperti pada masa-masa
sebelum reformasi.
Penutup
Partai
politik Indonesia yang telah mewarnai kehidupan politik Indonesia dari zaman
penjajahan Belanda hingga sekarang. Ketika zaman penjajahan partai-partai
politik dijadikan sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi rakyat untuk
mencapai kemerdekaan. Setelah cita-cita merdeka terwujud, Indonesia sempat
memiliki sistem multi partai yang mencapai 118 partai dan organisasi politik
pada pemilihan umum 1955.
Namun, keberadaan multi partai itu hanya bertahan hingga pemilu 1977. Karena
pada tahun 1973, Pemerintah melakukan penyempitan atau fusi partai politik
menjadi 2 Partai Politik dan satu Golongan Karya. Dalam masa orde baru, 2
Partai politik tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan dan Partai
Demokrasi Indonesia. Sedangkan Golongan Karya bukan partai politik namun
organisasi politik.
Tahun
1999 setelah reformasi, sistem partai kembali seperti awal kemerdekaan dengan
dimudahkannya syarat pendirian partai, sehingga terdapat 141 partai politik
yang disahkan Departemen Hukum dan HAM. Namun, ketika diverifikasi hanya 48
partai politik yang lolos menjadi peserta pemilihan umum tahun 1999.
Munculnya
UU Nomor 2 tahun 1999 tentang pemilihan umum, yang menyebutkan bahwa Mahkamah
Agung mempunyai wewenang untuk membubarkan ataupun membekukan partai politik
apabila melanggar ketentuan yang telah ditetapkan. Semakin berat pula ketika
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 disahkan. Ditambah lagi dengan direvisinya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tersebut dengan perubahan diberbagai pasal. Perubahan
yang dilakukan antara lain dengan merubah pasal 3. Di dalam pasal 3 tersebut
lebih jelas sekali ketika pemerintah berusaha memberatkan syarat pendirian
partai politik.
Dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang telah direvisi, bisa dikatakan sebagai
pembatasan atau penyederhanaan partai politik dimasa kini. Apa yang dilakukan
pemerintah dari awal merdeka hingga saat ini rata-rata telah melakukan
penyederhanaan partai, bahkan di masa orde lama pembubaran partai politik telah
dilaksanakan.
Apapun
yang telah dilaksanakan oleh pemerintah baik itu pembubaran, penyederhanaan,
atau penyempitan partai politik itu semata-mata karena ingin mewujudkan
kehidupan politik yang stabil. Namun, dari kebijakan tersebut seharusnya
pemerintah juga tidak mengabaikan mengenai kebebasan berserikat, berkumpul dan
berpendapat bagi rakyat Indonesia.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. Kemerdekaan
berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta :
Konstitusi Press, 2005.
Duverger, Maurice. Asal Mula Partai Politik, ed. Ichlasul
Amal. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1988.
Safa'at, Muchamad Ali. Pembubaran Partai
Politik. Jakarta :
Rajawali Pers, 2011.
Sanit, Arbi. Sistem
Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1981.
Suprayitno. Pemilu
Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: Teguh Pertiwi Mandiri, 1993.
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/07/partai-politik-di-indonesia-6/ diakses pada 23 Desember 2011.
[1]
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan
Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi (Jakarta : Konstitusi
Press, 2005), 172-173
[2]
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia ;Kestabilan,Peta
Kekuatan Politik, dan Pembangunan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1981), 22-23.
[3]
Suprayitno, Pemilu Indonesia dari
Masa ke Masa (Jakarta: Teguh Pertiwi Mandiri, 1993), 33.
[4]
Suprayitno, Pemilu Indonesia dari
Masa ke Masa (Jakarta: Teguh Pertiwi Mandiri, 1993), 37-38.
[5]
Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai
Politik (Jakarta :
Rajawali Pers, 2011), 238.
[6]
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003.
[7]
Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai
Politik (Jakarta :
Rajawali Pers, 2011), 30-31.
[8] Maurice Duverger, Asal Mula Partai Politik, ed. Ichlasul Amal (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1988), 2-16.
[9] Maurice Duverger, Asal Mula Partai Politik, ed. Ichlasul Amal (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1988), 93-94.
[10] Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta:
Gramedia, 1977), 70.
[11] Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), 163-172.
[12] Maurice Duverger, Asal Mula Partai Politik, ed. Ichlasul Amal (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1988), 103.
[13] Pasal 1 angka 5 Ketetapan MPR Nomor
XIV/MPR/1998.
[14] Penjelasan Pasal 17 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1999.
No comments:
Post a Comment