Friday, November 7, 2014

PENYEDERHANAAN ATAU PEMBUBARAN PARTAI POLITIK: Hubungan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dengan Pembubaran Partai Masa Sekarang

Pada tulisan ini akan membahas seluk beluk partai-partai politik di Indonesia dengan kebijakan penyederhanaan atau pembubaran partai politik. Kebijakan penyederhanaan atau pembubaran partai politik menjadi topik yang menarik untuk dibahas lebih dalam dengan memperhatikan sejarah kehidupan partai-partai politik di Indonesia. Hubungan antara kebijakan yang dikeluarkan pemerintah melalui Undang-Undang tentang pemilu juga akan menjadi pembahasan, karena didalam Undang-Undang tersebut mengindikasikan adanya unsur penyederhanaan partai secara tersembunyi.
Dalam artikel ini konsep-konsep yang akan dibahas antara lain: (1) Sejarah partai politik di Indonesia, baik masa sebelum kemerdekaan, awal kemerdekaan atau orde lama, orde baru, serta reformasi. (2) Pembubaran partai politik, lebih khusus pada pembubaran partai politik pada masa orde lama karena pada masa orde baru yang ada hanya penyempitan partai politik. (3) Ketentuan pembubaran partai politik, dalam bagian ini akan membahas hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dan juga Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 beserta revisinya.
Sejarah awal berdirinya partai politik dimasa kolonial Belanda dan Jepang, masa awal kemerdekaan hingga berakhirnya masa jabatan Presiden Soekarno, dilanjutkan dengan masa pemerintahan Presiden Soeharto, dan terakhir ketika masa reformasi, yang sebagian besar diisi dengan kehidupan politik yang berbeda-beda menjadi pembahasan mendasar untuk artikel ini. Kemudian juga tentang proses pembubaran pada masa orde lama atau pemerintahan Presiden Soekarno. Dan yang terakhir pembahasan mengenai korelasi antara Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dan 2008 mengenai partai politik. Dalam undang-undang tersebut juga terdapat pasal yang memberatkan para calon pendiri partai, bisa diartikan juga sebagai penyederhanaan partai secara laten. Dari ketiga konsep tersebut, mempunyai andil yang besar dalam penulisan ini.

Kata Kunci : partai politik, sejarah partai politik, undang-undang nomor 2 tahun 1999 dan 2008, penyederhanaan partai politik

Pendahuluan
            Keberadaan partai politik pada hakikatnya merupakan sebuah gambaran implementasi dari sebuah nilai-nilai demokrasi yang sudah banyak diterapkan di seluruh dunia khususnya Indonesia. Partai politik merupakan sebuah wahana untuk mencerdaskan masyarakat dalam politik sekaligus sebagai wadah untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa. Partai politik juga menjadi alat bagi negara untuk menjalankan fungsi-fungsi kekuasaannya agar tercapai tujuan dari negara itu sendiri. Disamping itu, partai politik juga sebagai bagian dari penegakan HAM. Jaminan dalam HAM yaitu membebaskan seluruh warga negara untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tertulis. Di dalam konstitusi negara Republik Indonesia juga telah tercantum hal ini, yaitu pada UUD 1945 pasal 28 yang isinya menjamin “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang.” Dengan demikian, pendirian sebuah perkumpulan, khususnya partai politik telah diakomodasi oleh konstitusi kita sehingga setiap warga negara berhak dengan hal tersebut.
            Ketika kebebasan berserikat sudah diakomodasi oleh konstitusi, secara langsung seluruh warga negara bebas untuk mendirikan partai politik. Namun, keberadaan partai politik di masa orde baru yang dibatasi hanya tiga partai politik saja memunculkan sebuah pertanyaan yang sangat besar, dimana kebebasan warga negara untuk berserikat sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah runtuhnya rezim orde baru , partai politik mulai muncul dan berkembang. Berbagai partai dengan ideologi yang berbeda-beda berlomba-lomba untuk mencari simpati  kepada rakyat Indonesia. Tepatnya pada pemilu 1999, pendirian partai politik dipermudah dengan dikeluarkannya Undang-Undang nomor 2 tahun 1999 tentang syarat pendirian yaitu cukup dengan melibatkan minimal 50 (lima puluh) orang yang berusia minimal diatas 21 tahun yang mencatatkan pendirian partai pada notaris. Kebebasan dalam membuat partai politik baru itu hanya bertahan hingga tahun 2001 yaitu dengan  dikeluarkannya Undang-Undang nomor 31 tahun 2001. Pada tahun 2008 pemerintah kembali melakukan revisi dengan dikeluarkannya Undang-Undang nomor 2 tahun 2008 dengan revisi kembali pada tahun 2010. Dengan revisi terakhir tersebut membuat masyarakat semakin berat untuk mendirikan partai politik.
            Kebijakan memperketat aturan pendirian partai politik memberrikan tanda bahwa kebijakan itu dapat diartikan sebagai upaya untuk memperketat partai politik yang ada di Indonesia. Dalam artikel ini akan dibahas hubungan antara UU Nomor 2 Tahun 1999 dan Undang Nomor 2 tahun 2008 dengan pembubaran atau penyempitan partai politik dimasa kini.  
Sejarah Partai Politik Indonesia
            Pada masa sebelum kemerdekaan
            Partai politik sudah ada sejak sebelum merdeka, tepatnya pada masa penjajahan Belanda yaitu pada tahun 1908 dengan berdirinya organisasi pergerakan nasional “Boedi Oetomo”.  Puncaknya yaitu pada tahun 1921-1931 dengan berdirinya berbagai organisasi pergerakan nasional, diantaranya yaitu Indische Partij (Desember 1912), ISDV (Indische Sosial Democratishe Vereninging, Mei 1914), Indische Katholike Partij (November 1918), PKI (Mei 1920), PNI (Juli 1924), Partai Indonesia (April 1931), Partai Rakyat Indonesia (September 1930), Parindra (Januari 1931), dan Gerindo (Mei 1937).
            Organisasi politik pada masa itu bermacam-macam ideologinya misal islam, sekuler, nasionalis, dan bahkan ada yang berasaskan komunis. Pada 1939 dibentuk dewan rakyat (Volksraad) yang merupakan badan seperti DPR yang dibentuk oleh Belanda. Organisasi/partai politik pada saat itu ikut bergabung di dewan rakyat, dan di dalamnya juga terdapat berbagai macam fraksi yang merupakan koalisi beberapa partai seperti fraksi nasional dibawah pimpinan M. Husni Thamin, PPBB  (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) dibawah pimpinan Prawoto, dan Indonesische Nationale Groep dibawah pimpinan Muhammad Yamin. Diluar dewan rakyat juga terdapat gabungan antar partai seperti halnya GAPI,  MIAI, dan MRI.
            Berbeda halnya ketika Jepang mulai menjajah nusantara. Organisasi/partai politik banyak yang dilarang melakukan aktivitas politik. Pemerintah pendudukan Jepang melarang keras bagi organisasi politik yang melakukan kegiatan politik seperti halnya rapat yang membicarakan organisasi dan struktur pemerintahan.  Organisasi/partai  politik yang diperbolehkan untuk beraktifitas hanyalah organisasi yang berbasis agama, terutama dari kalangan umat muslim. Pada saat itu, lebih tepat September 1942 Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)  diaktifkan kembali, dan pada tanggal 24 oktober 1943 berganti nama menjadi Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi). [1] Pada masa pendudukan Jepang, partai politik sebagai organisasi tidak diakui keberadaannya, namun para tokohnya berperan besar dalam  usaha-usaha mencapai kemerdekaan Indonesia. 
            Partai-partai politik yang keberadaannya berkembang pada masa sebelum kemerdekaan rata-rata dikategorikan sebagai partai yang bersifat ideologis. Keberadaan partai-partai politik pada saat itu mempunyai fungsi  dan progam utama yang sama yaitu mewujudkan kemerdekaan bagi Indonesia.[2] Partai-partai berfungsi menyalurkan aspirasi ideologi dari rakyat untuk mewujudkan cita-cita rakyat Indonesia mencapai kemerdekaan. Selain itu, partai juga mempunyai fungsi rekruitmen politik sehingga bisa anggota di Dewan Rakyat (Volksraad)
            Pada orde lama
            Pada saat kemerdekaan telah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta,telah bebas pula Indonesia dari cengkeraman para penjajah. Pada masa ini, terbesit gagasan partai tunggal yaitu cukup Partai Nasional Indonesia (PNI) saja yang bisa menjadi pelopor bagi bangsa Indonesia. Namun, gagasan partai tunggal itu ditolak pihak Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Atas usulan dari BP KNIP tersebut, pemerintah mengeluarkan maklumat yang ditandatangani oleh wakil presiden Mohammad Hatta pada tanggal 3 Nopember 1945.
            Setelah diterbitkannya maklumat pemerintah mengenai pendirian partai politik, banyak organisasi/partai politik yang sebelum kemerdekaan atau lebih tepatnya pada masa pendudukan Jepang nonaktif akhirnya bisa bangkit kembali. Partai seperti Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi),  Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Katolik dan Pergerakan Tarbiyah Islamiah (Perti). Partai-partai tersebut merupakan partai yang sebelum masa pendudukan Jepang telah berdiri dan berkembang. 
             Pada awal kemerdekaan belum bisa melaksanakan pemilihan umum hingga tahun 1955, namun partai politik telah mewarnai kehidupan politik nasional. Pada tahun 1955 Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilihan umum untuk pertama kalinya. Peserta pemilihan umum pada saat itu berjumlah 118 partai politik, organisasi, golongan, dan perorangan. Partai tersebut antara lain Partai Nasional Indonesia (PNI), Masjumi, Nahdlatul Ulama, Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Katholik, Partai Murba, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Gerakan Pembela Pancasila, Partai Buruh dan masih banyak lagi.[3] Hasil dari pemilihan umum pada tahun 1955 yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Nahdlatul Ulama menjadi partai yang paling besar presentasinya yang dipilih oleh rakyat Indonesia. PKI yang pada saat itu menjadi partai besar  yang ikut berpengaruh dalam kehidupan politik Indonesia dari sebelum kemerdekaan. Namun, setelah G/30/S/PKI, PKI dicap sebagai partai terlarang, karena mencoba mengambil alih pemerintahan. Namun kudeta yang dilakukan PKI, berhasil ditumpas Soeharto yang pada waktu itu mendapat mandat supersemar untuk membersihkan PKI dan kroni-kroninya.
            Pada orde baru
            Setelah Soeharto menjadi presiden menggeser Soekarno, maka rezim orde baru mulai berkuasa. Pada masa orde baru memunculkan satu organisasi non partai yang bisa ikut dalam pemilihan umum yaitu Golongan Karya (Golkar). Setelah presiden Soeharto menjabat presiden baru mulai diadakan kembali pemilihan umum pada tahun 1971. Pemilihan umum kedua di Indonesia ini peserta pemilihan umum berkurang drastis dari pemilihan umum sebelumnya yaitu berjumlah 9 partai politik dan satu Golongan Karya. Partai politik yang mengikuti pemilu tahun 1971 antara lain: Partai Katolik, Partai Serikat Islam Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Murba, Partai Nasional Indonesia, Partai Islam Perti, Partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). [4] Peroleh suara terbanyak adalah Golongan Karya, diikuti dengan Partai Nahdlatul Ulama dan Partai Nasional Indonesia.
            Pada pemilihan umum selanjutnya, lebih tepatnya tahun 1977 yang menjadi peserta pemilu hanya dua partai politik dan satu Golongan Karya. Kebijakan penyederhanaan dengan melakukan fusi partai politik dilakukan berdasarkan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) hasil sidang MPR tahun 1973. Dalam ketetapan tersebut menyatakan bahwa peserta pemilu tahun 1977 hanya diikuti oleh tiga peserta yaitu dua Partai Politik dan satu Golongan Karya. Dua partai yaitu Partai Demokrasi Indonesia yang berisi partai-partai nasionalis, sedangkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berisikan partai-partai yang sebelumnya berlandaskan spiritual.
            Pemilu tahun 1977 yang hanya diikuti oleh Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia menempatkan Golongan Karya sebagai pemenangnya. Pemilihan umum selanjutnya pun masih tetap diikuti oleh ketiga kontestan yang sama. Baik dari pemilihan umum tahun 1982 h ingga pemilihan umum terakhir pada masa orde baru pada tahun 1997 pesertanya masih tetap. Pemilihan umum pada tahun 1982,1987, 1992 dan 1997 Golongan Karya selalu mendapatkan suara terbanyak. Namun sistem yang hanya memperbolehkan tiga peserta pemilihan umum hanya bertahan hingga tahun 1998 ketika perlawanan masyarakat yang menginginkan reformasi.
            Reformasi hingga sekarang
            Ketika Presiden Soeharto mengumumkan pernyataan berhenti sebagai Presiden pada tanggal 21 Mei 1998, kemudian digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie. Perubahan yang sangat besar dilakukan oleh Presiden B.J. Habibie, dari dilarangnya pegawai negeri dan ABRI masuk dalam perpolitikan serta mengakhiri kebijakan pembatasan partai politik. Pada pemilihan umum tahun 1999 terdapat 48 partai politik yang ikut bersaing dalam memperebutkan kursi di DPR.
            Pada tahun 2004 Indonesia melaksanakan pemilihan umum lagi, namun pada pemilihan umum tahun 2004 berbeda dari sebelumnya. Pemilihan umum ini tidak hanya untuk memilih anggota DPR namun juga untuk memilih presiden dan wakil presiden. Peserta pemilu 2004 ada  24 partai, namun hanya 10 partai yang hanya memperoleh kursi di DPR yang lebih dari 10 kursi yaitu Partai Golkar, PDIP, PPP, PD, PAN, PKB, PKS, PBR, PDS, dan PBB.[5] Pada pemilihan presiden dan wakil presiden, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang diajukan dari Partai Demokrat muncul sebagai pemenang sehingga menjadi presiden dan wakil presiden pertama yang dipilih oleh rakyat.
            Setelah berhasil melaksanakan pemilihan umum pada tahun 2004, Indonesia kembali melaksanakan pemilihan umum pada tahun 2009. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, menyatakan bahwa partai politik yang mengikuti pemilihan umum berikutnya (2009) adalah yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% dari jumlah kursi DPR atau 4% dari jumlah kursi DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ jumlah provinsi atau kabupaten/kota. [6] Namun, ketentuan tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang didalamnya mengubah electoraltreshold menjadi parliamentary threshold.
Pembubaran Partai Politik Orde Lama dan Reformasi
            Partai politik mempunyai dua arti yaitu arti secara luas dan arti secara sempit. Arti secara luas, partai merupkan pengelompokan masyarakat dalam organisasi secara umum yang bebas, tidak hanya dalam organisasi politik. Sedangkan arti secara sempit, partai adalah organisasi masyarakat yang bergerak dibidang politik.[7] Partai politik pada mempunyai dua cara pembentukan yaitu (1) partai yang terbentuk di dalam parlemen (intra parlemen) merupakan partai yang berkembang sesuai dengan nilai-nilai, dan (2) partai yang terbentuk di luar parlemen (ekstra parlemen) merupakan partai yang independen serta tidak memperoleh nilai baru seperti intra parlemen.[8] Partai-partai yang berdiri pada masa kolonial bisa dikategorikan sebagai partai yang terbentuk di luar parlemen (ekstra parlemen) karena pembentukannya atas dasar keinginan bersama untuk mencapai kemerdekaan.
            Pada masa kolonial Belanda banyak partai-partai yang telah berdiri, namun karena ketakutan dari pemerintahan kolonial partai-partai yang dirasa dapat membahayakan pemerintah dan kestabilan politik dibubarkan seperti IP, PKI, dan PNI. PKI dibubarkan karena melakukan pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Barat. Sedangkan PNI dibubarkan karena sikap konfrontatif yang dilakukannya, khususnya oleh Soekarno. Dilanjutkan kembali ketika masa pendudukan Jepang yaitu dengan melarang total segala aktifitas organisasi politik. Namun, Jepang masih memperbolehkan organisasi yang berlandaskan agama, khususnya islam.
            Pada awal kemerdekaan gagasan partai tunggal yang diusulkan Soekarno karena pada saat itu banyak pemberontakan di berbagai wilayah. Selain itu, presiden Soekarno beranggapan bahwa untuk sistem multi partai tidak tepat di Indonesia karena justru meningkatkan konflik sosial. [9] Pada saat awal kemerdekaan pula, banyak terjadi konflik antarpartai politik sehingga membuat kestabilan politik nasional menjadi terganggu. Sistem multi partai yang digunakan mengalami banyak kekacauan antara lain partai politik kecil yang memiliki pengaruh besar terhadap pemerintahan. Namun, di sisi lain partai-partai besar tidak terlibat dalam pemerintahan. Permasalahan tersebut bertambah ketika berlakunya sistem parlementer tanpa adanya partai politik yang memiliki kekuasaan terhadap parlemen dan pemerintahan. Sistem parlementer banyak dijatuhkan oleh kekuatan ekstra parlementer,[10]  Karena banyaknya partai politik pada masa perlementer inilah, kabinet berjalan tidak mulus. Pembangunan yang gagal dan kabinet yang sering berganti-ganti mengakibatkan pada 5 Juli 1959, presiden mengeluarkan dekrit yang mengakhiri masa parlementer di Indonesia.
            Selepas Dekrit, Presiden Soekarno mulai mengambil langkah-langkah penting ke arah penataan partai politik. Pada tahun 1959 dikeluarkan Perpres No. 7 yang mengatur mengenai syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian. Kemudian diikuti dengan Perpres No. 13 yang mengatur pengakuan, pengawasan dan pembubaran beberapa partai. PSI dan Masjumi dibubarkan karena keterlibatan sejumlah tokoh utamanya dalam pemberontakan PRRI/Permesta dibubarkan melalui Kepres 128/61.[11]  Pada saat itu pula hanya tersisa 10 partai politik yang diakui pemerintah, yaitu PNI, PKI, NU, PSII, PERTI, Parkindo, Partai Katolik, Partindo, IPKI , dan Murba.[12] Perubahan parlemen terpenting terjadi ketika Bung Karno membubarkan parlemen pada 5 Maret 1960 karena adanya penolakan parlemen atas rencana anggaran yang dajukan pemerintah. Hal ini diikuti oleh rencana pendirian DPR-GR yang sesuai dengan konstruksi UUD 45 dimana sebagian anggotanya adalah golongan fungsional. DPR-GR akhirnya dibentuk pada Juli 1960 terlepas dari adanya penentangan sejumlah parpol dan tokoh yang membentuk “liga demokrasi”. Liga ini terdiri dari partai Katolik, Masyumi, PSI dan IPKI yang mendapatkan dukungan dari TNI AD, Bung Hatta, dan sejumlah tokoh NU dan PNI. DPR-GR beranggotakan 263 orang dimana 132nya berasal dari golongan fungsional (7 wakil AD, 7 wakil AU dan AL, 5 polisi dan selebihnya dari organisasi seperti Sobsi, Gerwani, BTI, Sarpubri, Pemuda rakyat, dan sebagainya). Berakhirnya masa parlementer di Indonesia, juga berarti dimulainya system baru di negara ini, yaitu masa demokrasi terpimpin. Masa ini adalah masa dimana kekuatan presiden sangat kuat, terbukti dengan slogan NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunis), Soekarno memperkuat tiga partai sebagai inti dari slogan tersebut. Partai itu adalah NU, PNI dan PKI. Pada 5 Januari 1964 Presiden Soekarno membekukan partai Murba. Pembekuan tersebut karena bagian konflik antarpartai politik, terutama antara PKI dengan partai-partai yang menolak keberadaan dan praktik politik PKI.
            Sedangkan, Partai politik ketika masa reformasi sama halnya dengan kejadian seperti diawal kemerdekan. Sebabnya, sebelum kemerdekaan partai politik dilarang total oleh pemerintahan Jepang dan pada masa sebelum reformasi Indonesia juga mengalami penyederhanaan partai yang dilakukan oleh rezim orde baru. Pembebasan partai politik dibuka dengan keluarnya Ketetapan MPR RI Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan  atas Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum. Salah satu yang diubah adalah pasal 3 ayat 1 yang awalnya mengatakan bahwa pemilihan umum diikuti oleh tiga organisasi politik, yaitu Golongan Karya, PPP, dan PDI, menjadi sebagai berikut.[13]
Pemilihan Umum yang dimaksud dalam Ketetapan ini diikuti oleh partai-partai politik yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta memounyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
            Selain itu, Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Diberlakukannya Undang-Undang tersebut membuat bermunculnya berbagai politik baru. Terdapat 141 partai politik yang mendapat pengesahan sebagai badan hukum dari Departemen Hukum dan HAM. Namun,hanya 48 Partai Politik yang berhasil lolos verifikasi untuk menjadi peserta Pemilihan Umum tahun 1999.
Ketentuan Pembubaran Partai Politik
            Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999
            Pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang memiliki wewenang mengawasi dan membubarkan partai politik adalah Mahkamah Agung.  Mahkamah Agung dapat membekukan atau membubarkan partai politik. Membekukan adalah menghentikan sementara kepengurusan serta kegiatan partai politik.  Sedangkan membubarkan adalah mencabut hak hidup dan keberadaan  partai politik di seluruh wilayah Indonesia.[14] Alasan pembekuan dan pembubaran partai politik adalah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999.
            Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 adalah mengatur tentang syarat-syarat pembentukan partai politik. Pasal 3 menyatakan bahwa pembentukan partai politik tidak boleh membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Pasal 5 mengatur tentang tujuan partai politik, tujuan yang umum adalah mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 mengatur tentang kewajiban partai politik,diantaranya berasaskan pancasila, menjaga keutuhan NKRI, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, menyukseskan pembangunan nasional serta pemilihan umum. Sedangkan  Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 mengatur tentang larangan terhadap partai politik antara lain tidak boleh berlandaskan Komunisme, menerima bantuan asing, memberikan apapun ke pihak asing, dan melakukan kegiatan yang bertentangan dengan pemerintah.
Alasan yang terkandung dalam pembubaran partai politik  sangat luas dan umum, sehingga sulit untuk menjadikan tolok ukur pelanggarannya. Terkait dengan tujuan khusus partai politik  yaitu memperjuangkan cita-cita anggotanya, sehingga pendirian partai politik itu harus didasarkan pula pada cita-cita anggotanya.
            Berdasarkan Pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 menyebutkan bahwa partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Agung berdasarkan putusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap setelah mempertimbangkan keterangan dari pengurus pusat partai yang bersangkutan. Selain itu, juga bisa melalui pengadilan jika terjadi pelanggaran yang menjadi dasar pembubaran partai politik.
            Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
            Pembatasan partai politik tentunya tidak cukup hanya dengan menimbang alasan subyektif mengapa rencana tersebut harus dibatalkan atau mengapa rencana tersebut justru harus segera dilaksanakan. Kita perlu meninjau hal tersebut secara obyektif sehingga dapat dengan pasti disadari rencana tersebut sudah tepat atau keliru.
            Dari sisi undang – undang, kehadiran Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2008 tampak syarat – syarat pembentukan partai politik lebih ketat dari pada undang – undang sebelumnya yaitu UU Parpol tahun 2008. Hal ini tampak pada perubahan pasal 3.
UU Nomor 2 Tahun 2008 (Sebelum Perubahan), berbunyi:
Pasal 3
1.       Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan hukum.
2.       Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai:
a.       akta notaris pendirian Partai Politik;
b.       nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang – undangan;
c.       kantor tetap;
d.       kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan; dan
e.       memiliki rekening atas nama Partai Politik.
UU Nomor 2 Tahun 2011(Setelah Perubahan), berbunyi :
Pasal 3
1.       Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum.
2.       Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai:
a.       akta notaris pendirian Partai Politik;
b.       nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c.       kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan;
d.       kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum; dan
e.       rekening atas nama Partai Politik.
Dalam perubahan ini menunjukan bahwa partai politik semakin diperketat dengan direvisinya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Kebijakan ini menunjukkan keseriusan pemerintah untuk menyederhanakan partai-partai politik seperti pada masa-masa sebelum reformasi.
Penutup
            Partai politik Indonesia yang telah mewarnai kehidupan politik Indonesia dari zaman penjajahan Belanda hingga sekarang. Ketika zaman penjajahan partai-partai politik dijadikan sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi rakyat untuk mencapai kemerdekaan. Setelah cita-cita merdeka terwujud, Indonesia sempat memiliki sistem multi partai yang mencapai 118 partai dan organisasi politik pada pemilihan umum 1955.
            Namun, keberadaan multi partai itu hanya bertahan hingga pemilu 1977. Karena pada tahun 1973, Pemerintah melakukan penyempitan atau fusi partai politik menjadi 2 Partai Politik dan satu Golongan Karya. Dalam masa orde baru, 2 Partai politik tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia. Sedangkan Golongan Karya bukan partai politik namun organisasi politik.
            Tahun 1999 setelah reformasi, sistem partai kembali seperti awal kemerdekaan dengan dimudahkannya syarat pendirian partai, sehingga terdapat 141 partai politik yang disahkan Departemen Hukum dan HAM. Namun, ketika diverifikasi hanya 48 partai politik yang lolos menjadi peserta pemilihan umum tahun 1999.
            Munculnya UU Nomor 2 tahun 1999 tentang pemilihan umum, yang menyebutkan bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang untuk membubarkan ataupun membekukan partai politik apabila melanggar ketentuan yang telah ditetapkan. Semakin berat pula ketika Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 disahkan. Ditambah lagi dengan direvisinya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tersebut dengan perubahan diberbagai pasal. Perubahan yang dilakukan antara lain dengan merubah pasal 3. Di dalam pasal 3 tersebut lebih jelas sekali ketika pemerintah berusaha memberatkan syarat pendirian partai politik.
            Dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang telah direvisi, bisa dikatakan sebagai pembatasan atau penyederhanaan partai politik dimasa kini. Apa yang dilakukan pemerintah dari awal merdeka hingga saat ini rata-rata telah melakukan penyederhanaan partai, bahkan di masa orde lama pembubaran partai politik telah dilaksanakan.  
            Apapun yang telah dilaksanakan oleh pemerintah baik itu pembubaran, penyederhanaan, atau penyempitan partai politik itu semata-mata karena ingin mewujudkan kehidupan politik yang stabil. Namun, dari kebijakan tersebut seharusnya pemerintah juga tidak mengabaikan mengenai kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat bagi rakyat Indonesia.


Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. Kemerdekaan berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Duverger, Maurice.  Asal Mula Partai Politik, ed. Ichlasul Amal. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1988.
Safa'at, Muchamad Ali. Pembubaran Partai Politik. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Sanit, Arbi. Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1981.
Suprayitno. Pemilu Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: Teguh Pertiwi Mandiri, 1993.
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/07/partai-politik-di-indonesia-6/ diakses pada 23 Desember 2011.


[1] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 172-173
[2] Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia;Kestabilan,Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1981), 22-23.
[3] Suprayitno, Pemilu Indonesia dari Masa ke Masa (Jakarta: Teguh Pertiwi Mandiri, 1993), 33.
[4] Suprayitno, Pemilu Indonesia dari Masa ke Masa (Jakarta: Teguh Pertiwi Mandiri, 1993), 37-38.
[5] Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 238.
[6] Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003.
[7] Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 30-31.
[8] Maurice Duverger, Asal Mula Partai Politik, ed. Ichlasul Amal (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1988), 2-16.
[9] Maurice Duverger, Asal Mula Partai Politik, ed. Ichlasul Amal (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1988), 93-94.
[10] Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1977), 70.
[11] Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 163-172.
[12] Maurice Duverger, Asal Mula Partai Politik, ed. Ichlasul Amal (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1988), 103.
[13] Pasal 1 angka 5 Ketetapan MPR Nomor XIV/MPR/1998.
[14] Penjelasan Pasal 17 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999.

No comments:

Post a Comment