Di antara konflik internasional yang dapat diukur,
persoalan wilayah menjadi sangat penting, karena hal tersebut merupakan sifat
alamiah teritorial sebuah negara. Konflik atas kontrol wilayah dapat dibedakan
dalam dua variasi : Perselisihan teritorial (mengenai garis perbatasan) dan
konflik atas kontrol keseluruhan wilayah termasuk perbatasan. Mempertimbangkan
perbedaan utama mengenai penarikan garis batas antara kedua negara tersebut,
maka negara harus mengontrol wilayah yang diperselisihkan. Sejak
berdirinya Negara Israel di bumi Palestina pada tahun 1948, berdasarkan
rekomendasi resolusi No 181 Majelis Umum (General Assembly) Perserikatan Bangsa
Bangsa pada tahun 1947 tentang pemecahan Palestina menjadi dua negara: Arab dan
Israel, melahirkan peperangan dan pembantaian massal antara Israel dan Negara
Arab beserta negara tetangganya. Konflik Israel-Palestina pada awalnya memang
tentang Zionisme keagamaan, akan tetapi pada tahun 1896 M, Theodore Herzl aktor
sekaligus arsitek intelektual atas munculnya ide negara negara bagi Yahudi
Diaspora mengggagas negara merdeka bagi Yahudi. Konflik tentang zionisme
keagamaan dibelokkan kepada tujuan-tujuan politik-keduniaan. Karena hubungannya dengan integritas negara, wilayah
menjadi jauh lebih berharga daripada nilai ekonomi atau strategi yang mereka
ambil secara bersamaan, seperti konflik antara Palestina dan Israel ini. Dalam
hal ini posisi Mesir sangat berperan besar dalam perdamaian antara Palestina
dan israel. Pengakuan terhadap peran penting dan strategis Mesir secara
umum tercermin dari intensitas konsultasi dan koordinasi yang dilakukan para
pemimpin dunia dengan pihak Mesir terkait proses perdamaian di Timur Tengah. Konflik
ini secara penuh menjadi tanggung jawab Dewan Keamanan PBB untuk menjaga
stabilitas keamanan dan perdamaian internasional. Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa Bangsa (DK PBB) berdasarkan Piagam (Charter) diharapkan mampu
menyelesaikan konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina tersebut, akan
tetapi peran DK PBB ternyata masih bergantung dengan Amerika Serikat (AS). Dominansi
Amerika Serikat membuat efektifitas DK PBB tidak maksimal. Segala bentuk
resolusi yang berkaitan tentang Israel, AS lebih memilih abstain atau mem-veto
hasil perundingan DK PBB dengan beberapa anggota lainnya. Setiap konflik global
pasti berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi dunia, termasuk konflik di jalur
Gaza ini. Konflik Gaza itu
tidak saja merugikan ekonomi Israel dan Palestina. Dunia pun cemas karena
konflik ini bisa berpengaruh pada naiknya harga minyak. Selama Israel masih
melakukan agresi militer, pembangunan pemukiman di wilayah Tepi Barat dan
melakukan pemblokiran di jalur Gaza, penyelesaian konflik tersebut tidak akan
pernah berhenti.
Pendahuluan :
Konflik Israel-Palestina, bagian dari konflik Arab-Israel
yang lebih luas, adalah konflik yang berlanjut antara bangsa Israel dan bangsa
Palestina. Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang
sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi
yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh
bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua komunitas
terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran
teritorial total dari komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua
negara, dan
sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekular
yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem
Timur.
Konflik Israel-Palestina boleh jadi merupakan konflik
yang memakan waktu panjang setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara
dunia Timur dan Barat di sekitar abad kedua belas. Konflik yang
telah berlangsung enam puluhan tahun ini menjadi konflik cukup akut yang
menyita perhatian masyarakat dunia. Apa yang pernah diprediksi Amerika melalui
Menteri Luar Negerinya, Condoleezza Rice, pada Konfrensi Perdamaian Timur
TengahNovember 2008 lalu, sebagai "pekerjaan sulit namun bukan berarti
tidak dapat ditempuh dengan kerja keras dan pengorbanan" bagi penyelesaian
konflik Israel- Palestina, semakin menunjukkan bahwa perdamaian
Israel-Palestina memang sulit diwujudkan. Pasalnya, akhir 2008 yang diprediksi
dunia Internasional (dalam hal ini Amerika) sebagai puncak penyelesaian konfik
Israel-Palestina justru menampakkan kondisi sebaliknya. Agresi militer Israel
ke Jalur Gaza yang dilancarkan akhir 2008 ini semakin memperkuat keraguan
banyak pihak atas keberhasilan konfrensi tersebut.
Tercatat tidak kurang dari seribu lebih warga Palestina
mengalami korban jiwa dan lebih dari dua ribu korban luka lainnya dalam waktu
sepekan serangan udara yang dilancarkan pasukan Israel ke Jalur Gaza. Tidak
hanya sampai di situ, Israel bahkan mulai melakukan serangan darat dengan dalih
ingin melucuti sisa-sisa roket yang dimiliki pejuang Hamas, sebuah gerakan
perlawanan Islam di Palestina yang menjadi alasan penyerangan Israel ke wilayah
tersebut. Sulit dibayangkan, jika serangan udara Israel dalam waktu satu minggu
telah menelan demikian banyak korban, keadaannya tentu akan semakin parah
setelah Israel melancarkan serangan daratnya, dan kondisi ini terbukti dengan
jatuhnya korban jiwa melibihi angka seribu dan ribuan korban luka lainnya.
Agresi militer Israel ke Jalur Gaza beberapa waktu lalu
benar-benar menarik perhatian banyak pihak, tidak saja dari kalangan masyarakat
muslim melainkan hampir seluruh masyarakat dunia. Keprihatinan dan simpati
masyarakat dunia akan kondisi Palestina yang menjadi korban keganasan agresi
meliter Israel diungkapkan dalam berbagai bentuk solidaritas mulai dari aksi
kecamanan, kutukan dan penolakan terhadap tindakan Israel hingga pengiriman
bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk, seperti tenaga medis, makanan serta
obat-obatan. Atas nama kemanusiaan, solidaritas semacam ini wajar dilakukan.
Namun yang cukup menarik dari sekian banyak solidaritas yang ditujukan pada
korban Palestina adalah simpati dan dukungan yang datang dari masyarakat Islam.
Lebih dari sekedar memberikan bantuan kemanusiaan pada masyarakat Palestina,
beberapa institusi dan ormas Islam bahkan siap mengirimkan tenaga relawannya
sebagai "pasukan jihad”.
Fakto-faktor
yang mempengaruhi agresi Israel ke Jalur Gaza
Konflik dan
perang sudah merupakan hal yang biasa terjadi di kawasan Timur Tengah. Perang
ini tidak hanya melibatkan suku, ras, atau negara satu dengan negara lain,
tetapi juga melibatkan negara lain yang sebenarnya tidak berhak ikut campur
tangan dalam menangani konflik yang terjadi di Timur Tengah. Diantara
negara-negara yang selalu ikut campur dalam permasalahan ini adalah Amerika
Serikat yang mengklaim dirinya sebagai polisi dunia. Bahkan Amerika Serikat
mempunyai anak emas yang selalu dibelanya yaitu Israel yang notabene sebagai
penjaga kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah.
Terjadinya
konflik bersenjata yang berlarut-larut tersebut disebabkan oleh tindakan
militer Israel yang gencar melakukan invasi terhadap beberapa wilayah negara
Palestina dan melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap warga Palestina. Hal ini
dilakukannya dalam rangka memperluas permukiman Yahudi di Negara Palestina.
Sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat penuh tentunya Palestina tidak
akan tinggal diam menyikapi hal tersebut. Ketidakberdayaan PBB dan sikap
kontroversial Amerika Serikat yang cenderung membela Israel semakin mempersulit
posisi Palestina dalam mempertahankan wilayah kedaulatan negaranya tersebut.
Bahkan Palestina seolah olah berjuang sendirian dalam menghadapi agresi israel
yang di dukung Amerika Serikat.
Sejarah Israel bermula
dari lahirnya gerakan Zionis pada abad ke 19 d iEropa Timur. Zionisme adalah
aspirasi penciptaan negara tersendiri untuk bangsa Yahudi. Istilah Zionisme berasal
dari kata Zion, nama bukit tempat kompleks ibadah bangsa Yahudi di kota
Yerussalem. Berbagai kelompok Zionis digabungkan menjadi satu organisasi besar
berkat kegiatan seorang yahudi yang hidup di Eropa Tengah dan Barat yang
menyaksikan penindasan kaum Yahudi yaitu Theodore Herzl. Ia menekankan masalah
suatu bangsa tanpa negara dalam Zionisme dan pendirian negara Yahudi di tanah
Palestina.1 Pada bulan Agustus 1897, Herzl menyelenggarakan kongres Zionis
se-Dunia pertama di Basel, Swiss, yang mengumpulkan lebih dari 200 Zionis yang mewakili
Yahudi dari segala daerah, aliran, dan golongan sosial. Mereka mendirikan
organisasi Zionis se-Dunia. Berdasarkan program Basel gerakan ini menyerukan
kepada bangsa Yahudi agar mendirikan tanah air atau tempat tinggal sendiri
untuk bangsa Yahudi di tanah Palestina.2 Apabila dilihat dari sudut pandang
agama istilah ini merujuk pada agama Yahudi sebagai agama monoteis yang
memiliki ciri khas keterkaitan dengan bangsa Yahudi. Jika dilihat berdasarkan
etnisitas, kata ini merujuk kepada keturunan Eber atau Yakub, anak Isa, anak Abraham
(Ibrahim) dan Sarah. Sejarah panjang Yahudi dan gerakan Zionis ini kemudian
banyak menimbulkan berbagai konflik berkepanjangan di kawasan Timur Tengah.
Salah satunya adalah konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung puluhan
tahun. Konflik tersebut banyak terjadi terutama setelah berdirinya negara
Israel yang kemudian menjadi musuh bersama negara-negara di kawasan Timur
Tengah.
Pada tanggal 14 Mei 1948,
mandat Inggris berakhir dan pimpinan Zionis segera memproklamasikan berdirinya
negara Israel akan tetapi sehari kemudian langsung diserang oleh tentara
koalisi dari Lebanon, Mesir, Trans-Yordania, Iraq, Suriah dan negara Arab
lainnya. Tetapi Israel dapat memenangi pertempuran ini dan merebut kurang lebih
70% dari luas total wilayah mandat Inggris di tanah Palestina. Perang ini
menyebabkan banyak warga Arab yang mengungsi ke negara-negara tetangga. Pada
periode berikutnya sebagian tanah
dari orang Arab disita pemerintah Israel dengan dalih menyangkut keamanan
negara. Hingga saat ini, persoalan berdirinya negara Israel tetap menjadi
sumber ketegangan, bukan hanya antara penduduk Yahudi dan Penduduk Arab
Palestina, melainkan antara Israel dan mayoritas negara di kawasan Timur
Tengah.
Puncaknya, serangan Israel
ke wilayah Palestina pada 27 Desember 2008. Serangan itu terjadi hanya Sembilan
hari setelah habisnya masa gencatan senjata antara Hamas dan Israel pada 19
Desember 2008. Kesepakatan gencatan senjata itu memang hanya berlaku antara
Hamas dan Israel. Bagi Gaza, pemerintahan yang berkuasa adalah Hamas yang memenangkan
pemilihan umum di Gaza pada Januari 2006.
Seperti halnya dengan
serangan ke Lebanon pada 2006, serangan Israel ke Jalur Gaza kali ini pun
kembali mendapatkan kecaman dunia internasional. Dunia, minus Pemerintah
Amerika Serikat, mengecam keras tindakan Israel tersebut. Gempuran Israel pun
terus berlanjut meski mendapatkan kecaman keras dari masyarakat internasional.
Aksi protes dan demonstrasi pecah di berbagai kota dunia, termasuk di
Indonesia, mengecam Israel dan Amerika Serikat. Sejak Israel menyerang Jalur
Gaza pada 27 Desember 2008, protes anti
Israel terjadi disegala penjuru dunia. Di Iran ribuan warga turun ke jalan
melakukan aksi demonstrasi mengecam tindakan Israel menyerang Jalur Gaza,
Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengajak kaum Muslim diseluruh
dunia untuk menghukum Israel.
Tidak hanya dunia Arab dan
warga Muslim yang mengecam serangan Israel ke Jalur Gaza, Vatikan juga termasuk
yang mengecam keras serangan Israel ke Gaza. Langkah yang lebih radikal
ditempuh Venezuela dan Bolivia dengan memutuskan hubungan diplomatik dengan
Israel Sebagai protes terhadap agresi militer Israel ke Jalur Gaza. Pemerintah
Venezuela dan Bolivia menyatakan bahwa atas nama solidaritas, penghargaan pada
hak asasi manusia dan perdamaian pihaknya menempuh langkah tersebut. Gelombang
protes terhadap serangan militer Israel ke Jalur Gaza semakin meluas. Puluhan
ribu demonstran di berbagai kota besar di AS, Eropa, Afrika, dan Timur Tengah
turun ke jalan. Ribuan demonstran ramai-ramai membakar bendera Israel di Swedia
dan melemparkan sepatu ke Konsulat Jenderal AS di Edinburg, Skotlandia. Gelombang
protes paling besar dan tersebar terjadi di Prancis. Kepolisian Prancis
memperkirakan sedikitnya 30.000 demonstran turun ke jalan di kota-kota Prancis,
seperti Lyon, Marseille, dan Grenoble.
Dengan menyerang Gaza nampaknya pemerintah Israel telah
siap dengan segala konsekuensi, termasuk kegagalan seperti yang pernah mereka
alami di Lebanon. Ketika memutuskan untuk menyerang Jalur Gaza pemerintah
Israel telah yakin bahwa militernya telah banyak belajar dengan kegagalan di
Lebanon pada tahun 2006. Dan kekeliruan itu tak akan pernah terulang lagi.
Ketika menyerang Lebanon pada 2006 militer Israel hanya dapat
menghancurkan berbagai infrastruktur yang ada di sana, tetapi gagal dalam
menaklukkan Hizbullah. Oleh karena itu agresi Israel di Jalur Gaza kali ini
merupakan perjudian bagi Israel mengingat hal serupa pernah dilakukan oleh
Israel di Lebanon dengan hasil yang mengecewakan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi agresi Israel ke Jalur
Gaza antara lain:
1. Politik domestik
Agresi Israel kali ini tidak terlepas dari persaingan politik di dalam
negeri. Negara Yahudi tersebut dalam pembangunan citra positif bagi rakyat
Israel. Persaingan calon kandidat Perdana Menteri Israel menyeruak dalam agresi
militer yang dimulai menjelang pergantian tahun baru ini. Suhu politik yang kian
meningkat jelang pemilihan menjadikan semua politisi yang ikut bertarung dalam
pemilhan berlomba-lomba mendapatkan simpati rakyat Israel.
2. Kondisi Ekonomi dan Militer
Meski telah berdiri sejak 1948, Israel belum sepenuhnyaa terbebas dari defisit
neraca pembayaran yang parah. Berkat bantuan ekonomi dan militer AS (juga
bantuan uang tunai dari donor-donor Yahudi di seluruh dunia), keuangan negara
itu bisa terhindar dari angka negatif. Namun, bantuan tersebut tidak berarti
bagi negara musuh bersama bangsa Arab itu menjadi terlena. Upaya keras mereka
untuk membebaskan dari belitan defisit neraca perdagangan mulai terlihat. Dalam
berberapa tahun belakangan ini, Israel mampu menghasilkan surplus perdagangan
yang substansial. Keberhasilan itu ditopang oleh pertumbuhan pesat di sektor
teknologi tinggi.
3. Konteks Internasional
Serangan Israel ke Jalur Gaza kali ini tak bisa dilepaskan dari situasi internasional
pada saat itu dimana terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden AS menggantikan
George Walker Bush yang merupakan pendukung utama negara Yahudi tersebut
memunculkan ketakutan yang amat sangat terhadap pemerintahan Obama. Yahudi
mempunyai dugaan besar, jika Obama tidak akan terlalu mendukung agresi militer
mereka. Jika Israel ingin bertindak memerangi Hamas, itu harus dilakukan dalam
beberapa hari terakhir masa kepresidenan
Bush. Situasi di Amerika Serikat yang sedang menjalani transisi
pemerintahan dari George W. Bush ke tangan Presiden terpilih Barack Obama,
sampai akhir Januari mengakibatkan kosongnya tata politik internasional. Hal
ini dimanfaatkan betul oleh Israel dengan melakukan serangan ke Jalur Gaza dengan
dalih membalas serangan roket Hamas untuk melindungi warganya. Sementara itu,
respon dari dunia Internasional, dalam hal ini Dewan Keamanan PBB, OKI dan Liga
Arab, sangat lamban lantaran semuanya terlalu sibuk dengan kalkulasi politik
dan ekonomi jika mereka bertindak sesuatu terhadap Israel maupun mengenai
Palestina, lantaran, agresi Israel tidak menguntungkan siapapun secara politis
(kecuali bagi Israel tentunya), apalagi secara ekonomis.
Peran
Mesir dalam proses perdamaian konflik Israel Palestina
Dalam kaitan
antara Mesir dengan konflik Israel - Palestina, memang sulit dibayangkan saat
ini perundingan final Israel-Palestina dapat berhasil tanpa peran Amerika
Serikat (AS) dan Mesir. Kasus gagalnya KTT Camp David tahun 2000 semakin
membuka mata AS dan negara-negara barat lain bahwa pengaruh AS sebagai negara
adidaya-tanpa mengikutsertakan kekuatan regional (semisal Mesir) ternyata belum
cukup mengantarkan Israel dan Palestina mencapai kesepakatan final. Dari kasus
Camp David itulah, kedua negara (AS dan Mesir) merasa semakin membutuhkan satu
sama lain.
Pasalnya kapasitas isu yang dibahas dalam perundingan
final-khususnya Kota Jerusalem jauh lebih besar dari level sekelas Presiden
Clinton, Yasser Arafat, dan PM Ehud Barak. Ini berbeda dari perundingan
Israel-Palestina sebelumnya yang tidak menyentuh hal-hal yang sangat sensitif.
Arafat sudah berusaha menjelaskan dalam KTT Camp David lalu bahwa masalah Kota Jerusalem
bukan urusan dirinya semata, tetapi wewenang umat Islam dan Kristen.
Dalam sebuah kesempatan, Presiden Mesir Hosni Mubarak
mengatakan "Seandainya Mesir tidak membuka pintu, mustahil Palestina
bersedia duduk di meja perundingan dengan Israel dan mustahil pula konferensi
Madrid bisa terlaksana. Mesir kini terus berupaya mewujudkan perdamaian di
kawasan Timur Tengah karena percaya bahwa perdamaian adalah jalan masa depan.
Upaya Mesir dalam meredakan konflik Israel-Palestina juga mendapat sambutan
baik Menteri Luar Negeri Inggris, David Miliband. Bahkan Miliband menegaskan
pentingnya melakukan dialog dengan Hamas. "Saat ini, Mesir bertindak
sebagai perwakilan seluruh dunia dalam mengatasi Hamas. Mesir tadinya hanya
ditunjuk oleh Liga Arab, tapi dalam prakteknya mereka mewakili kita semua.
Apapun alasan penunjukan itu.
Pengakuan terhadap peran penting dan strategis Mesir
secara umum tercermin dari intensitas konsultasi dan koordinasi yang dilakukan
para pemimpin dunia dengan pihak Mesir terkait proses perdamaian di Timur
Tengah. Utusan Khusus Presiden Obama, Senator George Mitchell, dalam
kunjungannya ke Cairo pada 18 April 2009 menegaskan keyakinan dirinya dan
Presiden Obama bahwa perdamaian menyeluruh di timur tengah hanya akan terwujud
melalui upaya upaya Mesir. Pemilihan Mesir sebagai negara tempat Presiden Obama
menyampaikan pesan perdamaian pada 4 juni 2009 kepada umat Islam sedunia
semakin mempertegas posisi dan peran penting Mesir yang tidak dapat diabaikan
dalam proses perdamaian di Timur Tengah.
Peran besar Mesir dalam proses perdamaian Timur Tengah
itu memang sempat menimbulkan salah paham, hal ini menyusul gagalnya KTT Camp
David tahun 2000. Sejumlah media massa AS langsung menuduh Mesir berada di
balik gagalnya KTT Camp David. Mereka menuduh Presiden Mubarak tidak
menggunakan pengaruhnya menekan Arafat agar menerima tawaran AS dan Israel
tentang jalan kompromi soal Kota Jerusalem. Mereka sempat mengungkit perihal
bantuan AS pada Mesir sebanyak 2,1 milyar dollar AS setiap tahun yang
berlangsung sejak tercapainya perdamaian Israel-Mesir di Camp David tahun 1979.
Tak pelak lagi, terjadilah polemik dalam beberapa pekan terakhir ini antara
media massa Mesir dan AS. Harian terkemuka AS New York Times mempertanyakan,
buat apa AS membantu Mesir banyak-banyak kalau Mesir hanya menghambat proses
perdamaian Timur Tengah.
Media massa
Mesir semacam Al Ahram balik menyerang AS. Dikatakan, bantuan AS pada Mesir sesungguhnya
lebih banyak untuk kepentingan AS di Timur Tengah. Menurut Pemred Al Ahram
Ibrahim Nafi, bantuan AS tersebut hanya sepertiga yang berbentuk uang tunai
sedangkan sisanya berupa senjata dan suku cadang buatan AS yang dipasok ke
Mesir atau barang impor dari AS yang harganya jauh lebih mahal dibanding harga
barang serupa dari Jepang atau negara Eropa Barat.
Pada 8 Januari 2009
terjadi moment yang sangat penting yaitu adanya perdamaian yang diprakarsai
Mesir dan Prancis yaitu melalui proses mediasi untuk menyelesaikan konflik yang
terjadi antara Israel dengan Hamas di Gaza. Ini dilakukan karena dampak dari
perang sangat dirasakan oleh Mesir. Pertama, dampak secara ekonomi yaitu ekspor
obat-obatan dan kebutuhan rumah tangga menurun. Hal ini dikarenakan diperbatasan
perang antara Hamas dengan Israel tidak boleh ada barang masuk. Kedua dampak
sosial yaitu sampai hari ke13 perang Hamas dengan Israel mengakibatkan
pengungsian dengan jumlah yang besar yaitu mencapai lebih dari 700 ribu jiwa
yang sebagian besar adalah anak-anak, wanita, dan orang tua.
Realita tersebut menunjukkan bahwa perdamaian Israel –
Palestina sangat sulit diwujudkan tanpa adanya dukungan dari Mesir. Artinya,
apabila Amerika Serikat ingin memasuki dunia Arab dan umat Islam harus melalui
pintu Mesir. Barangkali faktor itulah yang mendorong Amerika Serikat dalam lawatannya
ke Afrika kali ini perlu mampir di Cairo menemui Presiden Mubarak. Sebaliknya,
Presiden Hosni Mubarak dalam setiap kesempatan selalu mengungkapkan bahwa Mesir
dibawah kepemimpinan Presiden Anwar Sadat yang telah membuka pintu perdamaian
di Timur Tengah.
Peran
DK PBB dalam Konflik di Jalur Gaza
Perserikatan Bangsa-Bangsa akan
mengerahkan Dewan Keamanan menyelidiki dugaan kejahatan perang Gaza,.jika Israel engganmelakukannya.Sebelumnya, PBB
mendesak Israel segera menyelidiki dugaan perang di Gaza selamamusim angin
lalu. Atas desakan itu PBB mendapat dukungan 132 negara anggota PBB,dari jumlah total 192
negara. Sedang 60 negara lainnya, 44 negara absen dan 16 tak mendukung. Para
negara pendukung menginginkan adanya akuntabilitas, khususnya dari Israel, atas
dugaan pelanggaran hukum internasional dalam
perang Gaza yang merenggut nyawa1.400 warga Palestina serta 13 warga Israel
tersebut.Israel sendiri tidak mendukung desakan PBB yang tertuang dalam
resolusi negara Arabtersebut, dan menyatakan resolusi tersebut hanya
menguntungkan sepihak. SementaraAmerika Serikat menilai resoslusi tersebut
'tidak adil dan bias' dan berpotensi melukai proses perdamaian di Timur Tengah.
Peran Dewan Kemanan PBB sebagai pihak
yang bertanggung jawab sekaligus mediator dalam menangani konflik antara
Israel-Palestina di jalur Gaza tahun 2007-2009 tidak efektif. Stabilitas keamanan
dan perdamaian internasional masih jauh dari cita-cita dan tujuan didirikannya
Perserikatan Bangsa Bangsa. Peran DK PBB dalam pangdangan politik islam-pun
tidak mampu menghentikan peperangan meskipun bersifatsementara (muwada'ah),
dibuktikan dengan Penolakan resolusi No 1860 tentang genjatan senjata oleh
Israel dan Palestina. Selama Israel masih melakukan agresi militer, pembangunan
pemukiman di wilayah Tepi Barat dan melakukan pemblokiran di jalur Gaza,
penyelesaian konflik tersebut tidak akan pernah berhenti.
15 anggota Dewan Keamanan PBB tampaknya harus bersiap-siap kehilangan
kredibilitasnya sekali lagi ketika ia sedang mempersiapkan sanksi lanjutan
terhadap Iran sementara gagal meloloskan resolusi terhadap Israel atas
penindasannya yang semakin gencar kepada orang-orang Palestina di Gaza. Banyak
orang kini bertanya adakah kredibilitas yang masih tersisa bagi DK-PBB,” kata
Mouin Rabbani, editor Middle East Report, majalah analisis Timur Tengah paling
populer di AS.
Namun, pertanyaan yang jauh lebih tepat, menurut Rabbani,
adalah layakkah DK-PBB mempunyai kredibilitas—setelah berbagai kegagalannya
menjamin keamanan dan perdamaian, serta menutup mata terhadap banyak ancaman
kepada keamanan dan perdamaian berikut hak-hak asasi bagi jutaan manusia. Tindak-tanduk
DK-PBB yang terus terobsesi dengan program “senjata” nuklir Iran yang tidak
pernah eksis sementara tidak mampu melakukan apa pun—bahkan hanya sebuah
pernyataan sekalipun—dalam menangani pendudukan Israel atas Tepi Barat dan
Jalur Gaza yang nyata di hadapan sudah berbicara banyak hal,” lanjut Rabbani.
Dan
konflik ini (Israel-Palestina) adalah konflik yang mereka (DK-PBB) ciptakan
sendiri pada 1947. Sementara itu pengamat khusus PBB, John Dugard, dengan tegas
menyatakan bahwa aksi Israel telah melanggar larangan atas hukuman kolektif
sebagaimana tercantum dalam Konvensi Jenewa Keempat. Stephen Zunes, gurubesar
politik dan studi internasional University of San Francisco, mengamini pendapat
Rabbani bahwa, Jika DK-PBB tunduk kepada tekanan AS dan menjatuhkan sanksi
lanjutan atas Iran sementara tidak ada program senjata nuklir yang aktif di
Iran, maka hal itu akan semakin mencederai kredibilitas DK-PBB.
Sebagai perbandingan, Zunes mengungkapkan bahwa Israel telah melanggar
Resolusi DK-PBB 487 yang memerintahkannya agar menandatangani kesepakatan
pengawasan dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) selama 26 tahun.
Namun, selama itu pula DK-PBB tidak pernah member sanksi terhadap Israel. Hal
yang sama berlaku terhadap India dan Pakistan yang selama lebih daripada satu
dekade tetap dibiarkan melanggar Resolusi 1172 yang memerintahkan kedua negara
itu untuk menghentikan program senjata nuklir mereka.
Konflik antara
Israel-Palestina bukanlah kali pertama. Berbagai acara perundingan damai seolah
tidak berarti karena konflik Israel-Palestina masih berlangsung hingga saat
ini. Sebenarnya ada dua isu penting yang menjadi alasan konflik
Israel-Palestina tak kunjung padam, yakni isu politik dan isu teologis. Isu
teologis karena mereka (Israel Palestina) berjuang memperebutkan wilayah “suci”
yang secara teologis-historis perjuangan untuk mendapatkannya telah
“diamanatkan oleh Tuhan”. Konsep teologis kedua Negara tersebut jelas sangat
kontras, Israel dengan dasar teologi Yahudi sedangkan Palestina dengan dasar teologi
Islam.
Isu politik nyatanya sering digunakan pihak Israel untuk melancarkan agresi ke wilayah negara Palestina. Fokus serangan Israel saat ini adalah pada seluruh wilayah yang didiami kelompok Hamas. Harakah Muqawamah Islamiyah atau lebih dikenal dengan Hamas merupakan organisasi yang didirikan sejak 1987 dan secara sah merupakan partai politik yang mendominasi kursi parlemen Palestina (meraih 76 dari total 132 kursi). Sehingga nampak adanya pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan negara (state sovereignity) dalam hal ini mengingat tujuan akhir serangan Israel adalah menggantikan posisi Hamas yang dianggap “garis keras” dengan posisi Fatah yang selama ini disukai oleh negara Barat.
Isu politik nyatanya sering digunakan pihak Israel untuk melancarkan agresi ke wilayah negara Palestina. Fokus serangan Israel saat ini adalah pada seluruh wilayah yang didiami kelompok Hamas. Harakah Muqawamah Islamiyah atau lebih dikenal dengan Hamas merupakan organisasi yang didirikan sejak 1987 dan secara sah merupakan partai politik yang mendominasi kursi parlemen Palestina (meraih 76 dari total 132 kursi). Sehingga nampak adanya pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan negara (state sovereignity) dalam hal ini mengingat tujuan akhir serangan Israel adalah menggantikan posisi Hamas yang dianggap “garis keras” dengan posisi Fatah yang selama ini disukai oleh negara Barat.
Apa kata UN Charter?
Dewan Keamanan (DK)
PBB merupakan suatu badan eksekutif yang dilengkapi dengan segala macam
wewenang dan tanggung jawab untuk mengambil tindakan-tindakan penting demi
terpeliharanya perdamaian dan keamanan. Fungsi sebagai “polisi dunia” ini
dipertanyakan semenjak Negeri Paman Sam sangat sensitive terhadap isu-isu yang
berhubungan dengan 911 bombing (Kasus WTC 11 September 2001).
Pasal
39-51 Piagam PBB (United Nations Charter) menunjukkan betapa kuatnya DK PBB
walaupun terkadang seringkali ditemui banyak pelanggaran terhadap penggunaan
kekuatan tersebut. Misalnya saja inti dari pasal 39 ialah bahwa sebelum memberikan rekomendasi yang diperlukan bagi pemulihan
perdamaian dan keamanan, Dewan akan menentukan apakah terdapat suatu keadaan
yang mengancam (threat of peace), atau pelanggaran terhadap perdamaian (breach
of peace) ataupun suatu agresi (act of aggression) melalui investigasi. Dan
segala penyelesaian konflik antar negara yang berujung melalui jalur kekerasan
(use of force) maka harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari DK PBB. Namun,
implementasi dari pasal-pasal tersebut menjadi tidak efektif karena nuansa
kebijakan politik anggota tetap DK PBB yang lebih mementingkan kepentingan
mereka sendiri daripada common interest seluruh negara anggota PBB. Penggunaan
hak veto pun terkadang sering melenceng dari garis yang telah ditetapkan DK
PBB. Untuk itulah tidak sedikit negara yang merasa dirugikan akibat
dijatuhkannya resolusi Dewan.
Efektifkah Resolusi DK PBB?
Konflik
Israel-Palestina yang berkepanjangan membuat sebagian negara mempertanyakan
fungsi dan efektivitas adanya DK PBB. Begitu dekatnya Amerika dengan Israel
dalam berbagai hal menjadikan resolusi Dewan yang dijatuhkan terasa kurang
efektif. Misalnya saja implementasi resolusi 271, 298, 452, dan 673. Israel
memang punya hak untuk mempertahankan diri, namun tidak ada yang punya hak
“mempertahankan” wilayah pendudukan. Dan ketika Mahkamah Internasional mengutuk
pembangunan “dinding pemisah,” bahkan di sebuah Peradilan AS, hakim
Buergenthal, menegaskan bahwa pembangunan tembok pemisah untuk mempertahankan
wilayah pendudukan Israel merupakan ipso facto dalam “pelanggaran hukum
kemanusiaan internasional,” karena pendudukan itu sendiri ilegal.” Namun
kenyataannya, tembok besar telah berdiri kokoh dan banyak penduduk sipil
Palestina menjadi korban serta Israel seolah tidak bersalah.
Terakhir, resolusi 1860 yang baru saja dikeluarkan DK PBB menjadi tidak berarti untuk dilaksanakan kedua belah pihak yang berselisih. Hanya Amerika Serikat saja yang abstain dalam pemungutan suara mengenai pengesahan resolusi 1860 tersebut. Sedangkan ke-13 anggota DK PBB (baik permanent atau non-permanent members) lainya setuju untuk disahkannya resolusi tersebut guna menghindari banyaknya korban serta menghindari serangkaian pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Hukum Internasional.
Kedekatan Amerika dengan Israel memang tidak terelakkan lagi. The New York Times (23 September 2001), memberitakan bahwa bantuan yang diberikan untuk Israel adalah sebesar 77 Milyar US$ sejak tahun 1967. Dan itu belum termasuk “sumbangan” teknologi militer yang canggih. Fakta tersebut memberikan gambaran buruk akibat adanya dua wajah dari Amerika yaitu sebagai anggota tetap DK PBB dan sebagai TTM Israel. Tidak salah lagi apabila Israel berani untuk “tidak mematuhi” segala aturan dari resolusi Dewan karena Amerika berada dibelakangnya. Sehingga muncul ketidakefektifan dan ketidakadilan resolusi Dewan yang hanya berdasar kepentingan politik semata.
Terakhir, resolusi 1860 yang baru saja dikeluarkan DK PBB menjadi tidak berarti untuk dilaksanakan kedua belah pihak yang berselisih. Hanya Amerika Serikat saja yang abstain dalam pemungutan suara mengenai pengesahan resolusi 1860 tersebut. Sedangkan ke-13 anggota DK PBB (baik permanent atau non-permanent members) lainya setuju untuk disahkannya resolusi tersebut guna menghindari banyaknya korban serta menghindari serangkaian pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Hukum Internasional.
Kedekatan Amerika dengan Israel memang tidak terelakkan lagi. The New York Times (23 September 2001), memberitakan bahwa bantuan yang diberikan untuk Israel adalah sebesar 77 Milyar US$ sejak tahun 1967. Dan itu belum termasuk “sumbangan” teknologi militer yang canggih. Fakta tersebut memberikan gambaran buruk akibat adanya dua wajah dari Amerika yaitu sebagai anggota tetap DK PBB dan sebagai TTM Israel. Tidak salah lagi apabila Israel berani untuk “tidak mematuhi” segala aturan dari resolusi Dewan karena Amerika berada dibelakangnya. Sehingga muncul ketidakefektifan dan ketidakadilan resolusi Dewan yang hanya berdasar kepentingan politik semata.
Konflik Gaza Mengguncang Ekonomi Dunia
Peperangan
Israel dan Palestina di Jalur Gaza dalam sepekan terakhir tidak saja
menimbulkan banyak korban jiwa, tapi juga mengguncang ekonomi dunia.
Indikasinya, hari ini harga minyak di pasar internasional sudah mulai naik di
saat perekonomian global belum pulih dari resesi.
Diprediksi, kelangkaan minyak
akan terjadi permintaan pasar bakal meningkat menjelang musim dingin di AS dan
Eropa serta negara-negara lain pada akhir tahun. Ditambah pula muncul
seruan dari milisi Hisbullah di Libanon kepada negara-negara Arab agar
mengurangi produksi minyak mereka, atau menaikkan harganya di pasar dunia.
Hisbullah termasuk milisi yang disegani di Timur Tengah. Seruan dari milisi
tersebut dianggap sebagai cara efektif untuk membuat para konsumen utama yang
merupakan sahabat Israel, seperti AS dan Eropa, agar bisa menekan negara zionis
menghentikan serangan ke Gaza.
Konflik Gaza itu tidak saja
merugikan ekonomi Israel dan Palestina. Dunia pun cemas karena konflik ini bisa
berpengaruh pada naiknya harga minyak. Menurut laman RTE, harga minyak dalam
transaksi elektronik untuk perdagangan Asia di bursa New York pada Senin pagi
19 November naik di atas US$87 per barel. Di bursa London, harga minyak Brent
juga naik, yaitu sebesar 55 sen menjadi US$109,5 barel. Padahal Jumat pekan
lalu sudah naik hingga US$108,95 per barel.
Para investor sudah mulai
menhkhawatirkan berkurangnya pasokan minyak dari Timur Tengah. Apalagi bila
konflik Israel-Palestina di Gaza terus berlanjut. Naiknya harga minyak bisa menjadi
masalah besar bila muncul sikap yang frontal dari negara-negara Arab penghasil
minyak di Timur Tengah. Seruan dari pemimpin milisi Hisbullah agar
negara-negara Arab menggunakan segala cara untuk mendukung Palestina dari
serangan Israel, semakin membuat ketar ketir para pemimpin dunia. "Kurangi
ekspor minyak kalian atau naikkan sedikit harganya, pasti bakal mengguncang AS
dan Eropa. Dengan tekanan demikian, maka tidak perlu mengerahkan bala tentara,
tank atau pesawat tempur," demikian saran pemimpin Hisbullah, Hassan
Nasrallah, seperti dikutip Reuters pekan lalu.
Memang negara-negara Arab
penghasil minyak itu berbeda ideologi politik sehingga sulit bersatu. Namun
jika tersentuh oleh rasa kemanusiaan, bisa jadi para pemimpin negara-negara
Arab akan mengikuti seruan Hizbullah tersebut. Sebab, saran itu cukup
mengundang perhatian media massa dan juga pengamat pasar minyak dunia. Berbasis
di Lebanon, Hisbullah merupakan milisi yang disegani Israel. Mereka terakhir
berperang pada 2006. Berlangsung selama 34 hari, perang itu menewaskan 1.200
warga sipil di Lebanon dan 160 warga Israel, sebagian besar tentara.
Meski dampak ekonomi di level
internasional belum terlalu nampak, di tingkat regional sudah terasa.
Setidaknya, sektor wisata di wilayah Israel dan Palestina langsung drop akibat
konflik yang disebut Israel sebagai operasi militer 'Pillar of Defense' untuk
menghantam kelompok Hamas di Gaza yang bersenjatakan roket itu. Saat ini,
banyak turis yang berpikir dua kali untuk mengunjungi kota-kota wisata di dekat
zona perang, seperti Yerusalem di Israel dan Betlehem di Tepi Barat, Palestina.
"Konflik di kawasan selatan bakal memukul industri pariwisata, yang
merupakan salah satu andalan pendapatan di wilayah itu," kata Menteri
Pariwisata Israel, Stas Misezhnikov. Pemerintah negara zionis itu mengaku bahwa
sektor wisata hanya menyumbang 2-3 persen dari pertumbuhan ekonomi mereka.
Menurut kantor berita
Reuters, sejumlah hotel di Israel dan maskapai penerbangan El Al dalam beberapa
hari terakhir mengalami pembatalan pesanan kamar maupun jadwal penerbangan dari
para turis. Jumlah pembatalan kunjungan ini diprediksi bakal terus bertambah
bila konflik berlanjut. Seorang juru bicara Fattal, jaringan hotel terbesar di
Israel, mengaku telah menerima beberapa pembatalan pesanan kamar. "Kami
melihat awal dari tren, namun perlu beberapa hari berikut untuk bisa
memperkirakan arah tren keseluruhan," kata juru bicara itu.
Hotel American Colony di
Yerusalem juga mengungkapkan pembatalan pesanan kamar di menit-menit akhir.
Pembatalan ini juga muncul dari para turis lokal di Israel. Mereka memilih
tinggal di rumah ketimbang jalan-jalan. Kapal pesiar yang biasa berlabuh di
Pelabuhan Ashdod pun tidak berani boleh mendekat. Selain itu rute penerbangan
ke dan dari Bandara Ben Gurion di Tel Aviv dialihkan ke kawasan utara untuk
memberi ruang lebih luas bagi jet-jet tempur Israel dalam menggempur Gaza.
Sebelum munculnya kembali konflik di Gaza, Israel telah menikmati tingginya
kunjungan turis. Selama Januari-September 2012, sebanyak 2,6 juta turis
mengunjungi negara itu. Ini rekor baru dan 7 persen lebih tinggi dari periode
yang sama tahun lalu.
Tidak saja Israel yang
mengalami kerugian di sektor wisata akibat konflik. Turisme menyumbang 12
persen dari produk domestik bruto Palestina. Kota Betlehem, yang berada di
wilayah Palestina, memiliki situs-situs suci bagi umat Kristen. Gereja
Kelahiran Yesus Kristus, misalnya, selama ini menarik minat banyak umat Kristen
di penjuru dunia untuk ziarah ke sana. Sejak konflik berlangsung, Betlehem kehilangan
hampir setengah dari total turisnya. "Menurut saya persentase pembatalan
kunjungan sekitar 40-50 persen hingga akhir November dan bulan depan,"
kata Elias al Arja, ketua Asosiasi Arab untuk jaringan hotel di Betlehem.
Kerugian juga melanda para
pebisnis di Jalur Gaza. Tidak sedikit tempat usaha maupun rumah mereka dan
pegawai mereka hancur karena serangan udara militer Israel. Target mereka
adalah para militan Hamas, namun rudal-rudal mereka juga menembaki
bangunan-bangunan warga sipil. Kerugian total di segi ekonomi akan tergantung
pada seberapa lama konflik ini berlangsung. Perusahaan informasi bisnis, BDI,
kepada harian Haaretz mengungkapkan bahwa operasi militer Pillar of Defense ini
diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi di Israel sebesar NIS 1,1 miliar atau
sekitar Rp2,6 triliun per minggu. Perhitungan itu berdasarkan angka kerugian
aktual yang ditanggung Israel saat menggelar operasi militer Cast Lead beberapa
tahun lalu. Targetnya juga sama, kelompok Hamas di Jalur Gaza. Operasi Cast
Lead berlangsung sekitar tiga pekan, dari 27 Desember 2008 hingga 18 Januari
2009.
Menurut BDI, sebagian besar
biaya yang harus dikeluarkan Israel pada serangan militer kali ini untuk
membiayai amunisi dan bahan bakar. Untuk kerusakan properti, seperti rumah dan
dan tempat bisnis milik warga Israel, BDI memperkirakan kerugiannya sekitar NIS
25 juta (sekitar Rp60,9 miliar). Menurut survei BDI, banyak konsumen di Israel
yang belakangan ini mengurangi belanja untuk kegiatan bersantai maupun hiburan.
Banyak pula dari mereka yang saat ini dipanggil berdinas militer karena
berstatus tentara cadangan. Maka, bila pemerintah tetap pada rencana
mengerahkan 30.000 tentara cadangan, ongkos perang yang ditanggung Israel
bertambah NIS 70 juta per minggu.
Diperkirakan, kelangkaan minyak akan terjadi permintaan pasar bakal
meningkat menjelang musim dingin di negeri AS dan Eropa. Ditambah pula muncul
seruan dari milisi Hisbullah di Libanon kepada negara-negara Arab agar
mengurangi produksi minyak mereka, atau menaikkan harganya di pasar dunia
akibat dari konflik di jalur Gaza.
Konflik Gaza itu tidak saja merugikan ekonomi Israel dan Palestina. Dunia
pun cemas karena konflik ini bisa berpengaruh pada naiknya harga minyak.
Menurut laman RTE, harga minyak dalam transaksi elektronik untuk perdagangan
Asia di bursa New York pada Senin pagi 19 November naik di atas US$87 per
barel. Di bursa London, harga minyak Brent juga naik, yaitu sebesar 55 sen
menjadi US$109,5 barel. Padahal Jumat pekan lalu sudah naik hingga US$108,95
per barel. Para investor sudah mulai mengkhawatirkan berkurangnya pemasokan
minyak dari Timur Tengah. Apalagi bila konflik Israel-Palestina di Gaza terus
berlanjut. Naiknya harga minyak bisa menjadi masalah besar bila muncul sikap
yang frontal dari negara-negara Arab penghasil minyak di Timur Tengah. Teguran
dari pemimpin milisi Hisbullah agar negara-negara Arab menggunakan segala cara
untuk mendukung Palestina dari serangan Israel, semakin membuat ketar ketir
para pemimpin dunia. "Kurangi ekspor minyak kalian atau naikkan sedikit
harganya, pasti bakal mengguncang AS dan Eropa. Dengan tekanan demikian, maka
tidak perlu mengerahkan bala tentara, tank atau pesawat tempur," demikian
saran pemimpin Hisbullah, Hassan Nasrallah, seperti dikutip Reuters pekan lalu.
Memang negara-negara Arab penghasil minyak itu berbeda ideologi politik
sehingga sulit bersatu. Namun jika tersentuh oleh rasa kemanusiaan, bisa jadi
para pemimpin negara-negara Arab akan mengikuti seruan Hizbullah tersebut.
Sebab, saran itu cukup mengundang perhatian media massa dan juga pengamat pasar
minyak dunia.
Kesimpulan :
Konflik Israel-Palestina boleh jadi merupakan konflik yang memakan waktu
panjang setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara dunia Timur dan Barat
di sekitar abad kedua belas. Konflik yang telah
berlangsung enam puluhan tahun ini menjadi konflik cukup akut yang menyita
perhatian masyarakat dunia. Berdasarkan pemaparan singkat di atas, tampak jelas
bahwa kunci penyelesaian konflik Israel-Palestina sesungguhnya terletak pada
kedua belah pihak yang bertikai. Penyelesaian konflik Israel Palestina akan
sulit tercapai selama Israel masih melakukan agresi militer, pembangunan
pemukiman di wilayah Tepi Barat dan melakukan pemblokiran di jalur Gaza selain
itu juga apabila pihak-pihak yang terlibat konflik tidak mentaati kesepakatan
yang telah diambil. Pada aspek politik, langkah bijak yang tentunya dapat
dilakukan adalah mengidentifikasi berbagai persoalan dari kedua belah pihak
untuk mendapatkan kerja sama dengan kepentingan yang sama dari masing-masing
kebijakan politik keduanya. Sementara pada aspek teologis, dialog merupakan
langkah yang tepat dalam menyelesaikan persoalan keduanya. Selain itu, aspek
teologis agaknya tidak terlalu dominan mewarnai konflik, mengingat dalam
sejarahnya hubungan teologis tiga agama besar pernah terjalin harmonis tanpa
sentuhan “tangan-tangan politik”.
Daftar Pustaka
Israel Gaza
dan Mesir dalam Sejarah dimana Palestina Selama Ini. Diakses tanggal 8 Januari, 2013, http://politik.kompasiana.com/2012/11/24/israel-gaza-dan-mesir-dalam-sejarah-dimana-palestina-selama-ini-510790.html
Peran Mesir
dalam Konflik Israel Palestina. Diakses tanggal 8 Januari, 2013, http://www.bacain.com/s/Peran-mesir-dalam-konflik-israel-Palestina/4
Konflik
Israel Palestina Kebiadaban zionis Yahudi. Diakses tanggal 8
Januari, 2013, http://madina.co.id/index.php/opini/5545-konflik-israel-palestina-kebiadaban-zionis-yahudi
Bukan
kejutan DK gagal kecam aksi Israel di Gaza. Diakses tanggal 9 Januari, 2013, http://www.muhsinlabib.com/news/bukan-kejutan-dk-gagal-kecam-aksi-israel-di-gaza
Efektivitas
Peran DK PBB dalam Konflik Palestina Israel. Diakses tanggal 9 Januari, 2013,
http://dodiksetiawan.wordpress.com/2009/01/25/efektivitas-peran-dk-pbb-dalam-konflik-palestina-israel/
Konflik Gaza
Mengguncang Ekonomi Dunia. Diakses tanggal 9 Januari, 2013, http://www.gatra.com/fokus-berita/21069-konflik-gaza-mengguncang-ekonomi-dunia.html
Konflik Gaza
Mempengaruhi Ekonomi Dunia. Diakses tanggal 9 Januari, 2013, http://topiklainnya.blogspot.com/2012/11/konflik-gaza-mempengaruhi-ekonomi-dunia.html
Semoga kepedulian umat muslim di Indonesia terus bertambah dalam berusaha membantu menyalurkan donasi kemanusian untuk saudara muslim dimanapun berada, baik di negara sendiri dan juga di negara lain yang menderita akibat perang seperti di Gaza Palestina dan Suriah saat ini. Jazakumullah khoir
ReplyDeleteAamiin...semoga Allah swt. memberikan yg terbaik bagi umat muslim seluruh dunia.
Delete