Dewan
Perwakilan Rakyat yang berfungsi untuk mengayomi dan menampung
aspirasi-aspirasi rakyat, sekarang anggota DPR
malah sibuk dengan kepentingan pribadi dengan kelompoknya. Pada masa sekarang Dewan Perwakilan
Rakyat mempunyai kekuasaan yang sangat
luas sekali yang menjadikan ketidak fokusan
DPR untuk menjalankant tugas dan wewenangnya. Kekuasaan yang disalahgunakan anggota DPR
untuk memenuhi kepentingan pribadinya tetapi dengan memanfaatkanfasilitas
negara. Hal ini ditunjukan dengan
terbuktinya banyak anggota DPR yang melakukan penyelewengan dana, yang
seharusnya dana untuk pembangunan ataupun untuk rakyat tetapi justru dana
tersebut dimasukan dalam saku para anggota DPR.
Tidak hanya penyelewengan dana yang dilakukan anggota DPR tetapi juga
memanfaatkan fasilitas negara dengan berlebihan. Selain dengan fasilitas yang sudah bagus gaji
cukup, belum cukup untuk anggota DPR dengan fasilitas begitu saja. Dengan diadakannya studi banding oleh DPR,
dengan alasan untuk mengukur seberapa jauh sistem kerja pemerintahan
Indonesia. Tetapi ternyata studi banding
tersebut juga dimanfaatkan untuk rekreasi oleh anggota DPR, bahkan mengajak
anak dan istri untuk melakukan studi banding.
Padahal studi banding adalah kepentingan negara dan itu merupakan tugas
yang harus dilaksanakan untuk dapat memajukan Indonesia. Studi banding yang dibiayai oleh negara dan
menghabiskan milyaran rupiah ternyata banyak yang hasilnya nol besar itu karena
banyak anggota DPR yang tidak membuat laporan hasil studi banding yang
dilakukan ke luar negeri. Masalah
seperti ini berdampakpada kinerja legislatif ang seenaknya sendiri dalam
bertugas. Maka dari keadaan yang seperti
ini bisa dipastikan kinerja DPR saat ini msih terbilang males-malesan dan
asal-asalan. Maka sebaiknya rubahlah
pola fikir untuk memikirkan kepentingan pribadinya tetapi pikirkanlah kepetingan yang umum,
supaya negara Indonesia terpikirkan dan bisa menjadi negara yang maju.
Kata
kunci :
Kekuasaan, Dewan Prwakilan Rakyat (DPR), Badan Legislatif
Pendahuluan
Ruang-ruang kekuasan di
Indonesia saat ini, ada ditiga lembaga yaitu eksekutif,legislatif dam
yudikatif. Berbeda dengan era sebelumnya
dimana ruang kekuasaam didominasi oleh lembaga eksekutif yang dipimpin oleh
presiden. Terpecahnya kekuasaan ke
lembaga lain seharusnya membawa berkah bagi rakyat Indonesia, karena
pemerintah di awasi oleh parlemen dan lembaga penegak hukum.
Namun kenyataannya,
terpecahnya ruang kekuasaan ke berbagai lembaga negara lainnya tidak serta
merta membawa rakyat di negeri ini sejahtera dan memperoleh keadilan yang
sesungguhnya. Ruang-ruang kekuasaan di
era sekarang, kenyataannya jatuh ke tangan orang-orang yang rakus dan tidak
bertanggung jawab khususnyadalam lembaga legislatif yaitu DPR . Ruang kekuasaan DPR yang diisi oleh orang
yang rakus dan tidak bertanggung jawab dapat menjadi petaka bagi rakyatnya
ataupun rekan politik. Kekuasaan yang
diisi oleh orang seperti ini membuat keadilan dan kesejahteraan yang seharusnya
milik publik dapat dengan mudahnya dikorbankan, sehingga dipastikan begitu
rumitnya rakyat memperoleh hak-hak atas keadilan dan kesejahteraan, akibatnya
ketegangan antara penyelengara negara dan rakyatnya kerap terjadi, karena
tuntutan masyarakat kerap diabaikan.
Karena ruang kekuasaan DPR
didominasi oleh penyelengara negara yang korup maka kasus-kasus penyalahgunaan
kekuasaan di Indonesia sudah bebar-benar memprihatinkan. Penyalahgunaan kekuasaan yang telah dilakukan
anggota DPR, telah benar-benar membuat kondisi yang bertolak belakang, seperti
bumi dan langit antara DPR dan rakyatnya.
Ketika DPR di parlemen dibuatkan ruangan kecil puluhan milyar, kursi
yang persatuannya berharga puluhan juta, anak-anak kecil di Lebak Banten harus
mempertaruhkan nyawa, menyebrangi sungai dalam dan deras, diatas sebuah
jembatan gantung yang telah rusak parah. Ketika DPR, menuntut
kendaraan-kendaraan dinas yang mewah, rakyat kecil harus bersusah payah didalam
sebuah sistem transportasi yang amburadul, yang mengabaikan keamanan dan
kenyamanan. Ketika DPR mendapatkan
fasilitas kesehatan kelas satu di rumah sakit ternama didalam dan luar negeri,
rakyat kecil kesulitan untuk berobat, ribuan bahkan jutaan orang kesulitan ketika
sakit. Sakit bagi mereka berarti 2 kali
penderitaan. Menderita karena sakit,
menderita pula karena memikirkan biaya.
Sakit dinegara Pancasila dan beragama ini, bisa berarti jatuh miskin.
Rakyat tentu senang jika
ruang kekuasaan DPR di negeri ini dipegang oleh orang orang yang bertanggung jawab. Dengan kekayaan alam yang berlimpah, pastilah
rakyat Indonesia akan sejahtera. Pergi
kemana-mana dengan transportasi yang aman dan nyaman, sehingga para
wanita tidak khawatir diperkosa bila berpergian. Sekolah bukan halangan bagi semua orang, sehingga
tidak ada orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya, kecuali orang tua
yang bodoh tentunya. Orang yang sakit
tidak khawatir berobat, karena setiap orang memegang kartu asuransi nasional
disetiap tangannya, sehingga orang yang sakit cepat tertangani. Demikian pula wanita wanita di desa , tidak
terpaksa mengadu nasib di negara orang lain dengan berbagai resiko yang
mengorbankan harga dirinya sebagai manusia.
Metode dalam
penulisan jurnal ini adalah deskriptif-argumentatif. Dan mengumpulkan data melalui pustaka. Dengan tujuan untuk memperjelas dan
memberikan pendapat yang disertai fakta agar dapat dibenarkan kebenaran tentang
penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi dalam badan legislatif.
1. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat
Era reformasi pada 1998, terjadi perubahan besar-besaran dalam sistem hukum
di Indonesia. Dari amandemen konstitusi
dan perubahan peraturan perundang-undangan, hingga pembenahan sistem kerja
aparat dan transformasi budaya hukum.
Meskipun patut diapresiasi positif, arah perkembangan reformasi hukum
perlu diantisipasi untuk mencegah arah gerak perubahan bak pendulum.
Pendulum selalu bergerak dinamis, tidak pernah
berhenti, sehingga secara kasat mata dianggap kemajuan. Namun jika
diperhatikan seksama, sesungguhnya pergerakan tersebut hanya berjalan di
tempat, tak beranjak, dan berputar di tempat yang sama. Kondisi ini dapat terjadi apabila
ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil reformasi hukum yang telah dicapai
terkumpul menjadi gerakan untuk “kembali ke kondisi semula” tanpa memperhatikan
kinerja dan evaluasi yang telah dicapai selama proses reformasi hukum berjalan.
Beberapa contoh dapat diberikan untuk melihat adanya
fenomena ini, yang mana salah satunya adalah wacana amandemen kelima UUD
1945. Banyaknya desakan dari berbagai
elemen masyarakat maupun institusi negara untuk segera mengamandemen UUD 1945
membuktikan bahwa konstitusi Indonesia masih belum sempurna.
Namun demikian, melihat arah opini
publik menyangkut berbagai isu, sebut saja soal peran dan kekuasaan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), terdapat kemungkinan terjadinya pergeseran kekuasaan
di institusi DPR dengan pola pendulum, yakni kembali ke masa sebelum amandemen.
Pada era pasca reformasi, semangat dalam proses
amandemen adalah pembatasan kekuasaan eksekutif yang pada rejim Orde Baru
dianggap terlalu executive heavy, otoriter, dan menyumbat aspirasi publik. Selain itu, pengerdilan partai politik
melalui berbagai cara juga menyebabkan kegerahan publik untuk memperkuat
lembaga representasi dan pengawasan yang terjelma dalam tubuh DPR. Menilik Arsip PAH I Badan Pekerja MPR
(Sekretariat Jenderal MPR tahun 2000), dapat dilihat berbagai makalah mulai
dari LIPI, UI, UGM, ITB, Unibraw, Unhas, hingga berbagai laporan peneliti
independen yang mendukung pemikiran yang sama dan merekomendasikan penguatan
peran DPR.
Hasilnya, saat ini, DPR memiliki kekuasaan yang sangat
besar, khususnya dalam pengawasan dan pengangkatan pejabat publik. DPR memegang suara kunci untuk menentukan
pengangkatan mulai dari hakim agung, hakim konstitusi, Gubernur BI, kepala
kepolisian, pejabat komisi negara, hingga direksi BUMN. Kondisi ini mulai dipandang negatif karena
menciptakan politisasi dan perdagangan kepentingan jabatan-jabatan publik. Peran pengawasan juga dianggap telah
dijalankan secara eksesif sehingga menganggu jalannya pemerintahan. Pemerintah dianggap “tersandera” oleh
kekuatan parlemen dalam merumuskan dan menjalankan kebijakannya. Hal tersebut
ditambah dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap DPR yang sudah tidak
dianggap lagi memperjuangkan kepentingan masyarakat mulai dari kegiatan
studi-banding-wisata yang berlebihan ke luar negeri hingga dugaan berbagai
praktek korupsi di tubuh DPR yang secara perlahan terbukti.
Sekarang, gagasan untuk mengurangi peran DPR dan
kembali ke format executive-heavy acapkali terdengar. Hampir di setiap talkshow dan seminar,
segenap pihak menyuarakan perubahan perubahan atas kewenangan DPR, kondisi mana
yang jauh berbeda dengan semangat awal reformasi di sekitar tahun
1998-2001. Publik seolah lupa dengan
desakan mereka 10 tahun yang lalu yang justru menginginkan perluasan kekuasaan
DPR sebagai perwujudan kehendak rakyat untuk membangun oposisi yang kuat
terhadap pemerintah (yang identik dengan kekuasaan otoriter). Suatu gerakan kolektif menuju perubahan
ternyata hanya berputar di tempat yang sama.
Gagasan pembatasan kewenangan DPR merupakan contoh
yang sempurna mengenai gerakan pendulum dalam reformasi hukum. Selain karena menguat atas ketidakpuasan
kinerja DPR hasil amandemen, desakan ini muncul secara konsensus dan tanpa
pertentangan dari pihak manapun, termasuk aktor utama yang sebelumnya
mengusulkan amandemen pada masa lampau.
2.
Kekuasaan DPR
Mengabaikan Nilai
Seharusnya ruang kekuasaan di
DPR ini banyak diisi oleh orang yang amanah, oleh orang-orang yang tidak
korup. Kenapa? karena bangsa Indonesia
memiliki 2 pilar pengawal perilaku manusianya.
Nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara dan nilai-nilai agama
sebagai sumber keyakinan beragama setiap pemeluknya kepada penciptanya. Kedua pilar tersebut mengajarkan dan
menekankan kejujuran dan keadilan. Namun
aneh kedua benteng itu, seperti tidak bermakna. Seharusnya setiaap langkah dan perilaku
rakyat Indonesia, lebih khususnya para pemimpinnya ada didalam kedua pilar
tersebut.
Namun semua hal bertolak
belakang. Dinegara Pancasila dan
beragama ini, korupsi malah subur dan merajalela. Pelaku korupsi hidup dalam
penghormatan. Ketika mereka disangkakan korupsi
maka doa-doa dipanjatkan bersama-sama dipimpin oleh seorang tokoh agama. Ketika mereka disidangkan keluarga dan para
pengikutnya membela dengan semangat seperti membela orang yang mulia. Ketika lepas dari penjara, ia disambut suka
cita , bagai pahlawan pulang dari medan perang.
Korupsi itu mengambil milik orang lain, mengambil sesuatu yang bukan
miliknya, mengambil milik rakyat. Itu dosa menurut agama dan tidak benar
menurut ideologi negara, Pancasila.
Kekayaan alam yang
berlimpah, sistem berbangsa dan bernegara yang mengusung demokrasi
sebagai kedaulatan tertinggi rakyat, ideologi negara yang bernama Pancasila dan
keyakinan beragama yang wajib dianut oleh setiap warga negara
seharusnya menjadi modal kuat bagi bangsa ini untuk terbang maju
dan sejahtera. Lalu kenapa kita kalah dengan dengan negara lain, yang tidak
mempunyai kekayaan alam, yang ideologi negara tidak sejelas Pancasila ,
yang rakyatnya bebas beragama ataupun tidak, yang hanya mengandalkan sistem
negara yang demokratis semata?. Jepang
misalnya.
Apa yang terjadi adalah
kelemahan DPR yang mereka miliki, ditutupi oleh kesadaran yang tinggi para
pemimpinnya. Sebaliknya dengan kita,
kelebihan yang kita miliki, dihancurkan oleh ketamakan para DPR nya. DPR yang lebih sedikit seharusnya memberi
contoh keteladanan rakyatnya yang banyak.
Lain halnya, DPR yang sedikit menjadi contoh buruk rakyatnya yang
banyak, sehingga seperti sia-sia kelebihan yang dimiliki oleh bangsa ini. Semoga kenyataan ini hanya sesaat dan tidak
ditenggelamkan oleh hawa nafsu para pemimpin yang tampaknya sulit dikekang dan
mengabaikan nilai-nilai yang tertanam didalam ideologi negara dan nilai-nilai
mulia keyakinan beragama yang melekat didiri mereka semenjak dilahirkan.
3.
Penyalahgunaan Kekuasaan yang Dilakukan Anggota DPR
3.1 Korupsi dan Kolusi
Korupsi secara luas diartikan sebagai penyalahgunaan
kekuasaan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang
berlaku untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik[1]. Korupsi dan kolusi banyak terjadi di negara
berkembang contohnya negara Indonesia.
Kolusi adalah sebuah kerjasama, tetapi bukan kerjasama biasa, melainkan
dengan maksud jahat. Terjemahan resminya
adalah “persekogkolan” atau “kongkalikong”, sedangkan korupsi itu sendiri
adalah biasanya hasil kerjasama antara pengusaha dan penguasa dan itu termasuk
kedalam kejahatan[2]. Korupsi dan kolusi timbul karena terjadinya
kesenjangan pendapatan antara yang ada di dalam dan luar birokrasi, yakni
masyarakat yang dilayani, terutama masyarakat bisnis. Dalam prakteknya korupsi biasanya diwujudkan
dengan uang atau hal yang bisa dinilai dengan uang dan kebanyakan terjadi pada
anggota legislatif (DPR).
Di dalam badan legislatif khususnya DPR, praktek korupsi ini
terjadi karena adanya kaitan dengan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki
pejabat atau pegawai pemerintah. Penyelewengan perilaku anggota DPR, terjadi karena
kekuasaan yang dimiliki anggota DPR sangat besar. Kondisi ini berbalikan dengan
masa Orde Baru, saat Soeharto memimpin.
Ketika itu, pemerintah memiliki kekuasaan besar sehingga bisa melakukan
korupsi yang besar dan tanpa harus melanggar prosedur dan administrasi legal,
karena pada masa Soeharto ketika ia
mempunyai kekasaan yang penuh untuk mengatur semua jalannya pemerintahan
di negara Indonesia banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan dana yang
mengakibatkan negara Indonesia sekarang menjadi negara nomor 2 yang paling
terkorup didunia. Banyak modus-modus
yang digunakan anggota DPR dalam korupsi tanpa harus melanggar ketentuan hukum
dan administrasi yang resmi. Ketentuan
resmi itu bisa dikelabui, baik secra tersembunyi ataupun secara
terang-terangan. Salah satunya sebagai
contoh kasus, dalam sebuah tender yang menyangkut proyek-proyek besar seorag
pejabat bisa membantu memenangkan suatu perusahaan, tanpa melanggar
prosedur. Kemudian secara tidk langsung,
ia dan mugkin dengan beberapa orang dengan siapa ia berkolaborasi menerima suatu “hadiah”, tanpa tanda
terima. Suatu keuntungan bersama bisa
diproleh dengan melakukan apa yang dikenal dengan praktik mark-up terhadap biaya suatu proyek. Praktik ini bisa dilakukan tanpa melanggar
ketentuan legal dan administrasi. Tetapi
negara bisa dirugikan. Pengusaha bisa
memperoleh dengan harga yang tinggi dan pejabat dan pengusaha berkolusi bisa
memperoleh imbalan.
Persoalan definisi korupsi bisa menjadi lebih rumit jika
hasil korupsi itu tidak diterima oleh pelakunya, melainkan oleh pihak ketiga,
dengan alasan politis atau pembangunan.
Sebagi contohnya pada menjelang Pemilu 1997, Orsospol akan membutuhkan
banyak dana. Biasanya dana itu diperoleh
dari pengusaha. Caranya adalah dengan
“menitipkan” dana tersebut kepada pengusaha tertentu yang akan diberi proyek. Dalam kasus itu pengusaha mungkin hanya
memperoleh keuntungan yang wajar dan resmi saja yang memang berhak diterima. Sedangkan bagian “keuntungan” yang lain akan
diberikan kepada pihak ketiga.
Kesulitan yang
lain adalah jika perbuatan menyimpang, mengelabui atau menyiasati ketentuan
legal atau administratif resmi itu tidak didasarkan pada motif kepentingan pribadi. Ada beberapa alasan yang bisa memenuhi
adagium “tujuan menghalalkan cara”. Pertama, jika dana yang diperoleh itu
dipakai untuk membiayai proyek-proyek non-budgeter. Kedua,
jika dana dipakai untuk kesejahteraan pegawai.
Dan ketiga, jika tindakan itu
justru merupakan upaya penghindaran ketentuan-ketentuan yang terlalu rijid.
Dalam praktek,
banyak kegiatan yang anggarannya terbatas berhadapan denga biaya riil yang
ternyata besar sehingga diperlukan tindakan-tindakan penyimpangan demi
“efisiensi”. Mungkin juga kegiatan itu
memerlukan biaya tambahan untuk pemberian “intensif” kepada pihak luar. Dari pihak yang menerima. Intensif itu berarti korupsi, karena ia telah
mendapat gaji atau biaya untuk melakukan pekerjaan itu. Semuanya itu dapat dikategorikan sebagai
korupsi. Praktek-praktek seperti itulah
yang merusak suasana dan aturan main dan memberi celah kepada tindak korupsi
untuk kemanfaatan pribadi diluar kepentingan umum. Itu semua menjadi indikasi yang memberikan
kesan dan data tentang luasnya praktek korupsi di Indonesia. Korupsi bahkan sering disebut sebagai telah
“membudaya”. Padahal korupsi bukanlah
gejala budaya melainkan anti-budaya.
Pada saat ini
dimana korupsi sangat merajalela di Indonesia menjadikan Indonesia terpuruk
baik dalam hal khususnya pemerintah, namun tidak hanya itu karena korupsi juga
berdampak pada negara Indonesia yang semakin terpuruk ekonominya. Hal semacam ini sangat sulit dihentikan
kecuali dengan kesadaran diri masing-masing, tetapi itupun dirasa tidak mungkin
karena perilaku-perilaku DPR yang sekarang ini yang terlalu menyepelekan
tugasnya dan tidak memperhatikan kewajiban-kewajibannya sebagai anggota DPR,
yang ada justru memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan untuk
pribadinya.
Walaupun korupsi
sekarang sudah merajalela diIndonesia namun sampai saat ini pemerintahpun belum
bisa mengatasi secara menyeluruh korupsi-korupsi yang terjadi pada saat
ini. Pemerintah kurang tegas dalam
memberikan hukuman terhadap pidana-pidana korupsi yang tidak memberikan efek
jera terhadap pidana tersebut, sehingga orang-orang yang belum melakukan
korupsi menjadi ikutan melakukan korupsi karena tidak takut dengan
hukuman-hukuman yang ada, yang lebih parahnya lagi sekarang hukum Indonesia
dapat dibeli dengan uang dan memandang sistem ekeluargaandan jabatan.
Dengan adanya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang sangat membantu karena menjadikan
terkuaknya kebejatan-kebejatan yang ada dalam DPR. Memang dalam penanganannya KPK tidak
memandang bulu apakah dia pejabat tinggi ataupun pejabat biasa. Contohnya saja KPK sudah menetapkan Angelina
Sondakh sebagai tersangka, padahal angie mmempunyai jabatan dalam kursi
DPR. Yang lebih hebatnya lagi Menteri
Olahraga Andi Malarangeng juga sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus
Hambalang. KPK memang sangat membantu
sekali dalam menguak kasus-kasus korupsi yang ada di Indonesia, namun mengapa
hukuman untuk pidana korupsi tidak sebanding dengan apa yang mereka perbuat dan
mengapa justru dengan terkuaknya kejahatan-kejahatan pada pejabat tinggi
enjadikan posisi KPK tidak aman dan bahkan sampai tersebar isu bahwa KPK akan
dibubarkan. Bukan hanya DPR saja yang
melakukan tindakan korupsi namun tidak terlalu tersorot oleh media, namun kalau
itu yng melakukan anggota DPR pastilah sangat disorot oleh media karena DPR
sebagai wakil rakyat dan harusnya mengayomi rakyat justru malah melakukan
penyelewengan-penyelewengan dana, dan dana itu sendiri adalah uang rakyat. Dalam media televisi ditayangkan semua warga
negara harus membayar pajak tepat waktu agar dapat melakukan pembangunan dengan
segera tapi kalau masyarakat sudah membayar pajak namun malah dikorupsi sama
pejabat-pejabat itu sama saja omong kosong.
Pejabat-pejabat DPR seharusnya sadar akan tugas dan kewajiban sebagai
anggota DPR, namun kenapa pejabat-pejabat hanya memikirkan untuk kepentingan
pribadinya saja bukan mementingkan kepentingan umum seperi yang tercantum dalam
tugas dan wewenang DPR. Pejabat
menganggap sepele rakyat, maka bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah untuk
rakyatpun banyak yang tidak sampai kepada rakyat melainkan sampai disaku-saku
pejabat, hal semacam ini sangat menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat dan
pembangunannya. Masyarakatpun tidak
pernah tau tentang hal semacam ini karena hanya pejabat DPR yang tau sementara
uang yang seharusnya untuk rakyat justru malah dimakan oleh pejabat-pejabat
tinggi negara.
Salah satu untuk
megurangi korupsi dan kolusi adalah dengan melakukan rasionalisasi jumlah
pegawai, meningkatkan kualitas pegawai dengan mengembangkan profesionalitas,
meningkatkan penggunaan dan kecanggihan teknologi serta menyederhanakan
peraturan dan prosedur untuk mendapatkan pelayanan dari negara. Keberhasialan dari tindakan itu harus dilihat
pada indikator apakah rasio anggaran dan jumlah pegawai telah meningkat. Artinya, tingkat gaji rata-rata bertambah
baik, fasilitas kerja lebih nyaman, dan teknologi yang lebih canggih.
3.2
Penyalahgunaan Studi Banding
Sebagian anggota DPR terkesan
sudah menutup mata dan telinga terhadap kritik pedas masyarakat atas studi
banding ke luar negeri. Meskipun dikritik, anggota DPR terus melakukan studi
banding. Terakhir, anggota Komisi IV
melakukan studi banding ke Perancis dalam rangka mencari bahan untuk pembahasan
RUU Peternakan dan Kesehatan Hewan, sebagai pengganti UU No. 18 Tahun
2009. Sebagian lagi studi banding ke
China untuk tujuan yang sama.
Direktur Eksekutif Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Eryanto Nugroho, dan Direktur
Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nuralam, mengecam studi banding
yang terus dilakukan DPR. Keduanya
menilai DPR tidak transparan dan akuntabel, baik mengenai rencana keberangkatan
maupun hasil kunjungan. Hasil konkrit kunjungan
DPR ke luar negeri belum kelihatan. Yang terjadi justru, anggota DPR selalu
mencari alasan pembenar, bahkan menyalahkan mahasiswa Indonesia di luar negeri
atau pers di Tanah Air yang mengecam studi banding tersebut.
Eryanto menunjuk bukti
minimnya transparansi dan akuntabilitas. Dari 143 kali kunjungan sepanjang
2004-2009 hanya ada tiga laporan pertanggungjawaban studi banding. Sejak 2009 hingga sekarang ada 54 kunjungan
ke luar negeri, namun baru lima yang ada laporan pertanggungjawaban terbuka.
“Laporan itu tentu sangat minim sekali,” kata Eri di sela-sela diskusi di
Jakarta. Bukan hanya laporan yang minim.
Menurut Eri, kualitas laporan pun layak dipertanyakan. Bayangkan, laporan studi banding RUU
Holtikultura ke Belanda hanya berisi dua halaman.
Arif mengkritik penggunaan
anggaran yang begitu besar untuk studi banding.
Biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah uang rakyat dipakai studi
banding tetapi hasilnya tidak sepadan.
Arif melihat libido kunjungan kerja anggota DPR sulit dibendung karena
tak semata ingin melakukan kajian mendalam mengenai RUU yang dibahas. Studi banding dijadikan sarana plesiran,
bahkan tak jarang piknik bersama anggota keluarga. Gagasan moratorium kunjungan
kerja ke luar negeri tak ada artinya karena tetap dilanggar.
Senada dengan Eryanto, Arif
mengingatkan anggota DPR tentang kewajiban mempertanggungjawabkan secara moral
dan politik studi banding yang mereka lakukan.
Untuk meminimalisasi libido studi banding, kata Arif, anggaran DPR
sebaiknya berbasis kinerja. Sehingga
transparansi dan akuntabilitas tak hanya dilihat secara formal, tetapi juga
substansial. Anggota Komisi IV DPR,
Rosyid Hidayat, berkilah studi banding ke Perancis dan China sudah mendapat
persetujuan dari fraksi masing-masing dan Badan Anggaran. Ia juga menilai studi banding ke Perancis
cukup penting karena diperoleh informasi tentang zona berbasis impor
ternak. Juga diperoleh informasi tentang
penyakit sapi asal Australia dan Brazil.
Informasi mengenai penyakit
sapi di Australia dan Brazil bisa diperoleh dengan cepat di internet. Juga bisa diperoleh langsung dari narasumber
di kedua negara melalui telekonperensi.
Namun Rosyid mengatakan DPR juga belajar tentang swasembada daging dari
Perancis. Prancis saat ini merupakan
produsen daging dan susu terbesar di seluruh Eropa.
3. Dampak pada Kinerja Badan Legislatif
Tiga Pilar Negara
yang berperan sangat penting untuk berdiri dengan kokohnya sebuah negara adalah Eksekutif,
Legislatif dan Yudikatif. Jika tiga pilar ini bersinergi dengan baik maka
akan kokohlah pondasi pilar sebuah negara, tapi sebaliknya, jika tiga lembaga
ini berkonspirasi dalam hal korupsi
maka akan runtuhlah negara tersebut[3]. Kinerja Dewan
Perwakilan Rakyat mengantongi rapor merah sepanjang tahun 2012. Hal tersebut membuktikan kinerja lembaga
legislatif tidak optimal dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Indikator buruknya kinerja lembaga legislatif
tercermin dari empat aspek, yaitu kinerja legislasi, anggaran, pengawasan dan
Badan Kehormatan. Kinerja pelaksanaan
tiga fungsi utama yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan secara prosedural
administratif berjalan. Namun, secara
fungsional substansialnya mengalami kemerosotan bahkan cenderung merusak citra
lembaga Dewan Perwakilan Rakyat.
Kinerja legislasi buruk tercermin dari produktivitas dan kualitas
undang-undang rendah. Target legislasi
2012 sebesar 64 RUU, terangnya, hanya 10 RUU yang merupakan prioritas tahun
2012. Pencapaian dari hal itu juga minim dengan 1 RUU dari prioritas 2012
sementara 9 RUU dibahas di tahun 2011.
Empat undang-undang (UU Pemilu, UU APBN, UU Penanganan Konflik Sosial, dan
UU Pendidikan Tinggi) dari pencapaian DPR di tahun 2012 juga telah digugat di
Mahkamah Konstitusi karena mengandung sejumlah persoalan. Yang
artinya secara kualitas buruk.
Sedangkan, aspek anggaran di DPR, justru menjadi lahan korupsi. Terlihat
dari kinerja DPR yang berhasil mendorong tambahan penerimaan negara APBN 2012
kurang lebih Rp 18 triliun. Namun,
anggaran tersebut tidak untuk menambah belanja publik tetapi untuk belanja
rutin pemerintah pusat. Politik anggaran
yang dijalankan DPR demikian, masih berorientasi pada proyek dan kepentingan
sendiri serta pemerintah.
Politik anggaran tersebut mengakibatkan wakil rakyat terlibat korupsi.
Selama 2012, ada empat wakil rakyat yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi,
yaitu Angelina Sondakh dari Fraksi Demokrat, Wa Ode Nurhayati dari Fraksi PAN,
Emis Moeis dari Fraksi PDIP, dan Zulkarnaen Djabar dari Fraksi Golkar. Hal tersebut memperjelas bahwa praktik
politik anggaran di DPR dimanfaatkan untuk memperkaya diri dan kroni. Masih banyak anggota dewan yang diduga
terlibat korupsi, ada yang dipanggil KPK dan namanya disebut oleh sejumlah
saksi. Namun status mereka belum jelas.
Sedangkan, dalam aspek pengawasan terlihat DPR bekerja dengan tidak
efektif. Pengawasan pelaksanaan
perundangan dan penggunaan keuangan negera jauh dari harapan. Terlihat dari banyaknya kasus korupsi
pengawasan penggunaan anggaran negara yang dilakukan anggota DPR. Terbongkarnya kasus korupsi itu bukan oleh
kinerja DPR namun KPK. DPR di sepanjang
tahun 2012 tidak menggunakan hak interpelasi, angket dan menyatakan
pendapat. Padahal, hak tersebut adalah
hal penting dalam mengawasi kinerja pemerintah.
Itu membuktikan perangkat pengawasan yang digunakan tidak mencapai 50
persen. Bahkan, tidak berhasil sampai
tuntas dan berakhir tidak jelas.
Sementara, mengenai kinerja BK sendiri dinilainya tidak tegas. Sepanjang tahun 2012, DPR banyak disorot
publik karena dugaan pelanggaran etika wakil rakyat. BK memberikan sanksi ringan dan tidak
memiliki efek jera. Bahkan BK banyak
yang menilai membela rekan sejawat.
Namun intinya, BK belum efektif menegakkan citra dan kehormatan
DPR. , mungkin sebaiknya 2013 nanti DPR
harus lebih efektif menjalankan keempat aspek tersebut. Dalam aspek lagislasi, DPR harus mengevaluasi
secara serius dan komprehensif Program Legilasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas harus mengutamakan perundangan
yang berpihak pada rakyat dan tidak terjebak pada keinginan legislatif maupun
eksekutif sendiri.
Agar efisien dan efektif, proses pembahasan RUU langsung dibahas oleh
komisi terkait tanpa harus melalui proses pembahasan di Baleg yang memakan
waktu, energi dan biaya yang sangat besar.
Dalam peran pengawasan, DPR perlu membuat indikator yang jelas menilai
kinerja pemerintah. Hal tersebut untuk
mencegah praktik korupsi di DPR dan Pemerintah.
Sementara, BK menurutnya harus lebih tegas. Sanksi berat harus dijatuhkan pada wakil
rakyat yang melanggar etika dan perundangan.
Penutup
Pada masa
sekarang ini anggota Dewan Perwakilan Rakyat masih belum serius dalam
menjalankan tugasnya karena anggota DPR masih mengedepankan kepentingan pribadi
dengan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan rakyat. Padahal tugas DPR itu sendiri adalah semua
bekerja untuk rakyatnya namun kenapa anggota DPR masih egois dengan dirinya
sendiri. Sebenarnya DPR sudah diberi
fasilitas yang bagus dan gaji yang besar, tapi kenapa banyak anggota DPR banyak
yang melakukan penyimpangan-penyimpangan dana (korupsi) bahkan mungkin hampir
seluruh anggota DPR melakukan hal yang sedemikian.
Dengan
diadakannya studi banding keluar negeri oleh DPR yang tujuannya untuk mengukur
seberapa jauh istem kerja pemerintahan di Indonesia sendiri namun pada
kenyataannya sudah berpuluh-puluh kali DPR melakukan studi banding keluar
negeri tapi hasil yang diperoleh dari studi banding tersebut tidak dibuat atau
tidak ada laporannya sama sekali.
Padahal studi banding DPR tersebut menggunakan uang rakyat yang habisnya
tidak tanggung-tanggung yaitu sampai milyaran rupiah tapi hasilnya nol besar.
Hal yang
demikian juga berdampak pada kinerja pemerintahan yang ada di Indonesia karena
banyaknya penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam DPR tersebut
menjadikan anggota DPR melakukan tugasnya dengan seenaknya sendiri dan
bermalas-malasan. Absen jarang hadir,
rapat juga jarang hadir maka kapan negara Indonesia mau maju kalau
pemimpin-pemimpinnya bertindak hal yang demikian.
Dengan
kejadian-kejadian yang seperti ini maka seharusnya anggota DPR sadar bahwa
anggota DPR itu bekerja untuk rakyat dan digaji dengan uang rakyat, tidak
sepantasnya anggota DPr untuk bermalas-malasan agar kinerja pemerintah dapat
berjalan dengan baik dan dapat memajukan negara Indonesia.
Daftar
Pustaka
Zaldy. “Ruang Kekuasaan di Negara Pancasila dan
Beragama.” Politik, 22 Februari 2012 | 10:08, http://politik.kompasiana.com/2012/02/22/ruang-kekuasaan-di-negara-pancasila-dan-beragama-440816.html.
H
Zubaidi. “ Membangun Pemerintah yang
Bersih.” Haluankepri, 12 Agustus 2011
22.39, http://haluankepri.com/opini-/16029-membangun-pemerintahan-yang-bersih.html.
Suleiman,
M. Ajisatria. “Kekusaan Dewan Perwakilan
Rakyat.” Padmimonang, 19 Oktober
2012,
http://padmimonang.wordpress.com/2012/10/19/kekuasaan-dpr-pendulum-reformasi/#more-551.
Rahardjo, M. Dawam. Orde Baru dan Orde Transisi ( Wacana krisis
atas Penyalahgunaan Kekuasaan dan Krisis Ekonomi). Yogyakarta: Pusat Penerbitan UII Press, 1999.
“
Burunya Kinerja Lembaga Legislatif.” Ajinatha, diakses pada tanggal 8 Januari
2012, http://ajinatha.blogspot.com/2012/02/buruknya-kinerja-lembaga-eksekutif.html.
“
Studi Banding DPR.” Hukumonline, 17 Desember 2012, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50ce6e8d42456/akuntabilitas-studi-banding-dpr-sangat-minim.
[1] “Tugas dan Wewenag DPR. “ DPR
diakses pada tanggal 8 Januari 2013. http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tugas-dan-wewenang.
[2] M. Dawam Rahardjo, Orde Baru
dan Orde Transisi ( wacana Krisis atas Penyalahgunaan Kekuasaan dan Krisi
Ekonomi) (Yogyakarta: Pusat Penerbitan UII Press, 1999), 6.
[3] Jakob Siringoringo. “Kekuasaan
Legislatif.” Analisadaily, Selasa, 07 Jun 2011 21:34, http://www.analisadaily.com/news/read/2011/06/07/2983/korupsi_dan_kekuasaan/.
good
ReplyDelete