Makalah ini menganalisis
tentang beberapa tokoh wanita yang gagal dan banyak mendapatkan hambatan yang
rumit dalam menduduki karir di dunia politik. Masalah ini belum menjadi
perhatian yang serius bagi pemerintahan kita. Atas alasan inilah artikel ini di
tulis untuk mengekplorasi persoalan di setiap gagalnya kaum perempuan dalam
menduduki karir di dunia politik. Sebagian berpandangan bahwa setiap manusia
berhak menduduki dan menggeluti dunia politik tanpa membedakan gender.
Partisipasi politik perempuan tidak saja di lakukan dengan memberikan suara,
tetapi juga dilakukan dengan cara perempuan mencalonkan dirinya dalam kancah
politik maupun kancah di legislatif. Namun kondisinya sekarang sangat tidak
memungkinkan karena perempuan yang yang ingin terjun ke dunia politik banyak
mendapat hambatan dan tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Terlebih
ketika media massa tidak menunjukan dukungan melalui teknik peliputan dan
framing atau kerangka mengupas perempuan dalam diskursus politik. Dalam
Al-Quran juga di tuliskan dalam hadist yang tidak boleh membedakan antara
laki-laki dan perempuan. Bila prinsip-prinsip tersebut dapat dan bisa di
operasionalkan dalam mengelola urusan politik, maka persoalan tersebut dapat di
selesaikan dengan baik dan layak
politik gender, pemerintahan, perspektif Islam
Tulisan ini mengangkat topik tentang penghambat peran dan fungsi
perempuan dalam dunia politik. Dalam dunia politik memang banyak memerlukan manusia yang
cerdas dan memiliki wawasan luas tidak terkecuali kaum perempuan. Tetapi
kenyataannya tidak, aktor-aktor politik pada era sekarang masih banyak di
kuasai oleh kaum laki-laki, banyak kaum perempuan yang terhambat jika ingin
terjun ke dunia politik ataupun menjadi seorang pemimpin lembaga politik.
Bahkan para kaum perempuan sudah banyak menempuh jalan hanya demi ingin terjun
ke dunia politik. Bisa kita bayangkan berapa banyak kaum perempuan yang sudah
mencalonkan dirinya yang ingin terjun ke dunia politik tetapi mereka
seolah-olah di hambat-hambati dan tidak jarang mereka pun gagal.
Di indonesia sendiri,
persoalan seperti ini selalu mencuat. Masalah ini sudah muncul sejak jaman era
orde lama. Dimana kaum perempuan selalu kalah banyak dalam menduduki bangku di
dunia politik. Banyak yang beranggapan jika kaum perempuan tidak cocok jika
turun ke dunia politik. Kemampuan komunikasi politik yang dimiliki kaum
perempuan masih jauh dari yang di harapkan. Banyak pemimpin dari kaum perempuan
mengalami media abuse yang artinya selalu di rendahkan oleh media dengan
membeda-bedakan jenis gender. Selain komunikasi yang kurang, kaum perempuan
memang sering di isukan tidak mempunyai cara berkomunikasi yang handal. Selain
itu semua, banyak juga argumen yang mengatakan bahwa perempuan “haram” jika
menjadi pemimpin, itu karena peran tradisional perempuan di kawasan indonesia
masih mengedepankan di ranah publik dari pada di bidang politik.
Dari hasil uraian di
atas, selanjutnya saya akan menghadirkan biografi singkat beberapa kaum wanita
yang gagal dalam dunia politik. Dan sebelum di tutup dengan kesimpulan, tulisan
ini akan memaparkan sejumlah analisis yang ada.
Kondisi
perempuan dalam dunia politik
Politik identik dengan laki-laki. Mitos
yang berkembang di masyarakat, perempuan tidak boleh bermain dan berkiprah di
ranah politik. Akibatnya menjadi sulit bagi perempuan untuk mengonsolidasikan
posisi dan kedudukannya dalam kancah ini. Sedikitnya proporsi keberadaan
perempuan berperan dan berpartisipasi aktif di institusi-institusi politik,
semakin mempersempit ruang gerak, sekaligus suara perempuan yang terwakili.
Kondisi inilah yang tidak menguntungkan bagi perempuan, tidak saja bagi
eksistensi dan keterlibatan perempuan di arena politik negara, tetapi juga
tidak optimalnya artikulasi politik dan kepentingan perempuan.
Usaha untuk memperjuangkan jumlah perempuan duduk di
lembaga parlemen dan pemerintah, dilakukan agar keterwakilan jumlah dan suara
perempuan seimbang dalam lembaga negara ini. Namun, hasil yang diperoleh hanya
sebatas kuantitas atau numerik keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.
Kuantitas ini belum memadai dibandingkan dengan kualitas suara dan peran-peran
strategis perempuan sebagai kebijakan di domain politik.
Kondisi ini dipicu oleh kurangnya suara perempuan yang
terlibat dalam dunia politik untuk bersuara, atau dengan kata lain perempuan
mempunyai kemampuan komunikasi politik yang kurang. Dominannya pernyataan
politik yang diberikan oleh para aktor politik dan politisi laki-laki di media
massa, semakin menyurutkan eksistensi perempuan. Jumlah perempuan yang terlibat
politik dari tahun ke tahun bisa di lihat pada data seperti ini :
TAHUN
|
JUMLAH PEREMPUAN
|
PERSENTASE
|
1992-1997
|
63
|
12,3 %
|
1997-1999
|
57
|
11,5 %
|
1999-2004
|
45
|
9 %
|
Berdasarkan pada
fenomena inilah, maka ada kebutuhan untuk menambah jumlah perempuan di kursi
parlemen agar suara perempuan bisa terwakili.
Setelah pemilu 2004 lalu, muncul wacana tentang kuota
perempuan 30 persen. Sampai pada akhirnya UU pemilu telah menetapkan kuota 30
persen perempuan harus di lakukan pada pemilu 2009. Namun apa yang terjadi,
hampir semua partai politik tidak siap dengan para kader dan calon yang
disiapkan untuk mengisi kuota ini. Akibatnya yang terjadi “saling comot” orang
keluarga sendiri, putrinya, artis perempuan dan sosok-sosok lainya yang muncul
menjadi kader dadakan. Jika ini terjadi maka kualitas suara perempuan agak
masih di pertanyakan. Sejak pemilu 2004, dukungan untuk mengisi 30 persen kuota
parlemen diundangkan. Maka porsi kursi
perempuan di parlemen diharapkan menjadi lebih banyak. Perkembangannya,
rata-rata kuota ini terpenuhi tidak hanya di pusat tetapi di daerah-daerah
juga. Namun kemampuan komunikasi politik yang dimiliki oleh perempuan yang
menjadi anggota parlemen masih jauh dari yang di harapkan. Kekuatan lobi-lobi
perempuan di parlemen masih jauh kalah dari kekuatan dan dominasi laki-laki
dalam berbagai forum pengambilan keputusan di lembaga parlemen ini.
Kondisi di atas mengalami pergeseran pada era pemilihan
umum 2010. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah di Indonesia. Pemilihan
para kepala daerah selama 2010, misalnya menunjukan peningkatan jumlah
perempuan yang maju dan berhasil memenangkannya. Keberhasilan itu terjadi di
banyak daerah misalnya di Jawa Timur, Jawa Tengah dan di Sumatra. Namun itu
hanya sebagian saja, sebagian besar dari perempuan yang mencalonkan maju ke
dunia politik baik itu mencalonkan sebagai angggota parlemen maupun sebagai
pemimpin daerah masih banyak yang gagal dan banyak ganjalan serta hambatan.
Budaya
politik bagi perempuan
Budaya politik terhadap
eksistensi perempuan di ranah politik selama ini belum memberikan diskursus
yang positif. Ini karena posisi dan peran tradisional perempuan di ranah
domestik lebih mengedepankan di bandingkan kedudukan dan posisi perempuan di
ranah politik. Opini publik terhadap eksistensi perempuan dalam politik kurang
mendukung. Opini mayoritas publik dengan keterlibatan perempuan dalam politik
belum sampai pada tingkat mayoritas numerik. Perilaku memilih atau voting behavior perempuan juga tidak
memberikan dukungan kepada perempuan-perempuan yang ada. Kuatnya nilai patriaki
dengan kepercayaan “laki-laki adalah imam” begitu kuat, sehingga pada saat
memilih pun, perempuan sendiri enggan memilih kaumnya[1].
Tambahan lagi, banyak
studi yang menunjukan bahwa perempuan dalam area politik sering kali harus
berjuang untuk menerima liputan media dan legitimasi publik dan media. Media
massa di anggap sering menggambarkan politisi perempuan mempunyai masalah atau
dikaitkan dengan isu-isu domestik berkaitan dengan perilaku anak dan suaminya.
Namun, media tidak melakukan hal seperti ini terhadap politisi laki-laki.
Menurut bistrom, media massa di anggap sering mempertanyakan politisi perempuan
dengan pertanyaan berbeda yang media tanyakan kepada politisi laki-laki. Media
juga dianggap telah mendeskripsikan politisi perempuan dengan berbagai cara dan
kata-kata yang menekankan pada peran tradisional perempuan di rumah, persoalan
penampilan mereka di publik, dan perilaku politisi perempuan di masyarakat,
misalnya model rambutnya, gaunnya, atau kebiasaan menghabiskan uang miliaran
untuk belanja online dan sebagainya.
Seperti yang terjadi di
Amerika, ketika media lebih menonjolkan masalah model rambut Hillary Clinton
yang akan maju menjadi senator politik daripada gerakan-gerakan politiknya.
Calon gubernur, Texas Ann Richard dan anggota senat Amerika Lynn Yeakel yang di
tonjolkan tentang isu koleksi pakaiannya, berat badannya dan penampilan fisik
lainnya selama kampanye politik mereka di Amerika. Kandidat politisi dan
pemimpin perempuan mengalami media abuse
dengan cara di deskripsikan dan di rendahkan oleh media dengan menggunakan “gender-specific terms”. Contohnya
liputan The Chicago Tribune pada
kampanye kandidat perempuan Carol Moseley-Braun, Koran ini mendeskripsikan
Braun dengan kata-kata “The mother with a cheerleader’s smile” yang artinya dia
adalah sosok ibu dengan senyum yang mengembangkan seperti para cherrleader[2].
Perempuan yang maju di
ranah politik juga sering dijadikan subjek perbedaan gender negative atau “negative gender distinctions”. Jenis
kelamin perempuan sering dijadikan alasan atau hambatan untuk masuk dalam dunia
politik[3].
Sebaliknya, para kandidat politikus laki-laki dideskripsikan dalam istilah “gender-neutral term” atau terminologi
gender yang lebih netral. Meskipun
politisi laki-laki juga melakukan counter
terhadap gambaran image mereka,
tetapi secara umum kadidat laki-laki lebih memiliki kebebasan dalam berpakaian
dan bertingkah laku karena publik telah telah terkondisikan atau terbiasa untuk
menerima laki-laki sebagai pemimpin.
Sering kali perempuan
yang akan menjadi calon legislatif tidak mempunyai kemampuan komunikasi politik
yang handal. Terkesan malu-malu dan tidak meyakinkan publik pemilihnya bahwa ia
layak untuk di pilih. Potensi perempuan sebagai komunikator politik perlu
digarap. Dalam banyak kasus, perempuan sendiri tidak hanya tidak mampu
mengomunikasikan identitas dirinya sebagai perempuan tetapi juga
mengomunikasikan agenda-agenda dan visi politiknya. Pesan perempuan (women’s message) dan perempuan adalah
pesan (women Amerika Serikat a message)
perlu untuk di perjelas dan dipahami. Seringkali meskipun perempuan mempunyai
ruang dan posisi yang menguntungkan di parlemen, baik sebagai ketua fraksi atau
DPRD sendiri, perempuan belum mampu memperjuangkan suara perempuan, kebutuhan
perempuan dan porsi pembagian persoalan kesejahteraan dan keadilan bagi
perempuan. Ketika perempuan mempunyai andil untuk bicara, perjuangan terhadap
kelompok perempuan dan anak-anak serta kaum minoritas yang lain, belum mampu
secara maksimal di kedepankan, di bandingkan persoalan atau masalah yang di
hadapi umum yang lebih memihak kepentingan dominan laki-laki. Perempuan sendiri
masih enggan bersahabat dengan media. Perempuan harus berani tampil dan
menunjukan dirinya di media massa. Tidak banyak perempuan yang sadar perlunya
memasarkan citra diri di media massa. Banyak pernyataan politik penting yang
dikutip dan dijadikan diskursus publik di lontarkan oleh laki-laki. Anggota
legislatif, pengamat politik, menteri dan pembuat kebijakan perempuan, termasuk
para bupati dan wali kota perempuan, sangat sedikit tampil di media massa dan
dijadikan rujukan media dibandingkan dengan sosok laki-laki. Sehingga
keterwakilan perempuan didunia politik pun menjadi bisu[4].
Para perempuan calon
legislatif, maupun yang sudah menjadi anggota, sekaligus para kepala
pemerintahan daerah, masih kurang mampu dan bisa memanfaatkan peran khalayak
politik mereka yang perempuan. Selama ini khalayak perempuan hanya menjadi
penontonan/spectator politik,
sehingga keterlibatan aktif suara mereka tidak mampu diraih. Keterlibatan
perempuan dalam hal jumlah atau kuantitas saja yang di perjuangkan. Tetapi,
isu-isu serius perempuan seperti kesejahteraan perempuan, jaminan kesehatan,
kehidupan perempuan, pekerja perempuan, dan masih banyak hal kurang digunakan
sebagai amunisi retorika politik untuk dibawa ke ranah publik yang lebih besar
bagi perjuangan kesetaraan dan keadilan gender bagi kaum perempuan di tanah
air.
Gambaran
politisi perempuan dalam media
Seperti yang di jelaskan pada bagian
atas, berbagai studi yang di lakukan di Amerika dan di Indonesia sendiri,
menunjukan bahwa persoalan gender dan komunikasi politik adalah persoalan
serius. Masih banyak liputan media massa yang tidak memberikan keuntungan bagi
kaum perempuan yang terlibat dalam kepemimpinan politik. sehingga pada akhirnya
gambaran ini akan bias mempengaruhi opini publik yang beredar di masyarakat.
Erika falk (2008) melakukan studi tentang gender dan liputan media di Amerika, ketika
senator Amerika Serikat Hillary Clinton mencalonkan diri menjadi presiden dari
Partai Demokrat bersaing dengan Obama pada bulan Januari 2007, Falk melakukan
studi analisis isi terhadap isi media massa terutama Koran-koran di Amerika
terkait dengan pencalonan kedua kandidat ini.
Falk melihat ada
tidaknya perbedaan media mengupas dua calon yang berbeda jenis kelaminnya atau
istilah “battle fpr sexes”. Falk
mengkaji liputan media tentang pengumuman candidacy
Obama dan Hillary ini di enam surat kabar yang beredar di Amerika Serikat.
Oleh karena mayoritas publik tidak bias bertemu langsung dengan kandidat, maka
gambaran di media tentang kandidat pada permulaan kampanye menjadi hal yang
sangat penting untuk mengetahui respon pemilih. Dalam kesimpulan penelitiannya,
Falk menemukan bahwa meskipun memimpin dalam poling saat itu, Hillary Clinton memperoleh liputan yang lebih
sedikit di bandingkan Obama [5].
Hillary juga lebih
sering memiliki julukan yang rendah atau menjatuhkan, serta di panggil dengan
nama pertamanya. Hal yang berbeda dilakukan kepada Obama yang lebih banyak di
kutip, di beritakan, dan posisi-posisi kebijakannya yang di kutip media.
Menurut Falk juga, pers tidak hanya penting untuk mengkonstruksi ide khalayak
tentang kandidat, tetapi juga penting telah membentuk pemahaman budaya khalayak
tentang gender dan perempuan. Falk berpendapat bahwa liputan berita tentang
kandidat politisi perempuan yang stereotype,
yakni yang menggambarkan bahwa perempuan lemah, tidak bisa mengambil keputusan,
mempunyai masalah dengan keluarga dan lain sebagainya adalah hambatan bagi
kandidat perempuan. Gambaran stereotype gender
politisi perempuan seperti inilah yang akan mempengaruhi kuat-lemahnya
kemungkinan perempuan terpilih menjadi pemimpin politik di wilayahnya.
Kondisi seperti ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
yang ada di Indonesia. Krisnha sen pernah menulis tentang tekanan-tekanan
publik dan media terhadap pencalonan Megawati sebagai presiden Indonesia. Isu
yang banyak diangkat oleh media ketika itu adalah isu-isu yang berkaitan dengan
“haram” seorang pemimpin perempuan di Indonesia. Pemberitaan media massa yang
lebih cenderung mendukung suara dominan yang menentang kepemimpinan politik
perempuan di Indonesia. Upaya menggulingkan Megawati dari kandidat presiden
perempuan ketika itu cukup kuat, yang pada akhirnya media massa berhasil
membentuk agenda publik untuk memusuhi perempuan mejadi pemimpin di Indonesia.
Apa yang tertulis di atas adalah sebagian dari hasil
studi tentang gambaran politisi perempuan di media massa yang dilakukan di
berbagai belahan dunia. Kesimpulan dari berbagai kasus studi yang dihasilkan
menggaris bawahi bahwa meskipun perempuan sudah memulai banyak yang maju
menjadi politisi, baik di parlemen, senat maupun kepala pemerintahan pusat dan
daerah, tetapi media massa masih tetap saja memberitakan liputan yang kurang
mengenakkan bagi perempuan. Hasil liputan media tentu saja memengaruhi cara
pandang dan sikap masyarakat terhadap perempuan yang akan maju, pada gilirannya
akan memengaruhi jumlah dukungan yang diperoleh perempuan untuk terpilih dan
sukses dalam proses kandidasinya.
Berikut
ini beberapa biografi perempuan yang gagal dalam menduduki dunia politik
1.
Novita Wijayanti : Calon
Bupati Cilacap Periode 2012-2017
Novita,
33 tahun, wanita ini merupakan wanita karier, dirinya cukup eksis di kancah
politik khususnya di Kota Cilacap sendiri. Wanita ini merupakan wanita
kelahiran Kota Cilacap. Wanita yang sudah berumah tangga dan mempunyai 1 orang
anak ini sekarang menjabat sebagai anggota DPR propinsi Jawa Tengah. Tahun lalu
di bulan November beliau mencalonkan diri sebagai Calon Bupati Cilacap. Awal
novita terjun ke dunia politik tidak lain karena dorongan dari sang ayah yaitu
bapak Toufik. Ayahnya memang sudah lama berkecimpung di dunia politik sejak
lama dan sekarang ayah dari Novita sendiri saat ini menjabat sebagai ketua DPRD
Kabupaten Cilacap. Novita di usung oleh partai PDIP untuk menjadi calon Bupati
Cilacap. Dalam awal kampanyenya sebagai calon bupati, novita mendapat respon
yang positif dari masyarakat. Namun sayangnya saat pemilu berlangsung dia masih
kalah dan gagal dari saingannya yaitu Tato Pambudi yang bukan lain adalah
Bupati Cilacap yang mencalonkan kembali dirinya sebagai bupati untuk periode
selanjutnya. Dalam pencalonan awalnya Novita begitu mendapat respon yang
positif dari masyarakat Kota Cilacap namun, akhir-akhir dalam pencalonannya
novita banyak di benci dan tidak di segani. Dalam kampanyenya novita di duga
banyak menggunakan “ money politic “
untuk mendapatkan tanggapan bagi masyarakat Cilacap. Selain itu novita juga
diduga tidak bisa menjalankan cara berpolitik yang benar. Dalam kampanyenya,
novita banyak menyewa preman suruhan. Novita juga dianggap terlalu muda untuk
maju sebagai bupati nantinya, novita dianggap masih harus belajar dan
berkomunikasi politik yang baik. Dengan begitu maka novita di anggap masih
harus belajar agar menjadi pintar dalam berkomunikasi khususnya dalam
komunikasi politik.
Kemudian gagalnya novita juga banyak isu yang
terdengar jika rumah tangga novita dengan suaminya kurang harmonis, maka dari
itu banyak masyarakat yang enggan jika pemimpin Kota Cilacap nantinya adalah
wanita yang gagal dirumah tangganya karena akan berpengaruh juga pada sosok
kepemimpinannya. Selain karena faktor itu semua, rasa ketakutan masyarakat pun
meningkat jika sosok novita berhasil menjadi bupati selanjutnya, karena warga
menyadari jika sosok ayahanda dari novita adalah sosok pemimpin yang selalu
premanisme, dan warga takut jika cara politik tersebut akan turun ke anaknya
yaitu novita.
2.
Fatimah : Calon Bupati
Cilacap Periode 2008-2012
Sosok ibu
ini memang jarang di dengar dalam dunia politik. Namanya begitu tenar mendadak
di kala beliau mencalonkan sebagai kandidat salah satu calon Bupati Cilacap
periode 2008-2012. Umur Bu Fatimah saat itu 40 tahun. Sebelum terjun kedunia
politik, ibu Fatimah adalah seorang pengusaha yang sukses sedangkan suaminya
adalah seorang kontraktor terkenal. Bu Fatimah adalah salah satu orang terkaya
di Kota Cilacap saat itu, bermodalkan dengan kekayaannya dan ilmu politik yang
ala kadarnya bu Fatimah beranjak dari bangku pengusaha terjun ke dunia politik.
Bu Fatimah memiliki kepribadian yang baik, lemah lembut serta orang yang sabar.
Fatimah dalam pencalonannya menjadi Bupati Cilacap yang diusung oleh partai Golkar ini awalnya
medapat respon yang lumayan positif, terutama oleh masyarakat yang berada di
daerah terpencil di Cilacap. Karena awal kampanyenya Fatimah lebih terfokuskan
ke masyarakat yang terpencil di plosok-polosok. Dengan mengusung moto “
Bupatine Wadon Bae “ yang artinya bupatinya perempuan saja, dalam kampanyenya
bu fatimah berharap bisa mengalahkan saingannya, tetapi tetap saja gagal dari
saingannya yaitu Probo Yulastoro. Probo Yulastoro saat itu adalah Bupati
Cilacap yang kembali mencalonkan dirinya di pemilu tahun 2008 dan terpilih
kembali menjadi bupati.
Terpilihnya
Probo Yulastoro kembali menjadi Bupati Cilacap tidak lain karena suksesnya
Probo Yulastoro dalam membangun kota Industri itu dengan banyak mendatangkan
para investor dari luar kota dan luar negeri. Dalam kasus pemilu ini Bu Fatimah
di duga gagal karena kurangnya mendalami ilmu politik sebagaimana orang politik
yang harus tau betul politik. Bu Fatimah
juga kurang tenar yang mengakibatkan orang-orang belum tau siapa dan
bagaimana sosok Fatimah. Beliau juga tidak dapat menarik perhatian yang lebih
kepada sebagian masyarakat Cilacap, sebaliknya masyarakat Cilacap juga tidak
bisa di bodohi begitu saja karena menurut mereka Bu Fatimah tidak memilik cara
komunikasi politik yang bagus karena basiknya yang merupakan seorang pengusaha.
2.
Megawati Soekarno Putri:
Calon Presiden Indonesia Periode 2004-2009
Sosok
perempuan yang sering di sapa dengan nama Bu Mega ini adalah mantan Presiden
Republik Indonesia yang ke-5. Beliau adalah istri dari taufik kemas yang tidak
lain adalah ketua MPR Republik Indonesia saat ini. Megawati merupakan anak dari
presiden pertama Plokamator Indonesia sekaligus Presiden pertama Republik
Indonesia yaitu Ir. Soekarno. Dari sejak muda Megawati memang sudah bekecimpung
dalam dunia politik. Ini tidak heran karena beliau mengikuti jejak sang ayah.
Megawati sempat menjadi presiden ke-5 Republik Indonesia, tetapi bukan lewat
pemilu namun sebagai presiden pengganti setelah menggantikan Gus Dur. Dalam
masa kepemimpinanya, megawati dianggap gagal karena tidak begitu berpengaruh
terhadapat perubahan Republik Indonesia. Megawati saat itu hanya menjabat
sebagai presiden sekitar kurang lebih 2 tahun saja. Setelah masa jabatannya
habis, dalam periode selanjutnya megawati kembali mencalonkan sebagai presiden
Republik Indonesia yang di usung oleh partai PDIP. Dalam pemilu tahun tersebut
megawati banyak mendapat saingan karena banyak para tokoh politik yang
mencalonkan menjadi presiden, saingannya yang salah satunya yaitu Susilo
Bambang Yudhoyono yang sekarang menjadi presiden Republik Indonesia sampai saat
ini. Kala itu Susilo Bambang Yudhoyono
mendapat sambutan dan respon yang sangat positif dari berbagai masyarakat
Indonesia. Dan akhirnya megawati kalah dalam pemilu tahun itu. Dalam kegagalan
ini megawati di duga kalah karena megawati menjadi sosok yang terlalu egois
terhadap sesuatu keputusan. Selain itu megawati merupakan sosok yang kurang
berwibawa dalam menjalankan kerja di partai PDIP. Itu telihat mana kala
megawati sering menyindir partai demokrat dan sistem kampanye Susilo Bambang
Yudhoyono saat itu. Megawati yang saat itu adalah ketua umum Partai PDIP pusat
sangat menjunjung tinggi azas nasionalisme. Dan menginginkan sekali PDIP
sebagai titik pusat azas masyarakat Indonesia karena mega menganggap PDIP
mempunyai azas yang sejalan dengan Negara Republik Indonesia.
3.
Siti Khomariah : Calon
Bupati Pekalongan Periode 2012-2017
Wanita
yang sering di sapa khomariah ini dulunya adalah Bupati Pekalongan. Umurnya
kini 35 tahun, wanita ini dikenal dengan sosok yang a’lim dan sangat menjunjung
tinggi agama Islam. Khomariah berhasil menjadi bupati pekalongan saat itu
karena di usung oleh partai PKB. Dalam massa kepemimpinannya menjadi bupati
saat itu masyarakat banyak yang merasa kurang puas atas kebijakan-kebijakannya
dalam mengeluarkan aturan. Banyak yang menyesali atas berhasilnya khomariah
menjadi Bupati Pekalongan saat itu, umurnya yang dulu masih terlalu muda
membuat masyarakat kurang puas memiliki sosok pemimpin yang muda dan apalagi
sosoknya adalah perempuan. Saat jabatannya habis, siti khomariah mendaftar lagi
pada pemilu periode selanjutnya, namun saat pemilu terjadi Siti Khomariah
gagal. Ini terjadi karena masyarakat Pekalongan kurang puas atas
kepemimpinannya pada masa periode kemarin. Masyarakat juga menghimbau agar
Khomariah untuk lebih mengerti dasar politik dan kepemimpinan. Dalam masa
kepemimpinanya Khomariah Pekalongan menjadi kota yang sepi akan semua
fasilitas, hal tersebut sangat di rasakan oleh masyarakat khususnya masyarakat
pedesaan. Selain itu masyarakat pekalongan juga lebih menginginkan pemimpin
sosok laki-laki. Karena sosok laki-lakilah yang
mempunyai sifat tanggung jawab yang lebih di banding perempuan. Di
samping itu dalam masa kepemimpinanya sosok khomariah juga di anggap kurang
tegas dalam mengambil semua keputusan.
Partisipasi politik perempuan tidak saja
di lakukan dengan memberikan suara, tetapi juga dilakukan dengan cara perempuan
mencalonkan dirinya dalam kancah politik. selama ini jumlah keterlibatan
perempuan di dunia politik memang menunjukan proges yang menggemberikan.
Tetapi, kondisinya tidak menunjukan perubahan yang signifikan. Terlebih ketika
media massa tidak menunjukan dukungannya melalui teknik liputan atau kerangka
mengupas perempuan dalam diskursus politik.
Referensi
Henry Subiakto,Rachmah Ida.2012.Komunikasi Politik, Media,& Demokrasi. Jakarta:
KENCANA PRENADA MEDIA GROUP
Terry, & Kaid, Linda.2004. Gender and Cadidate Communication. New York:
Routledge
Suaedy, Ahmad.2007. Politisasi Agama. Jakarta:
The Wahid Institute
[1]
Henry Subiakto,dan Rachmah Ida, Komunikasi
Politik,Media,&Demokrasi (Jakarta:”KENCANA PRENADA MEDIA GROUP,2012”)
159.
[2]
Terry,dan Linda Kaid, Gender and
Candidate Commination (New York:”Routledge,2004") 163.
[3]
Terry,dan Linda Kaid, Gender and
Candidate Commination (New York:”Routledge,2004") 169.
[4]
Ahmad Suaedy, Politisasi Agama, (
Jakarta:”The wahid Institute,2007”) 253.
[5]
Henry Subiakto,dan Rachmah Ida, 2012, “ Komunikasi
Politik,Media&Demokrasi”, Jakarta: Kencana Prenada Group, hal.162